Bagian VII : I Can
Pihak Jatim Volleyball Cup sudah mengeluarkan secara resmi bagan turnamen yang akan dilakukan bulan depan nanti. Terdapat sebanyak 29 kabupaten dan 9 kota yang ada di Jawa Timur dan masing-masing mengeluarkan jagoan tim untuk bertanding. Pemenang utama akan secara langsung mewakili Jawa Timur di pertandingan voli tingkat nasional—Nusantara Volleyball Tournament. Itulah kenapa Jiona dihubungi. Informasi sepenting itu harus segera ia sebarkan di grub obrolan. Bahkan, Jiona juga mulai mengurus masalah seragam untuk pertandingan nanti setelah Pak Dirga mengumumkan latihan akan dilakukan setiap hari—sepulang dari sekolah. Besok, pemain inti dan pemain cadangan yang dibutuhkan akan diumumkan.
Jiona sebagai seorang manajer, mendapatkan akses utama bisa mengetahui siapa saja yang akan ikut serta. Walau turnamen sebelumnya menjadi babak buruk bagi Golden Eagles atas kekalahan dari Black Dragon, tetapi Pak Dirga nyatanya memang tetap percaya dengan tim inti.
Terdapat nama Jerry, Milo, Liam, Kaivan, Gibran dan tentu saja Gideon yang akan menjadi pemain inti dan akan menghiasi formasi utama. Jiona sendiri sebenarnya tidak menduga jika pemain inti yang masih aktif rata-rata berada ditingkat kedua. Akan tetapi, hal itu bukanlah sesuatu yang baru, mengingat tingkat ketiga memang sudah sulit untuk ikut berpartisipasi karena fokus mereka yang berpusat di praktik kerja dan persiapan ujian kelulusan.
Langkah kaki mungil Jiona terus melangkah sembari mengetik kalimat yang ingin dikirimkan ke tim pembuat desain seragam terbaru Golden Eagles yang disponsori oleh Pemerintah. Terdapat sekitar tiga desain mentah dan Jiona fokus membalas pesan itu sebelum meneruskannya ke grup obrolan tim. Bagi Jiona, semua hal terkesan mendadak. Mengingat, hanya sebulan, turnamen yang diadakan di GOR Ken Arok akan diselenggarakan.
Jiona begitu fokus, tetapi seketika berhenti tatkala mendengar sebuah suara yang memanggil namanya dari orang yang ia kenali. Menoleh ke belakang, Nita sudah tersenyum begitu lebar. "Hei, Jiona, lo mau ke mana? Kok kayak sibuk banget?"
Tanpa berpikir panjang, Jiona mengangguk. "Iya, gue lumayan sibuk nge-handle Golden Eagles buat turnamen Jatim Volleyball Cup. Ini juga harus ke basecamp untuk ketemu sama Pak Dirga sembari balesin pesan penting," kata Jiona yang fokusnya kembali berada di handphone.
Nita pun mengusap lehernya dengan senyum tampak canggung. "Turnamen itu, ya. Berarti, Kak Jerry bakalan ikut dong jadi setter?"
"Ya, begitulah," ucap Jiona singkat lantas mengangkat kepala, mengarahkan fokus pada Nita. "Lo ada perlu? Gue kebetulan ada urusan—"
"Nggak ada, gue cuma mau nanya biasa aja dan lo semangat mengembangkan tugas, ya, Mbak Jiona! Gue mau ke kantin dulu kalau begitu." Nita langsung bergegas meninggalkan Jiona, pun berhasil membuat Jiona melongo tak percaya, tetapi detik selanjutnya tersenyum mengerti.
"Nanti gue salamin deh ke Abang Jerry!" Perkataan Jiona dibarengi dengan senyum jahil juga langkah yang harus ia lanjutkan. Akan tetapi, Nita terlihat langsung berbalik, kembali mendekat ke arah Jiona.
