11 | RUMAH STELLA
DARREN buru-buru membetulkan posisi koran yang sedang dibacanya ketika mendengar Zevanya berlari kecil untuk masuk rumah. Ia tahu suasana hati Zevanya sedang baik. Terbukti dari raut mukanya yang ceria.
"Nggak usah lari-lari, Zee."
Teguran Darren membuat kaki-kaki Zevanya berbelok ke ruang keluarga tempat ayahnya sedang duduk sambil baca koran.
"Kok, Daddy nggak kerja? Tadi Zee diusir biar nggak gangguin." Anak itu memberengut sekilas. Ia merasa dibohongi.
"Ya masa kerja terus? Capeklah!"
Zevanya duduk-duduk di sebelah Darren. Ia memerhatikan koran bekas kemarin yang dibaca ayahnya itu. Koran baru masih terlipat rapi di meja. Sepertinya memang belum disentuh sejak pagi. "Daddy?"
"Apa?"
"Korannya kebalik, tuh!"
Menyadari kebodohannya sendiri, Darren berdeham pelan sambil membalik koran yang ia jadikan sebagai kamuflase. "Sengaja."
"Biar apa?" tanya Zevanya polos.
"Biar jago baca not balok."
"Bukannya Daddy udah jago?"
"Supaya makin jago, Zee. Kayak Maestro." Darren merutuki dirinya dalam hati karena telah berbohong kepada anaknya sendiri. Mulut Zevanya membentuk huruf o kecil.
Darren melirik putrinya. "So, having fun there?"
Anak itu mengangguk sambil lalu. Ia selalu dalam suasana hati baik setiap kali pulang dari rumah Didi. Hari ini terasa lebih istimewa karena Darren tiba-tiba menyuruhnya pergi ke sana tanpa diminta. Dengan begitu, Zevanya sudah tak perlu mengendap-endap lagi.
"Tadi Didi nyuruh Zee makan malam dulu sebelum pulang. Bareng sama temennya Didi."
"Om-om yang pake mobil putih itu?"
Darren melipat korannya dengan gaya sok cuek. Mobil putih yang dimaksudnya sudah pergi sebelum jam tujuh. Menandakan kalau tamu Didi juga sudah pulang. Sesorean tadi, ia dilanda penasaran. Jadi, ia mengirim Zevanya sebagai mata-mata. Hitung-hitung membuat hati putrinya senang setelah seharian belajar di sekolah. Menyenangkan anak sekaligus mengobati rasa penasarannya.
"Namanya Om Randy. Dokter, lho! Baik orangnya."
Darren menahan diri untuk tidak memutar bola mata secara terang-terangan. "Kalian ngobrolin apa aja?"
"Banyak. Om Randy suka sama Nanna. Zee juga. Jadi, kita ngobrolin Nanna bareng di depan kandangnya."
Bukan itu informasi yang paling ingin Darren dengar.
"Om Randy temennya Didi?"
Zevanya mengangguk. "Kayak Om Rafael sama Om yang waktu itu. Yang jemput Didi di rumah, tapi nggak bawa dompet."
Darren mengernyit, tetapi memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.
"Mereka akrab banget? Peluk-pelukan?"
Lelaki itu mengingat interaksi Didi dan Rafael yang dinilainya terlalu akrab untuk sekadar dikatakan sebagai teman. Ia ingin tahu, sebenarnya pacar Didi yang mana. Obrolan terakhir mereka tidak mengindikasikan satu pun tanda-tanda kalau status Didi single saat pasrah dijodohkan oleh keluarga.
"Didi nggak peluk siapa-siapa."
Darren tersenyum tipis. Mungkin tamu Didi tadi merupakan salah satu calon yang dijodohkan dengannya. Dari informasi Arya di telepon yang ia curi dengar semalam, ada lebih dari dua pria yang akan dikenalkan kepada Didi. Randy pasti salah satunya.
Sejak hari itu, Darren menjadi tukang intip. Sebenarnya ia tidak bermaksud begitu. Siapa pun yang datang mengunjungi rumah Didi membuatnya penasaran. Kendaraan yang berhenti di depan rumah Didi selalu ia selidiki siapa pemiliknya, bagaimana orangnya, dan seberapa akrab interaksinya. Kalau tidak bisa mengintip dari teras, Darren naik ke balkon untuk melihat dari kebun—meski jarang kelihatan juga, sih.
