Yang Lebih Baik - 6
Arva sudah sering melihat Vica menonton drama Korea. Tapi belum pernah seserius ini sampai gadis itu tidak menyadari kedatangannya. Gadis itu masih menatap layar televisi yang menayangkan drama Korea tanpa berkedip, bahkan saat Arva muncul di ruang keluarga tersebut.
Arva melangkah mendekat. Ketika ia berdiri di depan gadis itu, dan ternyata Vica masih menatap layar televisi, barulah Arva menyadari bahwa gadis itu bukan sedang menonton. Tatapan gadis itu nanar dan kosong, membiarkan drama Korea itu terus diputar tanpa ditonton. Bahkan ketika Arva berdiri tepat di hadapan Vica, menghalangi pandangan gadis itu dari televisi, tatapan Vica tetap kosong.
Setelah Arva mendudukkan diri di sofa, di sisi Vica, barulah gadis itu tersentak dari lamunannya.
"Mas Arva!" Vica membentak karena kaget. "Dateng diem-diem kayak hantu! Ngagetin aja!"
Dimarahi begitu, bukannya kesal, Arva justru terkekeh. "Bukan saya yang datang diam-diam. Tapi kamu yang melamun."
"Aku nggak ngelamun!" Vica mencoba membela diri. Tapi ketika Arva menanyakan jalan cerita drama Korea yang sedang tayang di hadapan mereka, dan Vica tidak bisa menjawab, barulah ia terpaksa mengaku sedang melamun.
"Valdi?" Vica berusaha menutupi rasa malunya dengan mengalihkan topik obrolan.
"Sudah tidur," jawab Arva. "Makanya bisa saya tinggal sebentar."
Setelah kembali dari mudik ke rumah orangtua Arva di Jogja, Vica mengusulkan agar Valdi mulai belajar tidur sendiri. Atau setidaknya belajar tidur bersama ayahnya. Agar anak itu tidak terlalu bergantung pada Vica, juga agar Valdi lebih dekat dengan ayahnya.
"Kalau Mas sudah dekat dengan Valdi, Mas nggak perlu terpaksa mengajak aku ikut Mas dan Valdi kemana-mana," kata Vica saat mengusulkan hal tersebut.
Sejak itu, setidaknya kini tiap Sabtu-Minggu, Valdi akan tidur bersama ayahnya. Meski di hari-hari lainnya ia tetap tidur bersama Vica. Anak itu masih selalu rewel jika diminta tidur sendiri. Jadi sementara, hal ini yang dapat diupayakan Vica.
"Baru aja wisuda. Udah jadi sarjana. Bukannya semangat, malah ngelamun," sindir Arva. "Ngelamunin apa sih?"
"Ngelamunin nasib," jawab Vica, acuh-tak-acuh. "Nggak bisa minta uang jajan lagi sama Mama."
Arva tertawa. "Nanti saya yang kasih uang jajan deh."
"Hih males. Pasti Mas mau ngasih duit jajan karena ada maunya."
"Kalau kamu nanti jadi istri saya, kan pasti saya yang ngasih uang jajan."
"Makanya, saya nggak mau nerima uang jajan dari Mas," Vica menjulurkan lidahnya pada Arva. "Lagian, aku bukan perempuan yang mikir semua masalah selesai dengan nikah ya Mas. Jaman sekarang kenapa ya masih banyak aja perempuan yang mikir bahwa nikah adalah solusi semua permasalahan? Aduh, capek belajar, nikah aja ah. Aduh, susah cari duit, nikah aja ah. Emang dikira semua masalah akan selesai dengan nikah?"
Arva terkekeh mendengar sindiran Vica tentang fenomena yang banyak terjadi di kalangan remaja perempuan saat ini.
"Padahal justru orang yang nikah sambil membawa pemikiran yang kayak gitu, malah menimbulkan masalah dan beban baru," imbuh Vica.
"Jadi selama ini kamu menganggap pernikahan itu adalah sebuah masalah atau beban?"
"Bukan. Tapi pernikahan itu new level of challenge," Vica mengoreksi. "Ya gimana bisa menyelesaikan level tantangan yang lebih tinggi, kalau tantangan belajar dan bekerja aja bikin capek dan langsung pengen melarikan diri ke pernikahan."
Arva mengangguk-angguk. "Kalau gitu, artinya kamu udah siap nikah?"
"Belum," jawab Vica lugas, nyaris tanpa jeda untuk berpikir. "Minggu depan aku mulai kerja. Mikirin diri dan kerjaan sendiri aja belum tentu kepegang bener, apalagi mikirin keluarga."
Arva tersenyum. Jawaban Vica begitu lugas bahwa ia belum siap menikah, tapi kenyataan yang ia tunjukkan selama ini justru sebaliknya. Gadis itu bisa membagi waktu dengan baik antara kuliah, mengajar les privat dan merawat Valdi. Dan gadis itu tidak menjadikan pernikahan sebagai pelarian atas ketidakmampuannya menjalani hidup. Dua hal tersebut merupakan bukti yang kuat bagi Arva bahwa sesungguhnya Vica sudah siap.
Jadi apa yang masih menahan gadis itu sehingga tetap selalu menghindari obrolan tentang pernikahan dengan Arva? Apa karena memang gadis itu tidak tertarik pada dirinya? Apa dirinya kurang menarik?
