Bagian I : The Wound Participating

Hidup selalu berotasi. Terkadang sesuai dengan harapan dan kadang kala tak pernah kita bayangkan. Di dunia ini, harapan menjadi dasar kebahagiaan, walau tak menampik dampak yang dapat menciptakan luka dan derita. Sekeras atau seberusaha apapun menghindar, sebagai manusia tidak bisa mengelak dari perputaran roda kehidupan yang membawa setiap manusia pada fase naik-turun.

Bagi Gideon, ia merasakan perputaran hidup yang begitu drastis turun hingga membuatnya terkadang tak ingin membuka mata. Terasa sesak dan menyedihkan secara bersamaan. Hanya saja, inilah yang sudah digariskan untuk dirinya. Sekalipun ingin mengajukan protes pada Tuhan ketika takdir itu tak bisa diubah. Cowok yang saat ini tengah mengamati layar handphone miliknya saat ia berada di depan minimarket hanya dian dengan tatapan kosong membaca dua pesan yang muncul.

[Mama] : Mama keluar, tetapi di rumah ada Bi Inem sam Pak Akong. Kemungkinan Mama pulangnya malam. Ada meeting penting.

[Papa] : Kamu sudah sampai di rumah Mama?

Kedua pesan itu, membuat Gideon selalu mencoba untuk memahami apa yang terjadi padanya, selama tiga tahun ini, tetapi ia sulit untuk memahami hal tersebut. Pertanyaan selalu saja keluar dari pikirannya yang pergi berkelana. Di antara banyak manusia di bumi ini, kenapa harus ia yang merasakan kehidupan pecah seperti ini?

Ia hanya bisa menghembuskan napas kasar. Handphone itu kembali ia masukkan ke dalam saku hoodie lantaran ia harus melanjutkan perjalanannya ke rumah Mama. Perlahan, Gideon memberikan fokus pada sepeda kayuh yang menjadi kendaraannya selama bepergian untuk selalu melatih otot dan daya tahan tubuhnya.

Beberapa menit perjalanan, sudah tampak peluh sebiji jagung yang mulai menghiasi kening, karena Gideon masih sedikit kesulitan mengontrol keselarasan tubuhnya agar bekerja sama dengan baik. Mengingat, ini kali pertama ia kembali bersepeda setelah melakukan istirahat panjang bak hibernasi.

Tidak ada senyum yang ia perlihatkan. Suasana hatinya memang amat buruk. Hanya raut wajah menahan rasa kesal kala udara sore hari tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Memang, jika suasana hati Gideon buruk, semua hal akan menjadi salah. Ia pun malah semakin kepanasan, sehingga membuat Gideon langsung menghentikan laju sepedanya di pinggir jalan. Di sana juga terdapat kursi panjang. Ia seharusnya memang masih mengontrol diri agar tidak terlalu banyak mengeluarkan energi.

Sial, pergelangan tanganku nyeri sekali. Seraya ia memberikan pijatan pada sekitar pergelangan tangan dan juga lengan kanannya yang ternyata masih terasa nyeri setelah ia memarkir sepeda tidak jauh dari tempat duduk tersebut. Ia mengamati sekitar, taman tempat persinggahan yang tidak jauh dari area perumahan cukup sepi—tidak seperti biasa ketika ia harus ke area ini. Ia mencoba untuk tidak peduli, hendak mengambil tempat untuk duduk di sana, tetapi baru ingin melakukannya, seakan mendapati hadiah dari langit, ia merasakan kepalanya dihantam sesuatu.

Bukan kaleng seperti drama yang biasa ia tonton sekilas, tetapi ini sepatu putih dengan hak lumayan tinggi. Pantas saja terasa sakit. Tidak berselang lama, Gideon mendengar teriakan disisi taman dan ia bisa melihat dua cewek yang langsung mengalihkan amatan, saling menyikut lalu yang satunya berlari begitu saja.

"Jiona, lo yang harus bertanggung jawab! Gue harus pergi dulu karena Neko harus gue kasih makan," ucapnya disela berteriak, tanpa menoleh ke belakang. Bahkan, cewek itu mengambil langkah yang cepat. Hanya sisa satu cewek yang mengenakan kaos putih dengan bawahan rok hitam. Cewek itu tersenyum canggung, tampak was-was sebelum mendekat kearah Gideon. Tentu saja, jika ia ingin mengambil sepatu yang ada digenggamannya.

