Bagian VI : Keep Trying

Jiona mendengus sebal melihat Jerry ketika Jerry memaksa untuk menumpang kala motor yang biasanya ia gunakan mendadak mogok, padahal mereka memiliki agenda apel hari ini. Kekesalan Jiona tidak sampai di sana saja. Lebih kepada Jerry yang sampai sekarang belum melaksanakan janjinya untuk membeli beberapa novel untuk dirinya. Alhasil, wajah Jiona terus ditekuk setelah membahas masalah janji.

Jerry terlihat tidak peduli. Ia fokus menyalakan mesin motor yang biasa Jiona gunakan di Surabaya lalu beralih ke arah Jiona yang masih dengan ekspresi sama. "Dek, muka lo dikondisiin dulu. Ayo berangkat, keburu telat—"

"Jiona nggak peduli! Terserah deh terlambat," katanya dengan ketus. Jerry bisa saja meninggalkan Jiona, tetapi ceritanya kali ini berbeda. Hei, motor ini dibeli untuk memudahkan Jiona sewaktu di Surabaya. Itu berarti pemiliknya adalah Jiona. Jikapun Jerry nekat melakukan hal demikian, ia harus siap berhadapan dengan Sang Kepala rumah tangga.

Jerry sontak menghela napas. Sudah tahu akibat dibalik Jiona memasang wajah seperti itu. "Sudah, jangan ngambek kek gitu! Nanti kalau udah ada waktu luang pasti gue beliin," ucap Jerry yang langsung membuat mata Jiona melirik sinis.

"Serius?"

"Iya! Buruan naik! Gue nggak mau terlambat dan berakhir dijemur. Mau ditaruh di mana muka gue?" katanya yang mulai menaiki motor terlebih dahulu.

Jiona sebenarnya merasa gengsi, tetapi disisi lain juga berpikiran sama—tidak ingin terlambat. Lagipula, Jiona juga harus bertemu dengan Nita yang berada di X AK 4 untuk meminjam catatan materi spreadsheet. Lagipula, ia memiliki hak kepemilikan, walau pada dasarnya motor ini secara nyata atas nama Ayahnya, tetapi motor ini ada karena untuk dirinya.

"Bawel banget sih! Iya, ini baru—"

"Eh, kalian berdua baru mau berangkat, ya?" Sebuah pertanyaan seketika menyentakkan Jiona yang hendak beradu mulut sejenak dengan Jerry. Keduanya secara spontan menoleh pada sumber pertanyaan yang timbul, fokus pada seorang pria berkacamata dengan poster sangat tinggi—melebihi ukuran tinggi sang Ayah, itulah yang kira-kira mereka pikirkan.

Jiona tahu pria dewasa itu. Rekan dan sahabat baik Ayahnya. Hanya saja, Jiona tidak menyangka tatkala teringat pembahasan semalam. Om Gilang adalah Papa Gideon! Sungguh plot twist, pasalnya, baik Gideon dan Om Gilang terlihat tidak begitu mirip. Jiona analisa, mungkin Gideon lebih mirip ke gen Mamanya. Tidak ada yang tahu, karena status lebih jelas mengenai Om Gilang saja baru ia ketahui semalam.

"Wah, Om Gilang selamat pagi! Abis dari melatih, ya?" Jerry langsung berujar, bahkan bangkit dari duduknya dan memilih untuk berdiri di sisi pagar yang terbuka.

Gilang tertawa renyah. "Sayangnya kali ini tidak. Om habis dari Surabaya. Ada pertemuan penting untuk Jatim Volleyball Cup! Sudah tahu'kan kalau sekolah kalian bakalan mewakili Kota Malang?" Jerry mengangguk begitu saja. Jiona juga melakukan hal yang sama, tetapi ia tak mendekat. Masih berdiri di sisi motor yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari pintu pagar.

"Iya, Om! Kami sudah dengar soal itu dan mulai melakukan meeting untuk langkah yang perlu diambil. Turnamen kali ini pasti seru banget! Gideon juga sudah fix buat ikut," ucap Jerry yang berhasil melunturkan senyum Gilang.

"Gideon ikut?" Dan Jerry mengangguk.

"Gideon sudah konfirmasi, Om. Cederanya juga bisa diajak kerja sama, walau nggak bisa langsung seperti sebelum cedera. Akan tetapi, dengan Gideon yang ikut juga itu lebih cukup. Mengingat, Golden Eagles juga butuh kapten emas kita. Gideon!" balas Jerry begitu antusias. Nyatanya, ia memang seperti itu. Voli, Gideon dan ikatan persahabatan mereka begitu ajaib dirasakan oleh Jerry. Ia sangat suka bercerita panjang lebar jika mengenai tiga hal itu.

Lantas Jiona hanya memilih untuk menyimak. Sungguh, tidak enak jika Jiona tiba-tiba ikut serta dalam percakapan dan malah menciptakan suasana yang begitu canggung. Jiona tidak menyukai hal itu.

