Yang Lebih Baik - 9
Halo Kakak2!
Long time no see nih kita. Udah lama saya vakum nulis gara2 setahun ini sibuk persiapan akreditasi internasional.
Alhamdulillah setelah persiapan yg panjaaaaaaaang, Selasa-Rabu pekan kemarin akhirnya kampus kami divisitasi oleh ASIIN (Akkreditierungsagentur für Studiengänge der Ingenieurwissenschaften, der Informatik, der Naturwissenschaften und der Mathematik). Hasilnya belum diumumkan sih, karena laporan visitasi asesor akan dirapatkan dulu oleh komite ASIIN. Meski demikian, krn kegiatan visitasi sudah berakhir, saya bisa agak sedikit lega. Dan karena setahun ini saya stres berat, saya memutuskan utk melanjutkan menulis, utk healing.
Saking lamanya saya vakum, ini lapak sampai berdebu hehehe. Tapi semoga masih ada Kakak2 yg save lapak ini di librarya dan dapat notif saat saya update cerita ini.
Selamat membaca Kak!
* * *
"Hampir lupa!"
Arva yang sedang nonton tivi sambil menemani Valdi dan Vica bermain di ruang tengah, tiba-tiba bangkit dari duduknya dan pergi dari ruangan itu. Vica yang mendengar gumaman Arva barusan hanya melirik sekilas ketika pria itu beranjak pergi, sebelum ia kembali fokus pada Valdi.
Arva kembali ke ruang tengah tidak lama kemudian. Lalu langsung duduk di lantai, di sebelah puteranya.
"Papa punya sesuatu," kata Arva dengan wajah semringah dan suara penuh rahasia.
Hal itu berhasil memancing atensi Valdi. Membuat anak itu berhenti menyusun magnetic legonya, lalu menoleh dan menatap ayahnya dengan wajah penasaran.
Arva menarik tangan yang ia sembunyikan di balik punggungnya, lalu mengulurkannya pada Valdi. Sontak Valdi bersorak gembira ketika melihat apa yang ada di tangan ayahnya. Tentu saja keceriaan Valdi itu segera menular dan membuat Vica ikut tertawa melihat sorak sorai anak itu.
"Makasiiii Pah! Asik! Padi mau wana-wana!" ((baca: Valdi mau warna-warna/ Valdi mau mewarnai))
Valdi segera mengeluarkan buku mewarnai dan set krayon dari dalam tas kain yang tadi dibawa Arva. Matanya berbinar karena buku itu dipenuhi gambar hewan-hewan dan dinosaurus kesukaan Valdi.
Arva tertawa sambil membantu Valdi membuka kotak krayonnya. "Ini hadiah dari Tante Anin. Nanti Papa bilang makasih dari Valdi ke Tante Anin ya."
"Tate Anin?" Valdi menoleh dengan dahi berkerut. Begitu juga dengan Vica yang senyumnya memudar dan ikut menoleh pada Arva dengan tatap penasaran.
"Tante Anin yang nemenin Valdi di SeaWorld, lihat ikan-ikan. Inget kan?" Arva menjelaskan.
"Tate Anin!" Mata Valdi membulat bahagia. Sepertinya ia mengingat sosok itu.
Arva mengangguk. "Iya, buku gambar dan krayon ini dibeliin Tante Anin."
"Mau main sama Tate Anin!"
Arva tertawa melihat spontanitas puteranya. "Iya, kapan-kapan main lagi sama Tante Anin ya."
"Liat ikan-ikan sama Tate Anin!"
"Hahaha! Iya, iya."
"Kapan ketemu Tate Anin?"
"Kan baru minggu lalu ketemu Tante Anin. Udah pengen ketemu lagi?"
Valdi mengangguk antusias.
"Kangen ya?"
"Selu sama Tate Anin! Tate Anin catik!"
Sontak saja Arva kembali tertawa mendengar kepolosan Valdi. "Tante Anin cantik ya?"
Lagi, Valdi mengangguk dengan bersemangat. "Tate Anin catik!"
Kembali Arva tertawa sambil mengacak rambut puteranya dengan gemas. "Anak siapa sih ini? Tahu aja yang cantik-cantik."
