5 | WALK HER HOME
"YOU are being extra, Daddy."
Darren sedang memasang baut terakhir pada teralis besi yang kini menghiasi jendela kamar Zevanya. Anak itu duduk di tepi tempat tidur dengan wajah menahan tangis. Kebebasannya telah direnggut.
"Cuma ini satu-satunya cara supaya kamu nggak kabur seenaknya lagi." Bunyi mesin obeng berdengung menyebalkan. Setidaknya bagi telinga Zevanya.
"What's so wrong with it? Zee cuma main ke rumah Didi! Seandainya Daddy kasih izin, nggak mungkin Zee nekat turun dari jendela!"
Selesai memasang semua baut di tempat masing-masing, Darren memandangi hasil kerjanya untuk yang terakhir kali. Ia mengangguk-angguk puas. Untuk memastikan teralisnya kuat, lelaki itu mengguncang teralis besi berkali-kali.
"Didi nggak suka nerima tamu, Zee."
"Didi nerima Zee, kok!" sergah Zevanya.
"No more coming over to Didi's place, understand?"
"But why?"
"Didi doesn't like you."
"But I like her!"
Wajah Darren mendung. "What do you like so much about her? She's rigid, unfriendly, and her beasts are dangerous!"
"Nanna isn't dangerous!"
"What about the snake?" Darren menggelengkan kepalanya karena baru menyadari kalau sejak tadi mereka berdebat dalam bahasa Inggris. Padahal salah satu misinya tinggal di Indonesia adalah agar Zevanya lebih luwes berbahasa Indonesia. "Ular itu binatang buas. Mereka berbahaya."
"Darren nggak berbahaya, Daddy! Dia ular jinak yang warnanya magical and beautiful!"
Ujung bibir Darren berkedut karena mendengar nama ular Didi yang sama dengan namanya. "Kita nggak bisa pastikan ular itu berbisa atau enggak."
"Tapi, Didi ada di sana! Dia nggak akan ngebiarin Nanna sama Darren nyakitin Zee! Lagian Didi nggak rigid seperti yang Daddy omongin barusan! She's super cool! Didi punya buku macam-macam, punya kebun, rumahnya adem padahal nggak pake aircon kayak rumah kita!" Aksen Zevanya keluar tanpa ia sadari. Logatnya campur aduk. Dalam sekali dengar, orang-orang pasti mengira Zevanya kebule-bulean.
"Didi took care of me!" Ia menunjuk pergelangan kakinya yang masih terbalut ankle brace. "Dokter bilang, Zee beruntung karena ligamen Zee tegang dan cepat diobatin, Daddy dengar sendiri kemarin! Didi juga yang naruh tangga di bawah jendela kamar Zee supaya Zee bisa turun hati-hati!"
Darren menghela napas lelah. "Sudah, Zee. Daddy capek. Lebih baik kamu tidur."
"Besok, kan, weekend. Jadi sekarang, Zee juga harus tidur jam ...." Ia melirik jam beker di nakas. "Jam delapan malam? Really? Grannie aja nggak pernah, lho, nyuruh Zee tidur seawal ini kalo besoknya libur!"
"Grannie sama Grandpa nggak ada di sini. This is my house and it's my rule now. Got it?"
Darren merutuki dirinya sendiri karena lagi-lagi berbicara dalam bahasa Inggris dengan Zevanya. Putrinya itu menyembunyikan wajah di balik bantal. Mungkin menangis. Darren jadi pusing. Membesarkan seorang remaja sendirian ternyata melelahkan.
***
Didi baru selesai mengepak dua buku klasik pesanan seorang pelanggan dari Singapura. Pihak ekspedisi datang mengambil paketnya sejam kemudian. Sekalipun ini hari Minggu, Didi tetap bekerja seperti biasa. Untungnya, perusahaan ekspedisi yang ia sewa untuk mengirim paket khusus ini selalu siap melayani bahkan di luar jam kerja. Karena isinya berharga, packing-nya juga tidak sembarangan. Didi memercayakan tugas itu kepada dirinya sendiri. Ia yang paling mengerti cara menyimpan naskah dan buku klasik rapuh agar tetap baik hingga ke tangan penerima.
Hari sudah sore ketika Didi memutuskan untuk menutup tokonya. Ia berencana mampir ke supermarket untuk mengisi stok protein di lemari es. Karena sayur dan buah bisa didapatkan dari hasil kebun, Didi hanya perlu belanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan pokok saja. Supermarket yang dituju Didi lokasinya tidak jauh dari Carpe Diem. Didi biasa jalan kaki lima menit untuk sampai ke sana.
Seperti akhir pekan biasanya, supermarket pasti lebih ramai. Banyak keluarga yang tinggal di sekitar kompleks menjadikan belanja sebagai liburan singkat pelepas penat. Zona bermain anak-anak menjadi sudut yang paling ramai. Selagi orang tua mereka belanja, anak-anak itu dititipkan di sana. Dibiarkan bertingkah bagai Tarzan karena tempat bermainnya didesain mirip hutan rimba.
Didi mendorong troli di antara rak-rak display menuju area daging segar. Ia mengambil beberapa potong besar ayam dan daging. Sekantong udang juga ia masukkan ke dalam troli. Bahan makanan ini akan dimasukkan freezer sampai ia menemukan menu yang cocok untuk dimasak. Selesai dengan daging-dagingan, Didi beralih ke area peralatan rumah tangga. Ia perlu membeli gantungan untuk kamar mandinya.
Ketika sedang dalam perjalanan menuju area yang dimaksud, seorang lelaki dengan rambut man bun menarik perhatian Didi. Ia yakin sepenuhnya kalau lelaki yang sedang berdiri mematung di depan rak yang memajang berbagai jenis setrikaan itu adalah Darren.
Didi berjalan melewatinya tanpa berniat menyapa. Ia tidak ingin membuat jantungnya berdegup kencang seperti terakhir kali. Setelah mengambil gantungan yang diincar, Didi merasa sudah tak ada yang perlu dibeli lagi. Ia ingin buru-buru ke kasir. Sayangnya, akhir pekan berakibat semua kasir penuh. Didi harus sabar mengantre.
"Didi?"
Seseorang menepuk bahunya pelan. Didi tahu siapa pelakunya sebelum menoleh untuk memastikan.
