A New Era is Upon Us

"Anda butuh sesuatu untuk memulihkan diri sebelum menyusul anak-anak? Atau dipanggilkan suster juga?" tanya Dame Hazel yang mendatangi Batar. Batar perlahan bangun dan terduduk di tanah. Rasa nyeri, kebas, perih, dan letih, semua bercampur menjadi satu beban yang mulai menggelayuti Batar. Batar menggeleng, seraya berucap, "Sepertinya ... aku akan menunggu di sini saja, sembari memulihkan diri."

"Oke, saya tinggal kalau begitu!" Dame Hazel berlalu meninggalkan Batar.

"Apakah saya bisa menyembuhkan Anda, Tuan ... Batarich?"

Lalu, Father Josue pun datang mendekati Batar, menanyakan keadaannya. Batar mengangguk takzim, seraya menjawab, "Terima kasih, Father. Untuk sementara biarkan saya mengistirahatkan diri dulu. Mungkin ...."

Batar tidak melanjutkan, menunjuk ke arah Dame Hazel yang berjalan sempoyongan hebat. "Dame Hazel lebih membutuhkan pertolongan segera, Father." lanjut Batar.

"Baiklah, Tuan Batarich." Dia mengangguk pelan sebelum berdiri dan berjalan ke arah Dame Hazel.

"Hei, Pak Lonechair. Apa sebelah kakimu berulah? Tak kusangka aku melihatmu sedang duduk begini." Seseorang kemudian mendatangi Batar.

Batar menoleh ke arah sumber suara yang ia kenal. Talon. "Yo, Talon!" sapa Batar kepada Talon, sembari melepas kaki palsunya untuk mengecek apakah masih baik-baik saja. "Sepertinya agak bergeser, tetapi tidak menimbulkan begitu banyak masalah. Badan yang telah senja ini saja yang sudah pada batasnya, sepertinya. Ah, Bagaimana keadaan anak-anak??" tanyanya kemudian.

Sosok Astrid muncul dari balik badan besar Talon, "Batarich!" serunya.

Kemudian, disusul Katha.

"Aku baik-baik saja, Paman," jawab Katha sambil menyembulkan kepala di balik badan besar Talon. "Paman sendiri bagaimana?" tanyanya khawatir.

Astrid dan Katha yang muncul dari balik tubuh Talon pun melenyapkan kekhawatiran Batar. Seperti setengah bebannya terangkat dari tubuhnya.

Para pahlawan telah kembali dari medan laga yang berada di Inti Bumi, mengalahkan Dewa Asing yang hendak menguasai tanah Hiryn, dan pulang menceritakan legenda mereka di seantero Tanah Qokar

Batar tersenyum, seraya menatap Astrid dan Katha. "Astrid, Katha, syukurlah kalian baik-baik saja."

Lalu, ia menatap Katha. "Sepertinya, badan tua ini sudah sampai batasnya, Katha. Jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Hanya butuh sedikit istirahat saja."

"Paman sudah tahu, ya, kalau aku bukan Maltha?" Katha kembali menatap Batarich, lalu beralih kepada Talon. "Paman Talon juga?"

Sudah saatnya meluruskan kesalahpahaman.

Batar menghela napas, tetapi dengan tenang ia merespons, "Sebenarnya aku telah mengetahui sejak kita akan berangkat ke Edealunis. Namun, aku tidak terlalu memusingkannya. Dua pertarungan di arena dan pertempuran besar melawan Dewa Asing, telah menjadi pembuktianmu bahwa kau adalah wakil dari Qokar yang sesungguhnya."

Toh kita menang duel dan berhasil menaklukan Dewa Asing. Mau didebat apa lagi?

"Walau sebenarnya aku lebih penasaran ...." Sesaat Batarich menyipitkan mata, sebelum ia melontarkan keluhannya.

"Apa yang dipikirkan Kuri, sampai-sampai menukar Maltha dengan dirimu untuk jadi wakil Qokar? Iseng? Kejahilan kecil?? Hah, sesekali Bapak-Bapak itu memang butuh diomelin ...."