Seperti hari ini contohnya. Rafael datang mengunjungi rumah sebelah lagi. Darren hafal dengan mobil Hilux yang sedang parkir manis di depan rumah Didi.
"Daddy, Zee mau main ke sebelah, boleh?"
Darren langsung mengangguk saat Zevanya berpamitan kepadanya. Darren memberi izin secara cuma-cuma kepada Zevanya jika putrinya itu ingin mengunjungi Didi. Kalau anak itu main sampai lupa waktu, Darren akan datang menjemputnya. Begitu terus setiap hari. Alih-alih pergi, Zevanya memandangi Darren yang sedang mengelap permukaan guci di ruang keluarga.
"Daddy?"
"Hm?"
"Zee punya salah, ya?"
Darren menoleh. "Kenapa memangnya?"
Anak itu menggeleng ragu-ragu. "Daddy belakangan ini aneh. Kayak terlalu baik sama Zee. Kalo main ke rumah sebelah, langsung dikasih izin. Padahal biasanya ngomel-ngomel dulu."
"Kamu nggak ada salah, kok. Main aja."
"You sure?"
"Sure."
Zevanya menunjukkan beberapa buku dalam pelukannya. "Zee bawa PR buat dikerjain di rumah Didi." Ia ingin memberitahu Darren kalau kewajibannya sebagai pelajar tidak dilupakan.
"Oke."
"Really?" Zevanya masih tampak tidak yakin.
"Iya, Zee. Just go." Darren bangkit berdiri. Ia menyeka pipinya dengan lengan baju. Ketika ia menoleh, Zevanya sudah pergi. Lelaki itu menggigit bagian dalam pipinya, mengantisipasi perasaan tidak nyaman yang mendorongnya untuk datang ke rumah Didi dan mengusir Rafael.
Kenapa cowok itu sering datang ke rumah Didi, sih?
Didi juga ... kenapa pula hanya bersikap baik kepada Rafael?
Pilih kasih sekali!
Darren melempar kanebo basah yang ia gunakan untuk mengelap guci. Kanebo itu sebenarnya dipakai untuk mengelap mobil. Kenapa juga tiba-tiba ia jadi punya ide untuk mengelap guci pakai kanebo sore ini?
Lelaki itu masih sibuk menggerutu dalam hati bahkan setelah Bu Imah pulang dari rumah bendahara RT untuk membayar iuran bulanan. Bukan hanya sekadar pulang, Bu Imah berlari tergopoh sambil berteriak-teriak.
"Pak ... Bapakkk! Pak Darren!" Bu Imah berlari terlalu kencang ke dalam—mungkin ke kamar Darren—tanpa menyadari kalau Darren sebetulnya sedang berdiri di ruang tengah yang baru dilewatinya. "Pak Darren!"
"Saya di sini!" Darren balas berseru.
Bu Imah muncul lagi sambil tergopoh untuk menghampirinya. "Pak Darren, tolongin, Pak! Tolongin Mbak Stella!"
Darren mengernyit. "Kenapa sama Stella?" Meski bingung, ia tetap mengikuti Bu Imah berjalan ke luar rumah.
"A-ada ular di rumah Mbak Stella. Kasihan, orangnya ketakutan, tuh!"
Bu Imah setengah menyeret Darren ke tengah jalan. Beberapa warga sudah berkumpul di depan rumah Stella. Kebanyakan dari mereka merupakan ibu-ibu kompleks yang tinggal di sekitar blok ini. Mereka mengelilingi Stella yang tampak ketakutan. Ketika melihat Darren tiba, cewek itu buru-buru mendekat bersama para tetangga lainnya.
"Ada ular di rumah Mbak Stella. Katanya besar banget," ujar ibu nomor enam, rumahnya di pertigaan blok.
Ibu nomor lima menyahut, "Takutnya itu ular Mbak Didi. Apa orangnya dipanggil aja, ya? Suruh nangkep!"
Darren memerhatikan wajah Stella yang berkeringat dan pucat pasi. "Kayaknya ular Didi yang lepas," ujar cewek itu. Kelihatannya, ia syok berat karena tinggal sendirian di rumah yang didatangi ular.
