2 | HARI ITU

TIGA belas tahun yang lalu ....

Didi sudah menyerah untuk mencoba meluruskan rambutnya. Rambut keriting mengembang mirip singa yang kebetulan menempel di kulit kepalanya itu tak bisa dijinakkan. Mau sebanyak apa pun gel rambut atau sepanas apa pun mesin catok yang ia gunakan, rambutnya akan kembali seperti semula. Kecuali Didi membotaki kepalanya. Ia masih bisa pakai wig ke sekolah, 'kan?

Itulah mengapa, ia membawa alat cukur elektrik milik bapak ke sekolah. Alat itu dicurinya dari kamar bapak dan ibu. Kini, ia menyimpannya dengan aman di dalam tas ransel berwarna pastel yang menggantung di punggung.

Ini adalah hari pertama tahun ajaran baru. Tidak ada hal istimewa yang terjadi selain kini Didi mengenakan rok lipit selutut warna hitam, bukannya hijau seperti saat dirinya masih sekolah dasar. Didi juga tidak merasa cemas dengan sekolah barunya. Ia hanya perlu berpindah gedung. Sekolah tempatnya belajar ini adalah sekolah swasta yang memiliki SD, SMP, dan SMA dalam satu area. Lokasinya juga tidak jauh dari tempat tinggal Didi, sehingga memungkinkannya untuk jalan kaki setiap hari.

Duk.

Didi mengaduh kecil saat sebuah bola basket yang datang entah dari mana, menabrak wajahnya. Kacamata minus yang Didi kenakan sampai terlempar. Kepalanya langsung menunduk untuk mencari-cari di mana kacamatanya tadi terjatuh. Ketika berjongkok untuk memungut kacamata, ia melihat sepasang kaki beralaskan sepatu Air Jordan warna hitam. Seseorang memungut bola basket dan kacamatanya dari tanah.

"Maaf. Aku nggak sengaja."

Namanya Darren. Si Musisi Muda yang mendapat beasiswa sekolah musik ke Juilliard–New York, selepas SMA nanti. Setelah libur tahun ajaran baru, rambut Darren jadi lebih panjang dari sebelumnya. Didi memang sudah tidak asing dengan wajah Darren karena sering melihat cowok itu di sekolah. Bukan hanya wajah, suara Darren juga masuk dalam database memorinya.

Didi hanya mengangguk seraya memasang kacamatanya kembali.

"Kepalamu benjol, nggak?"

Didi menggeleng. Kepalanya masih menunduk, membuat rambut gulalinya menutupi hampir seluruh wajah. Rambut itu bergoyang seirama dengan gerakan kepala Didi.

"Yakin?"

Didi mengangguk, masih urung mengangkat wajah. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Darren pergi dengan bola basket. Setelah cowok itu menghilang, barulah Didi berani mengangkat wajah. Hidungnya mimisan. Bola basket tadi mengenai wajahnya cukup keras. Didi buru-buru mendongakkan kepalanya ke atas.

Ia selalu membawa saputangan ke mana-mana karena enggan menggunakan tisu. Baginya, penggunaan tisu sama dengan berkontribusi pada pemanasan global. Sambil menatap langit dan menutup hidung dengan saputangan, ia melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

***

Jam-jam pertama pada hari itu berlangsung cepat. Didi tidak benar-benar menyadarinya. Bahkan, ia tak ingat nama wali kelasnya. Fokusnya hanya berpusat pada pencarian tempat teraman untuk mencukur rambut. Ketika bel istirahat berdering, ia tergesa keluar dari kelas sambil membawa tas.

Langkahnya terburu-buru menyusuri koridor dan selasar. Kepala Didi sibuk menoleh ke kanan dan kiri, mencari lokasi terbaik untuk eksekusinya. Karena kurang hati-hati, ia hampir jatuh terjungkal ke depan karena tersandung sesuatu.

"Mata udah empat masih buta aja!" semprot seorang cewek senior. Badge di lengannya menunjukkan kalau cewek itu anak kelas tiga. Didi tidak berhenti untuk minta maaf. Ia justru berlari seakan-akan tidak mendengar ucapan si Senior barusan.

"Kurang ajar! Anak baru nyari ribut!"

"Kejar aja, Stel! Kudu diajarin biar nggak songong lagi."

Empat orang senior yang berada dalam satu geng paling eksis di SMP Bina Bangsa mengejar Didi yang belum jauh.

***

Pencarian Didi tertunda gara-gara seseorang menarik kerah belakangnya dengan kasar. Sepasang tangan juga tiba-tiba memeluk pundaknya. Ia tak sempat menoleh untuk mencari tahu siapa pemilik tangan itu karena tubuhnya sudah diseret ke toilet perempuan.

"Aduh!"

Didi merintih kesakitan saat didorong ke dinding. Tiga bilik yang ada di toilet itu sudah dipastikan kosong. Pintu masuk juga dijaga oleh dua orang senior lain agar mereka bisa menghadang siapa pun yang ingin menggunakan toilet. Di depan Didi, berdiri dua orang senior berwajah galak. Mereka berasal dari satu kelas yang sama. Terbukti dari tanda di badge mereka masing-masing. Sayangnya, Didi tidak kenal mereka siapa.