. "Tidak, aku tidak tahu kalau ada yang namanya Katha. Maltha itu siapamu? Kalian mirip, tapi juga ... berbeda." Talon melirik Batar.

"Pertanyaanku sama dengan Pak Lonechair. Mengapa kamu yang ikut kemari? Padahal yang memenangkan duel itu Maltha. Tapi, itu tidak ada artinya lagi sekarang. Toh kau sebagai Katha sudah membuktikan diri di lapangan."

Katha balas menatap Talon yang terlihat penasaran. "Maltha memang jauh lebih hebat dariku, Paman. Seharusnya, memang dia yang mewakili Qokar ke Edea."

Sempat terlihat sorot mata Katha sedikit meredup. "Maltha, saudari kembarku, tidak sadarkan diri karena tertimpa reruntuhan tebing. Ayah tidak punya pilihan selain mengirimku menggantikan Maltha, kalau tidak, pasti perwakilan dari suku lain yang akan diutus. Padahal, suku kami sangat membutuhkan hadiah yang dijanjikan Paman Talon dan petinggi suku lain jika Qokar keluar sebagai pemenang." Katha menghela napas panjang.

"Tapi ... aku mengerti jika Paman dan yang lainnya tidak mengakuiku sebagai pemenang. Aku pantas mendapatkan hukuman itu karena tidak jujur dari awal."

Oh ... jadi longsor yang sempat melanda pinggiran Abgennar memakan korban. Inikah alasan beberapa tabib dan dukun penyembuh dari Kuil-kuil Leluhur terdekat diutus ke Abgennar sesaat sebelum kami berangkat ke Edealunis? Batin Batar sedikit prihatin.

"Kau juga banyak membantu Katha, jangan lupakan itu," ucap Astrid, mencoba memberikan sedikit rasa berterima kasih kepada rekannya.

Ah, langit cerah berbintang. Tatkala Batar memandang ke arah langit, Mendadak Batar kepikiran sesuatu. Ia pun menoleh ke arah Astrid yang kini duduk di sampingnya. "Astrid. Kau dari Brenoth, kan?"

Astrid mendongakkan kepalanya. "Iya, kenapa? Kalau kau butuh makan, mungkin saat aku pulang mereka sedang siap-siap merayakan musim panen."

Batar terkekeh, tetapi tidak lama, air mukanya berubah menjadi serius. "Apakah kau mengenal daerah di sekitar Brenoth? Apakah ada sebuah Kuil Kuno yang biasa digunakan sebagai altar peribadatan, berdiri di dekat sebuah Danau di utara Brenoth? Aku hanya mengenal nama kuno dari danau itu dari cerita-cerita tetua, 'Zumurnirzaman' namanya. Entah, sekarang dinamakan apa. Apakah kuil itu masih ada?"

"Zumurnirzaman?" Astrid terdiam beberapa saat. "Aku tidak mengenal nama itu, tetapi aku tahu soal Kuil Kuno yang ada di dekat danau di sebelah utara Brenoth. Kenapa kau menanyakan hal itu?"

Batar terkejut mengenai penuturan Astrid. Gadis itu tahu soal kuil kuno di utara Brenoth.

Batar lalu berujar, "Benarkah? Seingatku sudah lama kuil itu tidak ada yang merawat. Ditambah lagi, jalur ke sana sering berubah-ubah karena bolak-balik diterpa oleh badai pasir. Kurasa aku butuh bantuanmu untuk memanduku pergi ke tempat itu, Astrid. Aku ingin mencari seseorang."

... dari Brenoth ... berkelanalah kau ke utara hingga menemukan Kuil Altar Leluhur di dekat sebuah danau di tengah savanna .... Kuil Altar Leluhur.

Zumurnirzaman, danau di tengah savanna. Batar mengingat kembali kata-kata itu.

"Terkadang mamaku masih suka merawat kuil itu." Astrid tersenyum tipis, kemudian melanjutkan.