"Di mana ularnya? Sebesar apa?" tanya Darren kemudian.
"Di dapur. Warnanya item. Gedenya se ... se ...." Karena terlalu panik, Stella tak ingat seberapa besar ukuran ular itu. Baginya, semua ukuran ular sama saja. "Pokoknya gede!"
"Daddy, ada apa?"
Darren menoleh ketika mendengar suara putrinya. Didi dan Rafael juga ikut keluar rumah karena mendengar ribut-ribut di depan. Mereka penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Kaus Rafael basah karena keringat. Didi juga. Cewek itu mengenakan atribut berkebun. Lengkap dengan topi rotan dan sepatu boots karet. Tato-tatonya terekspos. Pemandangan itu membuat para warga agak terkejut. Mereka sibuk berbisik, membahas tato Didi dan juga ular di rumah Stella.
"Kata Stella, ular kamu lepas. Emang iya?" Lelaki itu bertanya kepada Didi.
"Darrenku di kandang," jawab cewek itu singkat.
Darren mengangguk. Di antara desiran hangat yang memenuhi dadanya ketika mendengar Didi menyebut Darrenku, lelaki itu merasa lega karena bukan ular piton Didi yang lepas. Lagi pula, Didi tak akan seceroboh itu.
"Tapi, ularnya warna hitam! Ibu-ibu komplek bilang, ular kamu warnanya juga hitam." Stella menyangkal kenyataan kalau keributan ini bukan berasal dari peliharaan Didi.
"Ularnya sepanjang apa?" Bukannya menyanggah, Didi lebih penasaran dengan jenis ular yang dimaksud Stella. "Di mana dia?"
"Di rumahku. Di dapur. Ularnya berbisa. Panjang banget! Warnanya hitam kayak kobra." Stella menjawab cepat.
"Warna kobra nggak hitam. Aku masuk, ya?" Tanpa menunggu jawaban Stella, Didi melangkah masuk ke rumah cewek itu. "Raf, bantuin," panggilnya.
"Di, please-lah! Aku takut sama ular yang nggak dikandangin." Rafael memeluk pundak Zevanya, memberi isyarat kalau dirinya keberatan untuk membantu Didi.
Cewek itu menghela napas. "Ya sudah."
Darren melepaskan pelukan Stella di lengannya. Ia baru sadar kalau dari tadi ternyata sedang dipeluk. Tidak bisa menolak juga. Stella sedang ketakutan. Jadi, ia tak tega. Lelaki itu berinisiatif untuk menggantikan Rafael membantu Didi. Ia cemas kalau ular yang sedang berkeliaran di rumah Stella betulan berbisa. Meskipun ia sendiri ngeri dengan reptil melata berbahaya, rasa cemasnya pada keselamatan Didi lebih dominan. Dari belasan orang yang berkumpul di sini, hanya Didi yang menawarkan diri untuk mengecek ke dalam.
"Nggak bawa alat?" Darren menepuk pundak Didi dari belakang. Cewek itu bergeming.
Mereka sudah sampai di dapur Stella yang berantakan. Dilihat dari situasinya, kemungkinan besar Stella melakukan perlawanan demi mengusir ular itu dari rumahnya. Talenan tergeletak di lantai, pisau juga. Beberapa piring pecah berantakan.
"Hati-hati, Di." Darren menahan lengan Didi saat cewek itu hampir menginjak pecahan di lantai.
Didi berbelok menuju pintu ekspanda yang terbuka sedikit. Pintu itu membawa mereka menuju halaman belakang yang dimanfaatkan Stella sebagai tempat menjemur pakaian. Temboknya berbatasan dengan lahan kosong mirip rawa-rawa kering.
"Pasti dia lewat sini."
Didi berjongkok untuk mengamati retakan besar di sudut tembok. Retakan itu membuat lubang berdiameter seukuran pergelangan tangan orang dewasa. Rongganya tertutup semak dan rerumputan liar. Darren memandang sekeliling juga, mencari-cari keberadaan ular yang membuat ribut warga kompleks.
"Emang di sini jadi habitat ular berbisa?" tanyanya. Kalaupun jawabannya iya, sepertinya ia harus bicara dengan Jonas selaku developer perumahan ini. Jonas-lah yang meyakinkannya untuk pindah kemari.