"Kok gitu? Jangan aneh-aneh—"
"Mau nanya soal Abang Jerry mah nggak usah sok-sok'an gitu juga kali." Jiona kembali berujar dengan santai. Langsung saja, Nita dibuat memerah menahan malu. Mungkin merasa persembunyiannya sudah diketahui. Rasanya, Jiona ingin tertawa saat melihat sahabat kecilnya itu—Nita yang saat ini menutup wajahnya. Lagipula, bagi Jiona, ia sudah menduga jika Nita menaruh rasa pada Jerry sejak dahulu kala. Walau Nita berusaha melakukan akting dan bersikap netral, Jiona tetap bisa membaca setiap gerak-gerik Nita.
***
"Formasi sewaktu Malang Raya Cup gue rasa udah pas banget. Gue bisa tebak, Pak Dirga bakalan menggunakan formasi yang sama. Terlebih, Pemerintah Kota Malang sepenuhnya memberikan akses penuh kepada kita. Mereka yang akan meng-cover sisanya." Liam berujar seraya memegangi bola voli, lantas mengayunkan lengan kanan ke belakang dan memukulnya. Suara nyaring terdengar. Tidak lama, Kaivan memukul bola dengan kedua tangan yang lurus dan rapat ke depan bawah. Tepat mengenai bola.
Kaivan mengangguk puas karena berhasil melakukan kegiatan yang mendadak mereka lakukan ketika saat ini mengenakan seragam putih abu-abu. Ia mendengar perkataan Liam, tetapi Kaivan lebih fokus pada pergerakan selanjutnya. Gideon yang bergerak kala merasa bola dari Kaivan untuk dirinya. Gerakan spontan dari tubuhnya yang tinggi, melompat dan melakukan pukulan begitu cepat menggunakan telapak tangan dan membuatnya berhasil mendapat satu poin karena bola yang jatuh bebas di dalam area lawan.
Jerry tersenyum lebar melihat performa Gideon yang terlihat meningkat bagi seseorang yang pernah mengalami cedera. Pukulan smash-nya masih seperti dulu, sulit untuk ditangkis oleh lawan. "Keputusan Pak Dirga mengenai formasi yang sama di turnamen kemarin menurut gue udah tepat. Entah kenapa, kita mendapatkan banyak peluang diturnamen nanti," ucapnya yang berjalan dengan santai, tidak lupa lengannya yang langsung merangkul pundak Gideon.
Gideon yang mendengar dan merasakan rangkulan Jerry hanya bisa menghela napas.
"Entahlah. Gue belum menemukan klimaks seperti biasanya."
"Lo harus yakin, Gi! Nggak lama lagi, lo bakalan nemuin apa yang lo maksud itu. Lagipula, maklum juga buat orang yang baru istirahat lama dari voli," sahut Milo yang kemudian berjalan mengambil bola voli lain.
Basecamp kali hanya diisi enam orang saja. Entah mungkin akan lebih karena kedatangan mereka ke sini pun atas perintah dari Pak Dirga yang hendak mengatakan beberapa hal. Sembari menanti, mereka memilih mengisi waktu dengan bermain voli. Hanya Jerry dan Gibran yang tidak ikut bermain. Mungkin tak ingin berkeringat kala masih ada mata pelajaran selanjutnya sehingga keduanya hanya mengamati.
Permainan singkat itu terus berlanjut, tetapi seketika harus terhenti kala suara langkah kaki terdengar. Mereka berenam langsung menoleh, lantas mendapati Pak Dirga yang akhirnya ikut bergabung. Gideon senang, tetapi raut wajahnya sontak berubah mendapati Jiona yang ikut andil, berada di sisi Pak Dirga.
"Dia datang?" Gideon bertanya spontan. Rasa tidak suka terdengar begitu kuat.
"Tentu saja dia ikut. Laskar dulu begitu, bukan? Lagipula, seru juga kalau lihat manajer cantik. Pemandangan yang membangkitkan gairah semangat," ucap Liam. Sebenarnya bermaksud membalas Gideon dengan selingan candaan, tetapi Jerry yang berada tak jauh dan mendengar perkataan Liam, amat mengerti dan langsung memberikan tatapan menusuk.