"Tapi, ya, kuil itu sudah sudah ditinggalkan." Astrid kemudian menolehkan pandangannya dari Batarich. Dia kemudian memejamkan matanya sesaat.

"Siapa nama orang yang kau cari? Mungkin aku mengenalnya."

Nama.

Sebuah misteri dari kehidupan manusia, bahwa nama bisa membawa banyak hal.

Begitu 'ditodong' nama, Batar tidak segera menjawab. Lupa lebih tepatnya. Tatkala masa bisa membuat seseorang menjadi lupa akan nama. Mengulik dalam labirin memori, Batar menemukan kepingan demi kepingan ingatan.

Dalam pertemuan terakhir itu, Batar teringat bahwa ia akan berangkat ke medan laga. Palagan yang akan jadi legenda seorang petarung Qokar, di mana dia akan berdiri sendiri di antara ribuan tubuh yang tergeletak dan ilalang yang terbakar. Setelah itu, Batar membuang kehidupannya, memutuskan untuk mengalienasikan diri dari dunia, menghindari jerat samsara.

Lalu, bocah di sampingnya, memaksa Batar untuk mengulik lagi masa lalunya. Dalam retrospeksinya, Batar berucap cerita kepada Astrid.

"Wanita itu adalah seorang peruwat Kuil Leluhur, sekaligus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan Arwah-Arwah Leluhur. Yah, kaubisa katakan kalau dia dukun, tetapi Tetua Adat lebih mengenal mereka dengan Priestess. Seringkali beberapa kepala suku tersohor meminta hal aneh-aneh padanya. Misalnya menjemput anak kepala suku yang dibawa lari Djinn Hutan atau Setan Gurun, sekaligus menggebuki arwah-arwah leluhur yang cari muka itu."

Batar berhenti bercerita. Ia menemukan satu kepingan yang dirinya cari. Ia pun menyebut satu nama.

"Elorca. Itulah nama yang diperkenalkan padaku."

"Elorca ... Kamu kenal mamaku?!" Astrid bangkit dari duduknya.

Batar menoleh ke arah Astrid dengan cepat. Kamu kenal mamaku?!

"Huh?" Batar melongo.

===***===

"Mau apa kau dengan dia?" Intonasi Astrid sedikit meninggi.

Yang benar saja!? Batin Batar bergejolak.

Mungkinkah ....

Batar masih bingung, tetapi ia tetap menjelaskan dengan tenang.

"Sesaat setelah diriku pergi dari Palagan, di mana Empat Puluh orang Penjaga Tanah Leluhur menghalau gerombolan bandit yang ingin menjadikan Tanah Leluhur sebagai markas mereka. diriku berjalan tanpa arah dengan kondisi terluka, terseok, dan aku sekarat. Ketika aku sampai di dekat perbatasan dengan suku Abgennar--suku asal Katha--aku sempat melihat Elorca datang membantuku berjalan dan sesaat sebelum ia menghilang, ia berkata ...."

Lalu, Batar mengulangi lagi kata-kata Elorca, yang tadi sempat terngiang-ngiang sewaktu Batar mempertahankan Taman dari serbuan manusia-manusia tersesat.

... Dari Brenoth ... berkelanalah kau ke utara hingga menemukan Kuil Altar Leluhur di dekat sebuah danau di tengah savanna. Lalu, berjalanlah engkau menuju arah matahari terbenam hingga menemukan ujung dunia. Temukan di mana tanah yang kau pijak menghapus horizonnya, seakan menyambungkan langit malam berbintang di mana para leluhur melintas ke angkasa ....

Batar pun lanjut menjelaskan, "Aku berpikir, bahwa ia mengatakan tempat untuk bertemu. Seusai perang itu, pernah sekali aku mencoba mencarinya, tetapi rute menuju Kuil di dekat Zumurnirzaman telah berubah drastis karena daerah di dekat itu bolak-balik diterpa badai pasir. Jalan menjadi hilang, arah menjadi sesat. Daerah itu jadi sarang bandit, bahkan ... Djinn .... Karena kondisiku, sulit apabila aku ke sana sendiri. Hingga saat ini, aku belum kembali mencarinya."