"Om baru tahu kalau Gideon akan ikut." Lalu Gilang tersenyum lebar pada Jerry. "Terima kasih karena selalu membantu Gideon ya, Jerry. Dan oh iya, Om punya sesuatu buat kalian. Sebagai bentuk terima kasih dan juga perkenalan." Seraya matanya melirik ke arah Jiona yang langsung tersenyum canggung.

"Selamat pagi, Om!" Ya, hanya itu yang bisa Jiona katakan. Mendadak ia mati kutu. Jerry sontak tertawa.

"Si Jiona emang kek gitu, Om. Malu-malu kucing dia, tetapi terima kasih banyak loh Om sebelumnya. Jadi repotin," ucap Jerry. Walau Jiona ingin menyumpal mulut Jerry yang teramat menjengkelkan, setidaknya Jerry yang mencairkan suasana. Dialah yang antusias mengajak Om Gilang berbicara hingga Jerry memegang dua paperbag cukup besar yang beriringan dengan kepergian Om Gilang. Sepertinya memang harus melakukan suatu hal, karena ia tampak tergesa-gesa. Lagipula, Jiona juga mendengar jika Om Gilang baru kembali dari Surabaya untuk membahas perihal turnamen itu.

Jiona mengamati Om Gilang yang hilang dari balik pintu rumahnya, cukup intens hingga tak menyadari suara Jerry memanggil. Dengan tepukan dari Jerry'lah yang menyentakkan pikiran Jiona. Gerakan spontan, Jiona ingin memberikan pukulan, tetapi Jerry keburu menghindar.

"Sialan lo, ya!"

"Hadeh, masih pagi, Dek! Jangan melamun, apalagi kalau lo mikirin hal aneh-aneh soal Om Gilang. Emang sih, Om Gilang masih kek muda gitu kelihatannya, tetapi masa lo mau sama duda, sih? Mana anaknya seumuran gue lagi!" kata Jerry yang langsung memberikan penolakan. Tentu saja, Jiona tidak terima dengan pemikiran absurd dari Jerry hingga memberikan pukulan di kepala dan ia berhasil melakukannya.

Jerry meringis. "Loh kok gue—"

"Mulut sama otaknya tolong dikontrol! Gue nggak mikir sampai sana!"

"Lah, terus lo mikir apa?"

Jiona tidak langsung menjawab, karena ia memilih mengigiti bibir bawah lantas mendesah pelan. "Tiba-tiba kasihan sama Kak Gideon. Orangtuanya udah cerai," kata Jiona yang langsung membuat Jerry terdiam, hanya beberapa detik sebelum tersenyum tipis.

"Ya, mau bagaimana lagi? Terkadang, orang dewasa itu rumit banget, nggak bisa kita tebak maunya mereka kek gimana. Gideon emang kasihan, tetapi setidaknya dia masih oke dalam segala fasilitas. Orangtuanya masih bertanggung jawab dalam hal materi dan jangan karena lo lihat Gideon ke sekolah naik sepeda lo pandang remeh, karena pada dasarnya Gideon ada di atas kita. Coba lo periksa harga sepeda polygon xquarone EX9, berkali lipat dari harga motor ini," katanya yang kemudian melangkah untuk meninggalkan Jiona yang mematung. Mengingat, Jerry menenteng paperbag yang tak mungkin dibawanya ke sekolah. Sementara Jiona, ia lekas merogoh ponsel. Berusaha mengingat hal asing yang dikatakan oleh Abangnya kemudian menelusuri pencarian.

Detik itu juga, kedua mata Jiona membulat—seakan bola mata itu ingin melompat dari tempatnya. "Gila! 102 juta rupiah!"

***

Bagi Jiona, hal yang dikatakan Jerry memang benar. Walau Gideon terbilang anak broken home, tetapi materi terus mengalir kepadanya. Namun menurut Jiona, kebahagian jelas tidak bisa diukur dari materi. Jiona yakin, Gideon pasti membenci kehidupan yang terpecah belah. Akan tetapi, Jiona tidak bisa melakukan hal banyak. Hei, Gideon bahkan mengibarkan bendera perang dan selain Jiona harus belajar beradaptasi di lingkungan sekolah yang baru, Jiona juga harus mulai belajar memahami praktik voli. Setidaknya ia harus bisa melakukan passing dan servis agar tidak mendapat olokan dari Gideon atau anak voli lainnya setelah latihan.

Memikirkan apa yang harus ia lakukan, membuat Jiona langsung tertekan. Semuanya terasa berat, tetapi ia sudah melangkah. Tak mungkin berbalik dan mundur, itu tidak pengecut. Alhasil, di sinilah Jiona saat bel istirahat berbunyi. Ia ingin melakukan sedikit gerakan voli—seorang diri dengan bantuan tutorial youtube, karena jika meminta bantuan Jerry, Abangnya itu malah akan menertawainya.

