All Quiet Under Broken Sky

Alam Pikir manusia terhubung oleh jalan-jalan yang mengarah kepada kesadaran manusia itu sendiri. Manusia memiliki kelemahan dalam akal pikir mereka, masih bertautan dengan naluri-naluri priomordial sejak dari Zaman Azali. Pertautan dengan naluri primordial itu, menghasilkan sebuah ketidaksempurnaan manusia yang mudah terombang-ambing oleh kekuatan dari luar.

Dewa Asing.

Sesuatu yang mampu mengisi alam pikir manusia dengan kekacauan, membutakan nalar dan merusak kesadaran perlahan-lahan. Seperti yang terjadi pada mereka yang dibutakan oleh suara kekacauan Dewa Asing itu. Dengan apa yang mereka genggam, merangsek maju seperti gerombolan binatang yang haus darah, melihat mangsa di depannya.

"Hah—" Batar menghela napas panjang, melayangkan serangannya pada seorang pria yang ingin mencangkulnya.

"Manusia adalah sumber daripada dosa itu sendiri." Batar membalik kapaknya, berkelit seraya memukulkan ujung tumpul kapaknya kepada sendi lengan pria di depannya. Tulang sikunya retak, ia tidak akan bisa menggunakan tangannya lagi Batar berputar, kemudian menghunjamkan kapak satunya ke kaki kanan pria lain yang kini ingin mencincangnya dengan pisau jagal.

"Manusia selalu bergerak mengikuti nafsu, terjebak dalam samsara" Pria itu terpelanting kehilangan kaki kanannya. Kecil kemungkinan ia bisa berjalan menggila dengan satu kaki

Kemudian, sebuah semburan air berkekuatan tinggi, mendorong jauh para perusuh yang hendak merangsek. Sejenak Batar melihat ke arah pintu masuk bawah tanah, di mana ia melihat 'Pria Berpenutup Mata yang Aneh dari Isigalla', dihadang oleh Tuan Yates. Mereka seperti memperkarakan sesuatu, hingga akhirnya mereka saling berkelahi sendiri.

'Pria Berpenutup Mata yang Aneh' itu kemudian mengeluarkan sihir untuk menjatuhkan Tuan Yates dari tempatnya berpijak. Pria Berpenutup Mata yang Aneh itu pun kabur, masuk ke dalam ruang bawah tanah, menyusul anak-anak yang kini tengah bertarung dengan takdir. Sementara itu, gerombolan manusia nirnalar di depan, kembali mencoba merangsek.

Keparat!

"Tuan Yates! Abaikan saja Belalang Kepanasan dari Isigalla itu! Dia hanya mementingkan dirinya sendiri! Kita harus kembali fokus mempertahankan tempat ini!" teriak Batar kepada Tuan Yates, untuk kemudian, menghindari pisau dapur yang hendak ditusukkan kepadanya. Manusia adalah sumber daripada dosa itu sendiri.

"Tuan-tuan!, Apakah Tuan sekalian bisa menyerang dalam kegelapan?" Dalam samar, terdengar seruan dari Pendamping Isigalla yang lain--Hazel Lockhart namanya kalau tidak salah--kini sedang menghalau satu per satu kerumunan massa yang menggila dengan sihirnya.

Menyerang dalam kegelapan? Apa maksudnya? Ingin menggunakan sihir tertentu? Sembari melawan, sembari berkontempelasi.

Konsentrasi Batar terbagi sejenak, sehingga, ia memilih untuk menghindari serangan demi serangan yang ditujukan olehnya, sembari memikirkan beberapa hal. Ia sudah biasa berpatroli melintasi Hutan Tanah Leluhur di setiap Bulan baru, di mana hanya cahaya dari obor yang menemaninya. Namun, lain halnya jika kegelapan itu adalah produk dari sihir para magi.

"Dame Hazel!" Teriak Batar. "Maaf, seberapa gelap kita akan bertarung?!"

"Mohon bantuannya, Tuan-tuan!" Dame Hazel tidak merespon. Tidak ada waktu dan Dame Hazel telah menyelesaikan manteranya.

"Sihir saya terbatas. Serang sekarang!"

Kegelapan ini sama persis ketika Batar mengarungi Hutan Tanah Leluhur pada saat bulan baru. Kegelapan mulai menyeruak, seiring dengan samar-samar erangan dan pekikan para perusuh yang memantul di udara sekitar. Beberapa detik, gelap, kemudian berkas demi berkas cahaya kecil ditembakkan dari tempat Dame Hazel berdiri.

