4b

Detak jam dinding di kamar menambah keheningan di antara aku, Ibu dan Mas Raka. Kulihat suamiku itu tegang, mungkin ia sudah merasa bahwa aku akan menyidangnya. Sementara Ibu, beliau terlihat gugup dan resah. Kalau saja Ibu diam, mungkin aku tak akan mengungkapnya sekarang, tapi ternyata mertuaku itu mengadu padaku. Ya sudah, kita selesaikan sekarang juga. Tak perlu menunggu lama-lama.

"Ibu bilang kamu bawa perempuan hamil tiga bulan yang lalu, Mas?" tanyaku penuh selidik. 

Mas Raka menatap Ibu. Alisnya beradu di tengah.

"Lihat aku aja, Mas. Jangan ke Ibu," ucapku lagi. Merasa kuperhatikan, suamiku itu beralih menatap padaku.

"Bener nggak?" tanyaku ketus.

"Ck! Ibu pasti ngadu yang tidak-tidak." Mas Raka bergumam. Meski begitu, suaranya terdengar jelas. 

"Nggak ngadu, Ibu cuman mau rumah tanggamu sama Dini nggak ada masalah." Ibu menyahuti. Beliau masih duduk di tepi ranjang. Sementara aku dan Mas Raka berdiri.

"Ya, itu yang bikin jadi ada masalah! Kenapa Ibu mengadu, sih? Dini jadi salah paham, 'kan?" Nada suara Mas Raka meninggi. Ia menatap tajam Ibu. Benar-benar tak punya sopan santun. 

"Apanya yang salah paham? Kamu yang membuat kecurigaanku semakin meruncing, Mas! Katakan, siapa perempuan itu? Kenapa kamu bawa ke sini? Kenapa juga ada struk belanja dan slip gaji di dompetmu?"

Aku tersenyum sinis. Wajah Mas Raka berubah pias. Kapok kamu, Mas!

"Kamu ini ngomong apa sih, Din? Kok jadi ke mana-mana ngomongnya!"

"Apanya yang ke mana-mana? Ayo luruskan sekarang! Jawab jujur! Ada apa sebenarnya? Apa yang kamu sembunyikan dariku?!"

Mas Raka gusar. Ia menatap ke Ibu, lalu menatapku, lalu beralih merunduk ke bawah. Sikapnya itu membuatku gregetan.

"Mas minta maaf, Dek. Mas udah nggak jujur."

Deg!

Mas Raka mendekat. Ia meraih tanganku. Menggenggam erat. Wajahnya melas. Aduh, kenapa hatiku terasa nyeri saat ia berkata begitu?

"Dia bukan siapa-siapa, Dek. Waktu itu, Mas lagi di jalan. Pulang kerja. Ketemu sama perempuan itu. Tidur di pinggir jalan. Hujan lebat. Kasihan. Mau Mas bawa pulang ke rumah, takut kamu berpikiran macam-macam, jadi Mas bawa ke rumah Ibu aja."

Mas Raka menceritakan panjang lebar.

"Mas nggak ada maksud aneh-aneh, kok. Cuman kasihan aja."

Ia menggenggam tanganku semakin erat.

"Oh, kasihan? Kenapa nggak sekalian aja dinikahin? Terus, soal struk di dompet kamu itu? Yang berisi diapers? Punya dia juga 'kan?"

Aku mengurai genggamannya. Mau berkelit apa lagi dia? Dikiranya aku diam dan penurut selama ini, bisa berulang kali dibodohi.

"Anu, Dek, itu, emm--"

"Sudahlah, Mas. Ayo, jujur. Jangan berbohong padaku. Satu kebohongan akan membawa pada kebohongan yang lain. Jujur saja. Aku udah nggak percaya."

Kulipat kedua tangan di depan dada. Menunjukkan bahwa aku pun bisa marah. Masih bisa berpikir dengan akal sehat.

Ngapain coba dia bilang kasihan pada bumil malam-malam kalau tak memiliki hubungan sebelumnya? Ah, memuakkan.

"Sudahlah, Nduk. Toh itu sudah lewat. Maafkan Raka. Ia berniat baik." Ibu mertua membuka suara setelah lama terdiam.

"Baik dari mana, Bu? Coba Ibu bayangkan, mana ada kasihan sampai dibawa pulang ke rumah Ibu. Oh, ya, itu tiga bulan yang lalu, 'kan? Sekarang pasti perempuan itu sudah melahirkan. Dan struk belanja itu, pasti miliknya juga 'kan?"

"Struk apalagi sih, Dek?"

Mas Raka terus mengeles. Kukeluarkan gawaiku. Lalu menunjukkan beberapa foto yang kuambil waktu itu. Di depannya dan juga Ibu.

"Lihat ini! Ini! Dan ini!"

Aku mendesis.

"Kok kamu lancang?! Sejak kapan jadi nggak sopan sama suami? Itu ngapain foto slip gaji Mas segala?"

"Nggak perlu tanya, Mas! Harus dijelaskan. Ini apa maksudnya? Gaji kamu bahkan hampir lima juta. Kenapa justru aku hanya kamu beri tak sampai tiga juta? Kamu ke manakan, Mas? Jawab!"

Suasana semakin panas. Suaraku pun tak lagi terkontrol. Aku emosi. Kecurangan suamiku, kenapa baru kuketahui? Ya Tuhan! Dua tahun aku ditipu! Slip gaji itu, pasti sudah ada sejak lama!

Ah, aku merutuki diri. Kenapa pula terlalu percaya padanya!

Bodoh!

Bodoh!

"Sudahlah, Din. Mas males berdebat. Asal kamu tahu, sebagai seorang istri itu harus neriman, nggak boleh protes soal nafkah dari suami. Lagian, ngapain kamu foto-foto itu struk nggak penting. Selain lancang, kamu juga sudah mengacau privasi suami!"

Woaahh ....

Aku tersenyum sinis. Pandai sekali ia berkelit. Dari awal pertanyaan tak ada satu pun yang dijawab. Ia bahkan membalik keadaan. Menyudutkanku sebagai istri yang tak sopan.

"Ibu lihat sendiri, 'kan? Pertanyaanku nggak ada yang dijawab. Mas Raka justru membahas hal lain-lain. Terserahlah! Percuma juga. Pembicaraan ini nggak penting!"

Aku membalik badan. Meninggalkan kamar Ibu. Mas Raka dan Ibu terdiam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top