Koin Emas
Di sepanjang perjalanan menuju menara, Batar hanya melamun mengenai apa yang telah dialaminya hari ini. Baru hari pertama, para delegasi Tiga Negara hadir sudah membuat banyak tingkah. Lebih tepatnya, ribut-ribut soal Tarikh Daslaenad. Kaum Qokar hanya menganggap Tarikh adalah kekuatan tersembunyi, sebuah kejayaan masa lalu yang 'diyakini' menjadikan Qokar sebagai sebuah aliansi suku-suku yang disegani oleh negara-negara lain. Batar sendiri hanya menganggap Tarikh adalah relik masa lalu yang muncul sebagai legenda. Ratusan tahun peperangan membuat orang mendambakan kejayaan masa lalu, mendambakan tatkala Kekaisaran masih menyatukan Hiryn.
Sesampainya rombongan Qokar kembali ke Menara Delegasi, Batar segera menghampiri Astrid dan Maltha untuk memberi mereka arahan. Batar melipat kedua tangannya.
Sembari menatap tajam kedua gadis di depannya, pria paruh baya itu dengan tegas berucap, "Baiklah, kalian berdua, dengar baik-baik. Setelah ini, kalian boleh berjalan-jalan ke mana saja, asalkan kalian harus kembali sebelum malam hari. Ingat! Kalau kalian terkunci di luar karena terlambat masuk menara, aku tidak akan turun untuk membantu kalian!"
Batar dengan cepat meneruskan 'penatarannya'.
"Juga, jangan sampai aku atau Talon dengar, kalau kalian terlibat hal yang merepotkan kita semua. Aku tidak ingin dengar aduan dari panitia, kalau kalian terlibat perkelahian, bikin onar, atau mabuk-mabukan! Sampai sini paham??"
"Paham, Paman," kata Maltha mantap.
Batar memandang Maltha merogoh saku dan mengeluarkan beberapa keping koin belulang dan logam. Suku-suku di Qokar memiliki dua mata uang. Koin belulang dan koin logam emas. Lebih jauh lagi ada kalanya suku-suku di pinggiran benua masih menggunakan barter sebagai sistem tukar mereka, sementara suku-suku yang dekat dengan Pos Dagang atau Suku Khou, sudah memiliki koin emas sebagai alat tukar antar-negara.
"Err. Boleh aku bertanya, Paman? A-apakah uangku ini bisa kugunakan untuk membeli barang di festival? Dan '8 emas' itu kira-kira seberapa, ya, Paman?" tanya Maltha dengan kedua mata mengerjap penasaran.
"Hmm ... hanya koin logam yang berlaku di Edealunis, karena selama ini, negara-negara lain juga menggunakan koin itu untuk bertransaksi. Sekeping dihargai lima emas. Sementara untuk koin belulang, itu tidak berlaku di sini," jelas Batar sembari menggosok janggutnya.
Maltha menghitung koin di tangannya. Hanya ada satu yang terbuat dari logam, sisanya terbuat dari gigi dan tulang hewan. Ia tampak mengeluh mengucap sesuatu yang tidak dapat Batar dengar.
"Tapi kita tetap boleh ikut lomba adu kekuatan, kan?" sahut Astrid tiba-tiba, memastikan.
Batar menghela napas. Tidak ingin memusingkan hal yang remeh-temeh, Batar pun merestui.
"Asalkan kau tidak bikin ribut saja, terserah. Tapi ingat, kembali ke menara sebelum jam malam diberlakukan."
"Sepertinya, kalian membutuhkan sesuatu."
Keluar dari kamarnya, Batar melihat Talon mendekatinya dan para bocah.
"Kita masih akan berada di sini beberapa lama, jadi bijaklah menggunakan uang atau waktu kalian. Untuk sisa waktu hari ini, kalian bebas, seperti kata Pak Lonechair tadi. Tapi besok-besok, tunggu arahan dariku maupun para petinggi."
Talon mengeluarkan kantong kulit dan merogoh sesuatu. "Untuk lima hari. Petarung yang baik akan bijak memilih untuk apa menggunakan uang mereka."
Diberinya Astrid dan Maltha masing-masing lima keping gold, lalu ia melirik ke Batar. "Apa Anda juga berniat keliling dan jajan layaknya anak muda, Bapak Lonechair?"
Batar hanya menghela napas dengan keras. Ia berpikir akan mencari-cari informasi. Teringat bahwa di Katerdal juga ada 'Kamar Bola' tempat para tamu saling bertemu dan bercakap. Mungkin ia akan ke sana.
Sementara itu, dengan mata berbinar-binar, Maltha menerima keping-keping uang yang diberikan Talon kepadanya.
"Te-terima kasih, Paman Talon. Aku berjanji akan menggunakannya dengan baik. Kalau begitu, aku izin pamit pergi."
Maltha lalu menoleh kepada Astrid. "Aku ingin melihat-lihat bunga di taman. Kamu mau ikut?"
Astrid menggeleng. "Aku mau mencari tau soal tempat turnamen nanti."
"Sampai jumpa di festival, Astrid. Mari Paman Batar dan Paman Talon." Maltha pamit pergi sekali lagi. Kali ini, dia langsung melipir keluar dengan sedikit bersenandung riang.
