2
"Dek!" panggil Mas Raka.
"Iya, Mas?" tanyaku sambil membalik badan. Kututupi gawai juga dompet dengan punggung. Semoga ia tak curiga.
"Udah mandi?" tanyanya lagi. Ia menyembulkan kepala. Kulihat rambutnya masih berbusa. Wah, apakah dia ingin mengajakku?
"U-udah, Mas. Kenapa?" jawabku cepat sekaligus bertanya. Kenapa pula ini pakai gagap segala!
"Bersiap ya. Habis ini kita ke rumah Ibu. Tadi ada telepon nyuruh ke sana. Mas lupa belum bilang."
"Oh, iya, Mas. Udah ih jangan gitu. Entar busa shamponya masuk kamar. Nanti kalau udah beres dibahas lagi."
"Iya!"
Kembali pintu kamar mandi ditutup. Aku bernapas lega. Selamat! Segera kurapikan dompet dan gawai Mas Raka. Meletakkannya kembali di atas nakas meja.
***
Tepat jam lima sore kami berdua ke rumah Ibu. Letaknya di kecamatan sebelah. Butuh sekitar dua puluh menitan hingga akhirnya motor Mas Raka sampai di halaman rumah Ibu.
"Nah itu Mbakyumu."
Ibu mertua mendekat saat aku dan suami tiba. Beliau merangkulku. Kulihat sudah ada Wahyu dan Intan di ruang tamu bersama bayinya. Mereka adalah adik iparku.
"Ada acara apa, Bu?" tanyaku.
"Ini lho makan-makan aja. Lagian Ibu kangen udah seminggu nggak ketemu kamu."
Aku tersenyum. Beliau memang baik. Kupikir sedang ada hal genting, ternyata hanya sekadar makan-makan saja. Mertuaku perhatian. Makan-makan saja ingat dengan mantu.
"Gimana, sudah ada tanda-tanda hamil belum?" tanyanya setengah berbisik. Aku menggeleng. "Ya sudah, nggak perlu dipikirkan. Ayo langsung makan aja."
"Iya."
***
Duduk lesehan di teras belakang rumah. Ada sebuah kolam ikan di bawahnya. Kulihat Ibu sudah menyiapkan aneka makanan hari ini. Ayam goreng, tahu tempe goreng, lalapan sayur dan sambal bajak telah tersedia. Sambil makan, sesekali diselingi dengan perbincangan. Keluarga Mas Raka memang sehangat ini kalau sudah berkumpul.
"Hari ini kamu nginep di sini 'kan, Nduk?" Ibu bertanya padaku. Aku menoleh ke arah Mas Raka. Ia memberi tatapan entah.
"Ibu kangen sama pijitan kamu," ucap Ibu lagi.
"Ya udah. Malam ini Dini nginep di sini," ucapku menyanggupi. Kulihat wajah Mas Raka. Ia mungkin kecewa. Sebab kalau sudah di rumah Ibu, seringnya perempuan sepuh itu tidur bersamaku.
"Pasti nanti mau ngadu," celetuk Intan.
"Enggak kok. Cuman mau minta dibeliin jajan aja," sahut Ibu.
Aku tersenyum. Ibu memang tinggal serumah dengan Intan dan Wahyu. Namun, setiap kali bertemu denganku. Ibu lebih sering bersamaku. Menantu kesayangan katanya. Untungnya suami Intan tak pernah protes dan menganggap Ibu pilih kasih. Sebab aku da Wahyu sama-sama seorang menantu.
***
Seperti ucapannya. Ibu meminta dibelikan jajan padaku. Mas Raka mengizinkan karena memang sudah kami sediakan jatah untuk Ibu setiap bulan. Status Ibu mertua yang sudah Janda, mau atau pun tidak harus bisa kupahami. Bahwa kini, tanggung jawab itu ada pada suamiku.
"Yang ini boleh? Udah lama Ibu nggak makan roti gandum."
Ibu menunjuk. Aku mengangguk. Hingga keranjang kami sudah penuh, lantas besiap membayar uang ke kasir.
Aku menerima kembalian bersama struk belanja. Jantungku seakan mencelos keluar. Kuamati struk yang ada di tangan. Lalu dengan cepat mengeluarkan gawai milikku.
Voila!
Ini tidak salah lagi!
Nama mini market dan alamat ini, sama persis dengan yang ada di struk belanja milik suamiku.
"Nduk, ayo!" Ibu menyeru.
"Iya, Bu."
Aku dan Ibu kembali berjalan. Nanti saja kalau sudah di rumah, aku akan memastikan dengan benar-benar.
***
Tak menunggu lama. Aku mulai mengaitkan beragam kecurigaan yang sudah menjejal di dalam kepala. Kuamati lagi struk di tangan dengan struk yang di foto.
Apakah ini struk belanja milik Ibu? Kalau iya, kenapa ada pampers segala? Atau milik Intan, begitu? Tapi, setahuku bayi Intan memakai pampers ukuran M, sedangkan di struk milik Mas Raka, keterangannya newborn. Jika salah beli, kenapa ke empat struk itu newborn semua?
Lagian, kenapa Mas Raka mengumpulkan struk-struk itu? Nggak masuk akal juga jika punya Intan, karena suaminya itu sudah sangat mapan.
Aaarrggh! Kenapa ini, Mas?! Apa kamu banyak tingkah di belakangku?
Hatiku mendadak nyeri. Seakan tercubit dari dalam. Baru saja membuat kesimpulan, kenapa sudah sesakit ini?
Kurapikan dengan segera struk dan gawaiku, sebab dari arah luar terdengar derap langkah kaki mendekat.
Ctak!
Pintu kamar dibuka. Mas Raka berjalan masuk, lalu menutupnya. Kulihat ia mendorong slot kunci.
"Dari mana tadi, Mas? Aku pulang sama Ibu, kok kamu nggak keliatan?" tanyaku berusaha biasa saja.
"Tadi lagi nyari warung, Dek. Mas pingin ngopi."
"Oh, ngopi."
Mas Raka mendekat, ia lalu duduk di sampingku. Wajahnya mendekat. Aku beringsut mundur. Kode ini, tanda bahwa dia sedang ingin.
"Maaf, Mas. Ini di rumah Ibu," tolakku.
"Ck! Ibu di luar ini."
Aku tak peduli. Bagaimana bisa melakukan kewajiban jika hati sedang tak menentu begini. Apalagi di rumah Ibu.
"Mas!"
Aku terpaksa mendorong saat suamiku itu mendekat dan memeluk cepat.
"Mas kangen, Dek," ucapnya memohon.
"Lihat keadaan, tolong."
"Ya sudah, begini aja. Yang penting sama kamu."
Mas Raka masih mendekatkan diri. Ia merangkulku. Detik itu juga, aroma parfum asing terendus oleh hidungku.
"Parfum siapa ini, Mas? Kenapa ada aroma berbeda di badanmu?" Aku menatap tajam dan Mas Raka menjadi gelagapan.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top