"Anak Papa Apa," Valdi menjawab dengan cengiran polosnya.
Tentu saja hal itu membuat tawa Arva makin menggelegar.
"Emang gajahnya warna merah, Val?"
Perhatian Arva teralih pada suara Vica saat gadis itu sedang menyerahkan krayon berwarna abu-abu pada Valdi.
"Melah aja, Tate! Bial gajahna kelen!" Valdi menjawab tegas, menolak krayon abu-abu yang disodorkan Vica.
Mendengar itu, Arva kembali tertawa. Sementara itu Vica hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menarik kembali krayon abu-abu yang tadi dia sodorkan pada keponakan kecilnya itu.
Selagi Valdi mulai menggoreskan krayon itu di buku gambarnya, Vica mendampingi dan mengarahkan tangan Valdi agar warnanya tidak melewati garis gambar si gajah.
"Anin anaknya gimana, Vic?"
Vica menegakkan tubuh dan menengadahkan wajahnya pada suara berat di sampingnya.
"Hmmm?" Vica bergumam dengan dahi berkerut, tidak mengerti.
"Anin tuh anaknya kayak gimana, Vic?" Arva mengulangi pertanyaannya.
"Anin baik," jawab Vica singkat.
Arva terlihat mengerutkan dahi. Seperti bingung, juga seperti menanti lanjutan jawabannya. Karena menyadari itu, akhirnya Vica melanjutkan kalimatnya, meski dengan malas-malasan.
"Anin baik, ceria dan ramah. Penyayang anak-anak. Cocok jadi mamanya Valdi."
Mendengar jawaban Vica, Arva terkekeh. Sebaliknya, melihat respon Arva, Vica jadi malas ngobrol lama-lama dengan pria itu. Jadi dia memilih melipir ke dapur saja, untuk membantu Mbak Tun, mumpung Valdi sedang ditemani ayahnya.
* * *
Kalau dulu Valdi sehari-hari tidur bersama Vica dan Sabtu-Minggu bersama Arva, kini secara bertahap justru sebaliknya. Kini sehari-hari Valdi tidur bersama Arva dan tiap Sabtu-Minggu baru tidur dengan Vica. Tapi karena malam itu Arva harus pulang malam, jadi ia menelepon Vica dan minta tolong agar malam ini Vica yang menemani Valdi tidur. Tapi ternyata, malam ini Vica juga harus lembur.
"Nanti biar aku yang telpon Mama, Mas. Supaya Valdi bobo sama Mama-Papa dulu malam ini," kata Vica, mencoba menenangkan Arva.
"Oke. Thanks ya Vic." Suara Arva terdengar lega. "Kamu lembur sampai jam berapa?"
"Jam 9 mungkin, Mas."
"Malam sekali," kata Arva, terdengar khawatir. "Saya jemput ya kalau gitu."
"Nggak usah, Mas. Aku bisa naik taksi," kata Vica. "Kalau Mas udah selesai kerja, langsung pulang aja. Barangkali Valdi belum bobo sama Mama, jadi malem ini bisa tetep bobo bareng Valdi."
"Saya juga kemungkinan baru selesai kerja sekitar jam segitu. Pokoknya nanti saya jemput. Kamu jangan pulang sendiri. Nggak aman."
Vica terkekeh dan akhirnya mengucapkan terima kasih pada kakak iparnya.
Sesuai perkiraan, Arva memang baru menyelesaikan pekerjaannya menjelang jam 9 malam. Setelahnya ia bergegas melajukan mobilnya ke kantor Vica yang hanya berjarak 15 menit dari kantornya.
Arva tiba di halaman parkir kantor Vica tepat waktu, sebelum jam 9 malam, dan ia segera mengabari Vica bahwa dirinya telah sampai. Namun gadis itu mengatakan butuh 10 menit lagi untuk datang. Arva sih santai saja, tidak memburu-buru Vica harus segera datang. Ia justru memanfaatkan waktu untuk ke toilet dulu sebelum Vica datang.