"Heh, Anak Baru! Kamu itu masih bocah, jangan mentang-mentang!"

Salah satu bahu Didi didorong cukup kencang, membuatnya meringis menahan sakit. Meskipun perempuan, tenaga mereka kuat juga. Didi tak mengatakan apa-apa karena tidak tahu salahnya sampai membuat para senior kesal. Senior yang baru saja membentaknya menyentuh rambut Didi sekilas sebelum melepaskannya lagi.

"Masih kecil udah berani ngecat rambut! Biar apa, hah?!"

"Ini rambut asli." Didi menjawab dengan suara lirih. Karena jawaban itu, pipinya ditampar pelan.

"Udah kurang ajar, sekarang nyoba bohong? Emang kamu bule, bisa punya rambut begini?!"

Kepalanya ditempeleng. Didi memeluk tasnya kuat-kuat. Kini, ia ketakutan. Segalak-galaknya ibu, Didi belum pernah ditampar atau ditempeleng seperti ini. Paling parah hanya dicubit, itu pun kalau Didi sudah dianggap terlalu nakal.

"Masih kelas satu, udah sok begini! Mau jadi apa kalo gede, hah?!"

Lagi-lagi, bahunya didorong.

"Stella! Kak Darren lewat, Stel!" Senior penjaga pintu berteriak heboh.

Cewek yang mendorong bahu Didi menoleh. Kedua matanya membulat lebar. Tiba-tiba kegiatan menghukum Didi sudah tidak menarik lagi.

"Serius? Ngapain dia ke gedung SMP?"

Si Senior bernama Stella buru-buru menuju pintu. Temannya juga. Dalam sekejap, mereka menghilang dari toilet. Hanya tinggal Didi yang sendirian di sana, masih syok dan ketakutan.

***

"Didi."

Panggilan bapak membuat aktivitas Didi untuk memasukkan buku terakhirnya ke tas jadi tertunda. "Iya?" jawabnya pelan.

"Ke sini sebentar, Nak."

Usai memastikan seragamnya rapi di depan cermin, Didi menyusul bapak ke ruang keluarga. Bapak sudah duduk-duduk di sofa sambil melipat koran pagi yang tuntas dibaca tadi. Beliau memindahkan sebuah terarium mini berbentuk kerucut ke meja. Tanaman hijau di dalamnya membuat Didi terkesima hingga bergegas mendekati terarium itu.

"Woah ...." Didi masih terpesona, apalagi setelah dilihatnya seekor laba-laba kecokelatan tinggal di dalam. Laba-laba itu hampir saja tersamarkan oleh tanah buatan di bawahnya jika Didi tidak jeli melihat. "Tarantula?"

Kedua mata Didi berbinar.

"Om Pras ngasih oleh-oleh ini dari Venezuela. Buat kamu, katanya. Bisa ngerawat?" Bapak ikut berjongkok di sebelah Didi, memerhatikan tarantula di dalam terarium.

Om Pras yang dimaksud bapak adalah adik bungsu ibu yang suka sekali bepergian ke luar negeri. Hafal tentang ketertarikan Didi terhadap hewan berkaki banyak seperti laba-laba, Om Pras langsung teringat tarantula goliath itu saat berkunjung ke hutan Venezuela.

"Bisa!" Didi menjawab dengan mantap. Sudah cukup banyak buku tentang keluarga arachnid yang dibacanya. Semua hewan berkaki delapan selalu sukses membuat Didi takjub. Setiap buku yang menawarkan informasi tentang mereka pasti dilahap oleh Didi tanpa pilih-pilih. Ia merasakan tangan bapak mengusap puncak kepalanya.

"Baguslah."

Didi tersenyum lebar. Ketakjubannya masih belum sirna.

***

Nanna.

Nama yang muncul di benak Didi sejak tarantula itu menunjukkan diri. Kecil, arogan, dan cantik. Usianya mungkin belum genap satu tahun saat ini. Nanna si Mungil itu mampu memangsa seekor burung jika ia dewasa. Didi benar-benar tidak sabar melihatnya tumbuh besar.

Saking senangnya kepada Nanna, Didi memutuskan untuk membawa si Tarantula ke sekolah. Tentu saja diam-diam. Kalau bapak apalagi ibu sampai tahu, mungkin ia tidak akan diizinkan untuk merawat Nanna lagi. Didi punya ide untuk menyelundupkan Nanna ke dalam tas ransel. Tarantula itu dimasukkan ke dalam stoples kecil yang bagian tutupnya sudah dilubangi kecil-kecil agar Nanna bisa bernapas. Jika sedang bosan belajar di kelas, ia bisa mengajak Nanna bermain di bawah meja.

Ide bagus.

