4 | CARPE DIEM

MESKI punya penghasilan sendiri, sampai detik ini Didi masih belum memiliki kendaraan pribadi. Jangankan mobil, motor saja tidak punya. Satu-satunya alat transportasi yang dimilikinya hanya sebuah sepeda gunung. Itu pun jarang digunakan.

Untungnya, tempat kerja Didi berlokasi di dekat pintu masuk kompleks. Jaraknya tidak jauh dari rumah. Tempat kerja Didi itu berupa sebuah bangunan ruko yang dibelinya beberapa tahun lalu lewat lelang bank. Ruko itu dulunya dijadikan jaminan pinjaman salah satu nasabah bank sebelum akhirnya gagal bayar dan dilelang dengan harga murah. Bapak yang memberinya informasi tentang ruko itu secara diam-diam tanpa sepengetahuan ibu. Bapak juga yang berinvestasi kepadanya agar bisa membeli ruko itu secara tunai.

Karena lokasi yang tidak jauh, Didi cukup berjalan kaki selama kurang dari sepuluh menit menuju ruko yang kini telah diubah menjadi sebuah toko buku. Berbeda dengan jaringan toko buku milik orang tuanya, toko Didi khusus menjual buku-buku klasik atau langka. Karena itu, pelanggannya kebanyakan berasal dari golongan kolektor atau orang-orang yang punya ketertarikan di bidang sastra.

Pagi itu, Didi menarik sebuah koper berat yang belum ia bongkar sejak pulang dari India. Setelah festival Yatra berakhir, Didi punya waktu dua hari untuk berburu buku-buku incarannya. Buku-buku itu sulit didapatkan sehingga ia minta bantuan beberapa kenalan agar pada hari yang ditentukan, Didi tinggal bertransaksi tanpa repot-repot mencari lagi.

"Mbak Didi!"

Didi menoleh karena namanya dipanggil. Tiga orang ibu-ibu sedang berkumpul di bawah pohon mangga dekat taman bermain. Mereka duduk-duduk sambil mengobrol ketika melihat Didi lewat. Karena panggilan itu, Didi terpaksa menghentikan langkah.

"Lama nggak keliatan, ke mana aja?" ujar salah satu ibu rumah tangga yang dikenal Didi sebagai Bu RT.

"Saya ke India."

Mereka saling berpandangan karena mendengar jawaban Didi barusan. "Acara apa, Mbak?"

"Ikut festival agama," jawab Didi.

"Sejak kapan Mbak Didi jadi Hindu?"

Didi tidak menjawab. Tanpa berpamitan, ia melanjutkan perjalanannya.

"Ya ampun, berapa tahun tinggal di sini tabiatnya nggak berubah-berubah!" gerutu Bu RT setelah punggung Didi menjauh.

"Saya nggak pernah liat Mbak Didi sholat di masjid, sih." Ibu nomor dua coba mengingat-ingat. "KTP-nya agama apa, sih, Bu?"

"Kosong. Suami saya nggak pernah datengin dia buat konfirmasi. Kata suami saya, agama itu perkara privasi orang sama Tuhannya. Kalo mau kosong, ya, sudah kosong."

"Kok, begitu, Bu? Mbak Didi kafir?" Ibu nomor tiga ikut nimbrung.

"Hush! Kok, gampang ngafirin orang, sih?"

"Kalo kosong berarti dia nggak percaya adanya Tuhan."

"Tapi, kan, kita semua denger kalo Mbak Didi ke India ikut festival agama. India mayoritas Hindu, lho."

"Di India sebelah mana? Di sana juga banyak yang Islam."

Bu RT mulai risih dengan obrolan tentang agama ini. "Sudah, sudah. Jadi bahas agama begini. Itu tadi, lho ... gimana? Arisan minggu depan lebih baik diundur hari Sabtu aja, gimana? Kalo hari Jumat itu banyak yang nggak bisa dateng. Kan, Bu Sasono sama Bu Ros kerja. Masa ditinggal?"

"Saya setuju hari apa aja, Bu. Tapi, saya pernah lho liat Mbak Didi tatoan."

Bu RT dan ibu nomor dua menajamkan telinga. "Tato?"

Topik arisan bisa ditunda sejenak.

Ibu nomor tiga, si Sumber Informasi, mengerling penuh arti. "Saya pernah beli sayur kale hidroponik dari Mbak Didi. Setiap dia berkebun, nggak pake baju tertutup kayak biasanya."

"Emang pake baju apa?" tanya Bu RT penasaran.

"Anu ... daster panjang yang keliatan keteknya itu, lho."

"Kayak punya kita?"

"Enggak. Polosan. Warna kuning yang terakhir saya liat."

"Tatonya gambar apa?"

"Kayak aksara jawa gitu. Di sini ...." Ibu nomor tiga menepuk lengan kanan bagian dalamnya. Kemudian, ia memiringkan tubuh untuk menunjukkan bahu bagian belakang. "Yang di sini gambar Dewa Hindu yang banyak simbolnya."

"Nah, berarti betul dugaan saya, Mbak Didi Hindu," timpal Bu RT.

Ibu nomor tiga masih meneruskan, "Tapi, di pergelangan satunya ...." Ia menepuk pergelangan tangan bagian dalam sebelah kiri. "Ada tato kecil gambar pagoda warna-warni. Identik dengan Budha, 'kan?"

Tiga wanita itu kompak menyandarkan punggung di kursi taman. Mereka geleng-geleng kepala. Tebakan tentang agama yang dianut Didi gagal menemui kesimpulan.

***

Carpe Diem.

