Bagian IV : Chance

Gideon mengerjapkap mata. Beberapa kali mencoba menyadarkan diri, nyatanya sosok cewek di hadapannya memang cewek yang sama saat berada di taman dan parkiran. Ia sungguh dibuat kehabisan kata-kata kala cewek yang katanya bernama Jiona, bahkan adik rekan terbaiknya—Jerry, ternyata saat ini menjabat sebagai manajer putra atas persetujuan Pak Dirga sendiri. Wow, ia sebagai kapten tak tahu apa-apa, padahal informasi di obrolan grup masih berputar. Walau ia memang berkeinginan untuk keluar, tetapi Gideon juga selalu memeriksa isi-isi obrolan yang selalu dibuat ramai.

"Oke, semuanya. Saya hanya ingin menyampaikan informasi tadi. Jadi, jika kalian memiliki keperluan, silakan hubungi Jiona dari kelas sepuluh akuntansi satu," jelasnya kembali. Semua cowok yang tergabung di klub mengangguk paham. Lantas, Pak Dirga menoleh pada Gideon.

"Selain itu, kita juga kedatangan kapten kita setelah melalui masa penyembuhan yang cukup lama. Gideon, jika butuh sesuatu, langsung katakan saja pada Jiona. Kebetulan, dia nyatanya begitu cekatan dan bisa diandalkan." Pak Dirga menambahi.

Gideon langsung memberikan amatan pada Jiona dengan sebelah alis terangkat. Dari raut wajahnya, terlihat seperti tidak setuju. "Apa Bapak serius dengan keputusan itu? Lagipula, Laskar lebih ideal untuk menjadi manajer bagian putra. Memberikan langsung kepercayaan pada murid pindahan itu seperti menganakemaskan orang asing," ucap Gideon berterus terang sehingga menciptakan bisik-bisikan sesama anak voli. Jerry yang kebetulan bersebelahan dengan Gideon sontak memberikan amatan pada sang empu. Sedikit tidak menyangka jika Gideon seperti menolak.

"Bukan seperti itu, Gideon. Ada beberapa hal yang sudah saya pertimbangkan dan rolling manajer memang sudah dilakukan sejak dulu, bukan? Jadi, menurut saya itu sudah jelas. Jiona sekarang menajer bagian putra yang tentu saja akan berkoordinasi dengan saya, Laskar, kamu dan Sisil," balasnya lagi. Seperti memberikan penengah bahwa keputusannya tidak bisa ditawar lagi. "Sudah, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Untuk hari ini, kalian lakukan latihan ringan saja, karena saya harus melakukan pertemuan penting."

Kalimat yang menjadi akhir dari pembicaraan Pak Dirga. Pelatih klub voli itu sudah melenggang, meninggalkan area basecamp. Kini, hanya menyisakan keheningan kala tidak ada yang bersuara. Gideon bahkan hanya memberikan amatan sinis pada Jihyo yang tersenyum canggung seraya memilin jemarinya.

Akan tetapi, tatapan Gideon langsung diputus ketika Jerry merangkul pundak Gideon sembari tertawa renyah. "Tatapan lo bikin adik gue takut, Gi. Lagipula, nggak ada salahnya juga Jiona yang mengisi posisi manajer. Sumpah, lo bakalan setuju banget nanti."

"Halah. Terserah! Gue tetap ngerasa dia nggak pantes buat posisi ini. Jer, gue ngerti dia adik lo, tetapi gue bicara fakta!" ucap Gideon yang memilih untuk pergi, meninggalkan basecamp. Berakhir menciptakan suasana yang semakin canggung, tidak ada yang seperti ingin memulai melakukan latihan yang seperti Pak Dirga katakan.

Jerry terus memanggil nama Gideon, tetapi sang empu tak mengubrisnya hingga benar-benar menghilang. Hal itu membuat Jerry frustrasi. Sedikit takut jika Gideon serius untuk keluar dari klub. Itu tidak boleh terjadi. Lagipula, apa salahnya dengan Jiona yang sebagai murid pindahan tiba-tiba menjadi manjer baru? Jerry tidak mengerti, karena menurutnya Jiona memang bisa kala posisi manajer memang sedang dibutuhkan kala itu. Dengan percaya diri walau sebelumnya memang sedikit ragu, ia menawarkan sang adik tercinta. Puncak komedi, Jerry terkejut karena Pak Dirga setuju.

Jerry melihat sekilas pada Jiona yang sebelumnya tersenyum canggung, kini memberikan tatapan mematikan pada Jerry. Benar-benar khusus seolah-olah Jerry adalah biang dari masalah yang terjadi.

***

Jiona mematikan mesin motor setibanya di halaman rumah. Beriringan dengan helaan napas yang begitu panjang keluar. Walau begitu, Jiona belum meninggalkan jok motor. Ia masih di sana dengan pemikirkan berkelana.

"Halah. Terserah! Gue tetap ngerasa dia nggak pantes buat posisi ini. Jer, gue ngerti dia adik lo, tetapi gue bicara fakta!"

Jiona lantas memejamkan mata. Cukup frustrasi dengan drama yang terjadi. Seketika ia dibuat pusing dengan hal tersebut karena apa yang dikatakan oleh Gideon memang benar. Secara garis besar, ia menggunakan nama Jerry. Pak Dirga tidak akan melirik jika bukan karena Jerry, sebaik bagaimanapun dia tahu tentang voli. Ia gelisah, apakah keputusannya ini sudah benar? Mengingat, Jiona juga sebenarnya setengah-setengah. Semula tidak ingin, tiba-tiba ia bersedia begitu saja. Terlebih ketika melihat cowok bernama Gideon itu.