"Syukurlah, ternyata beneran kamu." Ada kelegaan pada ekspresi Darren. "Gini, Bu Imah tadi nitip setrikaan. Banyak banget macamnya. Aku bingung milih yang mana."
Didi agak terkejut karena isi troli Darren penuh dengan empat kotak setrika berbeda jenis dan merek. Selain setrika, troli Darren hanya berisi sebotol vitamin berukuran besar.
"Apa bedanya empat setrika ini, ya?"
Didi memandangnya lagi. Darren kelihatan tidak sedang berpura-pura. Sudah setengah jam ia berdiri mematung di depan rak setrikaan, bingung akan membeli yang mana karena semua fungsinya beda-beda. Akhirnya, ia memutuskan untuk membeli semua. Berhubung melihat Didi, Darren jadi bisa menghemat uangnya.
"Bu Imah bilang butuh setrika apa?" tanya Didi akhirnya.
"Bilangnya cuma setrika."
Didi mengambil salah satu kotak yang paling berat. "Ini setrika uap. Bisa dipake nyetrika baju yang digantung secara vertikal. Ada opsi uap yang bisa ngilangin kerutan dengan cepat."
Darren mengangguk-angguk atas penjelasan singkat Didi. Cewek itu mengangkat kotak paling ringan. "Ini setrika kering. Pelapis alasnya dari keramik. Ringan, panasnya rata." Kemudian, Didi mengambil kotak lain. "Yang ini juga kering. Pelapis alasnya besi. Permukaannya mudah dibersihkan." Didi mengangkat kotak terakhir. "Ini vacuum cleaner, bukan setrika."
Darren menggaruk pelipisnya. "Pilih yang mana, ya?"
"Kalo dipake hari-hari mending yang ini." Didi menunjuk kotak yang berisi setrika alas keramik.
"Thank you, Di." Darren menyunggingkan senyum lebar. Didi buru-buru memutar tubuh karena intensitas degup jantungnya kembali menggila. "Ke sini naik apa?" Darren menepuk pundaknya lagi.
"Jalan."
"Bareng aja!"
"Nggak usah. Ngerepotin."
"Ngerepotin gimana? Rumah kita sebelahan."
Didi mendorong trolinya ke depan kasir setelah pelanggan terakhir selesai bertransaksi.
"Daripada jalan kaki sendirian, apa salahnya nebeng tetangga?"
Darren belum menyerah. Ia merasa perlu balas budi karena Didi telah membantunya memilih setrikaan. Cewek itu bergeming. Kedua matanya fokus menatap harga di customer display pada mesin kasir. Antara pura-pura tidak mendengar atau memang tidak peduli.
"Pak, bisa di sebelah sini!" Kasir di sebelah mereka yang baru saja buka memanggil Darren. Lelaki itu mendorong trolinya ke sana, mengeluarkan semua barang dari troli ke meja kasir.
"Saya cuma ambil ini sama ini."
Darren menunjuk botol vitamin dan setrikaan yang tadi dipilih Didi untuk dibayar. Sisanya disimpan oleh kasir ke bawah meja. Transaksi mereka selesai hampir bersamaan. Darren mengekor di belakang Didi yang kini tampak seakan-akan tak mengenalnya.
"Didi!" Cewek itu terpaksa berhenti saat baru melewati pintu keluar. "Biar kubawakan!"
Tanpa menunggu respons Didi, Darren mengambil alih kantong belanjaan dari tangannya. Cewek itu selalu membawa kantong belanja sendiri dari rumah. Ia menyimpannya di tas agar bisa digunakan sewaktu-waktu jika dibutuhkan.
"Mobilku di sana!"
Didi mengekor di belakang Darren menuju area parkir. Lelaki itu merogoh saku celana pendeknya. Ia mengeluarkan ponsel dan dompet, tampak kebingungan. Sesekali ia mengedarkan mata ke sekeliling, mulai panik.
"Tadi aku parkir di sini," gumamnya.
"Apa yang ilang?" Didi tidak tahan untuk tak bertanya.
"Mobil sama kunciku ilang." Darren meletakkan kantong belanjaan di aspal. "Tunggu sini bentar, ya?" Darren tergesa pergi ke pos keamanan. Didi ditinggalkan mematung di tengah-tengah lahan parkir.
***
"Saya juga lupa naruh karcis parkirnya di mana. Mungkin jatuh." Darren coba menjelaskan situasinya kepada petugas keamanan. "Tolong dibantu cek CCTV aja."
"Bapak tadi naik kendaraan apa?"
"Honda Civic. Sedan hitam." Lalu, ia menyebutkan nomor pelatnya.
Setelah memasukkan data-data yang disebutkan, si petugas keamanan memandang Darren. "Maaf, data kendaraan Bapak ndak ada di sistem kami. Yakin tadi parkir di dalam?"
Tok tok .... Semua orang menoleh ke arah Didi yang sedang berdiri bersandar di ambang pintu dengan wajah datar.
"Yakin tadi bawa mobil?" tanya Didi tiba-tiba. Cewek itu mengamati sepatu olahraga yang dikenakan Darren sore ini. Lelaki itu menggaruk pelipisnya.
"Sebentar, deh." Ia mengeluarkan ponsel, lalu men-dial nomor telepon rumahnya sendiri. Teleponnya tersambung pada dering ketiga.
"Hallo?"
"Hallo, Bu Imah?"
"Iya, ini siapa?"
"Saya Darren."
"Oh, Bapak. Ada yang ketinggalan?"
Darren melirik Didi sekilas. "Bisa minta tolong cek garasi? Mobil saya ada, nggak?" Ia agak berbisik.
"Ada kok, Pak. Nggak ada yang pake."
"Yakin, Bu? Coba cek lagi!"
"Ada, Pak. Kan, tadi Bapak sendiri yang masukin ke garasi sebelum pergi jogging. Garasi sama pintu depan saya kunci, nggak ada yang masuk."
Darren melirik Didi lagi, lalu buru-buru memalingkan wajahnya. "Oh, oke. Makasih, Bu."
"Emang kenapa, Pak?"
"Nggak pa-pa. Yaudah, saya tutup dulu." Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku, Darren menggaruk pelipisnya yang tak gatal sebelum menatap semua orang. "Terima kasih bantuannya, Pak. Ternyata mobil saya ketinggalan di rumah. Saya tadi jalan kaki ke sini," ungkap Darren kepada si petugas keamanan yang sudah ia repotkan.