Itu adalah nama yang dipilih Didi untuk toko bukunya. Diambil dari puisi berbahasa latin karya Quintus Horatius Flaccus atau dikenal dengan nama Horace. Jika dialih bahasakan artinya sama dengan seize the day atau manfaatkan harimu sebaik mungkin. Para pelanggan yang menelepon Didi sering keliru melafalkan namanya menjadi capek diem. Untuk menyiasati para pelanggan sebelum salah sebut nama, biasanya Didi memulai dengan:

"Hallo, dengan kar-pe-di-yem, ada yang bisa dibantu?" Ia meletakkan kopernya di sebelah meja kasir untuk mengangkat telepon yang tak henti-hentinya berbunyi sejak dirinya membuka toko.

"Di sini jual koleksi klasik, ya?"

"Betul."

"Karyanya ... Leo Tolstoy yang asli bahasa Rusia ada? Cetakan pertama."

Didi tak perlu membuka katalog untuk mengetahui buku yang dimaksud. "Anna Karenina?"

"Iya, iya betul. Yang tahun 1800-an itu, lho! Tentang skandal—"

"Kami punya cetakan pertama edisi tahun 1878. Salah satu dari 6.000 copy yang pernah dicetak di tahun yang sama. Super langka. Berbahasa Rusia. Kami juga punya cetakan pertama edisi Amerika. Berbahasa Inggris. Dua-duanya refurbished alias udah diperbarui."

Satu-satunya hal yang membuat Didi bersedia bicara lebih dari dua-tiga kalimat adalah jika ia sedang bekerja, menjelaskan kepada pelanggan tentang koleksi buku klasik yang dimilikinya.

"Yang edisi Rusia harga berapa?"

"Enam puluh dua juta nego."

"Kok, mahal?"

"Cetakan pertama. Edisi pertama. Sebelum ditulis ulang oleh Count Tolstoy sendiri."

"Kalo yang edisi Amerika?"

"Empat puluh tiga juta. Di eBay lebih murah sepuluh juta, tapi nggak bergaransi."

"Aduh, budget saya nggak segitu. Pasnya berapa, deh?"

"Nett masing-masing diskon lima ratus ribu. Gratis ongkir."

"Kenapa mahal banget, sih?!"

"Kalo mau cari murah, beli di toko buku yang jual cetakan Penguin koleksi klasik. Harganya nggak nyampe tiga ratus ribu yang paperback." Ia memberi saran tentang penerbit Inggris yang punya cabang di beberapa negara di dunia. Buku cetakan mereka biasanya dijual di toko besar yang menjual buku-buku impor. "Di Lentera ada," lanjutnya kemudian.

"Terus refurbish alias diperbarui maksudnya gimana?"

"Kami memperbaiki buku-buku klasik cetakan pertama yang sudah rusak dan usang."

"Oh, kayak didaur ulang begitu?"

Didi enggan menjawab karena daur ulang merupakan pilihan kata yang kurang tepat untuk menggambarkan usaha apa saja yang ia lakukan untuk memperbaiki buku rusak.

Si penelepon berdeham. "Saya kira harganya nggak sampe satu juta ...."

Didi langsung menutup telepon. Tidak ada gunanya meladeni pelanggan yang sok tahu seperti penelepon barusan. Rata-rata pelanggan Didi merupakan kolektor buku klasik yang berani membayar mahal untuk buku atau jasa memperbaiki buku. Beberapa kali Didi sampai harus pergi ke luar negeri atas undangan universitas dan museum yang membutuhkan jasanya, untuk memperbaiki buku serta naskah klasik yang ditemukan dalam kondisi buruk tak terbaca.

Didi perlu waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu untuk memperbaiki satu buku. Waktu dan tenaga yang dikeluarkannya harus sebanding dengan harga jualnya. Apalagi ia sering kali pergi berburu buku-buku langka ke negara asal tempat buku diterbitkan pertama kali. Akomodasi ke negara-negara itu tidak murah.

Setelah menyalakan semua lampu dan pendingin ruangan, Didi membongkar koper di antara rak-rak kaca yang didesain khusus untuk memajang dagangannya. Buku-buku itu tidak disusun secara vertikal, melainkan dipajang seperti karya seni di museum. Setiap pajangan mewakili satu judul.

Tidak seperti toko buku kebanyakan, toko Didi hanya menjual buku-buku bekas yang langka. Beberapa dalam kondisi masih baik, tetapi kebanyakan dalam kondisi diperbarui alias refurbished. Lantai dua rukonya digunakan sebagai ruang kerja mirip laboratorium untuk memperbaiki buku yang rusak.

Ia mengeluarkan buku-buku dan naskah berbahasa Sanskerta dengan amat hati-hati, memastikan mana yang paling darurat untuk segera diperbaiki. Berbeda dengan buku-buku yang ia dapatkan dari hasil berburu di India, beberapa naskah berbahasa Sanskerta yang ia bawa merupakan titipan dari kenalan dosen salah satu universitas di India. Naskah-naskah itu terlindung plastik karena amat rapuh. Kenalannya di India memberikannya surat pengantar yang diterbitkan oleh universitas agar barang bawaan ini tidak disita oleh imigrasi karena dianggap sebagai usaha penyelundupan benda-benda langka.

Merasa ingin bekerja santai hari ini, pilihan Didi jatuh pada sebuah buku tebal berbahasa Sanskerta yang berisi karya sastra terkenal dan sering diadaptasi menjadi drama empat babak. Didi belum lancar membaca tulisan Sanskerta. Jadi, ia tidak terlalu paham apa yang ditulis dalam buku itu. Ia hanya sering mendengar ceritanya dari kenalan dosen di sana yang juga kebetulan jadi ahli sejarah. Kondisi buku itu masih lumayan baik. Didi hanya perlu memperbaiki sampul dan menempelkan ulang halaman-halamannya.