Didi bangkit berdiri. Kepalanya celingukan menatap tanah dan sekitar. "Mungkin. Rawa di sebelah komplek ini jadi habitat banyak binatang. Ular cuma salah satunya. Pintu depan tadi udah ditutup, 'kan? Jendela?"
Darren mengangguk. "Iya, udah kututup semua." Ia sempat mempertimbangkan ular kabur sampai ke depan rumah dan membuat keselamatan banyak orang jadi terancam. Lebih baik dibiarkan terkurung di dalam saja.
"Bantu aku nyari di dalam. Mungkin sembunyi di belakang perabotan." Didi masuk lagi melewati pintu ekspanda.
"Kita nggak mungkin nangkep ular pake tangan kosong, kan, Di? Aku nggak pengalaman." Darren mengungkapkan kekhawatirannya.
"Bantu aku mindahin perabotan," sahut Didi datar.
Mereka mulai mencari-cari di antara perkakas dan perabotan dapur Stella. Di dalam kabinet, belakang lemari es, di bawah pemanggang, di dalam dispenser listrik, semuanya nihil. Darren menggeser perabotan berat agar Didi bisa mengintip di antara celah-celahnya. Didi menyelipkan rambut ke belakang telinga. Tangannya diletakkan di pinggang selagi ia mengembuskan napas panjang lewat hidung. Capek juga rasanya.
"Apa udah lari ke luar, ya?" Darren mengelap dahinya dengan ujung kaus.
Didi hanya melirik sekilas. "Kita belum ke kamar mandi. Ular suka tempat lembab."
Mereka beriringan menuju kamar mandi utama di dekat dapur. Semua kamar Stella sudah tertutup sejak mereka datang. Kecil kemungkinan ular yang mereka cari sembunyi di sana. Pintu kamar mandi terbuka lebar. Didi tak ragu masuk ke dalam, diikuti Darren.
"Didi?" Rafael memanggil. Lelaki itu ikut menyusul ke dalam karena cemas Didi dan Darren tak kunjung keluar. "Udah ketemu belum?"
"Belum." Darren menyahut dari ambang pintu kamar mandi. "Pintu depan jangan dibuka!"
"Udah kututup, kok."
Rafael menghampiri mereka berdua. Karena kamar mandinya tidak besar, ia berinisiatif untuk mencari di luar saja daripada penuh sesak. Didi menyusuri kabinet, wastafel, dan toilet. Darren menyusuri sisi satunya. Lelaki itu menyibak tirai yang separuh menutup bath-tub.
"Shit." Darren mengumpat pelan tanpa sadar. Ular yang mereka cari ada di dalam bath-tub, sedang meringkuk di genangan kecil air dari keran yang menetes. Warnanya memang hitam. Ukurannya mungkin sekitar satu meter jika direnggangkan. "Ketemu!" Lelaki itu memberi pengumuman tanpa mengalihkan pandangannya dari si Ular, cemas kalau-kalau ular itu kabur dan menghilang lagi.
Didi dan Rafael berjalan mendekat.
"Ya ampun. Kobra?" Tubuh Rafael menjulang di belakang Didi.
Darren memegangi tirai agar tidak bergeser menutup selagi cewek itu berjongkok di sebelah bath-tub. "Gimana caranya ngambil ular ini?" tanyanya.
"Kita biarin sebentar." Didi menjawab. Cewek itu benar-benar mengamati si Ular. "Kasihan. Dia kehausan."
Kepala Rafael dan Darren kompak menjulur ke depan karena penasaran dengan cara ular minum. Ular di dalam bath-tub mendongakkan kepala, lidahnya yang bercabang mendesis. Suaranya pelan sekali hampir tak terdengar. Sepertinya, dia tahu kalau sedang diamati. Darren dan Rafael sama-sama terkejut ketika Didi mengulurkan tangan untuk mengambil ular itu tanpa pengaman.
"Didi!" Mereka kompak berseru.
"Shhh ...." Menggunakan tangan kiri, Didi menaruh telunjuknya di depan bibir. Menyuruh mereka agar tak berisik. Seakan-akan khawatir ular itu bakal terkejut karena mereka. Kedua lelaki itu sama sekali tak mengantisipasi tindakan Didi. Dengan amat hati-hati, Didi mengangkat si Ular yang dituduh berjenis kobra oleh Rafael.