"Setelah selama beberapa bulan ini sejak Mama mengusulkan perjodohan kita, apa belum juga tumbuh ketertarikan kamu terhadap saya? Sedikit rasa penasaran, mungkin?" tanya Arva akhirnya. "Atau, pernah nggak, satu kali aja, kamu mempertimbangkan usulan Mama itu?"
Vica menoleh, menatap Arva. Kali ini sepenuhnya melupakan televisi dan drama Korea yang masih tayang di hadapannya.
"Waktu itu, saya nggak main-main waktu minta kamu mencoba mengenal saya lebih baik dan mempertimbangkan usul Mama dan Ibu saya," kata Arva.
"Andai beliau berdua nggak pernah mengusulkan itu, apa Mas akan melihat aku selain sebagai adik ipar?"
"Saya nggak suka beranda-andai, Vic," tegas Arva. "Yang jelas, Mama dan Ibu sudah mengusulkan ide itu. Dan sejak saat itu saya mulai memperhatikan kamu. Dan saya setuju dengan pendapat Mama dan Ibu tentang kamu."
"Mama dan Bude nggak tahu apa-apa tentang aku."
Mengabaikan kata-kata Vica barusan, Arva justru melanjutkan mengejar Vica. "Beberapa bulan ini, saya nggak pernah mengungkit lagi masalah perjodohan kita karena kamu masih kuliah. Sekarang kamu sudah lulus, jadi boleh kan kalau saya menanyakan lagi jawaban kamu sekarang? Kalau kamu, setelah beberapa bulan mempertimbangkan saya, gimana pendapatmu tentang saya?"
"Pertama, aku nggak pernah mempertimbangkan usul Mama, Bude dan Mas," Vica mengklarifikasi. "Kedua, menurutku, Mas cuma nyari pengasuh Valdi, bukan nyari istri."
Wajah Arva berubah pias. Seperti seseorang yang ketahuan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. "Saya mencari istri yang bisa jadi ibu yang baik untuk Valdi. Apa itu salah?"
"Nggak salah," jawab Vica. "Tapi selain itu, perlu ada cinta juga kan?"
"Kamu mau kita saling mencintai dulu, baru mau nikah sama saya? Tapi sejak beberapa bulan lalu, kamu nggak ada usaha untuk lebih mengenal dan menyukai saya?"
"Karena aku memang nggak berencana nikah sama Mas."
"Kenapa?"
"Mas..." Vica mendesah gusar. "Mas itu ganteng, mapan. Pasti banyak perempuan yang tertarik sama Mas. Nggak perlu memaksakan diri sama aku, kalau Mas bisa dapat perempuan lain yang lebih baik."
"Perempuan lain belum tentu cocok sama Valdi. Cuma kamu yang Valdi___."
"Itu cuma kekhawatiran Mas," potong Vica cepat. "Valdi sekarang sudah nggak terlalu bergantung sama aku lagi. Dia sudah lebih dekat sama Mas. Jadi, siapapun perempuan baik yang Mas kenalkan ke Valdi, dia akan menerima."
Saat itu Arva menyadari, bahwa Vica tidak main-main saat menolaknya. Gadis itu bahkan sudah mempersiapkan Valdi untuk sedikit demi sedikit tidak tergantung padanya. Hanya saja, Arva masih belum bisa menerima alasan Vica. Baginya, alasan Vica menolaknya masih belum jelas.
"Oke kalau gitu," kata Arva akhirnya, menyerah. "Saya nggak akan maksa kamu lagi. Sekarang saya ngerti kalau saya nggak cukup baik untuk kamu. Tapi, boleh tolong kasih tahu saya dimana kekurangan saya, sehingga saya bisa memperbaiki diri dan perempuan lain bisa menerima saya?"
Vica mengernyit. "Mas lagi humble-bragging?"
Arva bengong sesaat sebelum akhirnya terkekeh. "No. Saya serius, ingin tahu dimana kekurangan saya yang membuat kamu konsisten menolak saya. Kalau itu bisa saya perbaiki, perempuan berikutnya yang saya sukai nggak akan nolak saya lagi. Tapi kalau alasan kamu nolak saya karena saya seorang duda dan punya anak, atau karena saya terlalu tua buat kamu___"
Vica melengos malas. "Bukan. Bukan karena itu."
"Lalu?"
"Karena Mas terlalu baik buat aku."
"That's cliche! Such a nonsense!"
Vica tidak peduli Arva mau mempercayai alasannya atau tidak. Jadi, untuk memutus percakapan itu, Vica bergegas bangkit dari duduknya dan pergi dari ruang keluarga itu.
Tapi baru saja Vica bangkit, tangan Arva sudah lebih dulu meraih lengannya dan memaksanya duduk kembali. Sepertinya pria itu tidak akan melepaskannya sampai ia mendapat jawaban yang memuaskan.
"Laki-laki baik itu jodohnya perempuan baik kan Mas?" tanya Vica.
"Apa menurut kamu, saya bukan laki-laki baik?"
"Justru, Mas itu laki-laki baik. Makanya, jodohnya sama perempuan yang baik. Dan itu bukan aku."
Bukannya makin jelas, jawaban Vica malah membuat Arva makin penasaran. Tapi kali itu Vica bergerak dengan cepat. Sebelum Arva sadar, Vica menarik tangannya dari cengkraman Arva dan berlari pergi. Meninggalkan Arva di ruang keluarga, bersama drama Korea di televisi, dan kebingungan di kepalanya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top