Pada detik itu juga, ia baru ingat kalau tadi mampir ke supermarket setelah joging sore keliling kompleks. Darren mendadak malu sendiri, tak habis pikir mengapa hal semacam itu bisa ia lupakan dengan mudahnya. Terlalu fokus memilih setrikaan barangkali.
"Oalaaah ... ndak apa-apa, Pak. Memang udah tugas saya. Syukurlah mobilnya ndak jadi ilang." Petugas keamanan terkekeh lega.
Didi memutar bola mata. Ia baru tahu kalau ternyata Darren bisa seceroboh ini.
***
Didi dan Darren mampir ke kios penjual minuman yang lokasinya tepat di depan supermarket. Kios itu menjual minuman dari sari tebu. Ada mesin penggiling tebu mini di meja yang bekerja nonstop untuk menggiling batang-batang tebu segar. Didi memesan lima belas bungkus tanpa tambahan apa-apa.
"Maaf, Di. Aku pelupa," Darren berkata pelan. Ia membawa semua belanjaan mereka di satu tangan, sedangkan tangan yang lain memeluk kotak setrika. Didi menggeleng sekilas. Walaupun sejak tadi tak mau memandang Darren, Didi tidak menghindarinya. "Kamu beli minuman segini banyak buat apa?" Darren penasaran.
"Bikin ciu."
"Ciu?" Lelaki itu mengernyit bingung. Lain halnya pedagang sari tebu yang diam-diam melirik Didi dengan tatapan aneh.
"Arak Jawa."
"Arak? Minuman keras?"
Didi mengangguk. "Kadar alkoholnya kecil, kok."
"Untuk ... dikonsumsi sendiri?" Darren menggaruk pelipisnya agak bingung. Didi tidak menjawab. Mungkin memang tidak ingin menjawab.
Mereka menunggu beberapa menit lagi sampai pesanan Didi selesai dibuat. Setelah dua kantong berisi bungkusan sari tebu telah berada di tangan Didi, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Karena merasa canggung dengan kesunyian di antara mereka, akhirnya Darren berinisiatif membuka obrolan.
"Ngomong-ngomong, tadi abis dari mana?"
Tanpa mengatakan apa pun, Didi menunjuk toko buku yang baru saja mereka lewati.
"Capek diem." Darren membaca plakatnya sekilas.
"Kar-pe-di-yem," koreksi Didi.
Darren mengulangnya sambil setengah bergumam, "Itu toko apa?"
"Buku."
"Oh, jualan buku. Pantesan bau kamu juga kayak buku." Didi menghentikan langkah untuk mengendus tubuhnya sendiri. Darren memerhatikannya dengan tatapan heran. "Kayak buku baru. Kadang-kadang Zee ngendusin buku yang baru dibeli. Aku pernah nyoba nyium juga. Baunya kayak kamu sekarang."
Didi mendadak galau. Bagi orang awam, bau buku baru tidak selalu menyenangkan. Apalagi buku lama yang usang.
"Itu komentar atau sindiran?" Didi memutuskan untuk bertanya saja.
"Komentar, kayaknya."
"Apa ini caramu buat nyuruh orang pake parfum?"
Darren menggeleng. "Bu- bukan gitu. Mungkin karena kamu baru pulang kerja makanya bau buku. Kemarin-kemarin baunya nggak gini, kok."
Bibir Didi membentuk garis tipis. "Kemarin, aku bau juga?"
Darren menggaruk lehernya. Kenapa sulit sekali berkomunikasi dengan Didi?
"Kemarin sore baumu kesamar sama pengharum ruangan di rumahmu. Lebih banyak bau bunga."
"Aku nggak pake pengharum ruangan."
Lelaki itu menaikkan kedua alisnya.
"Rumahku bau bunga karena aku rutin ganti bunga di vas," lanjut Didi menjelaskan.
Darren baru ingat kalau rumah Didi penuh tanaman hias. Di beberapa sudutnya ada vas besar yang diisi bunga segar. Bunga-bunga itu dipetik Didi dari kebunnya sendiri. Pantas saja wangi.
"Kemarinnya lagi ... kayaknya ... aku nggak ingat baumu dua hari lalu." Darren merutuki dirinya sendiri. Ini bukan topik yang normal dibicarakan dengan tetangga. Lebih baik dia diam sajalah!
"Maaf, aku nggak bermaksud kurang ajar." Lelaki itu menghela napas berat.
Mereka sama-sama sepakat dalam diam untuk tidak berusaha membuka obrolan lagi. Perjalanan pulang ke rumah mereka lewati penuh kecanggungan. Didi dengan pikirannya sendiri, sedangkan Darren dengan kegelisahannya. Beruntung rumah mereka dekat. Jadi, kecanggungan menyiksa itu tidak berlangsung lama.
"Sekali lagi maaf karena udah ngasih harapan bakal kuantar pulang."
Darren mengembalikan kantong belanjaan milik Didi. Cewek itu hanya mengangguk singkat. Darren kelihatan ingin mengatakan sesuatu. Ada perasaan tidak nyaman yang menghinggapi hatinya. Ia tidak bermaksud membuat kesan buruk kepada tetangga barunya. Padahal, ia berencana untuk tinggal selama setahun di sini. Sebelum Darren dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan, Didi sudah menghilang.
Sepertinya memang lebih baik Darren diam saja.
***
Ruang kerja Darren merupakan studio mini dengan lampu temaram tempat merekam suara piano dan cello yang ia mainkan hampir setiap hari. Kalaupun tidak sedang menyentuh alat musik, maka waktunya ia habiskan untuk mengolah hasil rekaman menjadi musik yang utuh. Lantai di bawah kaki Darren hampir sepenuhnya dilapisi kertas-kertas partitur yang berserakan.
Kertas-kertas partitur itu terisi oleh coretan nada-nada yang muncul di kepala Darren. Ia akui kalau dirinya memang bukan orang yang rapi. Ia tak punya waktu untuk beres-beres. Sementara itu, ia sendiri melarang siapa pun masuk kamarnya. Jadilah, kamar ini serupa kapal pecah. Kalau bukan Bu Imah yang menyiapkan seprai, sarung bantal, dan selimut di depan pintu kamar beberapa hari sekali, tempat tidur Darren tak akan terawat sama sekali.