Gideon sendiri tidak menyangka akan terjebak drama menyebalkan seperti ini. Bertemu dengan seorang cewek yang menganggu ketenangannya. Agak malas, Gideon memperlihatkan sepatu yang ia genggam. "Ini punya lo?" tanyanya langsung begitu mereka saling berhadapan.

Cewek yang menjadi penyebab kepalanya sedikit ngilu dengan pelan mengangguk. Kepalanya tertunduk, memilih memainkan ujung kaos yang ia kenakan. Tidak ada yang cewek itu katakan dan Gideon merasa waktunya dibuang sia-sia. Hingga helaan napas Gideon hembuskan, bertepatan ia meraih telapak tangan cewek tersebut dan menaruh benda itu di sana. "Lain kali, hati-hati," ucap Gideon yang memilih untuk berbalik, tetapi baru beberapa langkah, Gideon berhenti untuk menoleh sejenak. "Lo setidaknya harus belajar untuk meminta maaf, tetapi sudahlah. Lagipula, ini pertemuan terakhir kita."

Nyatanya, setelah kalimat itu, Gideon benar-benar meninggalkan area taman. Suasana hatinya dibuat semakin hancur, padahal ia awalnya ingin sedikit bersantai kala pergelangan tangan dan lengannya yang terasa sedikit nyeri.

Cewek itu, dimata Gideon sangat bodoh dan tidak tahu diri. Jika tidak berniat meminta maaf atas akibat dari lemparan sepatunya itu, kenapa ia tidak sekalian lari saja bersama temannya? Lagipula, sepatu itu hanya akan berakhir ditempat sampah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Aneh." Sambil Gideon mengeluarkan seluruh tenaga yang ia miliki untuk kembali mengayuh sepeda kesayangannya. Mengingat, ia harus bergegas kembali ke rumah. Area taman dari rumah yang ia huni bersama dengan Mama tidak terlalu jauh. Sekitar tiga menit, pagar berwarna cokelat pekat berpadu dengan abu-abu kini ada di hadapannya menjulang tinggi. Rumah dua lantai yang memiliki desain minimalis modern dengan banyak menerapkan kayu dan kaca akan menjadi tempatnya untuk bernaung selama tiga hari, seperti jadwal rutin. Lalu setelah itu, ia akan ketempat sang Papa.

Melelahkan tetapi Gideon sudah seperti ini sejak kedua orangtuanya bercerai tiga tahun lalu.

Gideon merapatkan ransel yang ada di kedua pundak, hendak menekan bel tetapi handphone-nya terlebih dahulu berdering. Seseorang sedang menghubungi dirinya. Ketika ia memeriksa, itu berasal dari salah satu teman dekatnya di SMA sekaligus partner baiknya di Klub Golden Eagles. Gideon tidak sempat menjawab panggilan tersebut, tetapi temannya itu mengirimkan beberapa pesan.

[Jerry] : Bung, minggu depan kita sudah masuk sekolah lagi. Gue nggak mau tahu, lo harus balik karena lo adalah Kapten Golden Eagles!

[Jerry] : Hei, kekalahan di Malang Raya Cup itu bukan karena lo! Jadi gue tunggu lo di basecamp!

Gideon hanya bisa tersenyum miris membaca pesan yang terpampang nyata di layar handphone-nya. Seberapa besar ia diberitahu soal kekalahan yang terjadi bukan karena dirinya sebulan lalu, Gideon tetap merasa itu bersumber dari dirinya sehingga sekolah gagal mempertahankan piala bergilir itu.

***

"Ini semua gara-gara Nita! Gue malu banget," ucap cewek tersebut seraya melempar ransel yang ia kenakan di depan dudukan memanjang yang ada di teras. Bahkan, ia tidak memedulikan saat ada seseorang yang terkejut—nyaris membuang handphone-nya. "Sial! Sial banget! Gue membuat kesan buruk. Gue bahkan nggak—"

"Istigfar, Dek! Lo kenapa kek orang kesurupan? Datang-datang nggak punya adab. Setidaknya ucapkan salam. Untung Ayah sama Bunda lagi keluar," balas cowok itu yang memasang wajah heran. Lalu kembali pada handphone-nya, mengamati cukup lekat layar yang menyala hingga ia mendengus sebal. "Gideon sialan! Awas aja kalau dia masih merasa bersalah dan nggak mau main lagi!"