Toilet visitor berada di sisi kiri lobby. Dan ketika melalui lobby, tidak ada siapapun di lobby tersebut. Sudah tidak ada yang bertugas di front office pada waktu semalam itu. Lampu lobby juga sudah diredupkan, meski tetap cukup terang untuk memantau siapa saja tamu yang datang ke perusahaan itu melalui CCTV.
Ketika menuju toilet visitor tadi, memang tidak ada seorangpun di lobby. Tapi ketika keluar dari toilet, Arva melihat dua sosok orang berdiri di pinggir lobby, tidak jauh dari tempat Arva saat ini. Dari suaranya, sepertinya kedua orang itu sedang berdebat.
Sebenarnya Arva bisa cuek saja keluar dari lorong toilet itu menuju pintu keluar lobby, melalui kedua orang tersebut dengan abai. Namun ketika Arva sadar bahwa ia mengenali salah satu dari kedua sosok itu, langkah Arva jadi tertahan.
Jujur, dia tidak bermaksud menguping pembicaraan kedua orang itu. Tapi karena lorong toilet itu tepat sebelum belokan menuju lobby dan berada dekat kedua orang tersebut, bahkan meski keduanya bicara dengan suara rendah, Arva bisa tetap mendengarnya. Apalagi karena kondisi lobby itu malam itu memang sepi.
"Nggak perlu, Pak." Suara sosok perempuan terdengar di telinga Arva yang berdiri di balik dinding lorong menuju toilet.
"Vica..." Kali ini suara sang lelaki, yang terdengar lelah. "Ini sudah diluar jam kerja. Panggil aku seperti biasa aja."
"Biasanya memang saya manggil Pak Andre."
"Dulu kamu manggil aku Abang. Bang Andre. Diluar jam kerja, panggil aku begitu."
Dari tempatnya berdiri, Arva tidak mendengar tanggapan Vica. Dan saat itu Arva teringat bahwa sosok lelaki yang sedang bicara dengan Vica saat ini adalah sosok yang sama dengan yang pernah dilihatnya saat wisuda Vica dulu.
Beberapa waktu lalu Vica sempat mengelak bahwa orang ini adalah senior atau teman lamanya. Tapi dari percakapan barusan, Arva menyimpulkan bahwa memang Vica sudah mengenal lelaki itu sejak lama.
"Sudah malam banget. Aku antar pulang ya." Kembali terdengar suara lelaki itu.
"Nggak usah Pak. Terima kasih."
"Kamu masih aja keras kepala. Nggak berubah sejak SMA dulu."
"Saya pamit duluan, Pak."
"Vic!"
"Pak, tolong lepas tangan Bapak!"
"Nggak mau! Kalau kamu masih panggil aku begitu."
Terdengar Vica menghela nafas. "Tolong lepas, Bang."
"Aku antar pulang ya. Ini udah malam banget. Bahaya pulang sendirian, bahkan kalaupun kamu naik taksi."
"Nggak usah. Saya dijemput."
"Dijemput? Sama laki-laki yang biasa jemput kamu itu? Jadi memang laki-laki itu pacar kamu ya?"
Tidak terdengar jawaban Vica.
"Apa dia laki-laki yang baik?"
Lagi-lagi Vica hanya diam.
"Dia hebat. Bisa membuat Vica yang sudah bersumpah nggak akan pacaran dan menikah, sekarang mau membuka hati."
Alarm di kepala Arva menyala.
Kenapa laki-laki bernama Andre ini tahu bahwa Vica tidak ingin menikah? Siapa sebenarnya laki-laki itu?
"Jadi dia sudah tahu masa lalu kamu dan bisa menerimanya, makanya kamu berubah pikiran dan sekarang mau pacaran?"
"Itu bukan urusan Bapak."
"Atau justru dia belum tahu?"
"Pak!"
"Atau justru kamu sudah melakukannya juga sama dia? Seperti kita dulu?"
"Pak Andre!" Vica terdengar membentak dengan suara tertahan. "Hubungan kita sudah berakhir lama sekali. Sekarang Bapak juga sudah punya tunangan. Yang waktu itu wisuda bareng saya, itu tunangan Bapak kan? Tunangan Bapak secantik itu. Jadi, bisa tolong jangan ganggu saya lagi?"