Dengan riang gembira, Didi berangkat ke sekolah. Langkahnya ringan karena hatinya senang. Gara-gara Nanna, Didi sampai tidak ingat bawa alat cukur ke sekolah. Biarlah rambut panjang yang mengganggu ini dipelihara dulu sehari-dua hari sampai ia dapat tempat terbaik untuk mencukurnya habis.

Sebenarnya, Didi sudah pernah meminta ibu untuk memotong rambutnya atau membawanya ke salon. Namun, ibu justru marah-marah. Beliau bilang, anak gadis harus punya rambut panjang. Rambut adalah mahkota gadis, simbol femininitas. Cewek berambut pendek saja dicap tomboi apalagi yang botak?

Meminta persetujuan ibu untuk memangkas habis rambutnya tidak akan berujung apa-apa. Lebih baik Didi cari cara sendiri.

Seperti yang sudah direncanakannya sepagian ini, tidak ada satu pun materi pelajaran yang masuk ke kepala Didi. Ia terlalu sibuk memandangi Nanna di bawah meja. Berhubung meja Didi berada di pojok belakang kelas, tidak banyak yang memerhatikannya. Jika Nanna kedapatan bergerak-gerak, Didi tersenyum bahagia. Ia sampai harus menggigit bibir agar tidak tertawa terlalu kencang. Padahal, Nanna tidak melakukan apa pun. Bicara dengannya juga tidak. Didi hanya tertawa karena itu Nanna.

Lima menit sejak bel istirahat berbunyi, seseorang memanggil Didi. Begitu mendongakkan kepala, Didi sontak menelan ludah.

***

Didi tidak diseret ke toilet perempuan seperti terakhir kali. Para senior yang menyimpan dendam kepadanya itu justru membawa Didi ke gedung kesenian. Di sana sudah ada cheerleaders SMA sedang berlatih. Gedung Kesenian Bina Bangsa memang cukup luas dan punya banyak ruangan untuk menampung kegiatan kesenian murid-murid SD, SMP, dan SMA. Teaternya saja bisa menampung ribuan orang sekaligus.

"Kak!"

Tubuh Didi didorong ke depan sampai terjerembap di lantai. Ia buru-buru bangkit berdiri sembari membersihkan telapak tangan dan lututnya. Latihan cheerleaders langsung terhenti seketika. Para seniornya itu bersimbah keringat. Beberapa dari mereka bubar ke tepi untuk beristirahat dan minum. Cewek yang dipanggil Kak mendatangi mereka bersama dua orang lain. Mereka memandangi Didi dari kepala sampai kaki.

"Rambutmu dicat?" tanya salah satu dari mereka. Didi menggeleng cepat. "Kenapa bisa terang gitu warnanya?"

"Nggak tau. Dari lahir begini," jawab Didi dengan suara lirih.

Merasa skeptis, para senior itu mengelilingi Didi. Mereka menyentuh ujung rambutnya, benar-benar mengamati. Salah satu dari mereka bahkan sampai mengendusnya, ingin memastikan kalau tidak ada jejak bau bahan kimia di rambut Didi.

Didi merasa risi, jelas. Sayangnya, ia tidak dapat berkutik. Dirinya baru berusia dua belas tahun. Baru lulus SD. Mana berani menentang anak-anak SMA yang jumlahnya banyak ini. Apalagi para senior yang sedang tidak mengelilingi Didi memilih untuk menonton sambil duduk-duduk di pinggir. Tidak ada tanda-tanda akan membantunya.

"Lulusan SD mana?"

"Bina Bangsa."

Para senior itu saling pandang. Wajar mereka tidak tahu Didi, wajahnya jarang eksis di acara-acara sekolah.

"Aku denger kemarin kamu bikin masalah."

Didi mendongak takut-takut. "Masalah apa?"

Beberapa dari senior SMP mendengkus. Kalau saja tidak ada senior SMA di sini, mungkin Didi sudah dikerjai habis-habisan.

"Kamu bikin kakiku sakit kemarin, Njing!"

Didi terkesiap. Belum pernah ada yang mengumpatnya. Bahkan, baru kali ini ia mendengar sebuah umpatan secara langsung. Di keluarganya, kata-kata kasar dalam bentuk apa pun tidak boleh diucapkan.

"Ta-tapi ...." Didi terbata. Kesal juga hatinya dituduh begitu. Ia tidak ingat pernah melukai siapa pun.

"Kamu pengen eksis juga?" Giliran si Senior SMA yang bertanya. Didi buru-buru menggeleng. Menjadi eksis di sekolah bukan cita-citanya. "Terus kenapa cari masalah?"

Lagi-lagi Didi menggeleng. Si Senior SMA mendekat selangkah. Tingginya hampir dua kali lipat tinggi Didi.

"Kamu itu masih bocah. Nggak usah deh banyak gaya. Jangan cari masalah!"

Didi mengangguk. Ia bersedia mengiyakan apa pun yang dikatakan si Senior, asal dirinya dibebaskan.

"Ato gini aja, deh. Mulai hari ini, kamu jadi babu kita-kita. Gimana?"

Untuk yang itu, Didi tidak langsung mengangguk. "Dibayar?" tanyanya.