===***===
Kamar Bola dan Ruang Umum. Tatkala Batar memasuki ruangan itu, baru hanya ada satu orang yang sudah muncul. Batar melihat Talon sudah berada di salah satu sudut ruang umum, tengah melihat-lihat botol-botol minuman di hadapannya. Batar pun menghampiri pria itu.
"Yo, Talon," sapa Batar sembari mengangkat tangan kanannya.
"Batarich. Apa kau risi kupanggil dengan nama belakangmu?" Talon terkekeh menyapa Batar..
Batar menghela napas, menggeleng seraya berujar, "Hah ... sudah banyak nama panggilan yang diberikan padaku, sehingga aku sudah tidak ada minat untuk memprotes atau merasa risih. Jadi ... silakan, terserah bagaimana nyamanmu saja."
"Baik, Pak Lonechair." Talon menghela napas.
"Menurutmu, apa kemenangan aliansi Qokar dalam turnamen ini sangat penting?"
Hmm ... langsung ke sana, huh. Sepertinya Talon mendapat permintaan yang begitu 'menekan' dari Tetua Aliansi bahwa Qokar harus meraih kemenangan di Turnamen ini.
"Kemenangan tentu akan jadi kunci, kalau aliansi kita masih memiliki taji untuk bersaing dengan negara-negara lain, Talon." jawab Batar.
"Setidaknya, kemenangan di turnamen akan membawa kembali legitimasi Persekutuan, sebagai salah satu wilayah besar yang pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Daslaenad. Hanya saja ...." Batar berhenti oleh seberkas keraguan.
"Sepertinya, Anda sendiri tidak terlalu tertarik dengan kemenangan itu, ya? Hm, kadang aku berpikir, aku punya penilaian terlalu tinggi ... sendiri. Dua anak itu sepertinya terlalu polos dan hanya melihat turnamen ini sebagai ajang pembuktian diri sendiri, tanpa nama aliansi," ujar Talon.
"Maltha dan Astrid, huh?" Batar mengusap jenggotnya sembari mengawang ke atas untuk sejenak.
Lalu, ia berujar, "Jika itu Maltha, aku bisa mengerti. Karena dia dari suku yang terpencil, sepertinya anak itu ingin bertarung demi ketenaran nama sukunya. Bisa dilihat dari beberapa orang Qokar, yang masih ada yang tidak tahu di mana desa asal Maltha itu berada."
"Omong-omong Maltha, sepertinya Anda lebih dekat dengannya, ya? Seingatku, terakhir kali bertemu dengannya di medan laga, dia bukan anak yang malu-malu seperti itu. Apa sesuatu terjadi padanya?"
Ternyata bukan hanya Batar saja yang merasa aneh dengan Maltha. Spekulasi sudah mulai bertebaran, tetapi Batar tidak ingin terlalu cepat menarik kesimpulan.
Batar pun mengedikkan bahu. "Kemungkinan dia gugup, kemungkinan dirinya terpesona ketika memasuki kota besar seperti Edealunis. Aku tidak ingin repot-repot untuk memikirkan hal yang remeh temeh, sebenarnya. Namun, aku sendiri juga merasakan ada sesuatu dengannya, entah apa."
"Heei, Om-om Qokar." Sebuah suara memecah pembicaraan Batar dan Talon.
"Ka-kaaliaan sedang apaa?"
"Anda siapa? Bisa-bisanya mabuk menjelang turnamen penting." Suaranya menajam setelah dikagetkan oleh sosok 'nenek-nenek' yang sedang mabuk.
Batar mengernyit ketika melihat sosok itu.
Hmm ... sepertinya aku pernah melihat nenek itu. Bukankah dia dari Delegasi Qasalon.
"Wah, padahal kau sudah tahu betul kalau menara ini juga dihuni oleh negara lain. Tidak hanya negaramu saja. Aku Wina salah satu pendamping Qasalon." Wina tersenyum tetapi badannya sedikit oleng, sehingga ia menyandarkan punggungnya di kursi makan.
Ah, benar dugaanku, batin Batar.
"Mau minum alkohol bersama lain kali? Aku punya rekomendasi pub bagus yang alkoholnya lumayan." Wina menatap Batar dan Talon.
Kemunculan wanita tua bernama Wina dari Qasalon yang tengah mabuk, membuat Batar sedikit jengah. Pria itu bahkan sudah ada niatan untuk angkat kaki dari ruang pertemuan umum, ketika wanita itu datang. "Tidak, terima kasih. Di desaku, minum-minum hanya jika ada sesuatu untuk dirayakan, bukan untuk hobi menyakiti diri sendiri secara perlahan. Selain itu ... kesehatanmu, Nek," ujar Batar menimpali, sembari mengambil kursi untuk duduk.
Nenek-nenek ini makin lama makin-makin, huh. Merepotkan saja. Batar mendengus, seraya memalingkan muka ke arah jendela. Fokusnya sudah tidak lagi kepada nenek bernama Wina itu.
"Wah, padahal alkohol bagus untuk menenangkan diri. Juga bagus untuk membingungkan syaraf kalau kesakitan hingga mati rasa. Tuan Lonechair kan ya?" ujar Wina dengan nada melantur.
Semakin banyak Nenek Wina meracau, semakin sering pula Batar menghela napas.
Malam pun turun larut di Edealunis, terdengar samar-samar dari kejauhan, riuh rendah festival mewarnai langit malam di kota suci ini.
===***===
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top