Buku itu dibawanya ke lantai dua. Ia tak merasa khawatir ruang display di bawah dimasuki pencuri karena semua sudut telah dipasangi CCTV. Lagi pula, siapa yang akan merampok toko buku di depan kompleks perumahan yang sepi ini? Hanya orang-orang tertentu yang paham tentang nilai benda langka saja yang mungkin tertarik.

Mencuci bersih dan melapisi kedua tangannya dengan sarung tangan karet menjadi kebiasaan pertama yang selalu dilakukan Didi sebelum mulai bekerja. Di tengah-tengah ruangan lantai dua telah dipasang sebuah meja panjang yang cukup lebar untuk jadi tempat eksekusi. Di belakangnya, ada meja panjang lain yang menyatu dengan dinding untuk menampung semua peralatan kerja miliknya.

Didi mengambil sebuah teko listrik untuk diisi dengan air dari dispenser sebelum dinyalakan. Ia mengambil alat-alat yang dibutuhkan dari kabinet untuk dipindahkan ke meja eksekusi sembari menunggu air panas.

Di meja eksekusi, Didi memisahkan sampul dari isi buku menggunakan pisau yang didesain khusus untuk memperbaiki buku. Bagian yang bertepi miring hanya ada di satu sisi, sementara sisi yang lain dibuat rata agar tidak melukai tangan saat menggenggam atau merusak buku yang sudah rapuh. Begitu sampulnya terpisah, Didi melepas perekat yang menjilid buku jadi satu sebelum membersihkan pinggirannya dengan amplas khusus juga. Menggunakan pisau ukuran lain, Didi memisahkan tiap lembar buku menjadi banyak bagian. Bagian pertama berisi dua puluh halaman. Hanya itu yang bisa ia kerjakan dalam tempo satu hari bekerja.

Ketika air dalam teko listrik sudah cukup panas, Didi mematikannya sebelum mendidih. Ia menuangkan air ke dalam wadah berdiameter lebar untuk merendam dua puluh halaman pertama yang ia kerjakan. Perlahan dan hati-hati , ia membersihkan tiap lembar halaman dengan bantuan microspatula serta kuas halus dari kotoran atau perekat yang tersisa.

Usai berjam-jam membersihkan tiap lembar halaman, Didi mengambil jeda istirahat untuk minum, makan camilan, dan membalas email. Jam-jam berikutnya ia habiskan untuk menebalkan warna sepuhan pada cap judul di sampul buku dengan bubuk emas.

Waktu menunjukkan jam setengah tiga sore saat ponselnya terus-terusan bergetar. Ia sengaja memasang ponsel dalam mode getar agar tidak terganggu oleh suara pesan selama bekerja. Menyadari kalau hari sudah hampir sore, Didi akhirnya mengangkat panggilan itu.

"Didi?" Suara ibu memenuhi telinganya.

"Ya, Bu?"

"Kenapa susah banget dihubungi? Kamu ke luar kota mana kemarin? Kok, nggak bisa ditelepon?" cecar ibu.

"HP Didi susah sinyal dua mingguan kemarin."

"Susah sinyal? Memang kamu pergi ke mana?"

"Ada apa Ibu telepon?" Didi mengalihkan topik dengan cepat. Ia bisa mendengar ibunya menghela napas panjang di seberang.

"Malam ini pulang, ya? Eyang dateng ngunjungin kita. Semua keluarga Bapak pada ngumpul buat makan malam di rumah."

"Kok, dadakan?"

"Dadakan gimana? Udah dari dua minggu lalu Ibu nyuruh kamu pulang buat makan malam keluarga! Kamunya aja yang susah dihubungi!"

Daripada mendengar ibu semakin mengomel, Didi melontarkan pertanyaan lain. "Jam berapa?"

"Jam enam. Tepat. Eyang nggak suka telat."

"Oke."

Mungkin ibu sedang amat kesal kepadanya. Jadi, beliau langsung mematikan telepon setelah Didi bilang bersedia datang.

***

Keluarga besar bapak tidak sesantai keluarga besar ibu. Mereka kaku, serius, dan sulit diajak bercanda. Bapak satu-satunya anggota keluarga yang tidak begitu. Sebagai gantinya, ibu yang mewarisi sifat kaku itu. Menurut hipotesis Didi, ibu begitu karena terbawa sifat mertua dan ipar-iparnya.

Alasan itu membuat Didi malas untuk datang acara makan malam keluarga. Ia sering absen tanpa pemberitahuan, membuat ibu selalu jengkel karena harus mengarang alasan kepada eyang. Malam ini, Didi sedang tidak ada keberanian untuk membuat ibu semakin kesal kepadanya.

Setelah mendapat telepon ibu, Didi menutup tokonya lalu pulang ke rumah. Sore-sore begini biasanya ia habiskan untuk mengurus kebun sampai senja datang. Sesampainya di rumah, Didi langsung berganti seragam berkebun yang berupa baju terusan berbahan katun tanpa lengan sepanjang betis. Hanya pada saat berkebun saja ia mau mengenakan baju terbuka begini demi efisiensi. Sebelum pergi ke kebun, Didi sempat menengok Nanna yang sedang pulas di goanya. Karena tidak bisa mengajak Nanna bermain, Didi mengeluarkan Darren untuk berjemur di bawah matahari sore.

"You look brightly pretty with that hat and sundress!"

Seperti terakhir kali, Zevanya turun dari kamarnya lewat jendela. Kemarin malam, Didi meletakkan sebuah tangga di bawah jendela anak itu dengan anggapan Zevanya akan tetap nekat turun meski cederanya belum sembuh. Salah satu kakinya masih dipasangi ankle brace. Bukan ankle brace dari Didi. Mungkin Darren atau dokter yang mengganti ankle brace itu.