"Wah, makin songong aja!" Seseorang menggerutu di belakang Didi.

Tiba-tiba, Didi merasakan kepalanya dientak ke belakang lewat cengkeraman kasar pada rambutnya yang keriting. Didi sampai terjerembap sekali lagi karena tak dapat menahan keseimbangan sendiri. Karena menumpukan seluruh tubuhnya di salah satu sisi paha, Didi merasakan stoples kecil Nanna retak. Buru-buru, ia merogoh saku roknya. Betul saja. Stoples Nanna pecah. Sekarang, tarantula itu hilang entah ke mana.

"Nanna ...." Didi bergumam panik. Ia merogoh isi sakunya, cemas Nanna tertindih dan mati.

"Laba-laba!"

"Arghhh!"

Para senior memekik ketakutan sambil menunjuk-nunjuk lantai. Mata Didi mengikuti arah telunjuk para senior.

"Jangan bergerak! Nanti Nanna keinjek!"

Para senior berlompatan untuk menghindari Nanna yang bergerak lincah di lantai. Teriakan demi teriakan memecah keheningan gedung kesenian. Didi sibuk merangkak untuk mengambil Nanna agar tidak terinjak.

Nanna bergerak gesit menghindari kaki para manusia. Didi pun kewalahan mengikutinya. Tarantula itu masuk sela-sela lubang angin, menuju luar gedung. Didi bergegas mengejar, tidak memedulikan para senior yang masih melompat-lompat geli karena mengira Nanna mungkin masuk ke dalam baju atau rok mereka.

***

Jika sampai Nanna tidak ditemukan juga siang ini, Didi bertekad untuk tidak pulang ke rumah. Kalau perlu, ia akan menginap di sekolah.

Tarantula hewan pemalu, mereka tidak suka keramaian. Mereka bahkan tidak suka manusia. Walau umur persahabatan mereka belum genap 24 jam, Didi yakin kalau satu-satunya manusia yang kehadirannya dapat ditolerir Nanna hanyalah dirinya. Didi merasa kalau ikatan mereka sudah seperti kembar siam beda rahim dan beda spesies. Didi tidak ingin menyerah. Namun, hatinya sudah dilanda kepanikan. Ia takut kalau harus pulang ke rumah tanpa Nanna. Apa jadinya Didi kalau tidak ada Nanna di sampingnya?

Sebelum dapat menyadarinya, Didi sudah terisak-isak.

"Nanna ...," panggilnya parau. "Kamu di mana?"

Wajah Didi sudah basah oleh air mata. Kacamatanya melorot sampai hidung, kacanya berembun. Ia buru-buru melepasnya agar tidak mengganggu saat melihat sekeliling. Jangan sampai Nanna terinjak sepatunya gara-gara Didi kesulitan melihat. Sambil berderai air mata, Didi berjongkok di antara semak. Ia tidak tahu bangunan di sebelahnya ini difungsikan sebagai apa. Entah ruang kelas, entah teater, entah lapangan basket indoor. Nanna sudah memenuhi tiap jengkal ruang dalam pikirannya.

Sayup-sayup terdengar suara piano dimainkan. Didi tidak tahu itu lagu apa, tidak peduli juga. Seperti musik klasik. Entahlah ... Didi semakin cemas dengan Nanna. Bagaimana jika Nanna bertemu ular? Tubuh Nanna masih kecil. Jika tanpa sengaja bertemu predator yang lebih besar darinya, Nanna pasti celaka. Tangis Didi kian kencang. Pandangannya sudah mengabur. Sekalipun ia menghapus air mata, tetap saja tidak bisa melihat sekeliling dengan jelas. Buram.

"Oh, iya. Lupa pake kacamata."

Dengan menggunakan permukaan rok lipitnya, Didi membersihkan permukaan kaca yang kini sudah tidak terlalu berembun. Tanpa ia sadari, suara piano sudah berhenti terdengar. Tidak terdengar apa pun lagi dari dalam gedung di sebelahnya, kecuali bunyi daun jendela yang digeser. Tubuh seseorang menyembul di atas kepala Didi.

"Ngapain?"

Didi mendongak dan mendapati Darren memandanginya heran. Ia tak sanggup menjawab karena sibuk terisak-isak. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti racauan tanpa makna.

"Nyari apa?" ulang Darren.

"Nan ... hiks ... Na ...."

"Kok, nangis? Jatuh?"

Didi menggeleng kuat-kuat.

"Terus kenapa? Tuh, liat lututmu berdarah."

Kepala Darren menghilang sebentar dari jendela. Beberapa detik berikutnya, cowok itu memanjat kusen sambil membawa tas. Ia mendarat tepat di sebelah Didi, terlindung oleh tanaman. Darren berjongkok sambil mengamati lutut Didi yang terluka. Baru kemudian, ia merogoh tas ransel. Didi sibuk menyeka ingus dan sesenggukkan. Kepalanya masih celingukkan ke bawah, mencari Nanna.

"Nah, udah."