Apa boleh buat, Ini adalah kesempatan untuk menciptakan ruang serang balik

Pendengarannya yang mengalami penurunan pasca-pertempuran itu, jelas membuat Batar memaksa untuk melatih indera yang lainnya.

Dalam dekapan gelap, di situlah kejahatan berkonspirasi. Namun, dalam dekapan gelap, di situlah kita akan semakin dekat dengan diri kita sendiri.

Batar mencengkeram kedua kapaknya erat-erat. Dalam kegelapan, ia dapat merasakan mana aura pembunuh haus darah, mana aura binatang buas, dan mana aura manusia.

Dalam kegelapan, Aku melihat sentuhan dunia.

Kajna-Vijnana

Satu. Dua. Tiga.

Tiga orang manusia yang kehilangan akalnya, masing-masing membawa senjata, mengacungkan ke 'Sang Kesatria' Batar berkelit dalam setiap serangan, sembari memberikan 'penghakiman' pada tiga manusia yang telah tersesat itu.

Empat. Lima.

Klerik dari Edea dan Dame Hazel Batar bergeser ke sudut datang penyerang dan Dame Hazel, menghadang kejahatan untuk melukai mereka yang berjuang.

===***===

Batar bergeser untuk menghindari serangan, mengonservasi energi, kemudian melayangkan sebuah serangan yang cukup untuk menghalau dan melumpuhkan para penyerang. Seperti gunung karang yang memecah ombak besar.

Manusia-manusia tersesat itu bak ombak yang tersentuh badai, menggulung dahsyat menghantam garis pantai. Seperti datang dalam sebuah tempo, menghantam pantai hingga akhirnya surut, untuk kemudian menghantam pantai lagi dalam kekuatan yang besar. Dikendalikan oleh badai berupa sebuah Kuasa Jahat yang turun untuk menyebarkan kemalangan pada umat manusia.

Seluruh pasukan garis depan membentuk garis pertahanan yang tipis, memastikan Mereka yang Tersesat, tidak turun lebih jauh. Semakin banyak korban yang jatuh, semakin banyak nyawa yang terenggut, dalam katastrofi yang tidak pernah dapat dibayangkan sebelumnya.

Entah berapa banyak, mungkin satu benua berbondong-bondong untuk merusak kesucian Edealunis atas tipu muslihat dari Kuasa Jahat yang menutup mata dan pikiran mereka.

Sir Yates, berada tidak jauh dari jalan masuk menuju bawah tanah, menjatuhkan setiap perusuh yang mampu lolos dari garis depan. Dame Hazel, sesekali menciptakan ilusi untuk membutakan mereka yang terbutakan tipu muslihat, memberikan ruang-ruang kesempatan untuk memberikan 'napas' bagi garis pertahanan. Lalu, Batarich Lonechair, berada di garis depan, memastikan Manusia-Manusia Tersesat itu tidak merangsek lebih dalam. Ketika ia memutuskan untuk tinggal di atas, maka ia telah tahu konsekuensinya.

Itu tidak bisa disebut dengan pertempuran.

Pertempuran macam apa yang menumbalkan manusia-manusia tersesat sebagai pion-pion yang dicampakkan dengan gampangnya?

Tiada keraguan Batar untuk berdiri di tempatnya sekarang. Hanya saja, tubuhnya perlahan-lahan menuju batasnya. Lambat laun, riuh kekacauan perlahan-lahan mulai berkurang seiring berjalannya waktu. Sesekali Batar dapat merasakan gemuruh hebat berasal dari bawah tanah sana.

"Katha, Astrid, Talon ... berhasilkah mereka mengalahkan Dewa Asing itu?"

Serangan demi serangan terus berdatangan tiada habisnya. Dalam kekacauan itu, sekelebat ingatan tentang pertempuran terakhir juga berkali-kali menggedor pikiran Batar. Batar kepikiran dengan mereka yang tengah menenun kanun mereka di bawah sana. Bau anyir darah menyeruak menusuk hidung. Bau ilalang basah. Berbagai macam senjata yang berhamburan di tanah. Tubuh-tubuh nirnyawa yang tergeletak dalam dekapan bumi.

Dalam palagan nirsuara, berdirilah sosok kehidupan yang menyendiri diantara ribuan kematian yang sunyi. Batar tidak akan pernah lupa hari itu. Kini, ia mengingatnya—tidak—merasakannya kembali.

Qokar bukan hanya sekumpulan suku-suku di luar peradaban yang hanya mengenal perang dan tarung. Mereka membangun peradaban mereka dalam kehidupan penuh dengan jalan hidup yang terjal. Ingatlah bahwa kehidupan adalah sesuatu yang kejam dan penuh akan cobaan.