"Itu adik gue," sahut Jerry yang membuat Liam mengusap lehernya dengan senyum canggung. Ingin menimpali, tetapi Pak Dirga keburu berada di antara mereka.
"Sudah lama menunggu?" Pak Dirga mengeluarkan pertanyaan sebagai sapaan sekaligus.
Mereka berenam belum menjawab. Terlebih dahulu, satu persatu maju, mengulurkan tangan untuk menyalimi tangan kanan Pak Dirga sebagai bentuk rasa hormat kepada seseorang yang lebih tua.
"Nggak kok, Pak. Kita juga lagi santai nunggu Bapak sambil main voli," ucap Gideon yang mewakili, pun Pak Dirga mengangguk paham. Jiona memilih mengamati satu persatu seniornya, namun saat berada di Gideon, ia langsung menundukkan kepala.
"Begitu, ya. Sebelumnya saya minta maaf karena sedikit terlambat. Langsung saja sebelum bel berbunyi. Sesuai yang di-share oleh Jiona, Pemerintah Kota Malang menetapkan tim sekolah kita untuk mengikuti Jatim Volleyball Cup. Kalian yang hadir sekarang akan menjadi formasi utama yang akan digunakan hingga di mana kita akan berakhir. Semua hal bisa berubah dan saya yakin kalian mampu bersaing dan memiliki peluang besar. Jadi, saya memutuskan hanya tim inti dan beberapa cadangan pilihan yang akan latihan setiap hari," jelas Pak Dirga seraya mengamati satu persatu murid yang ada di hadapannya.
Semua orang tampak sumriah mendengar pengumuman langsung dari Pak Dirga. Pantas saja, Pak Dirga meminta tim inti yang berkumpul saat ini. Kemungkinan secara keseluruhannya akan di sampaikan nanti. Mereka tidak paham. Begitu juga dengan Gideon.
Mampu bersaing dan memiliki peluang besar? Gideon masih mencoba memahami pemikiran Pak Dirga kala turnamen kemarin tidak membuat Pak Dirga menaruh peluang pada anggota lainnya.
"Saya setuju banget sama keputusan Bapak. Itu sudah pas. Seandainya Gideon nggak mengalami kecelakaan lapangan waktu itu mah pasti kita yang bakalan keluar sebagai pemenang. Saya yakin banget," kata Liam tanpa pikir panjang. Namun, Milo langsung menyenggol lengan Liam karena merasa Liam seharusnya tidak membahas soal itu. Bukan Liam saja, anggota lainnya juga memberikan tatapan melotot.
Alhasil, Liam terkekeh. "Anu, spontan tadi. Intinya, kita pasti bisa kok. Apalagi, ada Kapten hebat kita," ucapnya yang menambahi.
Alhasil, Pak Dirga tersenyum. Nyatanya, ia mengangguk. Seakan setuju dengan perkataan Liam. "Bapak yakin, kalian pasti bisa. Bapak percaya dengan hal itu. Makanya, Bapak tetap menggunakan formasi yang sama ketika senior kalian pada dasarnya tidak bisa ikut serta," ucapnya lagi.
Gideon, Jerry, Liam, Milo, Kaivan dan Gibran saling memandang. Mereka meresapi perkataan Pak Dirga. Kepercayaan yang masih sama sejak tim inti tersebut dibangun. Mereka senang, tetapi di sisi lain juga merasa sedikit takut. Lebih tepatnya, Gideon memiliki rasa takut yang besar. Bagaimana jika ia kembali menciptakan kekacauan itu? Walau cedera memang di luar kendali, tetapi Gideon masih merasa jika ia berperan besar membuat tim kalah.
Gideon lantas mengamati satu persatu wajah rekan setimnya. Mereka tampak bersemangat, seakan turnamen itu pada dasarnya harus mereka menangkan. Dalam hati Gideon hanya memikirkan satu hal: apa ia memang bisa mengembalikan performa diri sebelum cedera itu terjadi?