Batar kemudian menoleh ke arah Astrid, "Kau berkata ... Elorca adalah ibumu? Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Aku tidak tahu." Astrid membuang muka dengan nada bicara yang sudah seperti orang stress. "Dia selalu berpamitan, untuk memenuhi tugasnya dari suku lain. Jadi aku tidak tahu .... Kenapa dia ingin bertemu denganmu?"

Mendadak perasaan bersalah menggelayuti Batarich.

Batar menjelaskan sembari menatap langit berbintang, "Karena itu adalah tugas yang sebenarnya dari ibumu. Pemandu spiritual orang-orang Qokar. Memandu orang-orang kita meski di negeri jauh sekalipun. Elorca adalah pemandu spiritualku, Astrid. Ketika dia di-naskan oleh Tetua sebagai penjaga kuil, sekaligus itu pula yang membuatnya menjadi seorang pemandu spiritual, ketika diriku masih baru di Satuan Penjaga Tanah Leluhur. Diriku ... banyak dibantu olehnya."

"Saat aku sampai di Edealunis, aku mendengar bisikan-bisikan. Apa mungkin itu suara mama dari alam lain?" ujar Astrid dengan nada melankolis.

Mendengar Astrid berbicara mengenai Elorca—ibunya—, adalah hal yang tidak disangka Batar. Seperti takdir mengerjai orang-orang di dunia dengan caranya, semesta bekerja dengan metode yang tiada dapat terduga.

Takdir.

Di-naskan atau kaudapatkan, adalah pilihan.

Sesaat Batar memikirkan sesuatu, tetapi buru-buru dirinya menampiknya.

"Kemungkinan besar ... itu ibumu. Elorca lumayan sakti, sampai bisa bolak-balik pindah alam untuk menyelamatkan anak atau orang yang diculik Djinn. Orang yang mampu berkonfrontasi dengan hal gaib semacam itu, tentu saja memiliki ikatan spiritual yang kuat. Mungkin saja ... ibumu sedang berusaha untuk menjaga anaknya. Mungkin saja itu memang Elorca, karena entah mengapa tiba-tiba aku teringat lagi akan dirinya sewaktu menghalau para perusuh di Taman," jawab Batar.

Namun, entah mengapa sebuah perasaan yang aneh mulai menghampiri Batar. Dua orang mendapat 'pertanda' dengan caranya masing-masing, oleh orang yang sama. Sebuah perasaan janggal yang sudah lama tidak Batar miliki. Ketakutan akan kehilangan

"Entah kenapa, ada yang aneh setelah pertemuan terakhirku di perbatasan Abgennar, kala diriku sekarat. Seperti ... dia terasa dekat, tetapi juga terasa jauh ...," komentar Batar kemudian, sementara pikirannya mulai berkutat dengan asumsi-asumsi liar.

Hanya orang sakti yang memiliki tingkat kesadaran tertinggi. Sampai-sampai mampu mengirimkan—bukan, berkomunikasi—dalam spektrum yang kompleks. Melintasi antardimensi, dalam lapisan kesadaran yang di luar nalar manusia. Ini seperti memasuki sebuah pintu di ujung benua, untuk tiba-tiba terhubung dengan Menara Delegasi Qokar di Edealunis.

Alaya-Vijnana.

Hanya ada tiga orang sakti di Qokar yang mampu melakukannya. Satu di antaranya adalah Elorca, tetapi mau sehebat apapun Elorca, tingkatan kesadaran itu sangat sulit diraih? Bagaimana dia meraihnya? Atau ....

Batar semakin kepikiran, seiring dengan dirinya yang berucap, "Astrid ... mungkin apa yang kaudengar, apa yang kauingat, adalah sebuah isyarat. Isyarat untuk menemuinya segera. Pembimbing spiritual yang mencurahkan kekuatannya untuk menghubungi kita melalui batin dan ikatan, terlepas dari segala rintangan, bukanlah sekadar Abdi Kuil biasa ...."