Didi tidak menyadari apa saja yang dilakukan Darren sejak tadi. Tahu-tahu lututnya yang terluka sudah ditempeli plester. Hati Didi masih galau. Ia sampai tak ingat untuk berterima kasih.

"Apa pun masalahmu, pasti cepet selesai." Darren menepuk pundak Didi untuk menghiburnya. Simsalabim. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan sebungkus cokelat kepada Didi. Karena tidak kunjung diterima, Darren meletakkan cokelat itu di pangkuan Didi. "Udah mau bel. Balik sana ke gedungmu!"

Usai mengatakan itu, Darren bangkit berdiri. Ranselnya ia tenteng seperti barang ringan. Mungkin memang tidak ada isinya. Anak-anak SMA biasanya memasukkan semua buku pelajaran di dalam loker, jadi tidak perlu susah payah bawa beban berat pulang pergi sekolah.

"Nanna ...." Didi masih celingukan. Satu tangannya menyibak ranting dan dahan. Sesekali ia menunduk di atas rumput. "Nanna, kamu di mana?"

Keputusasaan Didi rupanya didengar oleh si Tarantula. Mendadak Nanna jatuh di kepala Didi. Petualangan sekilas yang baru dilaluinya tidak seru tanpa Didi di sampingnya.

"Nanna!" Didi memekik senang. Ia memindahkan Nanna ke telapak tangannya. Jika ukuran Nanna lebih besar, mungkin Didi bisa menciumnya. Kalaupun lebih besar juga sebenarnya tidak bisa dicium. Bulu-bulu Nanna bisa menyebabkan iritasi kulit.

Hati Didi sudah sepenuhnya lega. Ia beranjak bangkit dari rumput dengan Nanna di dalam genggaman. Mendadak sesuatu terjatuh dari roknya. Ketika ia melihat ke bawah, tampak sebungkus cokelat. Cokelat itu pemberian senior baik yang sejak kemarin membantunya setelah membuatnya mimisan. Bahkan, kehadiran cowok itu saja cukup untuk menyita perhatian para senior SMP yang mengerjainya di toilet. Tanpa pikir panjang, Didi memungut cokelat itu dan memasukkannya ke dalam saku.

***

Hari ini, Didi tidak lagi membawa Nanna ke sekolah. Kehilangan Nanna kurang dari dua jam cukup menjadikannya salah satu kejadian paling traumatis dalam hidup Didi. Ia tak akan mengulanginya lagi. Alih-alih menyesali kejadian kemarin, Didi sibuk merencanakan misi pembotakan rambut hari ini. Alat cukur bapak sudah ia simpan dalam tas, siap digunakan kapan pun.

Pak Sulistyo—guru yang paling ditakuti se-Bina Bangsa—hari ini menyambangi kelas Didi. Oh, sebenarnya bukan hanya kelas Didi, tetapi seluruh kelas VII. Mungkin untuk memperkenalkan diri. Sayangnya, acara memperkenalkan diri guru pakai acara bawa-bawa gunting.

Salah satu alasan Pak Sulistyo ditakuti adalah karena beliau suka melakukan razia rambut. Mau anak SD, SMP, atau SMA, tidak pandang bulu. Cowok-cowok di sekolah sering memilih putar balik kalau tak sengaja berpapasan di koridor. Sekalipun anak-anak SMA, yang notabene gurunya bukan Pak Sulistyo.

Seram, sih.

Panjang seinci. Potong.

Ketahuan pakai gel rambut. Potong.

Ujung rambut diwarna. Potong.

Seragam dikeluarkan dari celana atau rok. Potong.

Seantero sekolah, mungkin hanya hati Didi yang berdebar senang karena disambangi Pak Sulistyo hari ini. Didi ingin rambut singanya dipotong. Kalau bisa gratis dan oleh orang berpengalaman, kenapa tidak?

"Kamu Marelda Cassidi, 'kan?"

Kini, Pak Sulistyo sudah berdiri di sebelah meja Didi. Mejanya adalah meja terakhir yang dapat kunjungan karena terletak paling belakang di sudut kanan, dekat tembok. Didi langsung mengangguk antusias untuk menjawab pertanyaan sang guru. Keluarga Didi memang cukup dikenal baik oleh Pak Sulistyo. Beliau merupakan Ketua RT di kompleks rumah Didi. Beliau juga cukup akrab dengan bapak karena sering jadi teman main badminton dan catur saat weekend.

Pak Sulistyo mengamatinya dari kepala sampai kaki, kepalanya mengangguk-angguk. "Bagus, bagus."

Didi menunjuk rambutnya sendiri.

"Iya. Rambutmu ... coba sisir yang rapi." Lalu, beliau pergi. Didi mendesah kecewa. Ia duduk lagi di kursinya dengan bahu lunglai.

Suasana kelas masih hening sepeninggal guru mereka karena Bu Rhea, wali kelas VII-D, langsung melanjutkan kegiatan belajar mengajar yang sempat tertunda. Hati Didi masih gelisah. Ia harus menyingkirkan rambutnya hari ini. Saat ini juga. Harus.