Untungnya, tidak ada insiden berarti selama Zevanya turun ke kebun Didi. Si pemilik rumah hanya memerhatikan tak acuh sambil membetulkan posisi topi rotan lebar yang melindungi kepala dan lehernya dari sinar matahari. Tak lama, ia berbalik untuk memindahkan Darren ke tonggak kayu. Kaki Didi sudah terlindung oleh boots karet, sedangkan kedua tangannya dipasangi sarung tangan cokelat. Tanpa memedulikan Zevanya, Didi mulai memetik buah-buah pepaya muda yang masih kecil untuk dibuang sembarangan. Ia melakukan hal yang sama pada dua pohon pepaya berbatang pendek lain.

"Kenapa dibuang?" Zevanya memandangi pepaya-pepaya muda di tanah berumput.

Didi tak menoleh sama sekali. Selain membuang pepaya muda, ia juga mengambil dahan-dahan kecuali yang berada di puncak pohon.

"Kalo buahnya banyak, nanti nutrisinya kebagi-bagi. Jadi nggak optimal tumbuhnya. Lebih baik begini. Walaupun sedikit, tapi tiap buahnya berair dan manis."

Kalau sudah membahas tanaman, hewan peliharaan, dan kebunnya, Didi termasuk orang yang dermawan kata. Selain tanaman hidroponik, kebun belakang Didi ini juga memiliki sebuah rumah kaca mini tempatnya menanam stroberi dan buah aprikot. Karena rumah kacanya kecil, pohon yang ditanam juga tidak banyak.

"Wow ...." Zevanya masih setia mengekor di belakang Didi. Walaupun tidak mengenakan alas kaki dan berjalan agak tertatih, anak itu tetap lincah mengikuti Didi berkebun. "Boleh dimakan?"

Ia menunjuk sebutir stroberi yang gemuk dan basah. Tiba-tiba wajahnya berkerut dan kepalanya bergerak-gerak ganjil, tanda tic-nya sedang kambuh. Didi mengamati tic Zevanya sampai gerakannya berhenti. Seakan-akan tak terjadi apa-apa, wajah Zevanya kembali menunjukkan raut penuh kekaguman pada buah-buahan yang tumbuh di rumah kaca. Meskipun hanya ada dua jenis buah yang ditanam, hasil panennya tetap banyak sekali.

"Ambil keranjang di sana!" Didi menunjuk sudut rumah kaca dekat pintu masuk. "Bantu panen kalo mau dapat gratis," lanjutnya.

Zevanya tentu saja bersemangat. Ia bergegas melakukan apa yang disuruh oleh tetangga barunya itu. Didi menyuruh Zevanya bukan karena luluh atas permintaan anak itu. Didi hanya merasa pekerjaannya akan lebih cepat selesai jika Zevanya membantu. Dengan begitu, ia akan punya cukup waktu untuk beres-beres dan mandi sebelum pergi ke rumah orang tuanya.

***

"Pintu kamar Zee belum dibenerin Daddy."

Zevanya curhat sambil makan stroberi besar dari garpu. Di depannya sudah terhidang semangkuk kecil stroberi hasil panen sore ini. Rasanya manis, sangat berair, dan bentuknya juga lebih besar daripada stroberi lokal yang pernah ia makan di sini. Didi tidak merespons. Cewek itu sibuk mencuci peralatan bekas memasak sarapan tadi pagi.

"Biar Daddy nggak marah gara-gara Zee keluar lewat jendela lagi, boleh nggak sisa stroberinya dibawa pulang?" imbuh anak itu. Enggan bicara, Didi mengambil sebuah lunch box dari kabinet, lalu meletakkannya di depan mangkuk Zevanya. "Thank you, Didi!"

Zevanya tersenyum lebar. Ia segera memasukkan satu demi satu buah stroberi ke dalam kotak.

Didi masih sibuk mondar-mandir, tidak memedulikan kehadiran Zevanya di dalam rumahnya. Karpet di-vacuum agar debu hilang, lantai dipel sampai kinclong, kaca jendela dilap sampai transparan, dan buku-buku dirapikan. Pekerjaan terakhir yang ia lakukan adalah memasukkan seekor tikus putih ke dalam tangki Nanna. Tarantula itu telah bangun dari tidur siang dan merasa lapar.

Tiap sebulan sekali, Didi memberikannya makan besar seperti Darren. Berbeda dengan ular, perlu waktu cukup lama bagi tarantula untuk memangsa tikus. Ada adegan kejar-kejaran dan pergulatan. Nanna juga perlu beberapa waktu untuk menghabiskan seekor tikus utuh. Karena sedang buru-buru, Didi hanya memasukkan tikus itu tanpa menonton Nanna makan.

Selama Didi hilir mudik, Zevanya tetap duduk tenang sambil memerhatikannya dari meja makan. Anak itu menghitung berapa banyak tato tersebar di permukaan kulit Didi dengan wajah terpesona. Dua di masing-masing tangan, satu di bahu, satu lagi terlindung baju di belakang punggung dan Zevanya hanya dapat mengintip ujungnya di tengkuk Didi saat si Tetangga itu mengibaskan rambut karena berkeringat. Sejauh ini, yang terlihat jumlahnya empat. Semuanya bergambar detail.

Bagus, pikir Zevanya kagum. Seumur hidupnya, Zevanya baru sekali ini melihat perempuan bertato.

"Kamu nggak pengen pulang?" Didi membereskan mangkuk kosong Zevanya. "Liat apa?"

Zevanya menggeleng seraya tersenyum lebar, memamerkan gusinya. "Hari ini Didi cantik banget!"

Bukannya tersenyum karena pujian itu, kedua ujung bibir Didi justru menekuk ke bawah. "Memangnya kemarin aku jelek?"

Senyum Zevanya memudar. Ia kelihatan sedang berpikir keras.