Ruangan yang juga dijadikan Darren sebagai kamar tidurnya itu dilengkapi sebuah piano besar di tengah-tengah. Dua buah cello diletakkan di dekat piano yang sekaligus menjadi satu-satunya spot paling rapi di sana.
Seluruh permukaan dinding dilapisi peredam suara seperti studio rekaman pada umumnya. Darren tak akan mendengar suara apa pun dari luar. Jadi, ia memasang pesawat telepon di meja kerja. Begitu pun sebaliknya. Orang-orang di luar tak akan mendengar apa pun dari kamar Darren. Mereka bisa menghubungi Darren lewat telepon yang menempel di dinding sebelah pintu kamarnya kalau ada yang perlu disampaikan.
Ketika sedang tak ingin diganggu, maka Darren tak akan keluar dari kamar selama berhari-hari kecuali untuk makan dan mengantar jemput Zevanya sekolah. Tidak berlebihan jika Zevanya sering teringat manusia goa kalau melihat ayahnya sendiri.
Jam sebelas malam, Darren berhenti untuk beristirahat. Kalau sudah fokus mengerjakan lagu baru, Darren tak pernah ingat waktu. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Bahunya pegal karena terlalu lama bekerja di depan layar. Ia putuskan keluar kamar sejenak untuk menghirup udara segar sambil minum kopi.
Sebenarnya, Darren punya mesin pembuat kopi otomatis. Sering digunakan di pagi hari ketika Darren perlu kafein sebelum mengantar Zevanya ke sekolah. Namun, malam ini, Darren ingin menggunakan alat penyaring kopi yang mirip gelas ukur di laboratorium. Karena bentuknya yang tak terlalu besar, Darren bisa memindahkannya ke mana-mana. Ia berniat menunggu kopi difilter sambil duduk-duduk di balkon lantai dua.
Darren sempat mengecek kamar putrinya, curiga kalau Zevanya belum tidur padahal besok pagi masih harus sekolah. Puas mendapati ternyata Zevanya sudah terlelap di bawah selimut, Darren melanjutkan perjalanan ke balkon.
Langit malam ini mendung. Namun, mendung tidak selalu menjadi pertanda akan turun hujan. Darren menunggu kopinya siap sembari menyalakan rokok. Ia menyandarkan tubuhnya ke pagar balkon sambil menonton pemandangan sekeliling kompleks saat malam. Ketika ia menoleh ke kanan, pemandangan kebun belakang Didi mengalihkan perhatiannya.
Sama seperti kamar Zevanya, sebelah balkon juga berbatasan langsung dengan rumah Didi. Cukup lama ia memerhatikan sayuran hijau, tanaman buah, dan bunga-bunga yang ditanam Didi secara hidroponik dalam kotak-kotak kayu besar yang terpisah. Cewek itu pandai berkebun. Terbukti dari semua tanaman di kebun belakangnya yang kelihatan subur.
Ketelatenan Didi membuat rumahnya selalu tampak teduh dan dingin meskipun tanpa air conditioner. Berbanding terbalik dengan keadaan rumah Darren yang hampir selalu bergantung pada alat pendingin ruangan selama 24 jam penuh setiap harinya.
Ekor mata Darren menangkap bayangan yang bergerak di patio. Laki-laki itu memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Didi berjalan menyeberangi kebun sambil membawa sebuah baki yang terisi penuh oleh batok kelapa. Di dalamnya berisi benda cokelat kehitaman mirip karamel pekat. Darren familier dengan bentuknya. Lelaki itu tak dapat menahan senyum karena menyadari kalau Didi berbohong tentang menggunakan sari tebu sebagai bahan pembuat minuman keras.
Didi menggunakan semua sari tebu yang dibelinya tadi sore untuk membuat gula merah. Gula merah di dalam batok kelapa itu jumlahnya menyusut karena dipanaskan. Didi memasaknya selama berjam-jam dan terakhir tinggal mendinginkannya di luar.
Darren mengecek jam tangan. Sudah hampir tengah malam dan Didi masih sibuk. Darren kagum dengan kelincahan tetangganya itu. Di balik perangai tak ramah yang ia perlihatkan sehari-hari, Didi punya potensi luar biasa. Cewek itu seorang wiraswasta, punya waktu untuk berkebun dan mengurus rumah, mengurus dua hewan buas, serta masih sempat membuat gula merah sampai tengah malam begini.
Darren ingat sekarang hari Minggu, waktunya orang-orang beristirahat menikmati akhir pekan. Sementara itu, Didi tetap bekerja seperti tak ada hari esok. Cukup lama Darren memerhatikannya hilir mudik di sekitar kebun dan patio.
Selesai dengan gula merah, cewek itu membereskan perlengkapan berkebun yang tak sempat disimpan di gudang. Menyadari sudah tidak ada lagi yang dapat dikerjakan, Didi berdiri di tengah-tengah kebun, memandangi semua tanamannya yang tumbuh subur. Dalam waktu beberapa hari, mungkin ia sudah bisa panen sayuran. Cewek itu mendongakkan kepala ke langit sambil memejamkan mata. Wajahnya kelihatan amat lelah. Ia menepuk-nepuk kedua bahunya bergantian dengan tangan yang terkepal.
"You really need a rest," Darren bergumam tanpa sadar.
Seakan-akan mendengar ucapan Darren barusan, Didi menoleh ke arah balkon rumah Darren, membuat lelaki itu salah tingkah karena ketahuan mengamati sejak tadi. Darren pura-pura sibuk dengan saringan kopinya. Sesekali ia melirik kebun Didi, cemas kalau cewek itu tersinggung atau merasa kesal karena tahu dirinya diawasi. Ketika hendak menyeruput kopi, Darren sengaja memutar kepalanya ke kanan lagi. Kalau mereka bertemu pandang, ia akan menyapa saja.
Sayangnya, Didi sudah tidak terlihat di mana pun. Lampu pationya juga sudah dimatikan.
***
Pagi itu, Darren hampir mematahkan lehernya sendiri karena terpeleset jatuh saat sedang buru-buru. Ia baru ingat kalau harus pergi ke luar kota tepat setelah membuka mata pagi ini. Penerbangan sudah dipesan jauh-jauh hari oleh manajernya. Dan sekarang, ia hampir ketinggalan pesawat.