Sebenarnya, ada alasan mengapa Didi merasa kalau hari ini dapat menjadi hari yang pas untuk membotaki rambutnya. Jika bapak bertanya alasan rambutnya botak, ia bisa menjawab dengan kena razia rambut guru. Siapa tahu langsung diajak belanja wig. Jadi, bohongnya tidak seratus persen. Efeknya, Didi tidak merasa terlalu bersalah. Ide tentang kemungkinan bapak akan bertanya atau ribut dengan Ketua RT karena telah membotaki kepala anak gadisnya sama sekali tidak terlintas di kepala Didi.

Oke, tekad Didi sudah bulat. Ia mengeluarkan alat cukur elektrik dari dalam tas, lalu menyembunyikannya ke dalam baju seragam. Sebentar lagi bel istirahat akan berbunyi. Satu jam. Iya, Didi akan menghilang selama satu jam. Ah, kalau perlu seharian.

Seisi sekolah akan menertawainya kalau ia berkeliaran dengan kepala botak. Jadi, ia perlu sembunyi dulu. Didi tidak masalah bakal ditertawai. Ia hanya khawatir Ariana—adiknya yang sekarang duduk di kelas enam SD—bakal mengetahui kebohongannya dan memberi tahu bapak. Ia bangkit dari kursinya untuk menghampiri Bu Rhea yang sedang menjelaskan silabus di depan kelas.

"Bu, saya izin ke toilet. Perut saya sakit." Didi berdiri agak menunduk untuk memegangi perutnya.

Dahi Bu Rhea berkerut dalam. "Mau diantar?"

Didi menggeleng.

"Ya sudah. Habis dari toilet, kamu pergi ke UKS minta obat."

Kali ini, Didi mengangguk.

Langkah Didi ringan saat ia berjalan di koridor. Kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari-cari tempat persembunyian selagi melaksanakan rencananya. Koridor sekolah sepi karena sekarang jam pelajaran masih berlangsung. Didi berhenti di pinggir lapangan, menoleh ke kanan dan kiri. Dadanya membuncah karena bersemangat.

Tempat mana yang bisa memberikannya privasi, ya?

Tatapan Didi tertumbuk ke atas, ke arah rooftop gedung laboratorium. Senyum di wajah Didi terkembang. Ia berlari kecil untuk menyeberangi lapangan.

***

Didi memegangi rambutnya yang berwarna cokelat kemerahan. Kakek ibu orang Belanda, kompeni VOC yang waktu itu kebetulan sedang menjajah Indonesia. Namun, ibu maupun leluhur Didi tidak punya sejarah rambut cokelat kemerahan. Selain kulit putih pucat dan iris mata cokelat terang, tidak ada lagi yang diturunkan darah kompeni kepada Didi. Rambut alaminya memang begini. Berbeda seratus persen dari rambut Ariana. Didi sering iri dengan rambut adik angkatnya itu karena hitam, lurus, tebal, dan sehat.

Nggg .... Didi memandangi alat cukur elektrik yang berdengung sejak dinyalakan. Sekarang, ia bingung bagaimana cara menggunakannya. Didi menarik ujung rambut yang berwarna makin kemerahan kena terpaan sinar matahari.

Brak! Mendadak pintu yang menghubungkan rooftop dan tangga dibuka kasar oleh seseorang. Didi terlonjak sampai menjatuhkan alat cukurnya.

"Ngapain di sini?"

Darren ingat dengan rambut keriting cokelat kemerahan ini. Mereka bertemu kemarin saat Darren berusaha menghiburnya di samping gedung kesenian. Anak itu menangis terisak karena lututnya berdarah.

Didi hanya bisa terpaku saat Darren berdiri menjulang di depannya. Ia sendiri sedang duduk bersila di lantai beton. Lidah Didi tak sanggup digerakkan. Bayangan Darren hanya berupa siluet karena ia membelakangi matahari. Mata Didi sampai menyipit agar bisa melihat sosoknya lebih jelas.

Darren berjongkok di depan Didi untuk mengambil alat cukur elektrik yang tergeletak di lantai. Alat itu masih berdengung nyaring. "Wah, kebeneran banget. Potongin rambutku, dong!" lanjut Darren sambil mengangkat alat itu ke depan wajah Didi.

"Ha?" Suara Didi tak keluar.

"Aku habis lari dari razia Pak Sulis. Nggak usah dipotong banyak-banyak. Rapihin aja pinggirnya." Tanpa menunggu respons Didi, Darren sudah duduk bersila di depannya. Ia duduk membelakangi cewek yang sedang kebingungan itu. "Basahin dikit!"

Sekarang, cowok itu mengulurkan botol air mineral sisa seperempat yang sejak tadi dibawanya lewat bahu.

Dalam jarak sedekat ini, Didi bisa melihat sosok Darren lebih jelas. Pantas saja Darren jadi salah satu cowok paling populer se-Bina Bangsa, tempat mereka bersekolah. Selain karena mahir main piano, dia juga jadi atlet basket. Atlet basket selalu identik dengan tubuh tinggi. Darren jadi salah satunya. Beberapa kali dia dan timnya menyumbang piala jika sedang sedang iseng ikut turnamen.