"Pulanglah, sebelum daddy-mu—" Kalimat Didi dipotong oleh bunyi bel pintu yang berdentang dua kali. Firasat Didi mengatakan kalau yang datang bertamu kalau bukan Bu Imah, ya, majikannya Bu Imah.

Zevanya memeluk kotak stroberinya erat-erat. Ia sedang menimbang-nimbang apakah harus memanjat naik seperti waktu turun tadi atau pasrah saja dimarahi ketika sampai di rumah. Didi berjalan melewati Zevanya untuk membuka pintu. Salah satu tebakan Didi benar. Rupanya Darren yang datang. Rautnya tidak senang. Lewat isyarat tangan Didi, Zevanya menghampiri keduanya di pintu depan.

"Dia bantuin aku panen buah," ujar Didi datar tanpa memandang Darren. Di lain pihak, Zevanya tetap menunduk menatap lantai. Kotak berisi stroberi masih dipeluknya.

"You can't just jump down from your window like that!" desis Darren. Ia marah sekali mendapati anaknya kabur dari jendela dengan cara yang amat berbahaya. Kemarin kakinya yang terkilir, besok-besok mungkin lehernya yang patah.

"Sebaiknya kamu nggak ngizinin Zee kemari lagi."

Darren memandang Didi. Ia sempat tertegun selama sepersekian detik karena baru menyadari Didi tidak mengenakan pakaian serba tertutup seperti kemarin. Tato warna-warni dengan motif rumit menghiasi permukaan kulitnya yang merona kena matahari waktu berkebun.

"Sure," balas Didi datar.

"Mana sandalmu?" Kini, Darren beralih kepada Zevanya. Anak itu tak mengenakan alas kaki apa pun. Untung Didi sempat menyuruhnya cuci kaki sebelum masuk rumah tadi.

"Ketinggalan di kamar," cicit Zevanya takut-takut.

Darren menghela napas berat. "Let's go home!"

Zevanya mendongak dengan wajah lesu. Ia memandang Didi. "Thank you for the strawberries," ujarnya sebelum pulang lebih dulu.

Setelah Zevanya dipastikan aman kembali ke rumahnya sendiri, Darren akhirnya bersuara. "Boleh bicara sebentar?"

Didi melirik jam dinding yang menunjukkan pukul lima lebih. Ia tak sempat mandi dan bersiap-siap. Dapat dipastikan bahwa ibu bakal mengomelinya habis-habisan.

"Oke."

Alih-alih mengusir Darren pergi, Didi malah membuka pintu lebar-lebar, membiarkan lelaki itu masuk rumahnya. Didi mengajak Darren bicara di meja makan. Mereka duduk berhadapan. Di depan mereka masing-masing sudah ada segelas teh hijau tanpa gula. Didi memang menyebutnya teh hijau, sedangkan Darren lebih suka menyebutnya air panas diseduh daun kering. Warnanya tidak hijau sama sekali. Tak ada bedanya dengan air panas biasa.

Saat Darren sedang berkutat dengan kalimat pertama yang harus diucapkannya, Didi diam-diam mengendus tubuhnya sendiri. Ia berkeringat. Beberapa bagian tubuhnya kena tanah dan baju terusannya sudah kotor sekali. Ditambah, makan malam keluarga bapak akan dimulai dalam waktu sepuluh menit dari sekarang.

"Pertama-tama ... aku mau berterima kasih karena lagi-lagi udah ngebiarin Zee di sini," ujar Darren agak canggung. Didi mengangguk singkat. "Kami berdua sama-sama sedang melalui masa adaptasi yang cukup berat. Seperti yang kamu tau, Zee punya tourette dan mungkin bikin kamu nggak nyaman. Kamu boleh usir dia pulang kalo ngerasa nggak suka."

"Aku nggak suka rumahku didatangi tamu. Apalagi yang nggak diundang," komentar Didi pelan. Tamu yang dimaksud Didi barusan sifatnya general dan universal.

Darren mengangguk-angguk. "Yes, I can see that. Maafkan kami karena udah bikin kamu terusik."

"Waktuku nggak banyak, Darren. Apa yang mau kamu bahas?"

Kegugupan Didi masih tak sebanding dengan kecemasannya disidang ibu karena hadir terlambat setelah berbulan-bulan tak pernah berkunjung. Darren semakin kikuk. Ia membetulkan posisi duduknya tanpa berani memandang Didi balik.

"Aku mau nanya, Di. Selama Zee di sini, apa dia pernah menyinggung sesuatu tentang sekolah?"

"Pernah. Dia mau home-schooling."

"Apa dia ngejelasin alasannya?"

Didi mengamati Darren lekat-lekat. "Aku bukan orang tuanya. Kenapa nanya aku?"

"Maksudku ... well, Zee nggak terbuka sama aku. Dia bersikeras nggak mau sekolah di Bina Bangsa atau di mana pun."

Didi mendengkus. Rahang Darren hampir jatuh ke lantai karena tidak menyangka Didi menunjukkan ekspresi tertentu selain raut datar mirip tripleks. "Dari sekian banyak sekolah, kamu milihin Bina Bangsa. Kalo disuruh ngulang waktu, aku pun nggak bakal mau sekolah di sana lagi."

"Memangnya kenapa?"

"Ariana nggak pernah ngasih tau kamu tentang bullying di sana?"

Darren mengerjap. "Iya, kami pernah membahasnya. Tapi, kepsek udah ngeyakinin aku kalo udah nggak ada bullying di Bina Bangsa. Tindakan semacam itu dapat sanksi keras kalau ketahuan."

"Begitu pun saat kita masih sekolah di sana."

Kedua bibir Darren mengatup rapat. Cukup lama suasana hening dengan mereka berdua saling bersitatap. Ada perdebatan tak terucap yang saling ditahan.