Samar-samar, Batar mengingat percakapan di masa lalu. Selayaknya nyata adanya, selayaknya diceramahi oleh para tetua. Seorang perusuh berhasil menggoreskan luka di lengan kiri Batar, tetapi Batar segera menghantamkan tubuh perusuh itu ke setapak taman.

Orang-orang Qokar di masa lampau bertahan membangun peradaban mereka dalam segala kesulitan dan segala ketidakcukupan. Berawal dari kumpulan orang-orang, membentuk keluarga, kemudian suku, dan pada akhirnya terciptalah sebuah Bangsa bernama Qokar.

Perusuh lain menjambak rambut Batar, tetapi segera dihantamnya rahang perusuh itu dengan kepalanya. Kemudian, datang satu lagi berusaha untuk menyabet kaki palsunya dengan palu, tetapi Batar segera berkelit, lalu menginjak perusuh yang datang dengan kaki palsunya.

Satu suku membangun tembok mereka selama satu bulan penuh, hanya untuk hancur oleh badai pasir dalam hitungan jam. Ada pula satu suku harus berpindah-pindah tiga kali selama setahun karena perang antarsuku selalu menerpa mereka. Khou menjadi suku besar bukan hanya dalam semalam dan Abgennar tidak akan hancur meski diterpa oleh bencana berkali-kali.

Seseorang berusaha menantang Batar dengan tangan kosong, tetapi baru saja mereka saling berhadapan, orang tersebut terdiam ragu. Batar meninju telak muka manusia tersesat itu.

Menjadi seorang Qokar bukanlah hanya sekadar kekuatan akan fisik saja, tetapi juga keteguhan hati untuk tetap berdiri tegap di segala macam kesulitan yang dihadapi, bahkan ketika langit akan runtuh sekalipun.

Di antara gelombang manusia tersesat, Batar menghadapi setiap mereka yang menyerang. Naik turun dalam simfoni kekacauan yang dapat temukan dalam kehidupan. Lelah telah menggelayuti, luka diterima tanpa sempat merasakan kesakitan. Gemuruh semakin menggelegar dari bawah tanah, menautkan kecemasan. Anak-anak Qokar tengah berjuang menenun kisah mereka untuk hari depan.

... Dari Brenoth ... berkelanalah kau ke utara hingga menemukan Kuil Altar Leluhur di dekat sebuah danau di tengah savanna. Lalu, berjalanlah engkau menuju arah matahari terbenam hingga menemukan ujung dunia. Temukan di mana tanah yang kau pijak menghapus horizonnya, seakan menyambungkan langit malam berbintang di mana para leluhur melintas ke angkasa ....

Gelombang pasang mulai surut. Gelombang manusia perlahan mulai menipis, seiring dengan seringnya gemuruh yang terasa dari bawah tanah. Batar mengembuskan napas panjang, seraya memperkuat kuda-kudanya, mempererat genggaman kapaknya.

.... Kita akan bertemu lagi, jika kau telah menyelesaikan legendamu.

Bahkan jika esok hari langit runtuh dan bintang-bintang memenuhi daratan Hiryn, kita akan bertemu lagi, Batarich Lonechair ...

Dalam gelombang kuasa jahat yang perlahan mulai surut, Batar tetap berdiri tegak memecah ombak manusia yang telah tersesat dari jalannya.

Pertempuran itu begitu kacau balau, hingga pada satu titik, sebuah keajaiban terjadi.

Pada awalnya, sebuah gemuruh dahsyat dari dalam bawah tanah, lalu gemuruh itu berubah menjadi raungan paling menakutkan di tanah Hiryn. Bahkan, raungan itu bisa-bisa membuat telinga tuli selama berbulan-bulan, jika si empu telinga tidak kuat dengan suara mengerikan itu.

Seperti lautan penuh badai yang tiba-tiba menjadi hening seperti riak-riak tenang oasis di Qokar. Dalam sebuah komando yang menghilang, seperti lilin yang tertiup angin. Diam yang begitu hening. Sunyi yang begitu senyap. Dalam gelap dan dalam kebisuan. Para manusia tersesat itu seperti dikutuk menjadi patung, tidak bergerak selama beberapa saat. Lalu mereka semua pun jatuh terkulai tanpa daya. Tubuh-tubuh itu berdebam secara serempak ke tanah.

Batar menurunkan kapaknya, melemparnya ke tanah. Ia menghela napas. Lantas ia terkekeh, seraya berpikir bahwa hal yang mustahil bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti di dongeng-dongeng yang dicelotehkan oleh para Tetua Adat.

"Usai sudah."

===***===


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top