Cewek itu pun tidak peduli akan perkataan dan apa yang dilakukan oleh Abangnya. Ia memilih untuk kembali meraih ransel miliknya, tetapi hal buruk malah terjadi, membuat isi ransel itu malah berserakan. Dengan malas, ia kembali memasukkan benda-benda yang sebelumnya berserakan, sembari dirinya mengumpat. "Sebal banget! Dengar Jiona, lo nggak perlu lagi minjamin novel pada Nita! Titik!"

Jelas, itu akan dilakukan Jiona Pramudya. Ia bahkan masih tidak menyangka akan kejadian beberapa jam yang lalu. Ia yang janjian dengan Nita di taman dekat rumah sang empu, malah memberikan kabar yang menyakitkan saat novel kesayangannya—novel Harry Potter and The Cursed Child yang telah dirusaki oleh Neko. Bagaimana pula caranya kucing Persia milik Nita yang begitu bar-bar itu melakukannya? Faktanya pun memang seperti itu, karena sampul novelnya yang penuh akan cakaran dan bahkan sedikit bau pesing.

Saat itu, belum Nita memberikan penjelasan dan keduanya yang belum sempat memutuskan hasil akhir, Jiona sudah begitu emosi untuk memberikan pelajaran terlebih dahulu atas keteledoran Nita. Namun Jiona sama sekali tidak tahu jika sepatunya itu malah salah sasaran. Parahnya, mengenai kepala seorang cowok asing dengan skala ketampanan di atas rata-rata, memiliki kulit yang bersih, bahkan tampak mulus dan sekejap mengintimidasi Jiona dengan sorot mata tajam itu.

Hanya saja, Jiona memang mengakui kebodohannya yang tak langsung meminta maaf lalu mengajak kenalan. Hal itu karena ia malah menundukkan kepala karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Paras dan tatapan dingin cowok itu membuat Jiona langsung blank.

"Gue nggak bisa terima! Kenapa juga gue tadinya tiba-tiba diam aja? Nyebelin banget!" Jiona menggerutu sembari memukul udara, seakan itu adalah Nita karena sumber masalah terjadi karena dia. Namun, kegiatan kecil Jiona hanya bertahan sebentar karena Abangnya langsung memegangi kepala Jiona.

"Lo jangan nambah-nambah kerjaan, Dek! Gila beneran gue juga yang pusing. Mending lo isi surat pernyataan yang dikasih sama Pak Dirga! Minggu depan lo kumpul langsung! Awas telat. Lo sebagai murid pindahan jelas harus memberikan kesan baik. Apalagi, lo itu adik Jerry Pramudya!"

Jiona langsung mendengus sebagai jawaban. Bahkan, ia juga memicingkan mata. Seakan ada hal yang tidak ia sukai dari perkataan Abangnya. "Tunggu, sejak kapan gue setuju dengan penawaran Pak Dirga? Hei, gue nggak suka voli dan gue nggak mau jadi—" Perkataan Jiona dihentikan dengan sumpalan telapak tangan kekar Jerry.

Dengan santai, Jerry bahkan menggelengkan kepala. "Nggak perlu sok jual mahal! Nggak suka voli tetapi tahu semua tentang voli! Emang pintar banget bohongnya!" ucap Jerry dengan wajah menahan rasa kesal, padahal Jiona merasa ialah yang seharusnya kesal ketika diperlakukan seperti ini. Saking kesalnya, Jiona tidak bisa menahan isting dengan menggigiti telapak tangan Jerry, sehingga sang empu langsung melepaskan diri.

"Sialan lo, ya!" Jerry berteriak dengan kekesalahan yang memuncak, tetapi Jiona tidak peduli karena ia yang memilih mengambil ancang-ancang untuk berlari setelah menjulurkan lidah. Setidaknya, ia akan aman untuk beberapa saat.

Hola, selamat datang di cerita baruku. Cerita ini aku ikutkan event di Ponyo Writeen Boy Next Door. Kebetulan dapat karakternya gitu, jadi kita main voli dulu.

Dukung terus ya, tetapi ini beda sama yang kubahas kemarin. Tunggu aja, hehe.

See u pokoknya! Stay terus ya ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top