Yang Lebih Baik - 4
"Besok-besok Mas yang gantiin popok Valdi ya," kata Vica dari balik punggung Arva, sambil menggendong Valdi. "Biar latihan."
Arva membalikkan tubuh dan segera mengambil alih Valdi yang sudah bersih dan wangi ke gendongannya.
"Bukannya saya nggak mau gantiin popok. Tapi nursery room isinya ibu-ibu semua," kata Arva membela diri. "Gimana kalau ada ibu-ibu yang lagi menyusui, trus saya masuk? Kan kagok saya."
Vica tertawa lebar mendengar keluhan itu. "Alesan aja!" Vica sok menggerutu.
Dan gerutuan yang setengah hati membuat Arva justru tertawa, melihat ekspresi Vica yang lucu.
Setelahnya mereka melanjutkan langkah beriringan menuju restoran tempat mereka akan makan sore.
Hari itu sepulang berkunjung ke rumah salah seorang kerabat Arva di Klaten, Arva, Vica dan Valdi mampir ke sebuah pusat perbelanjaan. Awalnya hanya ingin membeli popok dan cemilan Valdi, tapi kemudian berujung di sebuah kids playground ketika Valdi merengek melihat playground tersebut dan ingin main di dalamnya. Valdi baru mau berhenti main ketika ia buang air besar. Vica membawanya ke nursery room untuk ganti popok. Dan karena saat itu sudah menjelang Maghrib, sekalian saja mereka memutuskan untuk makan sore di mall.
"Mas nggak kabari Bude dulu, bahwa kita nggak makan di rumah? Takutnya Bude dan Pakde nungguin kita makan di rumah," Vica mengingatkan Arva, selagi mereka menunggu makanan pesanan mereka datang.
"Oh, iya." Diingatkan seperti itu, Arva segera mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan kepada ibunya.
Jogja-Klaten memang tidak terlalu jauh. Tapi bagi kedua orang tua Arva yang sudah sepuh, perjalanan seperti itupun cukup melelahkan. Itu mengapa ayah dan ibu Arva tidak ikut berkunjung ke rumah kerabat mereka di Klaten tersebut, dan hanya menitipkan salam melalui Arva.
Makanan yang mereka pesan datang tidak lama kemudian. Perjalanan jauh dan keseruan main di playground membuat Valdi kelaparan. Apalagi kali itu Vica memesan bakmi jawa. Dan karena semua makanan olahan dari mi adalah kesukaan Valdi, jadi Valdi dengan semangat dan lahap terus minta disuapi oleh Vica.
"Tate, baso mi-nya."
"Oh, mau mi-nya pakai bakso ya? Oke!"
"Tate, kupuk."
"Hahaha! Nih, kerupuknya."
"Tate, aaaakkk!"
Sambil menikmati nasi gudeg pesanannya, tatap mata Arva berubah teduh ketika melihat interaksi Valdi dan Vica. Valdi yang semangat minta disuapi terus, dan Vica yang sabar meladeni celoteh Valdi. Mereka bahkan makan dari piring yang sama. Dan gadis itu tidak tampak marah karena keponakannya menggerecokinya makan.
"Hei Va! Mudik juga tho?"
Perhatian Arva teralih oleh sapaan seseorang dan tepukan di pundaknya.
"Hei Don!" Mata Arva membulat antusias dan ia segera bangkit menyambut Donny, teman semasa kuliah dulu. "Mudik juga?" Arva mengulurkan tangan pada lelaki di hadapannya.
"Iya nih," jawab Donny. "Lo juga?"
"Iya."
"Apa kabar lo? Sama-sama kerja bertahun-tahun di Jakarta, eh ketemunya malah pas mudik di Jogja."
Merekapun tertawa bersama.
"Mudik sekeluarga?" tanya Arva kemudian. Tatapannya beralih pada seorang wanita berjilbab dengan dua orang anak perempuan yang berdiri di belakang Donny.
"Oh iya, ini istri gue, Dinda. Sama anak-anak. Ayo sini, salim sama Om." Donny memperkenalkan Arva pada istri dan anak-anaknya.
"Wah, udah dua nih? Perempuan semua lagi. Cantik-cantik," puji Arva sopan.
