Yang Lebih Baik - 3
Tahun lalu Arva tidak mudik saat lebaran. Karena istrinya baru saja meninggal dan puteranya baru berusia 4 bulan sehingga Arva belum berani membawanya dalam perjalanan jauh. Tapi tahun ini, karena Valdi sudah berusia lebih dari satu tahun, sudah lebih aman baginya untuk berpergian jauh. Itu mengapa Arva ingin mudik menemui kedua orangtuanya di Jogja.
"Maaf kami nggak ikut ya Va. Salam kami buat Bapak dan Ibu kamu," kata ibu mertua Arva, ketika ia mengatakan rencananya untuk mudik lebaran ini.
"InsyaAllah Arva sampaikan Ma. Bapak dan Ibu pasti maklum. Beliau berdua juga sudah nggak kuat pergi-pergi jauh," jawab Arva.
Mama tersenyum.
"Pengennya sih Arva bisa ajak Valdi, Ma. Bapak dan Ibu baru satu kali ketemu cucunya, pas Valdi lahir. Selama ini cuma video call aja."
Mama mengangguk. "Nanti Mama bantu siapin perlengkapan Valdi."
"Makasih, Ma." Arva diam sejenak, nampak menimbang-nimbang untuk mengatakan hal selanjutnya. "Ma... Arva kan sekalian ngajak Mbak Tun mudik, karena desanya dekat rumah Ibu. Tapi selama di Jogja, Mbak Tun kan di rumahnya, nggak ikut mengasuh Valdi. Jadi..."
"Ajak aja Vica, Va," kata Mama, bahkan sebelum Arva menyelesaikan kalimatnya. "InsyaAllah Valdi nggak rewel kalau ada Vica."
Wajah Arva langsung semringah. Beberapa hari ini dia bingung dengan rencana mudiknya bersama Valdi. Dia memang mengajak Mbak Tun untuk mudik bersama, karena rumah Mbak Tun memang di dekat rumah orangtuanya. Tapi selama lebaran, Mbak Tun pasti ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya, bukan mengasuh Valdi. Hal itu membuat Arva khawatir, karena selama ini dirinya belum pernah benar-benar mengasuh Valdi sendirian. Selalu ada Mbak Tun, Mama, Papa atau Vica yang membantunya. Arva takut Valdi tantrum jika berhari-hari hanya bersamanya.
Arva memang ingin minta ijin kepada ibu mertuanya agar ia boleh mengajak Vica bersamanya. Tapi untuk itupun ia ragu, apakah mertuanya akan mengijinkan anak gadisnya berpergian dengan dirinya. Siapa sangka, justru sang ibu mertua yang lebih dulu mengusulkan Vica ikut bersamanya.
"Nanti Mama bilang ke Vica. Sekalian dia liburan, abis stres penelitian skripsi," imbuh sang ibu mertua.
Senyum Arva merekah makin lebar.
* * *
"Makasih ya Vic, udah mau nemenin kami ke Jogja," kata Arva, sekali lagi, ketika mereka telah duduk bersisian di kursi kereta api menuju Jogja.
"Sama-sama, Mas. Makasih sudah mau naik kereta, bukan naik pesawat."
Arva tertawa. Disusul dengan Valdi yang juga tertawa-tawa melihat pemandangan di luar jendela.
"Valdi kelihatannya malah seneng banget naik kereta. Semoga delapan jam ini nyaman buat dia," kata Arva.
Vica mengangguk, sambil mengelus kepala anak lelaki yang duduk di pangkuan Arva.
"Saya baru tahu, kamu trauma naik pesawat terbang," komentar Arva.
Sebenarnya kata-kata itu biasa saja. Tapi di telinga Vica, terdengar seperti sebuah ledekan. Membuat gadis itu manyun. Jadi akhirnya Arva terpaksa menahan senyumnya.
"Kalau boleh tahu, kenapa trauma?"
"Nggak trauma. Cuma males aja," Vica ngeles.
"Kamu nggak pernah cerita ke Mama Papa bahwa kamu trauma naik pesawat?"
Setelah menyetujui perintah Mama untuk menemani Valdi dan Arva mudik ke Jogja, Vica menemui Arva dan meminta Arva untuk memesan tiket kereta, alih-alih pesawat. Arva sempat mencoba menyakinkan Vica untuk naik pesawat saja. Tapi Vica berkeras tidak mau ikut kalau naik pesawat.