"To be honest, aku sendiri nggak pernah ngalamin itu di Bina Bangsa. Sejak SD sekolah di sana, nggak pernah kulihat ada tindakan bullying secara langsung atau nggak langsung," tandas Darren akhirnya.

Ada senyum samar di wajah Didi, hampir tak terlihat. "Karena kamu musisi muda yang diistimewakan, seorang prodigy yang diidolakan. Diterima Juilliard lewat jalur beasiswa. Siapa yang berani ngebully idola?"

"Apa maksudmu?"

"Alasannya itu atau ...." Didi mencondongkan tubuhnya ke depan sambil melipat kedua tangan di meja, tepat di depan cangkir tehnya. "Kamu sengaja mengabaikan bentuk pembullyan di sekitarmu."

"Didi ...."

Didi kembali menyandarkan punggung ke kursi. Ekspresinya datar, terlihat lebih normal.

"I feel like you dislike me so much." Gumaman Darren sampai juga ke telinga Didi.

"I dislike everybody. Don't feel so special." Ekspresi Didi mirip ekspresi sinis orang berhati jahat, membuat Darren semakin tidak nyaman.

"Seenggaknya senyum, kek," gumam lelaki itu pelan.

"I smile when I'm happy. You don't make me happy." Tentu saja Didi mendengarnya. "Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu?"

Perubahan topik yang tiba-tiba agak mencengangkan Darren. Tadi Didi bersikap tidak bersahabat. Lalu sedetik kemudian, dia melontarkan pertanyaan basa-basi seperti orang normal yang ingin bersahabat.

"Aku komposer," jawab Darren akhirnya.

"Ah, nice. Aku perlu saran buat milih pupuk kompos jenis apa yang cocok buat bibit anggurku."

"Komposer musik," sambung Darren.

"Apa?"

"Kerjaanku. Komposer musik. Bukan pembuat pupuk kompos."

"Oh."

Kalaupun Didi merasa malu karena telah salah paham, ekspresinya tidak menunjukkan satu pun tanda-tanda. Darren bangkit dari kursi tanpa menyentuh minumannya sama sekali.

"Aku terlalu banyak menyita waktumu."

Didi mengangguk setuju. Ia ikut bangkit dan mengekor di belakang Darren menuju pintu depan. Darren berhenti di ambang pintu, membuat langkah Didi juga ikut terhenti.

"Aku harap kamu ngusir anakku kalo dia main ke sini lagi."

"Ini rumahku," sahut Didi. Cewek itu ingin menekankan kalau tidak ada seorang pun yang berhak mengatur siapa boleh berkunjung ke rumahnya dan siapa yang tidak. Kalaupun Didi ingin mengusir Zevanya, alasannya pasti bukan karena permintaan Darren. Didi menutup pintu bahkan sebelum Darren menyeberangi teras.

***

Jonas curi pandang ke arah semua orang. Makan malam keluarga Ariana tidak pernah serasa semencekam ini. Mungkin karena kehadiran Didi. Cewek itu datang terlambat satu jam, membuat makan malam tertunda karena eyang tidak mau makan sebelum melihat Didi muncul di depan wajahnya. Tidak ada yang berani membantah. Keponakan Ariana yang masih kecil-kecil juga patuh meski mereka sudah kelaparan.

Menu masakan Jawa yang biasanya menggugah selera Jonas, mendadak membuat mual.

Di antara semua orang, hanya Didi dan eyang yang makan lahap. Didi sudah datang sejak lima belas menit yang lalu. Ia meminta maaf kepada eyang sambil memeluknya erat-erat. Walau dengan ekspresi datar, Didi tetap menunjukkan kasih sayang kepada eyang lewat gestur-gestur kecil dan ucapan lembut. Eyang tidak mengatakan apa pun selain menyuruh semua orang mulai makan. Menegur Didi pun tidak. Karena eyang kalem-kalem saja, ibu jadi tidak berkutik. Sesekali beliau hanya memelototi Didi jika sedang kedapatan bertemu pandang.

"Masakannya nggak enak?" Ariana bertanya sambil berbisik karena menyadari Jonas tidak makan banyak malam ini.

"Horror, Babe," Jonas balas berbisik.

Ariana melirik Didi, menunjukkan isyarat kalau suasana jadi aneh begini gara-gara dia. Tanpa Didi, biasanya acara makan malam jadi meriah.

"Dek, udah dapet MUA belum?"

Agnes, sepupu tertua Didi dan Ariana bertanya dari seberang. Posisi duduk mereka memang diatur sedemikian rupa. Yang paling tua duduk di ujung kanan, yang artinya eyang punya tempat di kursi utama. Bapak dan ibu duduk di kanan kiri eyang. Lalu, samping kiri masing-masing mereka duduk adik dan ipar bapak, kemudian anak-anak mereka, sampai yang paling ujung ditempati bocah-bocah keponakan Didi dan Ariana.

Ariana tersenyum lebar. "Udah dapet tiga, Mbak. Tapi, belum tau mana yang diambil. Sama-sama bagusnya."

"Ambil yang paling mahal. Bapak ibumu, kan, duitnya banyak banget! Ada harga ada rupa. Emang kamu mau make-up kamu kayak badut pas hari H?"

Senyum Ariana mendadak luntur. Namun, ia tetap mempertahankan wajah ceria. Di antara para sepupu, Agnes menyandang predikat sebagai cucu pertama eyang paling dewasa karena sudah berkeluarga. Suaminya bekerja sebagai petugas security sebuah bank swasta. Keadaan ekonomi Agnes pas-pasan karena harus menyekolahkan empat orang anak yang masih kecil.

"Sekarang lagi konsen sama katering dulu, sih, Mbak. Krusial soalnya," sahut Ariana.

