Lho? Cerita apa ini? Kok judulnya berubah?
Hehehe, iya Kak, maaf judulnya berubah ya Kak. Semoga tetap suka, Kak.
* * *
"Tate...."
Meski terlihat tidak tega, Arva melihat Vica meneguhkan hati untuk melepaskan genggaman Valdi darinya.
"Tate..."
"Tante sholat dulu ya. Valdi main sama Papa dulu," kata Vica, perlahan melepas Valdi bersama Arva di depan indoor playground sebuah pusat perbelanjaan.
"Itut! Tolat!"
"Katanya Valdi mau main? Sekarang main sama Papa dulu ya. Tante sholat sebentar doang," bujuk Vica. Dengan cepat Vica melirik Arva yang dari tadi hanya diam menggendong Valdi.
Menyadari tatapan galak Vica, Arva akhirnya bersuara. "Valdi main sama Papa dulu ya. Tante sholat dulu."
"Da mau! Itut Tate tolat!" rengek Valdi, konsisten.
"Main perosotan sama Papa ya! Syuuurrr! Nanti seru lho!" Vica menunjuk perosotan di dalam playground dengan antusias. "Habis Tante sholat, nanti Valdi main perosotan sama Tante. Ya?"
Valdi mulai terlihat galau. Antara ingin ikut Vica sholat ke mushola atau main perosotan yang kelihatannya seru.
Menyadari kegalauan Valdi, Vica buru-buru mendorong punggung Arva. Dalam diam, Vica hanya memberi kode dengan mata, gerak mulut dan ekspresinya yang galak, menyuruh Arva untuk segera membawa Valdi masuk ke playground. Dengan gestur tubuhnya Vica juga memerintah Arva agar terlihat lebih antusias saat mengajak Valdi bermain. Sembari itu, Vica buru-buru melengos bersembunyi dari pandangan Valdi, agar bocah 1 tahun itu fokus hanya pada Papa dan playground di hadapannya.
Valdi yang awalnya menangis tidak mau ditinggal oleh Vica, kini hanya tersisa matanya yang berkaca-kaca. Tapi atensinya sudah berhasil teralihkan oleh kolam bola dan perosotan di playground tersebut. Setelah memastikan Valdi aman bersama ayahnya, barulah Vica melipir ke mushola.
Untuk sholat sebenarnya hanya membutuhkan waktu 15 menit. Tapi setelah kembali dari mushola, Vica tidak segera menampakkan diri di playground. Alih-alih, ia hanya memerhatikan Arva dan Valdi dari posisi yang agak jauh. Setelah satu jam membiarkan ayah dan anak itu bermain bersama, barulah Vica menampakkan diri.
"Mas mau sholat?" sapa Vica sambil cengar-cengir, ketika menghampiri Arva yang kini tampangnya kelelahan dan Valdi yang kelewat antusias.
"Tate!!!" pekik Valdi senang.
Arva nampak menghela nafas lega melihat kedatangan Vica. Bagai melihat dewi penyelamat datang.
"Saya sholat dulu ya," kata Arva dengan ekspresi lemas.
Vica tidak tahan untuk tidak tertawa ketika meraih Valdi dari pangkuan Arva, dan menyuruh Arva untuk pergi sholat.
* * *
"Gimana tadi main sama Papa?" tanya Vica pada Valdi yang duduk di high chair di sisinya.
Setelah Arva kembali dari mushola, Valdi dan Vica sepakat untuk menyudahi eksplorasi mereka di playground tersebut. Mereka bertigapun melipir ke gerai es krim dan snack yang terletak di pusat perbelanjaan itu.
"Syelu!" jawab Valdi dengar bibir yang belepotan es krim.
"Papa gimana tadi main sama Valdi?" gantian Vica bertanya pada Arva. Kali ini dengan tatapan menggoda.
"Seru," jawab Arva. Tapi berkebalikan dengan kata-katanya, wajah Arva justru tampak kuyu. Dan hal itu membuat Vica terkikik geli. "Tadi kamu kemana aja sih? Kok sholatnya lama banget?" imbuh Arva, terdengar seperti protes.
Kali itu Vica tidak lagi menahan kekehannya.
"Sengaja. Supaya Mas bisa lebih lama main berdua sama Valdi. Biar makin akrab dan lengket."
Jawaban itu membuat Arva merengut.
"Didn't you enjoy your time with your own son?" Vica sengaja bertanya dalam bahasa Inggris agar Valdi tidak menyadari bahwa mereka sedang membicarakannya.
"I did enjoy it! It was fun," Arva membela diri. "But it's also... exhausting."
"Yes, indeed. Sekarang Mas jadi bisa lebih paham kalau dengar ibu-ibu curhat tentang capeknya membersamai anak-anak," kata Vica sambil mengulum senyum. "Bukan berarti mereka nggak sayang sama anak atau nggak menikmati waktu bersama anak, tapi memang membersamai anak -- benar-benar membersamai, bukan nyambil main hape-- itu menguras tenaga."
Vica membersihkan sekeliling mulut Valdi, lalu menyuapkan pancake dengan maple syrup ke mulut Valdi, sebelum menoleh lagi pada Arva.
"Tapi itu harga yang harus dibayar untuk membangun kedekatan dengan anak," kata Vica pada Arva. "Hanya karena seorang anak lahir dari rahim kita atau kita yang mendonorkan sperma sehingga dia bisa ada, lalu anak akan otomatis dekat dekat dengan kita..."
Arva berjengit mendengar kelugasan dalam kata-kata Vica. Dia memang tidak terlalu mengenal sifat adik iparnya selain sebagai gadis yang periang. Kali ini ia baru tahu bahwa sepertinya ini yang membedakan Vica dan kakaknya. Vidya lebih halus tutur katanya.
