Prahara Pra-Tanding
"Pa-pagi, Astrid. Apakah tidurmu nyenyak semalam?"
"Tidak juga. Kasurnya terlalu tebal."
"Kuharap hal itu tidak mempengaruhi performamu di arena nanti."
"Aku sudah siap bertarung, Paman," sahut Astrid, kini duduk tidak jauh dari Batar yang tengah berdiri melihat pemandangan dari balkon selasar menara. Batar sendiri tidak terlalu bersantai hingga teralun lamunan pemandangan Edealunis di pagi hari. Diam-diam, Batar mendengar pembicaraan antara Astrid dengan Maltha.
Hmmm ... sebuah situasi pembicaraan yang cukup berat. Simpul Batar dalam pikirannya.
Batar kemudian memandang Astrid dan Maltha, menyaksikan ada sedikit suasana yang tidak nyaman di antara keduanya.
Batar menyipitkan mata, dengan nada kecut berkata, "Ada sesuatu yang kiranya terjadi di antara kalian berdua. Ada masalah?"
Maltha melirik sekilas kepada Astrid. "Ti-tidak, kok, Paman," ujar Maltha sedikit terbata, seperti menyembunyikan sesuatu.
"Kemarin dia menerima bunga dari perempuan Qasalon." Astrid bangkit dari duduknya, seraya mendekati Batarich.
"Aku menyuruh Maltha untuk menyingkirkannya, karena mungkin saja Qasalon bermain licik," sengak Astrid seraya menatap Maltha kecut.
Demi Buyut!
Rasanya seperti disambar petir di tengah sabana.
Batar terperangah, tidak percaya dengan apa yang samar-samar di dengarnya. Meskipun pendengaran Batar telah menurun karena efek dari luka perang, Batar masih menangkap apa yang dikeluhkan Astrid. Bertahun-tahun berjibaku dalam berbagai peperangan, pertempuran, dan pertarungan, telah membuat Batar hafal, bagaimana sedikit gesekan konflik dalam pasukan dapat mempengaruhi jalannya perang.
Tenang. Jangan buat situasi.
Batar menggeram, sesekali menghela napas panjang sembari memejamkan matanya.
Jangan. Buat. Situasi.
Sekali lagi ia menghela napas panjang, menahan emosinya agar tidak terlalu meledak-ledak, sebelum akhirnya ia bersungut,
"Sebuah retakan sekecil debu mampu untuk membelah batu paling kokok. Sebuah emosi cemburu di antara para prajurit, dapat mengubah jalannya peperangan."
Batar mungkin ingin Qokar berjaya, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia ingin lebih dari sekadar menang. Ia ingin anak-anak ini selamat, apapun hasilnya.
Sembari menyemprot dengan nada meninggi Batar menunjuk Astrid. "Apa yang kaupikirkan!??"
Lalu menunjuk Maltha.
"Dan apa yang kaupikirkan!???".
Bah, persetan! Bocah-bocah bangor bin ajaib! Pagi-pagi sudah bikin kepala pusing!
"Kalian menyulitkan diri kalian masing-masing dengan hal remeh-temeh, Padahal kalian tidak tahu hal jelek apa yang bisa terjadi, KETIKA KALIAN SUDAH MASUK DI ARENA!!"
"Dari Qasalon?" Talon yang baru bergabung pun langsung menyahut dengan nada tinggi.
"Menerima apa dari siapa?"
Talon terlihat menarik napas dalam. "Memang seharusnya kemarin kalian tidak kubiarkan ke mana pun. Kalian datang ke sini untuk apa?!"
"Tidak ada larangan untuk tidak memusuhi atau membenci, tapi tahu diri lah! Kamu, kalian harus bertarung untuk menang, dan untuk menang kita harus waspada dengan lawan, kapan pun, di mana pun!" Talon menggebrak meja.
"Dan itu Qasalon. Tahu Qasalon? Mereka pemenang turnamen sebelumnya. Siapa yang tahu mereka akan melakukan apa untuk mempertahankan itu?" Talon kini mondar-mandir gelisah.
"Dan ... kalau kalian akrab di luar arena, itu juga bahaya. Kita di sini ada juga untuk memecahkan teka-teki Tarikh Daslaenad, untuk Qokar. Untuk aliansi kita! Salah-salah malah kalian memutuskan untuk berbagi soal info itu ke negara lain?!"
Kedua gadis petarung dari Qokar itu pun akhirnya 'dikeramasi' oleh omelan kedua pendampingnya.
"I-itu hanya sekuntum bunga." Giliran Maltha yang kini membela diri.
"Nona Esme dari Qasalon memetiknya di tama katedral lalu membagi sekuntum untukku. Waktu itu juga ada Nun Fantine. Aku tahu aku datang ke sini untuk bertarung, tetapi bukan berarti aku harus membenci dan memusuhi lawan-lawanku di luar arena, kan, Paman?"