"Aw ...."
Rafael dan Darren terkesiap ketika ular di tangan Didi mematuk lengan kanan cewek itu. Dua spot kecil bekas gigitan ular seketika mengeluarkan darah segar.
"Didi ...." Darren bingung harus bagaimana.
Bukannya takut atau melepaskan si Ular, Didi menggunakan tiga jari untuk menahan kepala ular itu. Ia membebaskan taring ular dari kulitnya agar tidak menimbulkan luka lebih dalam. Jantung Rafael hampir copot membayangkan kepala ular itu lolos dari tangan Didi.
"Jangan takut ... aku mau bantu kamu," Didi berbisik pelan untuk menenangkan si Ular. Tidak hanya berbisik, melainkan sambil tersenyum pula. Padahal, dia habis digigit!
"Didi, tanganmu berdarah," ujar Darren. Ia menahan kepanikan dalam suaranya.
Seakan-akan baru menyadari kalau dirinya terluka, Didi hanya bergumam oh singkat sambil mengelap darah dengan baju. "Dia lapar dan haus. Biar kuberi makan dulu sebelum dilepasin nanti."
Didi berjalan melewati dua lelaki di depannya sembari menyunggingkan senyum tipis. Darren dan Rafael saling pandang. Apa mereka tidak salah dengar?
Jumlah warga yang datang semakin banyak ketika Didi, Darren, dan Rafael keluar dari rumah Stella. Kerumunan itu kompak mundur saat Didi mendekat dengan seekor ular hitam melilit lengannya.
"Tangan Didi berdarah!"
Bahu Zevanya dicekal oleh Bu Imah ketika ia hendak mendekati Didi. Anak itu cemas Didi keracunan bisa ular.
"Ini ular yang kamu liat tadi? Pastikan dulu." Didi menjaga jarak dari Stella yang membelalak ketakutan. Cewek itu mengangguk cepat dengan kedua pupil melebar. Wajahnya semakin pucat. Didi tersenyum kecil. Ia sempat khawatir kalau ular yang memasuki rumah Stella jumlahnya lebih dari satu ekor. "Ini ular tikus. Berbisa sedikit, tapi nggak berbahaya buat manusia. Dia masuk lewat retakan di tembok belakang rumahmu. Segera perbaiki sebelum ada ular lain yang masuk."
Cewek itu mengusap punggung ular di tangannya.
"Itu ularmu?"
Didi tak menjawab. Ia berjalan kembali ke rumahnya. Kerumunan warga terbelah otomatis untuk memberinya jalan.
"Darren ...." Stella menahan lengan Darren yang hendak mengekor di belakang Didi bersama Rafael dan Zevanya. "Ular itu punya Didi, 'kan?"
Darren menggeleng. "Ular Didi jauh lebih besar dari itu." Ia menoleh ke arah Bu Imah. "Tolong bantuin Stella ngeberesin rumah. Retakan di tembok belakang udah saya tutup pake batu buat sementara. Jadi, kalian bisa lega sekarang."
Bu Imah mengangguk cepat.
***
"Ular barunya mau dikasih nama siapa?" Zevanya bertanya. Darren berdiri di samping Zevanya, ikut mengawasi Didi yang sedang membuka-buka kabinet di dapur untuk mencari wadah sementara bagi ular dalam pegangannya.
"Nggak ada namanya. Kalo kondisinya udah stabil, mau kulepas lagi ke alam bebas." Cewek itu memberi isyarat kepada Rafael untuk mengeluarkan sebuah akuarium yang ukurannya tak terlalu besar. Bentuknya kotak dan terbuat dari kaca. "Dia lapar dan haus karena rawanya kering. Jadi, dia nyasar sampe rumah Stella. Ular ini nggak berbahaya, kok. Cuma lagi bertahan hidup aja."
Ia memindahkan si Ular ke dalam akuarium. Penutup berongga kecil diletakkan di atasnya agar ular tidak kabur.
"Tangan Didi nggak pa-pa?" Wajah Zevanya cemas karena darah di tangan Didi tak berhenti keluar. Bagian depan baju berkebunnya sudah penuh oleh bercak darah. Darren dan Rafael juga mencemaskan hal yang sama.