"Setelah bertahun-tahun nggak ketemu, pas ketemu kamu lagi disini, aku baru sadar, bahwa ternyata aku masih peduli banget sama kamu. Aku cuma mau memastikan, bahwa masa lalu kita nggak akan menjadi penghalang kebahagian kamu di masa depan."
"Telat Pak!" Suara Vica menukas dengan tegas. "Dulu saya ngejar-ngejar Bapak, ngemis-ngemis ke Bapak supaya Bapak nggak ninggalin saya, tapi Bapak tetap pergi."
"Maafin aku, Vic. Tapi waktu itu hubungan kita memang nggak sehat kan. Aku merasa terkekang. Makin lama kamu makin posesif."
"Bukannya wajar kalau saya jadi posesif? Dulu saya cuma anak SMA, Pak. Tapi karena Bapak merayu saya terus, saya dengan bodohnya ngasih semuanya ke Bapak. Setelah kejadian itu, saya jadi takut kalau Bapak ninggalin saya. Nanti siapa lagi yang mau sama perempuan bekas seperti saya? Makanya dulu saya jadi posesif banget."
"Maaf, Vic. Aku..."
"Dulu waktu Bapak ninggalin saya, saya pernah bersumpah nggak akan pacaran atau menikah sama orang lain. Saya bilang begitu untuk mengancam Bapak, supaya Bapak terus merasa berdosa. Supaya Bapak nggak akan pernah merasa bahagia tanpa saya, dan selalu dihantui rasa bersalah.
Tapi sekarang, saya udah nggak peduli lagi sama Bapak. Bapak mau bahagia kek, mau merasa berdosa kek, terserah. Itu urusan Bapak, bukan urusan saya. Sebaliknya, Bapak nggak usah peduli sama saya. Saya bahagia atau nggak, itu bukan urusan Bapak."
"Tapi sekarang kamu udah bahagia sama pacar kamu itu kan Vic? Dia baik kan? Dia nggak mempermasalahkan masa lalu kamu kan?"
"Pergi, Pak! Di kantor ini, saya anak buah Bapak. Kalau Pak Andre masih terus menemui saya untuk hal-hal di luar urusan pekerjaan, saya akan lapor HRD bahwa Bapak melakukan pelecehan terhadap saya."
"Vic..."
"Bapak masih ingat kan waktu kita pacaran dulu, seberapa nekat kelakuan saya? Untuk hal itu, saya belum berubah. Saya masih orang nekat yang sama," Vica mengancam dengan tegas. "Silakan pergi Pak! Atau saya teriak dan bikin satpam datang kesini!"
Terdengar pria bernama Andre itu mendesah berat, sebelum akhirnya berkata, "Kamu hati-hati ya pulangnya, Vic."
Vica tidak menjawab. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh. Tidak lama setelah suara langkah itu menghilang, Arva mendengar suara isak tangis lirih. Hal itu membuat Arva makin membeku di tempatnya berdiri. Kombinasi fakta mencengangkan yang tidak sengaja didengarnya, ditambah suara isak tangis Vica, membuat Arva tercengang dan makin tidak bisa beranjak dari tempat persembunyiannya.
Arva kira setelah Andre pergi dan tangis Vica reda, gadis itu akan segera menuju pintu keluar lobby. Tapi yang selanjutnya terjadi justru membuat Arva serba salah.
Mungkin bermaksud mencuci wajah agar tidak ketahuan menangis, Vica justru berbelok ke arah toilet visitor. Saat itulah Vica berpapasan dengan Arva. Jantung keduanya mencelos tanpa bisa dikendalikan.
* * *
Setelah lama ga nulis, pas nulis lagi rasanya jadi rada kaku deh.
Kakak2 pembaca apakah merasa bab kali ini kaku/canggung? Kalau iya, maaf ya Kak. Kayaknya saya perlu pemanasan lg dlm menulis nih hehehe.
Semoga Kakak2 tetap mau membaca bab2 selanjutnya.
Selamat Malam Mingguan, Kakak2 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top