Iya, memang iseng. Darren tidak benar-benar jadi anggota tim basket mana pun. Biasanya ia masuk sebagai pemain cadangan. Namun, sekali main, tim basket sekolah langsung jadi juara. Didi tidak benar-benar tahu bagaimana cara kerjanya, karena dirinya bukan salah satu penggemar Darren ataupun olahraga basket. Yang pasti, coach basket sekolah mereka tidak pernah keberatan dengan frekuensi kehadiran Darren saat latihan. Maklum, Darren memprioritaskan latihan piano.

"Kok, diem?" Didi kembali tersadar dari lamunannya karena mendengar suara Darren. "Buruan!"

Didi membuka botol air, lalu menuangkan isinya ke telapak tangan. Kemudian, ia membasahi rambut bagian belakang Darren dengan hati-hati, membuatnya lebih lembap. Ini kali pertama Didi menyentuh rambut laki-laki selain milik bapak. Jantung Didi berdegup kencang. Ia menelan ludah saat mengarahkan alat cukur di tangannya ke bagian belakang kepala Darren.

Zrrrttt ....

Rambut Darren terbelah membentuk sebuah jalur botak memanjang sampai ubun-ubun. Cowok itu langsung menoleh karena merasa tidak beres. Didi tertegun begitu mengamati hidung Darren yang mancung. Bibirnya juga punya rona alami sewarna kulit apel fuji. Alis matanya tebal dan bagus. Didi menelan ludah.

"Kamu apain rambutku?" Darren panik ketika meraba belakang kepalanya. Ada bagian janggal tanpa rambut selebar empat jarinya jika digabungkan.

"E-eh ...." Didi tergagap.

Darren memandangi gumpalan rambut di bawah mereka. Ia sontak membelalak. Didi buru-buru bangkit berdiri. Darren masih terpaku syok menatap gumpalan rambutnya saat Didi sudah berlari kabur secepat kilat. Tangan Darren terkepal.

"Cewek sialan!" serunya murka.

***

Esoknya, Didi tidak masuk sekolah. Ia berhasil membohongi orang tuanya dengan pura-pura kena diare. Ia takut datang ke sekolah dan menghadapi amukan Darren. Ditambah, pasukan fans Darren juga bakal mengadilinya karena telah membuat rambut idola mereka jadi pitak.

Darren memang amat kesal. Gara-gara ulah Didi, ia harus memangkas habis rambutnya jadi model cepak. Ia merasa gaya rambutnya sangat culun. Teman-temannya juga menertawainya. Kepala Darren dibilang mirip korek api.

Bulat.

Seharian itu, Darren mencari identitas Didi dan dari kelas mana dia berasal. Setelah bertanya sana sini, ia dapat informasi tentang nama lengkap Didi. Cewek itu cukup mencolok di Bina Bangsa karena warna rambutnya yang tidak biasa. Sayangnya, tidak banyak yang tahu tentang keseharian Didi. Cewek itu baru masuk SMP. Teman-teman semasa sekolah dasarnya memilih pindah ke sekolah lain. Didi juga tidak punya teman dekat. Satu-satunya yang ia miliki di sekolah ini hanya Ariana. Darren pergi ke gedung SD saat jam istirahat pertama berlangsung.

"Mana yang namanya Ariana Valleri Pradipta?"

Satu tangan mengacung ke udara. Semua anak di kelas langsung ketakutan saat melihat ada anak SMA datang ke kelas. Nama Darren sebagai idola Bina Bangsa cukup dikenal di kalangan anak-anak SD. Inilah efeknya kalau SD, SMP, dan SMA digabung dalam satu area. Semua orang jadi tahu satu sama lain.

"Sini kamu!" Nada suara Darren tidak ramah ketika menemukan sosok yang dicarinya.

Darren melihat banyak sekali perbedaan pada dua saudari itu. Jika Didi punya rambut cokelat kemerahan, Ariana berambut hitam. Kulitnya juga tidak sepucat Didi. Ariana melangkah takut-takut menuju pintu, tempat Darren sedang menunggu. Wajahnya sudah merah, kelihatan takut sekali sampai hampir menangis.

"Ke-kenapa, Kak?"

Semarah-marahnya Darren, ia tidak tega menjadikan Ariana yang notabene tidak tahu apa-apa sebagai objek kekesalannya. "Kamu adeknya Marelda Cassidi Pradipta?"

Ariana mengangguk.

Cowok itu melanjutkan, "Mana kakakmu?"

"Sakit, Kak."

"Sakit apa?" Darren betul-betul heran. Kemarin, Didi masih bisa lari-lari kabur menghindarinya.

"Nggak tau, Kak. Di kamar mandi nggak keluar-keluar."

Darren mendengkus kesal. "Bilang ke kakakmu kalo aku nungguin dia di sekolah!"