Ketika Mama mengetahui rencana mereka dan bertanya dengan kaget, "Kok nggak naik pesawat aja, biar cepet?", Arva jadi menyadari bahwa Vica tidak menceritakan rencana itu pada sang ibu. Barangkali, Vica justru sengaja tidak memberitahu ibunya. Hal itu yang membuat Arva menduga bahwa Vica menyembunyikan traumanya pada sang ibu.
"Nggak semua hal harus diceritain ke orangtua kan. Nambah-nambahin pikiran orangtua aja," jawab Vica.
Arva memandang Vica lebih lekat. "Kejadian apa yang bikin kamu trauma naik pesawat sampai nggak mau cerita ke Mama?"
Vica kembali melengos. "Apaan sih Mas? Udah dibilang, aku nggak trauma. Cuma males aja naik pesawat," jawabnya kesal.
Mendengar kekesalan dalam suara Vica, Arva memutuskan untuk tidak memperpanjang topik tersebut. Ia tidak mau mood Vica buruk di sepanjang sisa perjalanan. Sudah untung gadis itu mau menemaninya kan.
Selama ini Arva pikir, dengan sikapnya yang ceplas-ceplos, Vica adalah sebuah buku terbuka yang mudah dibaca. Tapi dari obrolan mereka barusan, Arva baru menyadari bahwa barangkali setiap orang memang punya rahasia, yang tidak diketahui orang terdekatnya, babkan untuk seorang seterbuka Vica.
* * *
Kedatangan mereka bertiga disambut suka cita oleh kedua orangtua Arva. Pria itu anak tunggal, maka Valdipun adalah cucu tunggal mereka. Mereka baru satu kali bertemu dengan sang cucu, saat mereka ke Jakarta untuk menyambut kelahiran sang cucu, sekaligus menghadiri pemakaman sang menantu. Setelah mereka kembali ke Jogja, mereka hanya bertemu dengan sang cucu. Itu mengapa kehadiran sang cucu di rumah mereka sekarang, disambut dengan kebahagiaan yang berlimpah.
Setelah Valdi bangun dan sang kakek dan ayah pulang dari sholat subuh berjamaah di masjid, kakeknya segera mengajaknya jalan-jalan di kompleks perumahan sang kakek. Arva ikut mendampingi Valdi dan ayahnya berjalan-jalan pagi. Sementara Vica membantu ibu Arva menyiapkan bubur sumsum dan pacar cina untuk cemilan Valdi sepulang jalan-jalan nanti.
Setelah menyelesaikan kedua cemilan manis itu, Vica dan ibu Arva menatanya di meja makan. Vica baru saja akan kembali ke dapur untuk membersihkan dapur, ketika ibu Arva mencegahnya dan mengajaknya ngobrol.
"Katanya, Mama Vica sudah pernah mengusulkan supaya Arva menikah dengan Vica," kata ibu Arva sambil tersenyum.
Vica tidak tahu harus menjawab apa. Jadi dia hanya menjawab, "Iya, Bude."
Wanita dengan pipi tembam yang sudah berkeriput dan rambut yang sudah memutih semua itu menunjukkan raut merajuk. "Tetep ya kamu, ndak mau manggil Ibu?"
Vica hanya bisa nyengir sungkan.
"Ibu sudah anggap Vidya seperti anak kandung sendiri. Kamu juga sudah merawat Valdi seperti anak kandungmu sendiri. Jadi bagi Ibu, Vica juga sudah seperti anak Ibu sendiri."
"Hehehe. Makasih, Bude."
"Tuh kan! Tetep..."
"Hehehe..."
Melihat Vica yang berkeras belum mau memanggilnya Ibu, ibu Arva akhirnya menyerah.
"Arva pasti masih diem-diem aja ya?" terka ibu Arva. Lalu beliau melanjutkan curhatannya. "Anak itu memang kurang gasik soal hubungan sama perempuan. Sampai umur 30 tahun belum ada rencana nikah. Untung anak gadisnya Dek Mutia masih single. Jadi langsung Ibu jodohkan Arva dan kakakmu."
Vica mendengarkan cerita tersebut sambil tersenyum dan manggut-manggut.