Taksi yang dipesan Bu Imah telah menunggu cukup lama di depan rumah, beberapa kali membunyikan klakson agar si empunya rumah segera keluar. Untungnya Bu Imah sigap memberi tahu sang sopir agar menunggu sebentar lagi.
Zevanya baru saja menghabiskan sarapan dengan wajah lesu. Ayahnya tak akan bisa mengantar jemput hari ini. Darren mungkin lupa dengan perdebatan mereka malam akhir pekan lalu. Jadi, ia merasa tidak perlu minta maaf atau membuka percakapan tentang masalah itu. Padahal, perasaan Zevanya masih gelisah tak menentu karena tidak diizinkan mengunjungi rumah Didi lagi.
"Daddy lagi buru-buru. Maaf, hari ini nggak bisa anter jemput kamu." Darren mengeluarkan dompet untuk mengambil dan meletakkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribuan di hadapan Zevanya. "Dua ratus ribu buat kamu naik taksi. Pulang pergi. Seratusnya jajan."
Lelaki itu baru akan melipat dompetnya lagi saat merasa buruk meninggalkan Zevanya dengan uang seadanya. Darren memang tidak berniat pergi lama, tetapi tetap saja rasanya tak nyaman membiarkan anaknya hanya pegang uang segitu.
"Ini, Daddy kasih lebih. Kalau masih ada sisa, kamu tabung." Darren meletakkan beberapa lembar lagi. Bu Imah bisa menghubunginya kalau Zevanya perlu uang lagi untuk beli sesuatu. "Besok pagi Daddy pulang. Take care, ya."
Ia mengecup puncak kepala Zevanya sekilas sebelum tergesa pergi. Darren menghampiri Bu Imah yang baru saja kembali dari pintu depan. "Bu, tolong telponin taksi buat Zee. Terus, jangan kasih dia makan pizza! Saya tinggal dulu. Besok pagi saya pulang."
Bu Imah mengangguk mendengar penjelasan Darren.
"Hati-hati di jalan, Pak!" Bu Imah meninggikan suaranya karena Darren sudah berlari menuju pintu depan tempat taksinya menunggu sejak tadi.
***
Didi baru keluar dari gerbang kayu yang menghubungkan kebun dengan halaman depan rumah. Tangan kanannya membawa kantong sampah hitam yang cukup besar. Isi kantong itu nantinya akan ia pisah-pisahkan sebelum dimasukkan ke tempat sampah daur ulang yang ada di depan rumahnya. Didi sebenarnya tidak bermaksud memerhatikan rumah sebelah. Kepalanya otomatis saja menoleh saat kedua tangannya sibuk memilah-milah sampah. Kegiatan memilah sampah terhenti sejenak ketika dilihatnya Darren keluar rumah dengan tergesa. Sebuah taksi sudah menunggu di depan.
Berbeda dengan kemarin-kemarin, kali ini Didi melihat penampilan Darren yang agak lain. Lelaki itu mengenakan kaus warna pastel di balik jas biru gelap berbahan satin. Penampilannya sangat rapi dibandingkan hari-hari biasa. Bahkan, rambut man bun-nya juga terkesan sengaja dimodel lebih stylish. Sebelum masuk ke kursi penumpang, Darren sempat bertemu pandang dengannya. Senyum lelaki itu otomatis merekah, membuat wajah Didi semakin kaku karena gugup.
"Morning, Di!" sapanya ramah.
"Morning." Suara Didi berupa gumaman tak jelas.
Lelaki itu menunjuk jam tangannya. "Gotta go," ujarnya tanpa suara. Didi mengangguk, masih dengan tatapan hampa. Ia tak benar-benar menyadari apa yang terjadi sampai taksi yang ditumpangi Darren menghilang dari blok mereka.
"Mbak Didi, itu tetangga baru, ya?"
Didi dikejutkan oleh kedatangan ibu tetangga sebelah blok, si Ibu Nomor Tiga yang sering nongkrong dekat taman bermain kompleks. Wanita paruh baya itu terus mengamati rumah Darren. "Denger-denger duda. Bener?" tanyanya penasaran. "Katanya masih muda, tapi udah jadi single parent!"
"Ada apa ke sini, Bu?" Didi tidak berminat mengobrol panjang lebar pada si Tetangga Kepo. Ia harus pergi bekerja setelah menyelesaikan sampah-sampahnya.
"Mau beli sayur, dong, Mbak. Yang lagi panen apa?"
Didi menggeleng. "Belum ada yang bisa dipanen. Tapi, ada selai stroberi."
"Nah, boleh, tuh! Stroberi Mbak Didi manis-manis biasanya. Selain selai, ada apa lagi?"
"Gula merah. Baru jadi."
"Saya beli seperempat kilo deh, Mbak. Mau dipake bikin bubur. Menantu saya kan abis ini acara tujuh bulanan. Nggak rame-rame." Si Tetangga terkekeh. "Ngomong-ngomong, Mbak ... Mas duda ini umurnya berapa, tau?"
"Saya ambil selai sama gula merah dulu, Bu." Didi melepaskan kantong sampahnya, lalu berbalik ke dalam rumah.
"Saya boleh ikut ke dalem, Mbak?" Tak disangka, si Tetangga justru mengekor di belakang Didi. "Pengen liat-liat kebunnya Mbak Didi, sekalian pengen belajar—"
"Di rumah saya ada ular sama tarantula, Bu. Mereka suka gigit."
Peringatan Didi membuat ibu nomor tiga menghentikan langkah. Ekspresinya agak kaget. "Saya tunggu di teras aja kalo gitu." Ia mendudukkan dirinya di kursi rotan yang tersedia di teras Didi.
Tanpa mengatakan apa-apa, Didi masuk rumah. Tak sampai lima menit, cewek itu keluar lagi dengan sebuah paper bag yang terbuat dari koran bekas berisi pesanan si Tetangga.
"Berapa, Mbak Didi?" tanya si Tetangga saat menerima paper bag dari Didi.
"Selainya dua puluh ribu. Saya kasih yang ukuran agak gede buat anak-anak Ibu. Gula merahnya gratis."