"Nggak pa-pa."
Didi sibuk hilir mudik. Ia meletakkan akuarium di meja makan. Semua orang duduk mengelilingi meja selagi ia mengambil seekor tikus putih dari wadah khusus di kabinet bawah kandang Nanna. Tikus putih itu dijepit dengan sebuah alat agar tidak kabur. Suaranya mencicit nyaring.
"Ini bukan pemandangan yang bagus buat dilihat." Didi berujar setelah memasukkan tikus ke dalam akuarium berisi ular yang baru ia tangkap.
Mereka tidak sempat menonton proses memakan ular, karena Didi sudah memindahkan akuarium ke tempat lain yang jauh dari penglihatan mereka. Darren, Rafael, dan Zevanya masih mematung dengan ekspresi agak linglung bahkan setelah Didi kembali ke dapur. Cewek itu mencuci tangan di sink. Lukanya juga dialiri air dari keran untuk dibersihkan. Ketiga tamunya hanya bisa duduk diam memerhatikan Didi hilir mudik.
"Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit, Di?" Akhirnya, Rafael bersuara kembali setelah sekian lama membisu.
"Nggak usah. Darren pernah bikin kakiku dijahit gara-gara gigitannya. It's nothing."
Didi memberi salep pada lukanya, mirip antibiotik. Setelah darah dibersihkan, luka Didi terlihat lebih jelas. Lubang yang diakibatkan oleh taring ular sangat kecil. Tidak akan kentara kalau dilihat dari jauh. Mereka heran bagaimana luka sekecil itu bisa mengeluarkan banyak darah.
"Zee juga pernah dijahit waktu kecil." Zevanya menunjukkan sikunya yang terdapat bekas jahitan. "Dikejar ayam waktu Zee main ke peternakan di Texas."
Didi berdiri agar bisa mengangkat bagian bawah gaun terusannya yang penuh bercak darah untuk menunjukkan bekas jahitannya sendiri. Darren dan Rafael kompak membuang muka. Bukannya apa, bekas jahitan Didi lokasinya di paha bagian dalam. Tempat itu sehari-harinya tertutup legging. Jadi, rasanya agak tabu kalau sampai terlihat.
"Jahitannya dua belas. Rahang Darren kuat, dia bisa mengoyak daging kalo lagi bad mood." Didi tidak bermaksud menakuti mereka. Hanya sekadar memberi informasi. "Cuma terjadi kalo Darren lagi mengalami proses ganti kulit aja. Nanna juga begitu."
Puas menunjukkan bekas lukanya, Didi duduk kembali di kursi.
"Kalo ularnya udah sembuh, Didi mau lepasin ke mana?"
"Jauh dari sini, kok." Ia memandang Darren si Manusia. "Ngomong-ngomong, kamu ngapain ke sini juga?"
"Ngawasin Zee biar nggak kena patuk ular kayak kamu." Darren menjawab dengan lancar. Ia sudah bertekad tak akan pulang sebelum Rafael pulang lebih dulu.
"Aku nggak nerima tamu lagi. Keluarlah." Didi menunjuk pintu depan dengan dagunya. Tidak cukup hanya mengusir Darren, Didi juga mengusir Zevanya.
Zevanya mendesah pelan, bahunya merosot lunglai. Anak itu tidak berani membantah. Ia langsung bangkit dari kursi dan berjalan lesu ke arah pintu depan. Diusir hari ini tidak apa-apa, masih ada hari esok.
"Semua tamu?"
Darren masih belum bergerak. Ia sengaja menatap Rafael, memberi kesan sedikit menantang. Ia ingin tahu apakah tamu yang dimaksud Didi juga termasuk Rafael.
Didi menjawab datar, "Kecuali dia."
Rafael menyunggingkan senyum angkuh. Jika saja Didi mengizinkan, ingin rasanya Darren menonjok wajah mengesalkan Rafael. Walau harus membuat tangannya cedera, tidak masalah. Paling hanya tidak bisa main piano sehari-dua hari saja. Darren mendengkus pelan. Bertolak belakang dengan niatnya, ia bangkit berdiri untuk menyusul sang putri. Ia tidak akan mempermalukan diri sendiri dengan membuat Didi jadi kesal kepadanya.