"Sekarang juga, sebenarnya Ibu yang mengusulkan ke Mama Vica, supaya Arva menikah dengan Vica," akhirnya ibu Arva mengaku. Membuat Vica terkekeh. "Kalau nunggu Arva bergerak, entah kapan dia sadar bahwa Vica adalah ibu yang terbaik buat Valdi."
"Tapi Vica bukan Mbak Vidya, Bude," jawab Vica kemudian.
"Tapi sudah lebih dari satu tahun ini Vica sudah menjadi ibu yang baik buat Valdi."
"Cerita Mama saya pasti lebay, Bude. Bukan cuma saya yang mengasuh Valdi. Mbak Tun banyak membantu. Selama saya kuliah, Mama dan Papa yang menemani Valdi."
Ibu Arva terkekeh. Matanya menatap Vica dengan teduh.
"Tapi tiap Vica pulang kuliah, Valdi langsung nempel sama Vica kan?" tanya ibu Arva. "Bukan Mama kamu yang cerita. Arva yang cerita."
Arva biasanya pulang kerja lebih malam dibanding jadwal Vica pulang kuliah. Jadi Vica tidak menduga Arva memerhatikan hal itu dari dirinya.
"Vica masih kuliah, Bude."
"Tapi sudah skripsi tho? Sebentar lagi lulus, tho?"
"Dan setelah itu Vica ingin kerja."
"Vidya juga perempuan bekerja. Menjadi ibu ndak menghalangi perempuan untuk terus berkarya. Dan bekerja di luar rumah ndak membuat seorang perempuan ndak bisa menjadi ibu yang baik."
Vica menggigit bibir. Kali ini tidak ada lagi senyum di bibirnya. Dia mulai kebingungan bagaimana cara mengelak dari rencana ibunya dan ibu Arva.
"Kalau Bude cuma khawatir tentang Valdi, Bude tenang aja. Vica akan tetap menemani Valdi, sampai Mas Arva nanti ketemu sama perempuan yang lebih baik untuk jadi ibu sambungnya Valdi."
"Perempuan yang lebih baik? Kamu kurang baik apa Vic?"
"Saya nggak seperti Mbak Vidya yang sabar, lemah lembut. Saya masih sering emosi dan kekanak-kanakan. Sering ngeyel, masih..."
Ibu Arva meraih tangan Vica dan menepuk-nepuknya, sambil tersenyum kalem.
"Sifat Vica mungkin berbeda dengan Vidya," kata ibu Arva. "Tapi Ibu percaya, kalian sama baiknya. Ibu sudah kenal Mama Vica sejak lama. Dan Ibu sama sekali ndak ragu, Dek Mutia pasti membesarkan anak-anaknya menjadi perempuan dengan kualitas yang baik. Ibu percaya, Vica juga pasti perempuan yang baik, seperti Vidya."
Mendengar itu, Vica hanya bisa menunduk menatap tangannya yang sedang digenggam dan ditepuk-tepuk oleh ibu Arva. Tatapannya gundah dan miris.
* * *
Orangtua Arva adalah yang paling tua saat ini di keluarga besarnya sehingga para paklik-bulik dan sepupu Arva berkunjung ke rumah orangtua Arva di Hari Raya Idul Fitri itu. Menjelang malam barulah semua tamu tersebut pulang.
Setelah semua tamu pulang, barulah Arva menemukan Vica duduk di pojok ruangan, dengan kepala Valdi rebah di pangkuannya. Gadis itu nampak sedang mengipas-ngipas dirinya dan Valdi menggunakan selembar kertas.
"Gerah?" sapa Arva. Ia mengambil duduk di hadapan gadis itu.
Vica hanya menjawabnya dengan kekehan kecil.
Sebagian kecil dahi Vica yang tidak tertutup jilbab menunjukkan beberapa titik keringat, menunjukkan bahwa dirinya memang kegerahan. Hari itu memang cukup gerah, bahkan hingga malam hari.
Anehnya, menurut Arva, meski merasa gerah, seharian itu Vica tidak melepas jilbabnya. Padahal sehari-hari gadis itu tidak berjilbab. Memang hanya pada Hari Raya gadis itu memakai jilbab. Tidak seperti Vidya, sang kakak, yang memang berjilbab.
Biasanya bagi gadis yang sehari-harinya tidak berjilbab, andaipun mereka berjilbab di Hari Raya, mereka dengan mudah melepasnya ketika merasa gerah. Tapi anehnya Vica tidak melakukannya.
