Baian V : He's My Neighbor

Gideon tidak bisa melupakan pembicaraannya bersama dengan Jerry ketika tetap ingin keluar dari klub. Itu yang ia inginkan, bukankah ia seharusnya lega karena membuat Jerry diam tak berkutik? Akan tetapi, nyatanya tidak semudah yang dibayangkan karena hatinya tiba-tiba merasa ragu.

Apa keputusannya sudah benar? Bukankah bermain voli lagi hanya akan menghancurkan tim?! Lagipula, ia masih cedera. Ia tidak bisa bermain voli. Kesimpulannya seperti itu.

Alhasil, pikirannya dibuat berkelana. Tayangan film laga di televisi tidak lagi menjadi pusat perhatian Gideon, walau matanya ada di sana. Hingga, ia merasakan sebuah tangan mengusap kepalanya.

"Kamu sudah makan? Ingat, kamu harus minum obatmu biar cepat sembuh." Suara itu. Tanpa Gideon menoleh, ia tahu itu adalah mamanya yang baru saja pulang dari kantor.

Ia hanya berdeham sebagai jawaban singkat. Lagipula, faktanya ia memang sudah makan dan meminum obat. Ia ingin sembuh, tak ingin menderita lagi karena sakit yang teramat menjengkelkan. Seakan jawaban yang ia berikan juga menandakan ia sebenarnya tidak ingin diganggu, tetapi wanita yang masih terlihat beritu fresh dengan balutan blazer dress putih dengan corak sedikit hitam nyatanya ikut bergabung, duduk di sampung anak semata wayangnya.

"Kok kelihatannya lesu banget? Lukanya masih sakit, ya? Kalau begitu tidak perlu masuk. Nanti Mama buat laporan saja biar kamu di rumah. Sekalian, kamu menginap di sini dulu seperti kemarin-kemarin itu. Tidak perlu ke tempat Papamu," katanya lagi seraya memperbaiki tatanan poni rambut Gideon yang mulai memanjang.

Namun, Gideon nyatanya menepis perlakuan manis yang diberikan oleh Diana, Mamanya. Sontak saja, membuat kedua alis Diana berkerut heran. Beriringan dengan Gideon yang memberikan fokus pada Diana. "Aku baik-baik saja. Mama nggak perlu khawatir banget dan aku bakalan tetap ke rumah Papa seperti sebelum aku mengalami cedera," balas Gideon dengan dingin.

"Kamu bakalan kewalahan, Gi. Papamu tidak akan keberatan."

Gideon mengangguk singkat. "Karena Papa memang begitu. Papa nggak punya kuasa buat ngelawan Mama. Lagipula aku nggak kewalahan kok. Selama tiga tahun ini, aku'kan emang udah lakuin jadwal yang kalian sepekati. Masing-masing dapat porsi yang pas, tiga hari." Gideon menambahi. Perkataannya bahkan membuat Diana seakan kehabisan kata-kata. Wajahnya memerah, menahan rasa kesal.

"Tetapi sekarang ceritanya berbeda. Di tempat Mama, kehidupan kamu lebih terjamin daripada di tempat Papamu. Gaji Papamu dulunya sebagai pelatih voli juga tidak sebanding dengan gaji Mama setelah kerja di Konsultan Pajak. Walau memang ketika Papamu masih jadi atlet kehidupan kita lumayan, tetapi setelah kecelakaan itu? Kita hidup susah," ucap Diana yang langsung tersenyum seraya menggelengkan kepala. Ceritanya terasa menggelikan tetapi terdengar aneh dipendengaran Gideon. Ia bahkan sama sekali tidak merasakan sisi kelucuannya.

Namun, Gideon tidak menampik. Kehidupan mereka memang berubah. Sekitar lima tahun lalu, setelah kecelakaan tunggal yang menimpa Papanya saat pertandingan Proliga di Jakarta waktu itu yang berimbas pada kaki dan kepalanya. Kala itu, Papa harus cuti dari jadwal pertandingan yang ada hingga tak terasa, Papa nyatanya memilih pensiun di usia tiga puluh enam tahun. Papa fokus penyembuhan, tetapi Gideon tidak mengerti saat Papa yang mulai seperti sedia kala, ternyata menjadi awal perubahan yang sebenarnya. Gideon seakan di bawa pada kisah ketika Mama dan Papanya memberitahu jika mereka sudah tidak saling mencintai dan tidak bisa memahami lagi.