Ariana langsung mengangguk. Ia ingin cepat-cepat menyingkir dari hadapan Darren. Wajah marahnya sama sekali tidak mencerminkan sosok idola sekolah. Apalagi ditambah bentuk kepalanya yang mirip korek api batangan. Darren mengulurkan alat cukur rambut kepada Ariana. Alat itu ditinggalkan Didi begitu saja di rooftop karena telanjur panik.

"Bilang juga ke dia kalo aku nggak sabar buat ngebotakin balik kepala dia!" desis Darren.

Ariana langsung menelan ludah. "Siap, Kak. Nanti aku sampaikan ke Didi."

"Didi?"

"Marelda Cassidi. Didi." Ariana coba menjelaskan. "Itu punya Bapak aku, Kak. Kok, bisa ada di Kakak?" Ariana menunjuk alat cukur di tangan Darren.

"Buat sitaan." Darren menegakkan tubuhnya. "Dia nggak akan bisa kabur lagi. Sampein ke dia, ngerti?"

Ariana mengangguk lagi. Di dahinya sudah muncul keringat dingin sebesar biji jagung.

***

Karena bapak dan ibu sedang bekerja, Didi jadi leluasa berkeliaran di rumah, bukannya tidur-tiduran di kamar seperti yang dikira oleh kedua orang tuanya. Begitu pun saat Ariana pulang, ia mendapati kakaknya sedang asyik berkebun di halaman belakang. Leher dan lengan Didi sudah merah akibat sengatan matahari.

"Di!" panggil Ariana seraya mengempaskan diri di salah satu kursi di teras belakang, terlindung dari panasnya matahari. Didi tidak terusik apalagi menoleh.

"Tadi aku didatengin Kak Darren ke kelas," lanjut Ariana. Didi masih bergeming. "Dia bilang, kepalamu mau dibotakin sama dia."

Didi tak juga merespons. Ia sibuk menggemburkan tanah dengan sekop di tangan. Sesekali ada cacing yang ikut terangkat bersama tanah. Itu tandanya tanah yang sedang ia kerjakan masih subur.

"Kamu sama Kak Darren habis berantem, ya, Di? Nanti aku aduin Ibu, lho!"

Didi mengangkat seekor cacing panjang dengan dua jari.

"Hiii!" Ariana langsung berlarian ke dalam rumah ketika Didi dengan wajah tanpa ekspresi tiba-tiba mengejarnya sambil mengacungkan cacing.

***

Setelah insiden dengan Darren dua hari lalu, akhirnya Didi kembali ke sekolah. Ia mengambil jalur memutar agar tidak melalui jalan yang sama seperti terakhir kali ia bertemu Darren. Jantungnya berdegup kencang karena mengantisipasi kemungkinan bertemu dengan cowok itu lagi.

Didi memang tidak terlihat sedang menunggu Darren mendatanginya. Sungguh, ia hanya melakukan kegiatan seperti hari-hari biasa. Namun, seharian jantungnya terus-terusan berdegup kencang. Kedua matanya juga tidak lepas dari pintu kelas. Ia cemas kalau sewaktu-waktu Darren mencarinya seperti ketika mencari Ariana kemarin.

Anehnya, sampai sore hari, Darren tidak muncul. Mungkin cowok itu sedang tidak masuk sekolah. Atau lupa barangkali?

Akan tetapi, seharusnya tidak semudah itu melupakan insidennya dengan Didi. Setiap Darren melihat kepala botaknya sendiri di depan cermin secara sengaja atau tidak sengaja, semestinya ia langsung mengingat Didi. Iya, sudahlah. Toh, Didi juga bersyukur karena tidak perlu bertemu dengan Darren hari ini.

***

Hari ini pun Darren masih belum mencarinya. Bahkan, setelah Didi dikerjai Stella dan geng di toilet seperti terakhir kali, cowok itu tidak muncul untuk menarik perhatian para senior. Hari selanjutnya, Darren belum juga masuk sekolah. Mungkin Darren sedang ada pertunjukan di luar negeri. Dia memang sering tidak masuk berhari-hari karena itu. Akan tetapi, ini sudah dua minggu.

Darren ke mana, ya?

Didi sengaja lewat mading untuk melihat kabar terbaru apa yang dilewatkannya. Tentu saja yang paling ia ingin tahu adalah keberadaan Darren. Biasanya nama cowok itu sering muncul di mading karena dapat kiriman salam bertubi-tubi dari cewek-cewek berbagai angkatan. Dia merupakan salah satu senior paling populer. Sekarang, tinggal mencari nama Darren di antara tulisan-tulisan di mading umum ini.

Nah, nah. Ini dia.

Didi mengernyit, betul-betul bingung. Segala yang berhubungan dengan nama Darren selalu dikaitkan dengan salam perpisahan serta kerinduan. Banyak yang patah hati karena belum bisa move on. Setelah membaca semuanya, barulah Didi mendapat kesimpulan.

Darren William Andrew sudah pindah sekolah sejak dua minggu yang lalu.

***

Hai Nanna!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top