Yang Lebih Baik - 1

Halo Kakak2!
Hehehe, iya, saya tahu, harusnya saya update cerita Mas Randu. Tapi bbrp hari ini kepikiran cerita ini. Gimana dong?

Jadi yowis skrg update ini dulu aja ya Kak.

Semoga suka!

* * *

Ini bukan pertama kalinya Arva dijodohkan. Dan tidak ada salahnya juga dengan sebuah perjodohan, asal tidak ada paksaan di dalamnya. Sebelumnya, ia menikah dengan Vidya juga berkat perjodohan orang tuanya. Meski belum ada cinta di awal pernikahan, toh kini mereka sudah dikaruniai seorang putera.

Sayangnya, kebersamaannya dengan Vidya tidak berlangsung lama. Bersamaan dengan hadirnya sang buah hati, Tuhan mengambil sang istri.

Kehilangan sang istri bersamaan dengan hadirnya sang buah hati sempat membuat Arva depresi. Sebagai anak tunggal, ia tidak punya pengalaman mengurus bayi. Kedua orangtuanya tidak tinggal di Jakarta. Dan meski ibunya sudah mencarikan pengasuh untuk puteranya, namun Arva tetap selalu was-was meninggalkan bayinya di rumah hanya berdua dengan sang pengasuh. Beruntung, keluarga mendiang istrinya bersedia mendampinginya di masa-masa itu.

"Kamu tinggal di sini aja, Arva," kata sang ayah mertua, ibu dari Vidya, mendiang istrinya. "Biar Mama yang urus Valdi. Kamu bisa kerja dengan tenang, Valdi di rumah sama Mama."

"Mama nggak repot?" tanya Arva sungkan. Ia mengalihkan matanya pada ibu dan ayah mertuanya bergantian.

"Buat cucu, kami mana mungkin merasa repot, Va," kali ini ibu mertua yang menjawab.

Arva masih menimbang hal tersebut hingga beberapa jenak. Sesungguhnya ia sangat memerlukan bantuan itu dari sang mertua. Namun ia juga merasa sungkan merepotkan kedua mertuanya.

"Valdi disini aja, Mas," celetuk seorang gadis yang tiba-tiba muncul. Selagi muncul, gadis itu langsung duduk di sisi ibu mertua Arva dan meraih Valdi yang sedang digendong sang ibu mertua. "Nanti Vica yang jaga Valdi."

"Gimana mau jaga Valdi? Urusan kampusmu aja banyak banget," sindir ibu mertua Arva kepada anak bungsunya.

Gadis dengan rambut sebahu yang diikat sederhana itu terkekeh. "Ya kalau lagi nggak banyak tugas, Vica bantuin juga Ma." Adik ipar Arva itu kemudian menoleh pada Arva. "Lagian, kan ada pengasuh Valdi, Mas. Jadi Mama nggak akan terlalu capek. Dan Mas bisa tenang ninggalin Valdi sama pengasuh, karena ada Mama dan aku yang ngawasin juga."

Arva melihat sang adik ipar yang sedang menunduk di atas wajah puteranya, mengajak bayi kecil itu ngobrol sambil menggerak-gerakkan tangannya. Bayi kecil itu tampak terkekeh geli. Maka dengan itulah Arva memutuskan untuk menerima tawaran bantuan dari keluarga mendiang istrinya.

* * *

Setahun sudah berlalu sejak Arva dan puteranya tinggal di rumah orangtua Vidya. Valdi tumbuh dengan baik di bawah asuhan dan limpahan kasih sayang kakek, nenek dan tantenya. Arva merasa sangat terbantu dengan dukungan dari keluarga mendiang istrinya itu. Ia bisa terus bekerja dengan tenang, tanpa mengkhawatirkan keseharian dan tumbuh kembang puteranya.