Ibu tetangga tampak senang. Ia memukul pelan lengan Didi. "Aduh, baik banget sih, Mbak! Jangan begitu! Udah, saya bayar aja. Biar Mbak Didi nggak kapok jualan produk organik ke tetangga sendiri."
Ekspresi Didi hampir sama dengan tembok di belakangnya, datar. "Nggak usah, Bu. Saya buru-buru mau berangkat kerja." Ia memaksakan sebuah senyum kaku.
Wanita itu menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan kepada Didi sebelum berpamitan. Sebuah taksi lewat dan berhenti di depan rumah Darren. Kali ini taksi yang berbeda. Zevanya keluar dari pagar dengan kepala tertunduk. Anak itu sudah bisa berjalan normal seperti sediakala. Hanya saja, wajahnya tampak tidak bersemangat.
"Anaknya manis banget. Katanya lama tinggal di luar negeri, ya?"
Didi melirik si Tetangga yang ternyata belum juga pergi dari rumahnya.
"Bisa bahasa Inggris nggak, ya, Mbak? Kalo pinter 'kan lumayan, anak saya yang bungsu biar saya suruh bergaul sama dia. Supaya konversesyennya lancar kayak bule," lanjut si Ibu Nomor Tiga. Menyadari Didi masih memandanginya dengan tatapan mengusir, akhirnya ia berpamitan lagi.
"Duluan, Mbak Didi. Makasih."
Didi hanya mengangguk samar.
***
Didi menghela napas panjang begitu mengetahui salah satu lembar halaman yang ia kerjakan ada yang robek. Perlahan, ia mengeluarkan halaman yang bermasalah dari wadah air panas. Kemudian, ia mengambil sebungkus tepung beras dari dalam kabinet agar bisa dituangkan ke dalam mangkuk kecil dan diberi air sampai berubah menjadi pasta. Pasta tepung beras itu akan dijadikan sebagai perekat.
Dari dalam kabinet yang sama, ia mengambil gulungan kertas tisu impor dari Jepang. Lembarannya sangat tipis dan agak transparan menjadi bahan yang cocok untuk menambal halaman buku yang robek tanpa perlu mengganti dengan halaman yang lain.
Didi mengoleskan pasta tepung dengan kuas lembut di permukaan tisu tipis. Jumlahnya tidak terlalu banyak agar tidak menggumpal. Setelah perekatnya rata, Didi menempelkannya di lembar buku yang robek dengan amat hati-hati. Karena permukaannya transparan, tisu itu bekerja dengan baik tanpa menutupi tulisan-tulisan yang ada di lembaran.
Ketika mengangkat kepalanya, tanpa sengaja Didi melihat ke arah layar yang menunjukkan rekaman CCTV. Di undakan depan pintu masuk, tengah duduk seorang anak perempuan yang tampak familier. Didi memerhatikannya cukup lama hingga mengenali anak itu sebagai Zevanya.
"Zee?"
Zevanya menegakkan punggung, lalu menoleh ke asal suara. Di belakangnya, Didi berdiri di antara pintu toko yang setengah terbuka. Anak itu terkejut karena tak menyangka bertemu Didi di sini.
"Daddy-mu yang ngasih tau aku kerja di sini?"
Selaras dengan isi kepala Zevanya, Didi menyuarakan kecurigaannya.
Anak itu menggeleng pelan. Sorot matanya layu tanpa binar. Berbeda dengan terakhir kali saat Didi menyuruhnya membantu panen buah stroberi. Bahkan, sewaktu ia bertengkar dengan Darren, Zevanya tidak seloyo ini.
"Mana sepatumu?" Didi memandangi kedua kaki Zevanya yang hanya beralaskan kaus kaki putih setinggi mata kaki. Bagian bawahnya sudah menghitam karena kotor. Zevanya mengatupkan kedua kaki dan meletakkan tas ransel di depan, bermaksud menutupi. Tingkah Zevanya yang tidak biasa mau tak mau membuatnya penasaran.
"Masuklah!"
Hanya perlu waktu kurang dari semenit bagi Zevanya untuk mempertimbangkan tawaran Didi. Ia bangkit berdiri dengan kepala masih menunduk. Outer seragamnya sudah dilepas entah sejak kapan dan kini bagian kedua lengannya diikat di sekeliling pinggang. Penampilan Zevanya benar-benar ganjil siang ini.
"Ke sini naik apa?" tanya Didi ketika Zevanya sudah melewati pintu dan menutupnya.
"Taksi."
"Kok, nggak langsung sampe rumah?"
"Uangnya nggak cukup. Tadi aja kurang lima belas ribu." Zevanya menjawab masih sambil menunduk.
Menyadari kalau suasana hati Zevanya tidak terlalu bagus, Didi memutuskan untuk tidak bertanya lagi. "Aku punya snack di atas."
Tanpa menunggu respons Zevanya, Didi memutar tubuhnya untuk kembali ke lantai dua.
"Didi ...." Suara Zevanya mirip cicitan. Untung telinga Didi lumayan sensitif. Cewek itu berbalik, menunggu Zevanya meneruskan, "I had a bad day. Can I ... get a hug?"
Cuping hidung Zevanya kembang kempis. Ia berusaha keras menahan tangis. Sebelum Didi sempat menjawab, kedua matanya sudah berkaca-kaca. Ia buru-buru mengusap kedua mata dengan lengan seragam. Didi melangkah mendekat untuk membiarkan tubuhnya dipeluk oleh Zevanya.
"Ada apa?" Walau masih dengan nada datar, hati Didi sebenarnya sudah luluh. Pulang dalam keadaan tak bersepatu jelas menunjukkan kalau sesuatu telah terjadi kepada Zevanya.
"Maaf, Zee nggak tahan. Peluk sebentar lagi, ya? Satu menit."
"Sure," gumam Didi. Satu tangannya terangkat hampir menyentuh kepala anak itu, tetapi sesuatu menahannya. Jantung Didi berdegup kencang, rasanya menyakitkan. Padahal, Didi tidak suka dan tidak berpengalaman menghadapi anak-anak, apalagi remaja. Sesuatu pada Zevanya membuat Didi teringat masa kecilnya, kenangan masa lalu yang seharusnya sudah memudar seiring pertambahan usia. Pelukan di sekeliling pinggang Didi semakin erat. Zevanya menenggelamkan wajahnya di perut Didi tanpa sungkan. Bahunya bergerak naik turun. Anak itu menangis.