Gideon yang dulunya berpikir kehidupan yang ia jalani adalah kehidupan yang terbaik, keluarga harmonis, berkecukupan dan saling memberi cintanya. Akan tetapi, itu hanyalah kisah dulu. Kisah yang tidak akan pernah terjadi lagi dan lambat laun, Gideon memahami jika masalah yang ada diciptakan oleh Mamanya yang ternyata tidak setuju saat Papa yang ingin kembali ke dunia voli dengan mulai merintis menjadi pelatih voli tim Kota Malang.

Perlahan, kedua tangan Gideon mengepal kuat. Ia tidak suka jika Mamanya bercerita yang ingin mengarah untuk menjelek-jelekkan voli. Biar bagaimana pun, voli adalah kesenangan Gideon dan membuang egonya, kesenangan itu sampai saat ini.

"Jadi, kamu harus dengarkan Mama! Kamu tidak perlu main voli atau ikut turnamen yang berhubungan dengan voli. Lebih baik, kamu fokus belajar dengan giat, mengingat kamu dari SMK yang harus berhadapan dengan seluruh anak SMA yang ingin masuk ke jurusan Akuntansi."

Gideon memejamkan mata. Mamanya mulai lagi. Padahal, Gideon sudah memperjelas jika ia tidak ingin mengambil jurusan yang keluar dari passion-nya. Gideon yang terus diberikan kalimat-kalimat manis dari Mamanya, membuat pikirannya seketika berkelana. Gideon tiba-tiba memikirkan mengenai perkataan Jerry soal turnamen yang akan dilaksanakan bulan depan.

"Gi, kamu harus mendengar perkataan Mama agar tak melarat seperti Papamu! Voli hanyalah impian omong kosong," ucap Diana lantas melenggang meninggalkan Gideon yang termangu.

Sontak, Gideon menoleh ke arah Mamanya yang berjalan menaiki tangga ke lantai atas. Ekspresi wajahnya datar, tetapi penuh makna. "Mama salah dengan mengatakan voli hanyalah impian omong kosong!"

Masih memandangi Mamanya dengan lekat, namun aktivitasnya dihentikan karena handphone-nya yang terus bergetar. Gideon sangat malas memeriksa, tetapi melihat notifikasi pesan mengenai voli, membuat Gideon ingin jatuh lebih dalam.

Selamat malam, Kak. Saya Jiona dari X AK 1.

Hanya ingin memberitahu jika jadwal latihan akan dimulai lusa.

Sekiranya, Kak Gideon bisa datang untuk ikut pembahasan.

Itu yang dikatakan oleh Pak Dirga.

Maaf karena mengganggu waktunya :)

***

Jiona langsung melempar handphone miliknya ke atas kasur. "Mampus, jantung gue kek lompat-lompat! Hei, lo hanya kirim pesan Jiona!" ucapnya berteriak pada diri sendiri. Seakan mengobati jantungnya yang berdetak tak karuan, tetapi tak mempan. Jiona seperti kerasukan. Ia tidak mengerti dirinya, padahal Gideon jelas-jelas mengibarkan bendera perang. Lantas kenapa ia malah seperti seorang penggemar yang baru saja mengirimkan pesan ke orang disukai?

"Gue bisa gila." Jiona tidak menampik itu terjadi saat ini. ketika ia mencoba untuk santai, handphone-nya seketika mengeluarkan dering ala-ala pesan baru saja masuk. Buru-buru ia meraih handphone itu, barangkali pesan penting.

Oke, gue akan datang.

Sekali lagi, Jiona melempar handphone yang digenggamnya ke atas kasur. Bergegas ke luar dari kamar untuk memberikan informasi penting pada Abangnya. Namun, baru pintu kamarnya tertutup, Jiona kembali membuka dengan paksa karena bukti yang berharga ada di atas kasur. "Sialan! Bisa gila gue kalau kek gini." Lantas Jiona kembali menarik langkah, begitu cepat. Nyaris melewati ruangan kecil yang menjadi tempat Ayah, Bunda dan Abangnya yang tengah menyaksikan sesuatu.

"Abang, gue mau—"

"Jangan berisik! Nanti aja! Sini nonton dulu. Penting banget buat bahan pembelajaran lusa," katanya dengan gaya sok cool. Jiona mencibir dengan handphone menyala, tetapi nyatanya ia menurut. Ia ikut duduk di samping Jerry dengan fokus pada televisi. Sementara Ayah dan Bunda duduk di atas sofa—mereka sama-sama fokus tetapi membuat Jiona tersenyum karena melihat Ayahnya yang merangkul Bunda begitu romantis.

"Ayah akui, kalian memang keren di turnamen waktu itu. Performa kalian meningkat," sahut Ayah yang dikenal dengan nama Juna atau lebih lengkapnya Junaedi seraya sebelah tangannya menunjuk ke arah layar televisi.