Meski demikian, kedekatan Valdi dengan keluarga mendiang istrinya terkadang membuat Arva iri. Menghabiskan waktu lebih banyak dengan tantenya, bahkan mereka tidur bersama di malam hari, membuat Valdi bahkan lebih dekat dengan Vica dibanding Arva. Anak itu tidak mau pergi keluar rumah jika hanya dengan ayahnya. Harus ada kakek, nenek atau tantenya yang menemani agar Valdi mau pergi bersama Arva. Begitupun hanya untuk sekedar pergi ke dokter untuk vaksinasi, Valdi hanya mau pergi jika bersama kakek, nenek atau tantenya.

Karena ayah dan ibu mertuanya sudah sepuh dan tidak suka berpergian ke luar rumah, biasanya Vica yang menemani Valdi untuk pergi ke dokter bersama Arva. Seringnya mereka berpergian bersama bertiga menyebabkan sejumlah kesalahpahaman. Baik orangtua lain yang sedang mengantri dokter, maupun perawat dan dokter yang menangani Valdi, biasanya menganggap Valdi datang bersama ayah dan ibunya. Bukan hanya mereka, beberapa kali orang yang mereka temui di pusat perbelanjaan juga mengira mereka adalah sebuah keluarga.

Di awal-awal, biasanya Vica dan Arva mengklarifikasi dugaan tersebut bahwa Vica adalah tantenya Valdi. Namun lama kelamaan mereka capek juga mengklarifikasi hal tersebut berkali-kali. Akhirnya mereka membiarkan saja asumsi-asumsi tersebut, sepanjang hal itu tidak mengganggu mereka.

Arva kira, asumsi orang tidak akan mempengaruhi dirinya dan keluarganya. Tapi ternyata ia salah. Bukan hanya orang-orang asing yang salah paham. Tetangga-tetangga mertuanya bahkan membuat asumsi itu bahkan lebih parah.

"Tetangga-tetangga pada nanya, apa nggak apa-apa kalau Arva tinggal disini, padahal disini ada Vica juga. Yang satu duda, yang satu gadis," kata sang ibu mertua hati-hati. "Papa dan Mama sama sekali nggak keberatan Arva dan Valdi tinggal disini. Mama cerita begini, supaya Arva tahu dan nggak kaget kalau dengar gosip-gosip tetangga sini."

Meski ibu mertuanya mengatakan seperti itu, tetap saja Arva merasa terbebani dengan hal itu. Diskusinya hari itu dengan sang ibu mertua membuat Arva berpikir untuk kembali tinggal di rumahnya sendiri dan tidak lagi merepotkan mertuanya. Namun tentu saja tidak semudah itu untuk pindah, karena Valdi sudah terlanjur lengket dengan kakek, nenek dan tantenya.

"Sebenarnya Arva bisa tetap tinggal disini tanpa khawatir gosip. Atau Arva bisa tinggal lagi di rumah Arva tanpa perlu khawatir Valdi menolak, asal Vica ikut."

"Tapi kalau Vica ikut ke rumah saya, justru akan menimbulkan gosip-gosip lain dari tetangga-tetangga saya kan, Ma. Sama aja."

"Kalian nggak akan digosipkan kalau kalian menikah," jawab sang ibu mertua, perlahan.

Tentu saja itu satu-satunya solusi jika ia ingin tetap tinggal serumah dengan Vica. Karena tanpa Vica atau kedua mertuanya, Valdi bisa jadi rungsing terus-terusan. Tapi, menikahi Vica? Adik iparnya sendiri?

Ini bukan pertama kalinya Arva dijodohkan. Sebelumnya, ia menikah dengan Vidya juga berkat perjodohan. Tapi jika sekarang ia kembali dijodohkan, apalagi dengan adik iparnya sendiri...?

"Nggak usah dengerin omongan orang, Ma." Suara itu muncul tiba-tiba dari balik pintu.

Arva menahan diri untuk tidak geleng-geleng kepala. Adik iparnya ini memang punya kebiasaan nongol tiba-tiba tanpa diduga. Macam jelangkung.

"Mau kemana Vic?" tanya ibu mertua Arva pada putri bungsunya itu ketika melihat gadis itu sudah rapi, padahal hari itu hari Sabtu, waktunya libur.