Sitampan Kak Gideon sepertinya akan begitu menyebalkan karena sangat terang-terangan tidak menyukai kehadiranku!

Belum lagi, Jerry melanggar perjanjian mereka. Sialnya, Jiona juga tidak berbicara empat mata dengan Pak Dirga sehingga semuanya mengalir begitu saja. "Tidak ada yang bisa diharapkan!"

"Eh, anak Bunda kok nggak masuk? Itu langit mendung, mau hujan. Masuk dulu, bersih-bersih diri abis itu makan. Bunda udah masak," ucap seorang perempuan yang mengenakan hijab. Posisinya tengah menyapu, baru keluar dari rumah.

Jiona dibuat tersentak. Berusaha melupakan kesulitannya di hari pertama dan memilih untuk mendekati sang Bunda tercinta. Masih menggunakan helm, Jiona memeluk Bundanya sembari memberikan kecupan dipipi. "Bunda kok tahu banget sih kalau aku lagi lapar? Wah, Bunda emang terbaik. Pantesan Ayah nggak pernah bosan cerita tentang Bunda yang emang the best!" ucap Jiona lalu terkekeh.

Hal tersebut berakhir membuat Bunda yang bernama Jihan mendengkus. "Halah, kamu kayak ada maunya aja bilang kek gitu. Sudah sana, buruan masuk! Pasti capek banget'kan di hari pertama? Soalnya langsung ikut kegiatan voli gitu. Abangmu juga aneh-aneh banget," ucap Jihan yang bersamaan dengan mendorong tubuh Jiona untuk masuk ke dalam. Terdengar Jiona yang tertawa karena sangat menikmati diperlakukan sebagai anak kecil. Ini baru Bundanya, belum Ayahnya dan demi apapun, Jiona perlahan melupakan keruwetan di sekolah.

***

Gideon melempar kaleng soda yang kosong ke tempat sampah, menimbulkan bunyi yang bising dan kaleng itu masuk. Tatapannya begitu kosong, walau menganggap kaleng itu sebagai semua masalah dan membuangnya, tetapi perumpaan yang ia buat itu hanyalah omong kosong belaka.

Sungguh, ia merasa sangat frustrasi. Pikirannya masih berpusat pada basecamp, tentang cewek menjengkelkan yang ternyata menjadi manajer baru. Ia masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa cewek itu begitu mudah menggunakan privilesenya? Jika dengan klub yang lain seperti basket, Gideon tidak peduli, tetapi ini voli! Separuh jiwanya. Ia merasa Pak Dirga atau Jerry begitu gegabah dengan pilihan mereka. Mengandalkan anak pindahan? Entah dia memang mengerti soal voli atau tidak, Gideon tidak tahu.

"Memang, gue berniat buat keluar klub, tetapi ...." Gideon terdiam, tidak melanjutkan perkatannya dan memilih untuk mengamati langit yang sudah mulai menggelap, perlahan juga terdengar suara radio masjid di sekitar sekolah yang menggema. Ia menghabiskan waktu diarea parkiran, hanya duduk termenung dengan minuman kaleng yang sempat dibelinya sebelum ke basecamp.

Gideon diam karena sebenarnya ia tidak ingin keluar. Hatinya mengatakan hal demikian tatkala voli memang sudah menyatu dalam dirinya, saat Papa mengenalkan voli kepadanya diusia lima tahun. Namun disisi lain, setelah perceraian itu, puncaknya ketika ia mengalami cidera parah yang efeknya terkadang masih sedikit terasa, Mamanya melarang keras ia bermain voli dan mengatakan, ia hanya akan menjadi sampah jika tetap bermain voli dengan keterbatasan setelah cidera.

Gideon masih ingin bermain jika melawan egonya, tetapi ia tidak melakukan hal tersebut dan malah terlihat seperti cowok pengecut.

"Gi, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Gideon dibuat tersentak karena ia tahu siapa pemilik suara itu dan ia memilih untuk mengembuskan napas dengan kasar.

"Gue sibuk, mau pulang!" Seraya Gideon bangkit, mendekat ke arah sepedanya. Ia yang sebenarnya belum ingin pulang tiba-tiba ingin karena tidak ingin membahas apapun dengan Jerry.

Hanya saja, Gideon lupa kalau Jerry tipikal manusia keras kepala. Terbukti ketika ia saat ini berdiri di hadapan Gideon dengan menahan stir sepeda yang hendak melaju. Sorot matanya terlihat menahan rasa kesal. "Gue tahu lo pasti masih kesal soal manajer baru. Itu memang atas rekomendasi gue ke Pak Dirga, tetapi gue bisa pastiin kalau Jiona itu emang pantes! Pak Dirga juga butuh cepat karena Lyna yang keluar dari posisinya. Ayolah, beri Jiona kesempatan untuk membuktikan kalau dia memang mampu!" ucap Jerry dengan sekali tarikan napas.

Gideon lantas menaikkan sebelah alis. "Terserah. Gue nggak peduli! Gue, gue bakalan terus terang ke Pak Dirga kalau gue mau—"

"Lo nggak boleh keluar! Lo tetap bagian dari Golden Eagles! Lo kapten kita dan gue mau lo tetap main karena gue dapat informasi baru dari Jiona kalau tim voli putra sekolah kita, Golden Eagles bakalan mewakili Kota Malang di Jatim Volleyball Cup!"

Hola, akhirnya ini lanjut ya, wkwk. Akan di publish secara berkala ya teman-teman. Alhamdulillah lolos buat seleksi selanjutnya.

Tetap stay teman-teman.

See u :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top