"Iya nih. Kebetulan dua-duanya perempuan. Biar bapaknya insyaf."
Arva tertawa melihat ekspresi Donny. Setelah mereka bersalaman, gantian Donny yang melirik pada Vica dan Valdi. Jadi akhirnya Arva juga memperkenalkan Vica dan Valdi kepada teman lamanya itu.
Mereka bertukar kabar dan ngobrol singkat, sebelum akhirnya Donny dan keluarganya pamit pergi. Setelahnya Arva, Vica dan Valdi kembali duduk di kursinya dan melanjutkan makan sorenya.
Valdi tampaknya sudah kenyang, jadi sekarang Vica yang bertugas menghabiskan mie pesanan mereka.
"Kenapa senyum-senyum sambil geleng-geleng gitu? Rasa gudegnya aneh?" tegur Vica, yang sedang melirik Arva dan kebetulan menemukan pria itu sedang memakan gudegnya sambil senyum-senyum dan geleng-geleng kepala.
Arva tertawa menanggapi pertanyaan itu. "Oh, nggak. Itu...." Arva meneguk es teh manisnya sebelum menjawab. "Lucu aja pas ketemu Donny tadi."
"Lucu kenapa?"
"Dulu pas masih kuliah dia player banget," kata Arva memulai ceritanya. "Anak basket. Tipe cowok populer. Pacarnya banyak, ganti-ganti. Entah itu pacar beneran, atau cuma HTS-an."
Vica mengangguk-angguk. "Wajar sih. Ganteng."
Arva menoleh. "Bagi kamu, Donny ganteng?"
Vica ikut menoleh, membalas tatapan Arva. "Lho? Emang Mas Donny tadi ganteng kan Mas?"
Arva angkat bahu enggan menjawab.
"Udah tua aja ganteng gitu. Kebayang sih pas masih kuliah dulu gimana populernya."
"Jadi yang seperti Donny itu ya tipe kamu?" telisik Arva.
Pertanyaan itu membuat Vica terkikik. "Aku bilang, Mas Donny itu ganteng. Itu pernyataan objektif, karena memang dia ganteng. Tapi bukan berarti aku suka sama dia, atau sama yang seperti itu."
"Jadi kamu suka laki-laki yang seperti apa?"
"Heh! Kok malah interogasi aku?" sergah Vica buru-buru. Tidak terjebak pertanyaan Arva yang mengalihkan topik obrolan. "Tadi Mas mau cerita tentang Mas Donny kan? Apanya yang lucu dengan dia yang dulu player? Ada lanjutannya?"
Arva terkekeh kecil, karena trik pancingannya kembali gagal.
"Kalau dulu pas masih kuliah saya ditanya apa yang saya prediksi dari masa depan seorang Donny, berumah tangga dan punya anak-anak yang lucu pasti bukan jawaban spontan saya," kata Arva. "Kalau ingat kelakuan Donny yang dulu, nggak kebayang aja dia bakal bisa berkomitmen dengan satu perempuan, berumah tangga, lalu punya anak-anak. Jadi lucu aja pas dengar tadi kata-kata dia tentang anak perempuannya."
"Emang Mas Donny ngomong apa tentang anak perempuannya?"
"Katanya, biar Bapaknya insyaf," Arva mengulangi kata-kata Donny tadi. "Mungkin bagi Donny, Tuhan memberi dia anak perempuan semua, supaya dia insyaf nggak main perempuan lagi."
"Jadi dia menganggap anak-anaknya sebagai hukuman buat dia?" Vica terlihat tidak suka.
"Mungkin bukan hukuman. Lebih tepatnya sebagai pengingat, supaya tiap kali dia mau main perempuan, dia ingat bahwa anaknya juga perempuan."
Vica hanya mengangguk sekilas. Tanda mengerti. Bukan berarti ia setuju.
"Istrinya juga kelihatan alim dan kalem," lanjut Arva, teringat pada perempuan berjilbab yang tadi bersama Donny. "Benar kata orang, pasangan yang tepat akan membuat kita jadi orang yang lebih baik. Makanya banyak yang bilang, sebejat-bejatnya seorang laki-laki, saat nyari istri, pasti nyari perempuan yang baik dan shaliha."