"Eeeh, jangan salah! Make-up juga penting! Masa di hari spesial, sekali seumur hidup, wajahmu belepotan? Malulah sama tamu! Anak pemilik perusahaan gede kok make-up-nya jelek?"

Ariana melirik ke kanan. Para orang tua sedang sibuk dengan obrolan mereka sendiri. Kata-kata Agnes membuat Ariana merasa tak nyaman. Di antara semua sepupu, Ariana merasa sulit akrab dengan Agnes. Sifatnya itu kalau tidak nyinyir, bukan Agnes namanya.

"Tapi, ya, gimana-gimana tetep persiapan mental yang lebih utama. Kalo Mbak liat, kamu ini udah cukup semuanya. Pinter, dewasa, dapet laki-laki mapan. Walaupun kamu punya karir sendiri, sewaktu jadi istri harus tetap nurut sama suami. Durhaka kalau bersikap mentang-mentang."

Agnes memberi petuah tanpa diminta. Reina, Windi, dan Leonard—sepupu mereka yang lain—kompak tak acuh. Mereka tidak terlalu tertarik dengan obrolan Agnes dan Ariana seputar pernikahan. Didi pun begitu. Kakak perempuannya itu menulikan telinga agar bisa menikmati hidangan dengan tenang.

"Rencananya kamu tetep kerja setelah menikah?" Agnes masih menarget Ariana.

Yang ditanya melirik calon suaminya. "Belum tau, Mbak. Lagi kita diskusiin."

"Lebih baik jadi ibu rumah tangga ajalah! Duit calonmu, kan, juga banyak. Istri itu kodratnya di dapur, ngurus rumah, ngelayanin suami. Mau pendidikanmu tinggi sampe New York sana kalo udah nikah, ya, balik ke kodrat lagi."

Ariana hanya tersenyum masam. Jonas menepuk nepuk punggung tangan tunangannya dari bawah meja. Sedikit banyak, ia telah mengenal seluruh anggota keluarga Ariana. Jadi, ia maklum. Mau membantah pun cemas terjadi cekcok.

"Kalo suamimu tercukupi, rumah tangga bakal bahagia. Liat Mbak ini, hidupnya pas-pasan tapi cukup. Anak-anak bisa sekolah. Sehat. Masih bisa makan. Kuncinya ya itu tadi, jadi ibu yang baik." Agnes masih melanjutkan.

"Iya, Mbak." Ariana mengangguk walaupun bibirnya gatal sekali ingin mendebat.

"Nikah itu enak. Saling berbagi kasih sayang, ada yang nungguin di rumah, ngejalanin hidup dan ngatasin masalah sama-sama. Daripada pacar-pacaran, belum tentu juga jodoh. Kalo udah ada calon, lebih baik disegerakan. Buat apa sih nunda-nunda? Nanti malah jadi MBA. Nabung anak dulu, ehh ... nikahnya nyusul. Bikin malu keluarga aja!"

Pendapat Agnes tidak sepenuhnya salah, tetapi cara penyampaian yang membuat Ariana merasa disudutkan. Dirinya dan Jonas berpacaran selama tiga tahun. Selama itu pula keluarga besar menyarankannya untuk segera diresmikan. Baik dirinya maupun Jonas belum memikirkan pilihan jadi ibu rumah tangga atau wanita karier. Melihat sikap Jonas selama ini, Ariana berasumsi kalau tunangannya akan membiarkannya tetap bekerja asal tidak melupakan kewajiban sebagai istri. Keputusan apa pun pasti mereka diskusikan bersama. Hanya saja, waktu mereka belakangan terkuras habis untuk menyiapkan pernikahan karena sambil bekerja.

"Menikah juga butuh persiapan, Mbak," timpal Ariana.

"Lho, kalo buat orang-orang yang nggak sekaya keluargamu jelas butuh persiapan. Yang penting duit, duit, duit. Nah, kalo kalian berdua kan segalanya udah ada. Jalan hidup kalian udah bener. Alurnya jelas."

Ariana memaksakan sebuah kekehan kecil.

"Emang hidup kita ditulis di buku?"

"Maksud Mbak, ngikutin tata cara kehidupan bersosial yang ideal."

Bukan hanya Ariana, Jonas juga ikut mengernyit. "Kami ... masih sama-sama belajar, Mbak." Jonas akhirnya menyahut.

"Nah, bagus! Bersedia belajar. Nggak arogan meskipun kalian lulusan universitas luar negeri. Jangan kayak Didi ...."

Semua orang kecuali Didi dan anak-anak kompak berhenti mengunyah. Mereka semua memandang Agnes dan Didi bergantian, sama-sama mengantisipasi keributan yang mungkin terjadi sebentar lagi. Bukannya apa, selama ini tidak ada yang secara sengaja mengusik Didi.

"Udah nggak kuliah, hidup sesukanya, badan penuh tato, kayak nggak punya tujuan." Agnes memandang Didi sinis. "Sekarang, dilangkahi adeknya. Hidup model apa kayak gitu? Dikasih privilege kok malah disia-siain!"

Si Objek Pembicaraan masih lempeng-lempeng saja makan bakwan. Sesekali ia mencocolnya dengan saus sambal, benar-benar tak terusik. Jika menoleh, mungkin Didi bakal menyadari kalau tatapan semua orang termasuk eyang terpaku kepadanya.

"Di, emang kamu nggak pengen nikah?"

Ariana ingin bertepuk tangan karena takjub kepada kenekatan Agnes. Didi meliriknya sekilas.

"Iya, nanti."

"Nanti kapan?" desak Agnes.

"Kalo nggak Sabtu, ya, Minggu."

"Serius kamu, Di? Sabtu-Minggu ini?"