Diusir hari ini tidak apa-apa, masih ada hari esok. Prinsip sama dengan yang diyakini putrinya. Lagi pula, Didi tak akan ke mana-mana.
"Kami bahkan belum sempat kenalan." Rafael geleng-geleng kepala ketika Darren sudah menghilang di balik pintu. Ia tak habis pikir dengan sikap Didi yang menurutnya cukup kasar. Bukan berarti ia terkejut. "Dia harus tau kalo dia nggak punya kesempatan buat deketin kamu, Di."
"Oke, Drama Queen." Didi meniup-niup luka bekas patukan ular. Baru sekarang terasa sakitnya.
"Aku tau jenis tatapannya barusan." Rafael mencondongkan tubuh ke depan. Rautnya cukup serius. Lelaki itu sengaja memicingkan mata sedikit untuk menambah kesan drama seperti julukan yang disematkan Didi kepadanya. "Jealousy."
Didi menaikkan sebelah alis. "Jealous of you?"
Menilai kelambatan berpikir Didi, Rafael mendecakkan lidah. "Cewek depan rumahmu. Kayaknya dia suka Darren—"
"Iya, tau. Naksir sejak sekolah."
"Darren nggak tertarik atau belum tertarik sama dia."
"Yeah, so?" Didi tidak mengerti arah pembicaraan ini.
"Darren tertariknya sama pawang ular." Rafael menunjuk Didi. "Kamu." Ia mengamati cewek itu dengan kening berkerut. "Sinyal sesama lelaki itu cukup kuat. Dia liat aku sebagai saingan." Rafael mengangguk-angguk sekilas, tampak mempertimbangkan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "I like that. Dia harus tau kalo saingannya berat."
Sekarang, giliran Didi yang geleng-geleng kepala. Kalau sudah bicara sendiri, Rafael kelihatan absurd. Daripada tukang kayu, Rafael lebih mirip aktor sinetron. Ekspresinya kadang berlebihan.
"Terlepas dari kerjaan dia sebagai artis, dan aku tukang kayu ...." Ternyata Rafael belum selesai bicara. "bonding kita nggak bisa dianggap sepele." Lelaki itu menunjuk mereka bergantian. "Dia nggak punya kesempatan." Lalu, ia menggeleng.
"Sekalipun akhirnya dia suka aku, kami nggak bakal bisa ... you know ... together."
Rafael mengangguk. "Kamu nggak mau ngasih keluargamu kepuasan karena menuruti deadline mereka." Itu bukan tebakan. Rafael tahu persis isi kepala Didi. "Metode pemberontakanmu agak childish. Kamu nggak pernah pacaran dan nggak akan menikah dalam waktu yang lama. Kamu pengen jadi biksuni?"
Didi menggeleng. "Menikah bikin jadwal hidupku berantakan."
"Kamu punya target yang belum dicapai?"
"Ada."
"Apa?"
"Numbuhin pohon baobab di kebunku."
Pohon yang dimaksud Didi adalah jenis pohon raksasa yang berumur panjang dan sering dijumpai di Benua Afrika. Karena umurnya yang mencapai ribuan tahun, pohon ini dikenal sebagai pohon purba. Tingginya bisa sampai puluhan meter, diameternya juga.
"Di kebunmu?" ulang Rafael setengah tak percaya. "Batangnya doang bisa butuh lahan seluas blok ini. Gila, kamu." Lelaki itu mendengkuskan tawa kecil. "Emang cita-citamu jadi nenek kesepian?" Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi tanpa melepaskan tatapan dari Didi. "Gimana calon yang dijodohin sama kamu?"
"Kemarin, aku ketemu sama cowok nomor dua. Dia residen spesialis jantung."
"Orangnya gimana?"
"Menantu idaman."
"Tapi?" Rafael mulai gemas dengan penjelasan Didi yang setengah-setengah.
"Kami nggak cocok."
"Alasannya?" Rafael berdesis singkat. "Kalo jawab itu yang detail, Di! Aku bisa mati penasaran nungguin kamu ngomong!"