Maltha lalu beralih menatap Astrid. "Kalau begitu prinsipnya, Astrid juga adalah musuhku. Bukankah kami juga pernah bertarung di arena yang berbeda? Tapi, aku tidak serta-merta membenci Astrid karena pernah menodongkan kapaknya kepadaku."
"Kenapa aku?! Aku hanya tidak mengingkan hal yang tidak diinginkan terjadi!" nada Astrid meledak marah.
"Kalau memang dia tidak ingin percaya kepadaku, biarkan saja! Aku tidak butuh dia!" tuding gadis berambut putih keperakan itu ke arah Maltha.
"Justru aku yang mendapatkan informasi dari Nona Esme terkait Tarikh itu. Sebelumnya aku tidak tahu-menahu tentang Tarikh karena Paman sendiri tidak pernah menyinggungnya. Kalau kemarin aku tidak mengikuti Nona Esme, aku tidak akan mendapat informasi dari Father Josue tentang Father Roland."
Astrid melipat kedua tangannya, menatap Maltha dengan kesan sinis. "Baru Tarikh, mungkin besoknya dia akan memberikan informasi cara bertarung kita ke Qasalon."
Nada Maltha tinggi menukas, "Kau tidak mendengarkan penjelasanku ya? Aku berhasil mendapatkan informasi tentang Tarikh dengan usahaku sendiri. Tidak seperti kamu yang hanya keluyuran tidak jelas di festival!"
"Bukan aku yang tidak percaya kepadamu. Tapi kamu yang tidak percaya bahwa aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku tidak sebodoh yang kamu pikirkan, Astrid!"
"Aku hanya berjaga-jaga! Kalau kamu dapat masalah, siapa yang akan terkena imbasnya? Kita semua, Maltha!"
"CUKUP!" Suara Batar menggelegar seantero ruangan. Mendengar teriakan Bata, Maltha langsung mengatupkan mulutnya.
Bocah-bocah bangor ini layak untuk dikeramasin!
Semua emosi akhirnya pecah menjadi sebuah rentetan debaran tempramen yang tidak terbendung. Batar menghela napas, sebelum akhirnya ia kehabisan kampas rem emosinya.
"Kalian berdua membuatku dan Talon kini berada di posisi yang sulit. SULIT KALAU SUDAH BERTENGKAR BEGINI! SULIT! Bisa-bisanya kalian mementingkan ego kalian masing-masing, bisa-bisanya kalian berkelahi sendiri, sedangkan sebentar lagi PERTANDINGAN AKAN SEGERA DIMULAI!"
Batar menyebut kedua bocah yang kini sudah seperti anak kecil berebut mainan. "Maltha! Astrid!"
"Kalian berdua camkan ini baik-baik di pikiran kalian itu yang kena asap emosi bocah badung!"
"Aku tidak mau tahu lagi bagaimana cara kalian menurunkan ego bocah kalian biar tidak kayak bison gurun yang sembelit!"
Batar menunjuk ke arah pintu luar, "Ketika kalian sudah berada di arena tempur itu, kalian harus saling bekerja sama melawan musuh, bekerja sama melindungi satu sama lain. PAHAM!"
"Paman tidak perlu khawatir, aku akan menggiring kedua bocah penyihir itu ke dalam jangkauan kapak Astrid seperti yang paman ajarkan. Aku dapat memisahkan urusan pribadiku dengan tugasku di arena," sahut Maltha yang menatap tajam ke arah Astrid.
"Kamu pastikan saja ayunan kapakmu tidak meleset," katanya dengan nada sinis.
Kemudian, setelah Batar, giliran Talon yang 'mengeramasi' kedua bocah bangor itu.
"Sekali lagi, CUKUP."
Talon tiba-tiba memukul tembok. Begitu keras sampai lantai terasa bergetar.
"JANGAN melakukan apa-apa tanpa izin dariku. Kalian berdua! Kekuatan itu penting, tapi kekompakan tim tidak kalah penting! Terserah kalau mau membangkang. Jalan-jalan di festival, keliling bangunan, bersantai-santai, tapi jangan harap kalian bisa mencapai tujuan kalian kemari."
Talon kini menendang meja, tidak sekuat pukulan sebelumnya.
"Benar. Tujuan kita. Astrid, Maltha, setelah bertarung nanti, segera menghadapku. Ceritakan semua yang kalian alami kemarin. Jangan sekarang. Sekarang, KALIAN AKAN BERTARUNG SEBAGAI TIM, PAHAM?!"
Sementara itu, empat orang marah-marah ini tidak sadar, kalau Roderic sudah berdiri di ujung selasar. Mulutnya melongo, terperangah sedikit merinding karena pukulan Talon di tembok menara, bisa jadi akan membuat menara delegasi ini rubuh. Kedatangan Roderic yang sedikit terkejut itu pun, memberikan pertanda, bahwa Delegasi Qokar sudah harus berangkat menuju arena pertandingan.
===***===
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top