"Lo pasti bisa, Jiona!" gumamnya pada diri sendiri ketika memasuki area basecamp. Posisinya sebagai manajer, membuat Jiona leluasa keluar masuk basecamp. Hei, bahkan ia salah satu pemegang kunci basecamp. Jadi, ketimbang mendengar celotehan Nita yang katanya dipaksa oleh Maminya untuk mengikuti bimbel memasuki STAN, Jiona memilih melarikan diri. Sekiranya, lima belas menit waktu tersisa di tambah tiga puluh menit waktu dari mata pelajaran etika profesi yang tidak akan masuk setelah guru bersangkutan hanya mengingatkan untuk mempersiapkan presentansi untuk kelompok empat di pertemuan nanti.

Jiona ingin melupakan rasa penat yang ada, walau bermain voli sama saja dengan mengundang rasa penat yang berkali-kali lipat.

Sekeluarga dan beberapa teman dekat sudah tahu jika Jiona tidak suka voli. Lebih tepatnya, ia tidak suka jika bola voli yang diservis atau teknik lainnya mengarah pada Jiona. Ia merasa didatangi sebuah bom yang bisa saja meledakkan dirinya. Jiona emang tidak tertarik dengan olahraga satu ini. Jika ditanya, ia lebih suka badminton. Akan tetapi, Ayahnya yang seorang mantan atlet voli tim nasional Indonesia dan sekarang beralih menjadi guru olahraga di SMP Nusantara Raya, juga ibunya yang semasa sekolah hingga kuliah ikut turnamen voli serta Abangnya yang memang mulai menyukai voli sejak kecil dan hendak menjadi tosser/setter profesional, membuat Jiona tidak bisa mengelak pembahasan mengenai voli.

Ya, keluargarnya sering meracuni Jiona dengan voli. Walau Jiona tetap tidak ingin tenggelam begitu jauh, nyatanya ia malah tahu banyak hal mengenai teori voli. Ketika ayahnya mengajari bermain voli, Jerry akan memilih melakukannya secara nyata, namun Jiona hanya memilih menyimak.

"Namun dengan teori saja itu tidak ada gunanya jika tidak paham praktik. Seperti ketika ingin melakukan pembukuan laporan keuangan. Percuma jika tahu teori, tetapi tidak mencoba untuk melakukan praktiknya sama saja dengan bohong," ucap Jiona yang mulai mendekat. Langkahnya begitu pelan. Seketika terhenti ketika sebuah bola mengelinding ke arahnya. Berhenti tepat di hadapan Jiona kala ia menggunakan kaki untuk menghentikan bola yang menjadi kebanggaan Golden Eagles.

Bola voli.

"Apa yang lo lakuin di basecamp? Jangan bilang lo manajer di Golden Eagles dan lo seenak jidat keluar masuk." Sebuah suara terdengar begitu saja.

Jiona tersentak. Buru-buru mengangkat kepala, pun tidak menduga akan berhadapan dengan Gideon saat ini, kala Jiona belum menyiapkan diri. "Kak Gideon, saya ...."

"Halah, lo emang bisa melabui Pak Dirga, tetapi tipu muslihat lo nggak berlaku buat gue! Sampai kapan pun, lo nggak bisa menjadi manajer Golden Eagles!" kata Gideon dengan dingin, tidak ingin dibantah.

Jarak keduanya tidak terlalu jauh. Jiona dibuat diam, sedikit takut untuk memberi balasan. Akan tetapi, melihat Gideon yang langsung berlalu—melewatinya bagai sosok tak kasat mata, Jiona langsung berbalik dengan kepala terangkat—terlihat percaya diri. "Kak Gideon, saya bakalan buktiin kalau saya bisa mempertanggungjawabkan posisi itu!"

"Saya memang memiliki banyak kekurangan, tetapi saya bisa pastiin jika saya memang mampu!"

"Kak Gideon lihat saja nanti! Saya bisa membuktikannya!"

Namun, Gideon tidak berniat berhenti atau menoleh barang sedetik saja. Ia terus berlalu, meninggalkan Jiona yang langsung menghembuskan napas kasar. Keberanian yang ia lakukan, entah dari mana. Ia pun tidak menyangka, seakan bersungguh-sungguh ingin membuktikan jika bisa. Hanya saja, Jiona bingung, ia harus memulai dari mana?

"Apa gue perlu meminta bantuan dengan Jerry?" Seperti bisa saja, namun Jiona harus mengalihkan pikirannya kala handphone-nya bordering. Pak Dirga tiba-tiba menghubungi Jiona dan serasa apa yang akan dikatakan oleh Pak Dirga cukup penting.

Hola, aku baru update lagi. Maaf ya karena lama banget. Semoga terhibur dan sampai jumpa di bab selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top