Yang Lebih Baik - 10

Hening tercipta diantara keduanya ketika mata mereka bertemu, di lorong menuju toilet visitor. Hingga kemudian Arva yang memecah hening terlebih dahulu.

"Saya tunggu di parkiran ya," kata Arva singkat, sebelum ia meninggalkan Vica dalam suasana hati yang makin tidak karuan.

Sejak kapan Arva berdiri disitu? Mengapa Vica sampai tidak sadar bahwa ada orang lain di lobby itu? Apa saja yang didengar Arva?

Vica menghela nafasnya dengan berat. Dengan suasana sesunyi ini, Vica bahkan bisa mendengar langkah kaki Arva yang menjauh. Jadi jika Arva telah berdiri di balik dinding ini sejak lama, lelaki itu juga pasti mendengar perdebatannya dengan Andre.

Kini, rahasia yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat dari semua orang, akhirnya terbongkar. Ironisnya, kenapa harus Arva yang mendengar semua rahasia kelam itu? Mau ditaruh dimana mukanya sekarang jika bertemu dengan pria itu?

Vica mempertimbangkan untuk tidak jadi pulang bersama Arva. Ia khawatir suasana di mobil nanti akan canggung. Dan Vica lebih khawatir lagi jika Arva mengkonfirmasi langsung padanya. Namun ketika keluar lobby, Arva sudah berdiri di depan mobilnya yang terparkir di halaman parkir visitor. Pria itu tidak menunggu di dalam mobil. Jadi Vica tidak punya kesempatan untuk kabur.

Dengan menelan ludah, akhirnya Vica memberanikan diri pulang bersama kakak iparnya.

"Mau makan malam dulu? Atau langsung pulang?" tanya Arva ketika ia mulai mengemudikan mobilnya keluar dari kantor Vica.

"L-l-langsung pulang aja Mas," jawab Vica gugup.

Arva bergumam sambil mengangguk. Lalu setelahnya tidak ada lagi yang bersuara diantara mereka. Hanya suara rendah dari radio yang terdengar. Entah apa yang dipikirkan Arva, tapi pikiran Vica sibuk sekali diantara keheningan sepanjang jalan itu.

Ketika akhirnya mereka tiba di rumah, Arva memarkirkan mobilnya dan Vica mengunci pintu pagar, Vica menahan langkah Arva sebelum mereka masuk ke dalam rumah.

"Mas, boleh minta tolong?" kata Vica lirih. "Apapun yang Mas dengar tadi, tolong jangan bilang apapun ke Mama Papa." Vica membungkukkan punggungnya, sungguh-sungguh meminta pengertian Arva.

"Vic..."

Tapi belum sempat Arva berkomentar apapun, gadis itu sudah menegakkan punggungnya kembali dan terburu-buru masuk ke dalam rumah.

* * *

Setelah malam itu, jelas sekali Vica selalu berusaha menghindari Arva.

Meski kantor Arva dan Vica searah, sehingga beberapa kali sempat Arva mengantar atau menjemput Vica, tapi sejak hari itu mereka tidak pernah pergi atau pulang bersama lagi. Vica selalu berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam dengan alasan sedang banyak pekerjaan.

Di akhir pekan, Vica selalu berada di luar rumah dengan alasan lembur atau bertemu temannya.

Tiap kali Arva berada di rumah, Vica akan berdiam di kamarnya. Dengan demikian, praktis tidak ada kesempatan bagi Arva untuk bicara dengan Vica.

Pernah satu kali Arva bertemu Vica saat mereka sekeluarga makan bersama. Sebelumnya Arva mengirim pesan kepada Mama Vica bahwa akan pulang terlambat, sehingga Vica terlanjur merasa aman untuk makan malam bersama Valdi dan kedua orangtuanya. Tapi ternyata Arva tidak jadi lembur dan pulang lebih cepat, sehingga ia bisa ikut makan malam bersama. Saat itu, Vica dengan cepat menghabiskan makanannya lebih dulu dan menyelesaikan mencuci piring sebelum Arva sempat menghampirinya.

Vica memang sengaja melakukan itu, menjauh dari Arva. Jujur saja, dia malu sekali karena ada orang lain yang mengetahui rahasia yang telah ia simpan sejak SMA. Apalagi orang itu adalah kakak iparnya sendiri, yang sempat akan dijodohkan dengannya. Ia malu, dan tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Arva. Sekaligus, ia selalu was-was Arva akan memberi tahu hal tersebut kepada orangtuanya. Meski Vica tahu bahwa Arva adalah orang yang bisa dipercaya untuk memegang rahasia, namun tetap saja ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa cemas.

* * *

Setelah lewat sebulan, tidak ada yang berubah dengan keadaan rumah atau sikap orangtuanya, yang berarti bahwa Arva belum bicara apapun tentang rahasianya kepada orangtuanya. Meski demikian, tetap saja Vica selalu merasa tidak tenang. Karena alasan lain.

Tapi mungkin itu hanya Vica yang overthinking.

Mungkin Vica saja yang terlalu menganggap serius rencana orangtuanya untuk menjodohkannya dengan Arva, sehingga ketika Arva mengetahui masa lalunya, Vica merasa malu luar biasa. Mungkin sebenarnya hanya Vica yang terlalu khawatir. Sebab mungkin Arva sendiri tidak terlalu peduli pada masa lalu Vica. Karena sekelam apapun masa lalu Vica, itu tidak ada hubungannya dengan Arva. Karena Arva memang tidak berencana menjalani masa depan dengan Vica.

Buktinya, malam itu ketika Vica sedang makan malam dengan teman-teman kantornya, di restoran yang sama ia melihat Arva sedang makan malam juga dengan seorang perempuan.