"Nggak bisa gitu. Ada investasi yang harus kita lakukan kalau mau anak merasa dekat dengan kita. Lebih dari sekedar investasi uang dengan membelikan mainan. Tapi investasi waktu dan tenaga, untuk benar-benar membersamai mereka.
Aku melihat Mas Arva kurang berinvestasi dalam hal itu. Tiap pulang kerja, masih sibuk dengan ponsel untuk urusan kerjaan. Ketemu Valdi cuma pas makan, atau ngajak main sebentar. Ngajak mainpun, Mas sambil pegang hape. Nggak heran kalau Valdi lebih lengket sama aku."
Kali ini Arva tercenung mendengar kata-kata Vica. Karena semua yang dikatakan gadis itu benar adanya.
Ini bukan pertama kali Arva mengajak Valdi main ke mall. Juga bukan pertama kalinya Arva main bersama Valdi. Tapi ini pertama kalinya Arva benar-benar menghabiskan waktu bersama, berdua, dengan Valdi. Tanpa bantuan siapapun. Tanpa ayah atau ibu mertuanya, tanpa Vica dan tanpa Mbak Tun sang pengasuh Valdi. Dan seperti ia duga, Valdi memang menunjukkan keengganan ketika ditinggal berdua hanya dengan Arva. Anak itu tidak merasa akrab dengan ayahnya sendiri dan selalu merasa lebih aman bersama kakek, nenek, tante atau pengasuhnya.
Itu mengapa kali ini Vica bersedia ikut saat Arva mengajaknya jalan-jalan bertiga dengan Valdi.
Ayah dan ibu mertua Arva memang biasanya enggan pergi keluar rumah karena mudah kelelahan. Biasanya selama ini Arva mengajak Vica dan Mbak Tun tiap akan mengajak Valdi jalan-jalan, sehingga ia bisa tetap santai karena ada Vica dan Mbak Tun yang mengurus urusan Valdi. Tapi kali ini berbeda.
Kali ini Arva tidak mengajak serta Mbak Tun karena punya misi terselubung untuk mengenal Vica dengan lebih dekat. Ide perjodohan yang ditawarkan sang mertua kini nampak masuk akal, melihat kedekatan Vica dengan puteranya. Jadi Arva memutuskan untuk mencoba mengenal adik iparnya itu lebih dekat, untuk memutuskan apakah ia memang perlu menikahi gadis itu atau tidak.
Di sisi lain, Vica menyetujui ajakan Arva untuk pergi bertiga saja, juga karena punya misi terselubung. Agar Arva bisa lebih dekat dengan anaknya sendiri. Jika Valdi makin dekat dengan ayahnya, anak itu tidak akan tergantung lagi pada Vica. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan kuat untuk memaksakan perjodohan dengan kakak iparnya itu.
Jadi pada dasarnya, kedua orang itu jalan-jalan bersama Valdi untuk dua misi berbeda. Yang satu, untuk mempertimbangkan menyetujui perjodohan mereka. Yang kedua, justru untuk mencari cara menolak perjodohan tersebut.
"Kamu selama ini pasti capek menemani Valdi?" terka Arva.
"Bohong kalau aku bilang nggak capek," jawab Vica.
Arva mengangguk-angguk paham. Sepulang kuliah, pasti Vica yang menemani Valdi. Bahkan Valdi tidur di kamar Vica. Baru satu jam berdua saja dengan Valdi sudah menguras tenaga, apalagi Vica yang setiap hari selama berjam-jam membersamai anaknya kan?
"Tapi Valdi anaknya Mbak Vidya..." imbuh Vica. "It's sad that she passed away so soon. So I hope he still can feel his mother's love through me. Until the time you find a woman who can love him as her own son."
"How about you love him forever as his mom?" sambung Arva cepat. "Kamu sudah menyayangi dia seperti ibunya sendiri. Dan dia menyayangi kamu seperti ibunya sendiri."
"Dan Mas akan mencintai saya seperti Mas mencintai Mbak Vidya? Atau Mas akan menganggap saya sebagai Mbak Vidya?" balas Vica tidak kalah cepat.
"Apa karena itu kamu nggak mau dijodohkan dengan saya? Karena takut saya akan selalu membandingkan kamu dengan kakak kamu?"
"Bagaimanapun, tanpa sadar, Mas akan membandingkan," kata Vica. "Tapi saya sama sekali nggak takut. Karena saya memang nggak berniat menggantikan Mbak Vidya."
"Kenapa? Apa karena saya terlalu tua buat kamu?"
Kali itu Vica terkikik.
"Saya baru 35 tahun. Belum setua itu," Arva membela diri.
"Dan aku baru 21 tahun. Mas memang sudah setua itu." Vica mengulum senyum dengan tatapan menggoda.
"Jadi memang karena saya sudah terlalu tua? Kamu sudah punya pacar yang seumuran?"
"Aku nggak punya pacar Mas. Tapi bukan karena aku nggak punya pacar, aku jadi harus nerima-nerima aja dijodohin sama siapa aja."
"Saya bukan sembarang siapa aja."
Vica hanya tertawa kecil mendengar pembelaan diri Arva.
Sayangnya pembelaan diri Arva dan upayanya untuk meyakinkan Vica harus terputus gara-gara interupsi anaknya sendiri.
"Tate... pup!"
Vica tertawa geli sambil membersihkan bibir Valdi kembali, sebelum menggendong anak itu dan membawanya ke nursery room.
* * *
Kemarin ada yg nanya, ini cerita agegap atau bukan? Di bab ini sudah terjawab yak.
Tentu saja ini cerita agegap. Aku kan spesialis cerita agegap, terutama agegap dengam om2 (om Haris). Uhuk!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top