Perlahan, Batar beranjak dari duduknya, "Setelah aku 'diingatkan' kembali, sebenarnya aku berniat untuk melacak keberadaan Elorca. Setelah urusan di Edealunis selesai. Aku berniat untuk ke Brenoth untuk mencari orang yang mengenal daerah di sana, tetapi ...."

Ia menoleh ke arah Astrid. "Karena kau dari Brenoth dan sepertinya kauingin pula menemukan ibumu ... mungkin kita berdua bisa segera berangkat, seusai dari Edealunis."

"Maksudmu, dia ingin kita bertemu dengannya?" tanya Astrid yang ikut berdiri dari duduknya

Batar menghela napas, lantas menjawab dengan mantap, "Ya. Ia ingin kita menemuinya."

Taman mulai ramai, seiring dengan naiknya para delegasi lain dari ruang bawah tanah. Riuh dari taman malam itu pun menghentikan percakapan antara Batar dengan Astrid. Sempat Batar melihat tubuh tanpa kepala dari salah satu pendamping delegasi—yang Batar sempat ingat—dari Isigalla, dibawa oleh Father ... Josue dan Saintess Sienna. Dari yang Batar dengar ... mereka ingin memakamkan lelaki Isigalla itu.

"Sepertinya, semua orang sudah berkumpul. Ah, kenapa pula dengan pendamping delegasi yang mati itu?" tanya Batar kemudian.

Lalu, keributan pun terjadi. Dame Hazel yang panik, kemudian sepertinya para anak-anak dari Isigalla seperti sehabis terkena mental yang sangat telak. Seperti daya juang mereka lenyap begitu saja, menyisakan sisa-sisa dari peperangan.

"Selama ini dia berada di pihak Dewa Asing," jawab Astrid.

"Astrid, apa kauingin bertemu dengan anggota delegasi yang lain?" tanya Batar pada Astrid.

"Mungkin sebentar saja." Astrid kemudian merenggangkan tangannya.

Batar mengangguk, "Baiklah, aku akan menunggu di sini kalau begitu."

Astrid mengangguk, kemudian berjalan mendekati segerombongan yang entah mendiskusikan hal apa.

"SUDAH CUKUP!" Lengkingan suara Sir Yates diiringi dengan gemuruh pelan tanah pun membuat Astrid terjajar ke belakang.

Sepertinya suasana makin memanas. Semua gara-gara Deonyco yang ternyata pengkhianat itu ...

Kemudian, mentor asal Isigalla pingsan secara tiba-tiba. Ah, mungkin saja dia datang di waktu yang tepat. "Suruh saja dia menggotongnya," ucap Astrid, sambil menunjuk Batarich.

Batar menghela napas. Apa lagi kali ini?

Batar memejamkan mata untuk sejenak, menghela napas panjang.

Makin-makin, anak ini Batar pun menepuk pundak Astrid, seraya berseru, "Kita balik ke menara. Hari telah malam, perang telah usai."

Astrid mengangguk. Gadis itu pun memutuskan untuk mengekori Batarich meninggalkan taman.

Lantas, ia sempat berkata pada Tuan Yates. "Tuan Yates, mohon maaf, kami akan pergi kembali ke menara. Apabila Anda atau delegasi yang lain membutuhkan bantuan, silakan hubungi saya di menara Qokar."

"Ah baiklah, Tuan Batar. Terimakasih banyak atas bantuan Anda. Anda bertarung dengan sangat baik sekali. Saya merasa terhormat bisa bertarung bersama dalam kesempatan ini," sapa Sir Yates.

Di antara langkahnya, Batar pun berujar, berpaling sembari mengangguk takzim, "Sama-sama, Tuan Yates."

Batar dan Astrid pun keluar dari area Taman, melangkah jauh menuju Menara Delegasi Qokar.

===***===


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top