"Dia terlalu sempurna." Didi menghela napas pelan. "Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Jadi, aku berpikiran buruk dengan membuat hipotesa kalau di balik sifat Randy yang sempurna, ada kekurangan yang bakal bikin aku kaget nantinya."
Rafael terbengong-bengong. Ekspresinya hampa dengan mulut separuh terbuka. Tiba-tiba ia mengeluarkan tawa sumbang. "Jadi itu hipotesismu? Menganggap dia mungkin berubah jadi monster suatu saat karena selama ini cuma nunjukin sisi sempurnanya aja?"
Didi mengangguk. "Apa aku terlalu cepat menghakimi orang?"
Rafael memandangi Didi cukup lama. "Wajar kalau kita merasa khawatir dengan kepribadian asli dari orang yang baru kita kenal. Tapi, Di, itu nggak bisa dijadikan alasan buat menutup diri. Semisal kamu masih memelihara pikiran semacam ini—anggaplah ... sampai lima tahun ke depan, kamu bakal benar-benar kesepian."
"Kesepian itu yang bagaimana?"
"Yang kayak gini. Kamu cuma punya satu teman, aku. Kamu nggak dekat sama adikmu. Kamu dinilai nggak ramah oleh orang lain. Semua orang segan untuk sekadar ngajak kamu bicara." Rafael melipat kedua tangan di depan dada. "Selama ini aku diam karena aku sayang kamu yang begini. Apa adanya. Tapi terkadang, sifatmu bikin aku kepikiran juga. Aku khawatir kalo kamu nggak pengen menikah selamanya. Hidup mengembara sampai puncak Everest buat nyari arti kehidupan. Didi, tujuan manusia diciptakan itu salah satunya untuk meneruskan keturunan."
"Nambah populasi maksudnya?"
"Iya." Rafael kemudian menggeleng cepat karena baru menyadari jawabannya terdengar tidak tepat. "Maksudku ... bukan gitu! Orang tuamu itu lho ... mereka juga pasti pengen nimang cucu dari kamu. Oke, mungkin aku berlebihan karena mikirin ini di umur kita yang masih muda. Orang, kan, bisa aja berubah. Aku yakin kamu juga. Tapi masalahnya, ini kamu. Didi yang kukenal nggak pernah ngomongin ambisi dan targetnya dalam menjalani hidup. Makanya aku khawatir."
"Atau karena aku perempuan?"
"Apa?"
"Kamu cemas sama deadline-ku karena aku perempuan. Kamu khawatir aku nggak akan menikah selamanya karena sekarang aku nggak tertarik buat memulai hubungan."
"Sebagian karena itu juga," timpal Rafael.
"Raf, setiap perempuan punya target dan mimpi, kok. Kami berhak memilih prioritas mana yang mau dicapai lebih dulu."
"Kamu nggak khawatir dengan omongan orang tentang kodrat-kodrat perempuan?" Tiba-tiba atmosfer mereka sudah dilingkupi suasana yang mendukung untuk diskusi. Didi menggeleng.
"Kamu tinggal di Indonesia, Didi. Kultur kita ini ketimuran. Perempuan punya stigma macam-macam. Yang karir dapat stigma bossy, judes, dan arogan. Yang berumah tangga dan mengurus anak dapat stigma nggak berprinsip karena nurut apa kata suami dan ibu mertua. Yang memutuskan nggak menikah dapat stigma pemilih dalam urusan jodoh. Masyarakat punya standar yang berbeda untuk setiap perempuan dengan titel tertentu. Aku cuma ngasih informasi karena kita lagi diskusi. Bukan berarti aku juga termasuk dalam komunitas pemberi stigma itu."
Didi terkekeh karena penjelasan Rafael yang berapi-api. Usai puas menertawai semangat Rafael, cewek itu memangku dagunya sambil mengembuskan napas berat.
"Aku udah cukup senang begini, Raf." Ia tersenyum kecil. "People will talk, that's something I have no control over. So I let them talking as they want."
Rafael memutar bola mata. Ia hampir lupa kalau teman diskusinya tidak memiliki hasrat berdebat sedikit pun. Jawaban Didi barusan dapat disimpulkan sebagai akhir diskusi mereka hari itu.
***
Masih penasaran sama kelanjutan ceritanya?
Smitten sudah bisa dibeli di google playbook, ya. Link kutaruh di Bio.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top