6a
"Salat dulu, Mas!"
Kutepis tangan suamiku. Lalu berbalik menghadapnya. Mas Raka mengusap wajah kasar. Mungkin frustrasi karena selalu kutolak.
"Cepetan, Mas!" seruku.
"Ck!"
Kulihat Mas Raka beringsut menuruni ranjang. Lalu pergi menuju kamar mandi. Baguslah kalau masih ingat salat. Setidaknya ia tak lupa dengan satu kewajiban itu.
Sementara Mas Raka pergi, aku mencoba untuk tidur. Terserah apakah ia akan marah. Yang jelas aku malas meladeninya.
***
"Hari ini Mas ada lembur. Paling malem baru bisa pulang."
Mas Raka berbicara sambil memasang kancing bajunya. Kulirik dengan ekor mataku. Kini ia tengah menyisir rambut di depan cermin. Sejak pagi ia mendiamkanku. Haiissh! Mana aku peduli.
"Nggak usah nyiapin makan. Mas mau nyari di luar," ujarnya lagi ketus padahal tak sedang kutawari.
"Aku juga nggak masak. Lagi males," ucapku tak kalah ketus. Nada kunaikan satu oktaf.
"Jaga nada suaramu, Din!"
Aku menoleh. Mas Raka pun menoleh. Kedua pandangan kami bertemu. Ia menatap sengit, begitu pun denganku.
Lama tak kulihat ia merasa bersalah. Justru nyeri dalam hatiku kian bertubi-tubi. Cepat kubuang pandangan. Hati ini kembali sakit mengingat semua pengkhianatan yang ia berikan.
Tanpa berkata lagi. Mas Raka bergegas pergi. Aku terus saja diam. Hingga punggungnya menghilang di balik pintu. Lalu terdengar suara motornya berlalu dari halaman rumah.
Ck! Lihatlah, dia bahkan tak mengucapkan maaf padaku. Ia pergi tanpa mengingat keberadaanku.
"Kere aja banyak gaya!" ucapku kesal.
***
[Mas, nggak lupa sama acara kita hari ini, kan?]
[Enggak. Jangan lupa pake baju yang Mas beliin kemarin.]
[Terlalu nutup, Mas. Nggak suka ih.]
[Kalau kamu pake bajunya buka-bukaan terus, Mas mana tahan, Sayang. Kamu nggak kasihan apa.]
[Ish. Sabar dulu. Tunggu masa nifasku habis.]
Tak lagi kulanjutkan membaca pesan berbalas Mas Raka dengan Indah. Mataku panas, dadaku nyeri.
Dasar lelaki otak mesum! Pikirannya hanya isi selangkangan doang!
Kuusap wajah kasar. Bagaimana bisa Mas Raka berbalas pesan begitu, sementara ia sedang mengendarai sepeda motor. Apakah ia berhenti sebentar-sebentar?
Drrrttt!
Drrrttttr!
Gawaiku bergetar. Kulihat Karin sedang memanggil.
"Hallo, iya, Rin?"
"Aku udah di depan nih, ayo!"
"Sekarang?"
"Enggak, tahun depan! Ya sekarang lah Dini. Ya ampun ini anak. Hadeeeh."
"Oh, oke. Aku ke sana. Tungguin."
"Oke. Nggak pake lama."
Kututup pintu rumah. Lantas berjalan menuju pagar. Ada sebuah mobil berwarna putih di depan. Aku mengernyit. Apakah itu mobil Karin? Ragu-ragu aku berjalan mendekat.
Beeep!
Aku berjingkat. Bunyi klakson mobil mengejutkanku. Pintu di sebelah kiri mobil itu terbuka. Kulihat Karin melongok dari dalam.
"Ayo cepetan," ucapnya.
"Sekarang? Tapi, Mas Raka baru aja berangkat."
Karin memutar bola matanya.
"Udah ayo masuk. Jangan banyak protes."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top