Agnes skeptis, begitu pun anggota keluarga yang lain. Seumur-umur, Didi tidak pernah mengenalkan laki-laki mana pun ke keluarga besar. Tiba-tiba mau menikah weekend ini, sungguh keajaiban.

Cewek itu mengedikkan bahu sebagai jawaban. Ariana dan Jonas jadi satu-satunya orang yang menyadari kalau jawaban Didi barusan ngasal saja alias mengada-ada. Resepsi biasanya memang dilaksanakan weekend agar tidak mengganggu hari kerja. Didi menjanjikan weekend tanpa menyebutkan tanggal atau tahun berapa.

"Nikah itu sebaiknya disegerakan, Di. Arya aja udah dapet pasangan hidup. Kamu belum. Terlalu sibuk main-main, sih!" Dengkus Agnes.

Didi meletakkan sendoknya. Ia menatap Agnes dengan wajah datar. Semua orang menunggu dengan waswas.

"Mbak Agnes sendiri, kapan cerai?"

Bapak mengulum senyum. Ibu terkesiap dengan mata melotot. Dahi eyang berkerut dalam. Adik-adik bapak dan para iparnya menutup mulut dengan telapak tangan. Para sepupu menunduk dan saling lirik. Jonas dan Ariana saling menggenggam tangan di bawah meja.

"Kalo udah cerai, biar suami Mbak nikahin Didi," imbuh Didi ringan.

"Didi!" Ibu setengah menghardik.

"Kamu ini ngomong apa, Didi?" Eyang bertanya dengan nada tajam.

"Biar Mbak Agnes dapet jawabannya, Eyang. Didi nikah hari Sabtu ato Minggu, nunggu mereka berdua ...." Didi menunjuk Agnes dan suaminya yang pucat pasi. "-cerai. Konteksnya kapan nikah, bukan nikah sama siapa."

"Kenapa ngomong kayak begitu, sih, Di?!" Agnes melempar serbet ke meja dengan wajah merah padam.

"Rasanya gimana, Mbak? Risih? Malu? Tersinggung?" Didi melanjutkan, "Ariana juga ngerasa begitu tadi."

Ia membersihkan sudut bibirnya yang kena saus sambal dengan ujung serbet. "Kalo nggak ada hal bagus yang bisa diomongin, lebih baik diem. Ini acara keluarga. Eyang aja nggak ribut ngasih petuah ke Arya."

Didi berdecak kecil. Tahun ini, ia menggunakan semua kuota percakapannya kepada manusia. Padahal, ia biasanya banyak bicara hanya kepada Nanna dan Darren si Ular.

"Aku cuma sharing pengalaman karena aku udah menikah lebih lama!" sanggah Agnes berapi-api.

"Menikah itu bukan happy ending. Tiap pasangan yang menjalani pasti ngalamin hal-hal berbeda. Arya sama Jonas pasti punya opini dan rencana hidup sendiri, tapi terlalu takut buat ngebantah karena menghormati Mbak Agnes yang lebih tua."

Ariana mencubit paha Didi di bawah meja sampai kakaknya itu mengaduh. "Siapa yang takut, sih?" desisnya sebal.

"Kok, Eyang diem aja liat Didi kurang ajar begini?!" Agnes berdiri, mencari pembelaan dari sisi keluarga yang lebih senior.

"Kamu yang lebih dulu usil, Didi ndak salah," balas eyang ringan. "Lagi pula, Eyang sudah ngerencanain perjodohan buat Didi. Kamu ndak usah khawatir."

"Eyang emang pilih kasih!"

"Agnes!" Pakde Budi, papa Agnes, menegur putrinya. "Jaga bicaramu sama Eyang!"

"Tapi, emang bener, 'kan? Dari dulu Eyang selalu belain Didi. Padahal Didi anak kurang ajar! Hidupnya nggak jelas!" Agnes masih ngegas.

Didi mendorong kursinya agar bisa berdiri.

"Mau ke mana, Di?" Ariana mencekal tangan Didi yang mengambil tasnya.

"Kenyang. Mau pulang, ngantuk." Cewek itu berjalan tenang ke arah eyang. "Eyang, Didi mau pulang duluan, nggak apa-apa, ya?"

Eyang mengangguk samar tanpa memandangnya.

"Makasih, Eyang." Didi mengecup pipi kanan eyang sambil menyelipkan sesuatu ke tangan renta beliau. Ia berbisik pelan di telinga eyang, "Oleh-oleh dari India. Jangan kasih tau Ibu."

Tanpa repot-repot berpamitan kepada keluarga yang lain, Didi melenggang santai keluar dari ruang makan. Wajah ibu merah padam karena menahan malu dan kesal.

Sepeninggal Didi, eyang membuka telapak tangan. Dua buah gelang emas seberat hampir dua puluh gram tertinggal di sana. Pinggirannya dihiasi ukiran dan permata merah. Gelang emas itu adalah salah satu bangles yang menjadi simbol anak-anak perempuan dan para istri yang bahagia di India. Wanita-wanita India mengenakan beberapa bangles sekaligus di salah satu atau kedua pergelangan tangan. Setiap warna pada bangles memiliki makna berbeda-beda. Bangles emas yang dijadikan oleh-oleh untuk eyang punya makna keberuntungan. Didi ingin eyang selalu beruntung di hari tuanya.

"Bu, maafin anak kami." Ibu menyentuh lengan eyang. Wajahnya cemas dan kalut. Kepala eyang mendongak. Beliau menyelipkan gelang-gelang itu ke dalam clutch-nya.

"Nggak masalah. Cucuku yang itu memang paling antik." Eyang menyunggingkan senyum tipis.

"Tuh, liat, 'kan! Emang Eyang selalu mengistimewakan Didi!" rutuk Agnes sambil mengempaskan tubuhnya kembali ke kursi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top