"Tell me, Zee. What happened to you?" Pertanyaan Didi membuat tangisan Zevanya makin keras.
"Bad ... day ...," jawab Zevanya di sela-sela tangisnya. Suara anak itu teredam di balik perut Didi. "I'm sorry I made your clothes wet and wrinkled."
Didi menarik bahu Zevanya, membuat anak itu terkejut. Ia semakin merasa bersalah karena telah mengotori baju Didi. Yang tak ia sangka, Didi berlutut di depannya. Kedua bahunya masih dipegang oleh Didi.
"What happened to you?" ulang Didi sekali lagi sambil mengamati wajah sembap Zevanya. "Di mana sepatumu?" tanyanya, "Kenapa uangmu nggak cukup buat bayar taksi? Darren nggak ngasih kamu uang saku?"
Zevanya berusaha keras meredakan tangisnya. Bukannya berhenti, ia malah sesenggukan dan mengakibatkan ingusnya keluar. Didi mengambil saputangan yang tergeletak di meja kasir agar bisa diberikan kepada anak itu.
"I ... was bleeding. And ... I think I still am," ujar Zevanya memulai.
"Di mana?" Didi mengamatinya dari kepala sampai kaki. "Lukanya di mana?"
Zevanya mengurai simpul outer seragam sekolah yang melilit perutnya. Kemudian, ia melepaskan tas ransel dan meletakkannya di lantai. Didi menurunkan tangan dari kedua bahu Zevanya, menunggu. Anak itu membalikkan badan. Kini, Didi tahu di mana tepatnya darah yang dimaksud Zevanya.
"Menstruasi pertama?" Didi bertanya tenang sambil mengamati noda darah yang melebar di permukaan rok seragam anak itu.
"Ini ... menstruasi?"
Didi mengangkat pandangannya. "Kamu nggak tau menstruasi itu apa?"
Wajah Zevanya sontak memerah. "Of course, I know!"
Tetangganya itu menghela napas berat. Ia bangkit berdiri. Kini, Zevanya kembali menghadapnya. Wajah anak itu merah dan sembap. Jejak air mata masih basah.
"Ikut aku ke atas." Didi tak menunggu respons Zevanya karena tahu anak itu pasti mengikutinya.
***
"Ini siklus alami perempuan. Kamu harus tau caranya membersihkan dirimu sendiri." Didi memimpin jalan ke toilet lantai dua. Di tangannya sudah ada sebungkus pembalut dan celana legging hitam. "Aku nggak nyimpen sabun cuci di sini, tapi kamu bisa pake sabun cuci tangan karena ini darurat."
Zevanya memandangi pembalut dan celana yang diulurkan padanya. "Can I just change and let Bu Imah wash it at home?" tanyanya ragu.
Didi meletakkan bawaannya di wastafel. "Kebersihanmu jadi tanggung jawabmu sendiri. Kamu emang masih kecil, tapi seiring waktu kamu akan jadi dewasa. Orang dewasa nggak membiarkan dalaman bekas haidnya dicuci orang lain."
"Tapi ... Zee nggak pernah nyuci baju."
"Aku nggak minta kamu nyuci baju kayak Bu Imah. Kamu cuma perlu ngucek bekas darahnya sampai hilang pake air sama sabun, terus kamu masukin ke dalam sini." Didi menunjuk tas mirip paper bag tahan air. "Nanti kamu kasih ke Bu Imah biar dicuci ulang sampe bersih. Rok, celana dalam, dan semua yang kena darah."
Ia membuka lipatan legging di wastafel, di mana sebuah celana dalam warna putih berbahan katun terselip di sana. "Belum pernah kupake karena kekecilan. Buat kamu. Tau caranya masang pembalut?"
Zevanya menggeleng. Tentu saja ia tidak tahu.
"Ini pembalut yang paling praktis. Tempelin permukaan yang ada perekatnya ke celana dalam. Bisa langsung dipake." Didi mempraktikkan cara memasang yang baik dan benar kepada anak itu. "Rasanya bakal ganjil dan aneh. Get used to it. Ada pertanyaan?"
"Umm ... not sure." Zevanya setengah bergumam. Perasaannya campur aduk saat ini.
"Kamu bisa nanya apa pun ke aku. Nanti, setelah kamu kelar membersihkan diri." Didi berjalan menuju pintu. "Call me if you need anything. Aku di luar."
Ia sengaja menunggu beberapa detik sebelum menutup pintu.
Zevanya melangkah keluar dengan tidak nyaman. Sesekali ia membetulkan celana di bagian bokongnya. Legging Didi berbahan karet, jadi kainnya memeluk kaki Zevanya dengan pas. Hanya bagian pinggang saja yang harus dililit beberapa kali agar bagian bawah tidak kedodoran. Didi meletakkan secangkir cokelat hangat yang baru dibuat ke meja. Lewat isyarat kepala, Didi menyuruh anak itu duduk di kursi yang ia siapkan.
"How do you feel?" tanyanya.
"I don't know."
"Kalo kamu ngerasa gloomy and blue at the same time without reason, itu normal. Hormonmu lagi naik turun."
"Didi ...."
"Ya?"
"I feel gloomy and blue with reason."
Didi menarik kursi di sebelah Zevanya, lalu duduk di sana. "Mau membicarakannya denganku?"
Anak itu menunduk. Kedua tangannya memilin ujung seragam yang sudah kusut. "Sepatu Zee diambil."
"And?"
"Zee takut Daddy marah. Sepatu itu 'kan baru beli."
"Siapa yang ngambil sepatumu?"
"Teman-teman Zee."
"Alasannya?"
"Mereka bilang sepatu Zee bagus. Mahal. Jadi, mereka mau pinjam. Waktu pulang nggak dibalikin. Zee udah nungguin, tapi mereka nggak muncul."
"Mereka teman-teman sekelasmu?"
Zevanya menggeleng. "Kakak-kakak kelas tiga."
Sejarah berulang. Didi tidak terkejut sama sekali. "Kamu bilang tadi nggak bisa bayar taksi. Darren nggak ngasih uang saku?"
"Daddy ngasih Zee uang, kok. Lima ratus ribu buat jajan sama ongkos pulang pergi. Tapi, uangnya udah habis."