Cedera yang ia alami, perlahan Gideon mengamati sisi tangan kanannya. Ia merasa sudah baik, walau memang belum sepenuhnya ketika melakukan smash sederhana beberapa saat yang lalu, tetapi melihat reaksi rekannya tadi, membuat dalam diri Gideon perlahan mempercikkan sebuah rasa yang mana ia harus berusaha untuk membuat Golden Eagles bisa meraih kemenangan.
***
Jiona meraih Novel Harry Potter and The Cursed Child dibagian rak yang ada di Gramedia Matos. Bukan hanya itu saja, ia sudah memegang dua novel yang menjadi salah satu wishlist-nya. Ia baru sempat berada di tempat ini kala Jerry baru mengingat janji yang ia buat. Jerry pun tak sempat menemani, ia hanya memberikan beberapa lembar uang tunai dan selebihnya, Jiona bebas membeli novel yang ia inginkan.
Nikmat mana lagi yang Jiona harus dustakan? Ia amat senang. Baginya pun, toko buku adalah surga dunia yang selalu Jiona ingin habiskan ke sana.
Kali ini, walau ia sudah memegang tiga novel, Jiona masih menelusuri setiap rak Gramedia untuk memanjakan mata, hingga ia tertuju pada novel As Long As The Lemon Trees Grow. Whislist yang baru ia ingat. Dengan spontan, jemarinya terulur pada novel itu untuk melihat lebih jelas lagi, tetapi sebuah tangan juga ikut terulur. Alhasil, mata bulat Jiona langsung dibuat tertuju pada sang pemilik tangan asing.
Matanya langsung membulat, cukup terkejut. "Kak Gideon?" ucapnya seraya tangan yang sebelumnya terulur, ia turunkan. Seketika ia menjadi salah tingkah dan canggung karena cowok yang ada di hadapannya hanya menatapnya amat datar dan tidak berminat. Mereka saling berhadapan, tetapi tidak ada satu kata yang keluar. Jiona berusaha memikirkan sesuatu, tetapi terhenti kala Gideon menghela napas.
"Apa rencana lo sebenarnya dengan Golden Eagles?"
Pertanyaan yang membuat Jiona mengerjapkan mata. Ia sedikit bingung. "Saya tidak mengerti maksud Kak Gideon."
"Lo nggak perlu sok polos. Gue nggak ngerti kenapa lo yang masih baru di sekolah ini menerima tawaran Jerry. Oke, gue ngerti kalau otak Jerry memang kadang geser. Akan tetapi, lo seharusnya sadar diri kalau lo nggak pantas menjadi manajer Golden Eagles tim putra! Sampai kapan pun itu gue berada dikubu lo nggak bisa mengimbangi kita," kata Gideon yang kemudian meninggalkan Jiona yang menatap lurus ke depan.
Perkataan itu, membuat Jiona menghela napas. Suasana hatinya seketika memburuk. "Padahal gue juga nggak mau berada di posisi itu. Sampai kapan pun gue emang nggak pantas, tetapi gue tentu nggak bisa lari dari tanggung jawab ketika posisi manajer tim putra sudah melekat ke gue," kata Jiona yang mengamati jejeran buku yang ada di hadapannya.
"Gue ngerti kalau Kak Gideon sampai kapan pun menjadi orang yang nggak setuju, tetapi semua hal bisa berubah dan itulah yang akan gue lakukan. Membuat perubahan." Jiona menambahi. Ia memang tidak menyukai voli. Praktiknya saja ia tidak ketahui karena takut cedera, terkena voli. Namun, melihat kebencian yang diberikan Gideon kepadanya, entah kenapa membangun rasa semangat untuk membuktikan jika ia memang bisa melakukannya.
Hola, aku update lagi untuk ini. Semoga nggak ada typo sih. Tandain aja ya! See u guys :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top