"Valdi udah tidur? Saya gendong ke kamar ya?" Arva menawarkan diri sambil menatap wajah puteranya, yang lelap di pangkuan Vica.
Ketika Vica mengangguk, Arva meraih Valdi dan menggendongnya masuk ke kamarnya. Dulu, itu adalah kamar Arva. Tapi selama mereka di Jogja kali ini, kamar itu ditempati oleh Vica dan Valdi. Sementara Arva menempat kamar tamu.
Vica mengikuti langkah Arva memasuki kamar. Dan ia ikut duduk di sisi Valdi setelah anak itu dibaringkan oleh ayahnya.
"Makasih ya Vic," kata Arva, setelah membaringkan puteranya, dan menegakkan diri kembali. "Seharian ini pasti kamu capek momong Valdi yang heboh ketemu sepupu-sepupunya."
Vica terkekeh. "Sama-sama Mas," jawabnya.
Arva menunduk pada gadis dengan gamis dan jilbab berwarna salem itu.
"Gamis dan jilbabnya cantik," kata Arva, sambil mengusap tengkuknya.
"Gamis dan jilbabnya cantik, karena aku yang pakai, Mas," jawab Vica dengan senyum geli. "Mau bilang aku cantik aja, susah bener."
Arva tertawa gugup.
"Kalau kamu nyaman pakai gamis dan jilbab seperti itu, harusnya kemarin saya beliin lebih banyak," lanjut Arva hati-hati.
Vica tersenyum. "Nggak usah Mas. Saya cuma pakai sesekali aja."
"Kenapa? Gerah ya? Nanti lama-lama terbiasa kok."
Masih tersenyum, Vica menggeleng. "Bukan karena gerah. Cuma... malu."
"Malu kenapa? Kamu cantik kok pakai jilbab."
"Hehehe..." Vica tertawa kecil, dengan tatap mata yang menghindari Arva.
"Vic..."
"Kayaknya nggak pantes, Mas," jawab Vica, menggaruk jilbab yang menutupi kepalanya.
Arva mengernyit. "Nggak pantes? Kenapa?"
"Nanti kalau saya udah lebih baik...."
"Pakai jilbab bukan nunggu sudah sempurna semuanya, Vic. Kan perintah berjilbab untuk semua perempuan muslim yang sudah baligh. Justru, setelah berjilbab, nanti pelan-pelan terus berusaha menjadi lebih baik."
Arva tidak pernah mengatakan ini pada Vica. Meski selama ini Vica tidak berjilbab, tidak seperti kakak dan ibunya, Arva tidak ikut campur. Namun karena sudah beberapa lama ini Arva menangkap kesan bahwa sebenarnya Vica ingin berjilbab tapi selalu ragu, maka kali ini Arva mengatakan apa yang ada di pikirannya.
Jika Vica tidak ingin berjilbab, tidak apa-apa. Itu haknya. Toh Vica sudah dewasa dan sudah bisa menentukan sendiri. Namun jika Vica belum berjilbab hanya karena masih ragu, Arva ingin mencoba membuat gadis itu yakin.
Tapi sepertinya pembicaraan ini membuat Vica merasa tidak nyaman. Karena setelahnya gadis itu nampak defensif.
"Mas pengen saya berjilbab supaya makin mirip sama Mbak Vidya ya?" tuduh Vica sinis. "Nggak perlu berusaha sekeras itu untuk Valdi Mas. Mas cari aja perempuan lain, yang baik-baik dan berjilbab untuk jadi ibu sambungnya Valdi. Nggak usah berusaha mengubah saya jadi perempuan baik-baik."
Jawaban Vica itu membuat Arva mengernyit. Ia tidak menduga respon Vica jadi sesinis itu, padahal Arva hanya ingin membantu meyakinkan Vica. Sebab di mata Arva, sebenarnya Vica sudah memiliki keinginan berjilbab itu. Tapi mengapa Vica jadi begitu defensif?
Mengubah jadi perempuan baik-baik?
Apanya yang perlu diubah? Vica kan memang perempuan baik. Kalau tidak baik, Arva tidak mungkin akan mempertimbangkan saran mertuanya untuk turun ranjang menikahi adik iparnya itu kan.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top