Saat itu Vica paham. Sepertinya sebentar lagi Valdi akan punya ibu sambung. Dan itu jelas bukan Vica.

Vica selesai makan malam hampir bersamaan dengan Arva dan pasangannya yang juga selesai makan malam. Ketika hendak keluar restoran, mata mereka bersitatap. Perempuan yang makan malam bersama Arva, melambai pada Vica dari jarak beberapa meter, karena memang mereka saling mengenal. Sementara Arva sendiri hanya diam menatap Vica.

"Rumahnya Vica bukannya searah sama apartemen Pak Andre?" tanya Yogi, salah seorang teman kantor Vica, yang makan malam bersamanya tadi.

"Eh?" Celetukan barusan itu membuat perhatian Vica dari Arva dan teman perempuannya terpecah.

"Betul, saya bisa antar Vica pulang sekalian," sambut Andre dengan cepat.

Tapi belum sempat Vica menjawab Yogi maupun Andre, ia sudah melihat Arva dan kekasihnya melangkah bersisian keluar dari restoran.

* * *

Tidak mengejutkan jika Arva belum tiba di rumah saat Vica membuka pintu pagar dan tidak menemukan mobil Arva terparkir disana. Tentu butuh waktu untuk mengantar Anin pulang lalu kembali ke rumah ini.

Tanpa sadar Vica tersenyum sendiri saat mengingat pertemuannya dengan Arva dan Anin yang sedang makan malam tadi.

Jadi ternyata Arva pacaran dengan Anin.

Vica sudah memprediksinya sejak Anin pulang bersama Arva dan Valdi dari SeaWorld beberapa bulan yang lalu. Tapi anehnya kini ketika hal itu terverifikasi, mengapa Vica merasa sakit hati?

Padahal dia tidak berhak sakit hati. Anin single, Arva duda. Meski sudah pernah dijodohkan, tapi Arva dan Vica sama sekali tidak punya hubungan romansa sebelumnya. Jadi tidak ada yang mengkhianati dirinya. Tidak Arva, tidak pula Anin. Jadi Vica harusnya sama sekali tidak punya alasan sakit hati pada kedua orang itu.

Tangan Vica yang sedang menarik pagar rumahnya untuk menutup, terhenti ketika lampu mobil menyorot wajahnya.  Dengan menyipitkan mata, akhirnya ia bisa mengenali mobil yang menyorotnya adalah mobil Arva.

Vica menghela nafas sebelum membuka pagar untuk Arva dan mempersilakan mobilnya masuk. Setelah itu dengan cekatan Vica menutup dan mengunci pagar rumah. Lalu sebelum Arva keluar dari mobilnya, Vica sudah berjalan cepat membuka pintu rumah dan masuk.

Berminggu-minggu Vica sudah berhasil menghindari Arva. Jadi kali ini ia juga tidak boleh gagal.

* * *

"Emang beneran perlu ngekos? Kantor Vica kan nggak terlalu jauh dari rumah."

Sekali lagi Mama Vica menanyakan keputusan Vica yang tiba-tiba ingin tinggal di kos.

Vica sudah memberi alasan bahwa project yang dikerjakannya saat ini membuatnya banyak lembur hingga malam atau bekerja di akhir pekan. Meski jarak kantor dan rumah tidak terlalu jauh, tapi tetap berisiko untuk pulang malam hari.

"Mama bisa minta tolong Mas Arva jemput kalau Vica lagi pulang malam," kata Mama Vica lagi.

Vica tersenyum kecil. "Udah bagus sekarang Mas Arva udah ga terlalu sering pulang malam, Ma, jadi dia bisa nemenin Valdi tiap hari. Kalau disuruh nunggu Vica lembur, kasihan lah."

"Nah! Valdi!" sahut Mama cepat. "Apa kamu nggak kasihan sama Valdi, kalau kamu lembur malem dan tiap weekend gitu? Dia sedih, sekarang Tante Vica jarang main lagi sama Valdi. Apalagi kalau kamu ngekos, akan makin jarang ketemu Valdi. Dia masih butuh kamu, Vic."

Vica masih tersenyum. Tapi kali ini dengan senyum sedih. "Valdi nggak butuh Vica lagi, Ma."

"Maksudnya?"

"Sebentar lagi Valdi nggak akan butuh Vica lagi," Vica mengulang. "Valdi akan punya ibu sambung, Ma."

Gerakan tangan Mama Vica yang sedang melipat baju melambat, lalu terhenti.

"Arva nggak cerita apa-apa____"

"Mas Arva pasti sungkan Ma. Selama ini dia tinggal disini. Mama Papa yang bantu rawat Valdi. Mama Papa juga yang mau menjodohkan Mas Arva dengan Vica. Jadi Mas Arva pasti sungkan menolak perjodohan itu, Ma."

Mama Vica terkekeh kecil. "Apa ini siasat kamu lagi untuk menolak perjodohan?" terka beliau.

"Apa Valdi suka cerita tentang Tante Anin, Ma?" Vica justru balik bertanya.

Dan pertanyaan Vica kali itu membuat Mama Vica tidak lagi bisa menjawabnya.

Selama ini Vica memang sudah berkali-kali menolak ide perjodohan itu dengan berbagai alasan. Tapi alasannya kali itu membuat Mama Vica tidak lagi bisa mendebat.

Jika ternyata menantunya mencintai perempuan lain, maka ia tidak bisa memaksakan puteri bungsunya untuk menggantikan sang kakak kan?

* * *

Halo Kakak2!
Semoga sehat2 selalu ya Kak.
Makasih ya sdh bersabar dan tetap membaca cerita ini 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top