"Buat?"
"Traktir kakak-kakak kelas tiga di kantin sama minimarket."
Didi menyandarkan punggung ke kursi sambil menyilangkan kaki. Tanpa sadar, ia telah mendengkuskan sebuah tawa kecil. Zevanya masih enggan mengangkat kepalanya.
"They said, I'm cool because I was from New York City. They said I could join their club to be more popular. Only if I passed the initiation," lanjut Zevanya setengah bergumam. "Sewaktu rok Zee berdarah, semua orang pada jauhin Zee. Kata mereka, Zee disgusting. Zee udah nahan-nahan supaya nggak nangis di sekolah." Ia mengusap wajahnya yang lagi-lagi basah. "I hate school."
Didi memandangi Zevanya lekat-lekat seakan-akan sedang memandangi dirinya di masa lalu. Cewek itu bangkit berdiri untuk menghampiri sebuah kabinet di seberang mereka. Tak berapa lama, ia mengeluarkan beberapa bungkus cokelat berbeda merek. Didi meletakkan cokelat-cokelat itu di hadapan Zevanya.
"Kalo aku PMS biasanya pengen makan yang manis-manis," ujarnya.
"PMS itu apa?"
"Premenstrual Syndrom. Gejala waktu kita ngerasain sakit secara fisik dan emosi menjelang haid. Kalau darahnya sudah keluar tapi disertai kram perut, namanya dismenorea atau nyeri haid."
"Darahnya banyak banget. Apa Zee bakal mati kehabisan darah?" Seakan-akan sedang menunjukkan kekhawatirannya, wajah Zevanya pucat pasi.
"Nggak akan bikin kamu langsung mati. Biasanya cuma lemas, capek, perut kram, badan nyeri, pinggang sakit. Pokoknya nggak nyaman, but you will manage." Didi membuka sebungkus cokelat sebelum mengulurkannya kepada anak itu. "Menstruasi terjadi karena sel telur kamu nggak dibuahi oleh sperma laki-laki. Dinding rahim kamu luntur."
"Ah, Zee sering dengar ini dari guru Biologi Zee."
Didi mengangguk. "Kalau dibuahi oleh sperma, kamu nggak akan menstruasi. Sebagai gantinya kamu hamil selama sembilan bulan."
Selagi mendengarkan penjelasan Didi, Zevanya makan cokelat. "Gimana caranya sel telur dibuahi sperma?"
"Melalui hubungan seksual, intercourse. Hanya terjadi kalau laki-laki dan perempuan berhubungan intim hingga menghasilkan sperma. Sperma berenang menuju sel telur perempuan. Penggabungan itu menghasilkan zigot, bakal calon bayi. Intercourse hanya boleh terjadi pada pasangan yang sudah menikah. Kalau belum, disarankan dengan pengaman seperti kondom dan after pills. Seks bebas dengan partner yang berbeda-beda bisa menimbulkan resiko penyakit kelamin dan kehamilan yang nggak direncanakan." Didi berdeham kecil untuk melumasi tenggorokannya yang tiba-tiba serak dan kering. Ia tidak terbiasa bicara sebanyak itu. Ia bangga kepada dirinya sendiri.
Kunyahan cokelat di mulut Zee berhenti. "Jadi, baby muncul bukan karena sentuhan dan pelukan sama cowok?"
Zevanya anak yang lumayan cerdas. Ia mudah mengerti apa yang baru dijelaskan Didi kepadanya karena terdengar lebih sederhana daripada penjelasan guru Biologi di sekolah.
Didi menggeleng. "Sentuhan dan pelukan dilakukan sebagai wujud kasih sayang. Yang boleh nyentuh dan meluk kamu juga nggak sembarangan. Selain keluarga dan teman cewek terdekat, kamu harus nolak, ngerti?"
"Masa, sih? Zee sering pelukan sama temen-temen Zee waktu di New York."
"Kalau pelukan itu membuat kamu merasa nyaman, nggak masalah. Tapi, kalau pelukannya bikin kamu terus-terusan merasa aneh dan nggak nyaman, sebaiknya disudahi. Trust your gut."
Setelah satu bungkus cokelat habis, tangan Zevanya mencomot cokelat lain yang sudah dibukakan oleh Didi. Anak itu punya sweet tooth atau kesukaan terhadap makanan manis. Giginya tidak mudah ngilu atau sensitif jika dipakai mengunyah makanan berkadar gula tinggi.
"Kalau orang pacaran bisa punya anak, nggak?" tanya Zevanya lagi.
"Bisa, kalau mereka melakukan hubungan seksual."
"Zee nggak mau punya anak, kan, masih kecil."
"Daddy kamu juga nggak akan suka kalau kamu punya anak di usia segini. Resiko kesehatannya besar. Tubuh kamu belum siap, terlalu muda."
Sambil mengunyah cokelat, Zevanya memandang sekeliling. Ia baru menyadari sekitarnya setelah perasaannya membaik habis makan cokelat. Ruang kerja Didi terang benderang. Banyak buku dan alat-alat yang tak Zevanya mengerti fungsi atau kegunaannya.
"Ini tempat apa?"
"Toko buku." Jawaban Didi membuat dahi Zevanya berkerut.
"Kok, buku yang dijual sedikit? Dimasukin ke dalam kaca. Nggak ada buku cerita kayak di toko buku biasanya."
"Yang kujual cuma buku-buku bekas."
Zevanya mengangguk-angguk mengerti. "Tempatnya keren."
Didi menegakkan tubuhnya. Ia memiliki firasat buruk jika membiarkan Zevanya terlalu lama berkeliaran di Carpe Diem. Semua barang di toko ini berharga sekaligus rapuh. Didi khawatir Zevanya menyentuh barang-barangnya dan berakhir rusak.
"Kuantar pulang?" tawar Didi kemudian.
Zevanya menggeleng pelan. "Boleh ke rumah Didi aja, nggak?"
Didi mengangguk. "Kebetulan aku juga mau mandiin Darren."
Kedua mata Zevanya otomatis berbinar. Bibirnya belepotan cokelat. "Zee boleh ikut mandiin? Please, please?"
Melihat perubahan suasana hati Zevanya yang membaik, mau tak mau membuat Didi tersenyum tipis. Ia mengangguk.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top