Jerry tersenyum bangga. "Jelas, kami mempersiapkan diri selama dua bulan untuk Malang Raya Cup! Walau hanya tingkat Malang Raya, ini ajang bergengsi tahu." Jerry memberikan paparan dengan senyum lebar. Seakan mereka yang ada di sana harus tahu.

Alhasil, Jiona dibuat penasaran. Ia belum melihat lebih jelas tontona tiga orang yang ia sayangi. Ketika mendengar Jerry mengatakan Malang Raya Cup, Jiona baru memahaminya saat menyaksikan tontonan di televisi. Siaran ulang turnamen final antara Golden Eagles dengan Black Dragon. Bagian yang memperlihatkan Golden Eagles yang kewalahan setelah keluarnya sang pion utama.

Jiona hanya tahu sekilas dari cerita Jerry dan Nita. Walau Jiona yakin, Jerry tahu banyak karena kata Nita: Jerry dan Gideon bagai surat dan perangko—mereka begitu dekat, padahal keduanya baru melakukan persahabatan di tahun ajaran baru sebagai murid kelas sepuluh.

Kedua mata Jiona pun begitu fokus pada turnamen yang disiarkan kembali. Hanya dengan menyaksikan hal tersebut, Jiona dibuat terpana. Pantas saja, semua orang—terlebih di kalangan para gadis seringkali bercerita mengenai Gideon, karena nyatanya, laki-laki tersebut memang begitu berkarisma saat melakukan smash dan servis.

Kak Gideon ....

Namun mata Jiona dibuat membulat kala momen menegangkan terjadi. Gideon terkecoh dari passing lawan, terlihat begitu tiba-tiba. Tanpa memperlihatkan banyak momen atau entah ada scene yang dipotong, Jiona hanya melihat Gideon merintih kesakitan—meraung seraya memegangi area pergelangan tangan kanannya.

"Ayah tidak bisa banyak berkomentar dibagian ini. Akan tetapi, Gideon mengalami begitu banyak perubahan," sahut Juna yang diangguki langsung oleh Jerry tanpa menoleh.

"Ayah benar. Aku masih berusaha membuat Gideon tetap bermain voli dan kuharap kami bisa seperti dulu. Walau Gideon mulai kembali berkunjung ke rumah Om Gilang, namun aku tidak pernah melihatnya. Dia seperti menjauh," ucap Jerry dengan putus asa. Jiona melihat hal itu. Ekspresi Ayah, Bunda dan Abangnya yang seperti putus asa mengenai Gideon.

"Sudah, beri Gideon ruang. Dia hanya berusaha beradaptasi lagi setelah cederanya. Dia tetap Gideon yang sama. Tenang saja." Kali ini, Jihan yang berujar.

Jiona sontak mengerjapkan mata, semakin dibuat bingung mengenai kedekatan Gideon dengan keluarganya. Mengingat, mereka tidak pernah bercerita apapun. Jerry juga seperti enggan melakukannya, tetapi kali ini berbeda. Mungkin karena bosan melihat raut wajah Jiona yang dimatanya begitu menjengkelkan.

"Kamu harus tahu Jiona! Gideon itu seperti keluarga di sini. Saat kamu harus tinggal di rumah nenek yang ada di Surabaya, Gideon sering menginap di sini sewaktu Om Gilang kerja di luar kota. Lagipula, Ayah dengan Om Gilang itu sahabat baik. Mereka di masa lalu berada di tim nasional voli Indonesia," jelas Jerry begitu sederhana. Berharap Jiona bisa paham, pun Jiona langsung membulatkan mata dengan jari telunjuk yang mengarahkan ke sebuah tempat, sehingga pusat perhatian mereka bertiga ada pada Jiona.

"Om Gilang yang satu rumah di samping kanan? Gideon anak Om Gilang?"

Juna sontak mengerutkan dahi. Terlihat bingung tetapi lekas mengangguk. "Iya, Om Gilang yang itu. Memangnya ada berapa Om Gilang yang kamu ketahui? Jangan bilang kamu malah baru tahu? Padahal Ayah sering banget cerita soal Om Gilang loh waktu teleponan sama kamu." Juna menambahi, pun Jiona mendengar perkataan Ayahnya, tetapi kepalanya dibuat tidak bisa berpikir. Tiba-tiba mengalami korsleting.

Hei, dia hampir satu bulan berada di Kota Malang, tinggal di perumahaan Riverside, tetapi kenapa ia baru tahu jika Gideon adalah salah satunya tetangganya?

Hola, aku update! Baru banget lagi, yekan, hehehe. Vibes puasa emang beda banget, jadi nggak bisa fokus. Maaf ya :)

So, sampai jumpa di bab selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top