"Mas Arva juga berpikir begitu?" tanya Vica. Tapi kali itu ia tidak menoleh pada Arva, karena sibuk membersihkan bibir Valdi yang belepotan makan es krim setelah tadi makan mie jawa.
"Hmmm... iya. Karena perempuan yang baik akan jadi istri yang baik buat saya, dan terutama akan jadi ibu yang baik buat anak-anak saya nanti. Salah satu langkah pertama membuktikan cinta kepada anak kita adalah dengan memilih calon ibu yang baik untuknya."
Arva mengatakan hal itu sambil menatap Vica, yang sedang meladeni anak tunggalnya dengan telaten, dengan intens sekaligus lembut. Ia berharap Vica akan menyadari, bahwa Arva setuju dijodohkan dengan gadis itu bukan karena ia tidak punya pilihan lain, tapi karena ia sendiri yang memang ingin Vica menjadi istrinya. Karena baginya Vica sudah menunjukkan kualitasnya sebagai perempuan yang baik dan ibu yang baik bagi anaknya. Arva ingin Vica menyadari hal tersebut.
Vica tampak mengangguk-angguk mendengar pendapat Arva. "Bahkan lelaki bejat juga memilih perempuan baik-baik untuk dijadikan istri ya?" gumam Vica, seperti setengah melamun. "Mas Arva juga begitu?"
Arva tersenyum lembut. "Sebelum nikah sama kakak kamu, saya belum pernah pacaran, Vic. Bukan karena saya nggak laku. Tapi karena saya menjaga diri. Jadi, karena saya sudah menjaga diri saya hanya untuk calon istri saya nanti, wajar kan kalau saya mengharapkan calon istri yang menjaga dirinya juga hanya untuk saya?"
Vica mengangguk menyetujui.
"Kalau laki-laki baik dan laki-laki bejat semuanya ingin perempuan baik-baik sebagai istri, perempuan yang nggak baik sama siapa dong?" tanya Vica sekonyong-konyong.
Itu jenis pertanyaan yang tidak Arva duga. Jadi ia tidak bisa segera menjawab pertanyaan itu. Ia hanya bisa menatap Vica dengan bingung.
Ditatap seperti itu, membuat Vica akhirnya terkekeh geli. Ia kemudian mengibaskan tangannya di depan wajah Arva.
"Nggak usah serius-serius amat mikirin jawabannya, Mas," kata Vica. "Saya cuma iseng nanya tadi."
Vica masih terkekeh sambil mengelap meja makan dari sisa ceceran es krim yang dimakan Valdi. Membuat Arva akhirnya menghela nafas lega dan ikut terkekeh. Untunglah Vica hanya iseng, karena kalau perempuan itu serius bertanya, Arva tidak punya jawabannya.
Baginya, hanya perempuan baik yang bisa menjadi ibu bagi Valdi dan anak-anaknya kelak. Dan Vica sudah memenuhi kriteria itu. Jadi buat apa memikirkan apa yang akan terjadi pada perempuan yang bukan perempuan baik-baik. Selama bukan dengannya, Arva tidak peduli.
* * *
"Sebejat-bejatnya seorang laki-laki, saat nyari istri, pasti nyari perempuan yang baik dan shaliha"
Pasti sering dengar pernyataan spt itu. Kakak2 setuju nggak?
Kenyataan di dunia nyata, biasanya seperti itu sih. Laki-laki bebas aja nakal, gonta-ganti pacar dan teman tidur. Tapi saat akan menikah, biasannya justru bukan sama teman bobonya, tapi nyari perempuan lain yang belum pernah di-bobo-in orang.
Nah, jadi kalau laki-laki baik dan laki-laki bejat semuanya ingin perempuan baik-baik sebagai istri, perempuan yang nggak baik sama siapa dong?
Sejujurnya ini adalah pertanyaan saya, yang saya suarakan melalui tokoh Vica.
Kalau menurut Kakak2, gimana? Apa itu artinya perempuan yang nggak baik nggak berhak menikah dengan siapapun?
Makasih utk pendapatnya, Kakak2 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top