"Ke kampus, Ma," jawab Vica, sambil meraih tangan sang ibu dan mencium punggung tangannya.

"Sabtu kan kuliah libur?"

"Mau ngelab, Ma." Gadis itu kemudian beralih pada Arva dan mencium punggung tangannya juga.

Sejak menikah dengan Vidya, Arva yang seorang anak tunggal, memang langsung menganggap Vica sebagai adiknya. Demikianpun Vica yang selalu memosisikan diri sebagai adik bagi Arva.

"Oh." Sang ibu mengangguk-angguk mengerti. Putri bungsunya kini telah berada di tahun terakhir perkuliahan dan sedang sibuk-sibuknya penelitian skripsi di lab. Beberapa kali Vica ijin pulang malam karena penelitian di lab.

"Pulang malem lagi?" tanya sang ibu.

"Nggak sih. Hari ini kayaknya sore udah kelar, Ma," kata Vica. "Tapi kalau Mama tetep niat jodohin Vica dan Mas Arva, mending Vica pulang malem aja. Nyari kos-kosan dulu. Biar Mas Arva aja yang tinggal disini sama Valdi. Vica ngekos aja. Biar ga digosipin mulu sama ibu-ibu komplek."

"Vic...." Nampak sang ibu mengeluh melihat kelakuan anaknya. Sementara Arva mengulum senyum.

"Ngapain sih Ma, dengerin omongan orang. Kan Mama lihat sendiri Vica dan Mas Arva tuh nggak pernah aneh-aneh. Boro-boro deh mau aneh-aneh, Mas Arva aja sibuk kerja mulu kan."

Sang ibu mertua melirik Arva dengan tatapan sungkan, selagi Vica meneruskan protesnya.

"Lagian ini Vica masih anak kuliahan lho. Masih di bawah umur. Masa udah dijodoh-jodohin aja?"

"Di bawah umur apaan? Di desa, umur 17 tahun udah dinikahin, Vic."

"Ya tapi ini kan bukan desa, Ma."

"Yaudah, nanti nunggu kamu lulus deh. Sekarang kan lagi skripsi. Beberapa bulan lagi udah lulus. Baru kita omongin hal ini lagi."

"Maaaa..." Kali ini gantian Vica yang mengerang frustasi. "Hari ini aku pulang malem. Mau cari pacar dulu!"

"Tuh kan, kamu juga belum punya pacar," sambar sang ibu. "Daripada pacaran nggak jelas, mending sama Mas Arva aja."

"Bodo ah!" Vica menghentakkan kakinya dengan ekspresi kesal, sebelum akhirnya pamit berangkat ke kampus dengan motornya.

Membuat ibu dan Arva terkekeh geli melihat kelakuannya.

* * *

"Nggak jadi pulang malem?"

"Hah?"

"Katanya mau pulang malem, nyari pacar dulu?"

Vica memutar bola matanya mendengar sindiran sang kakak ipar.

"Mbak Tun," Vica menoleh pada pengasuh Valdi. "Biar saya aja yang suapin Valdi."

"Eh?"

"Minta tolong bantuin Mama masak, boleh Mbak?"

"Oh, iya, Mbak," jawab Mbak Tun patuh. Wanita berusia 30 tahunan itu kemudian menyerahkan mangkuk makan Valdi kepada Vica, dan melipir ke dapur.

Tugas utama Mbak Tun memang untuk mengasuh Valdi. Tapi saat ada orang lain yang mengasuh Valdi, Mbak Tun bisa membantu pekerjaan rumah lainnya.

"Jadi, pulang sore gini karena udah dapet pacar atau justru gagal dapet pacar?" Selagi menemani Valdi bermain mobil-mobilan sambil makan sore, Arva melanjutkan sindirannya pada sang adik ipar.

"Lha? Lanjut dibahas nih Mas?" jawab Vica sewot, sambil mulai menyuapkan nasi, sayur lodeh dan gadon daging pada Valdi. "Sengaja aku nggak bantuin Mama masak makan malam supaya nggak ada pembahasan itu lagi, eh malah Mas Arva yang bahas," lanjutnya menggerutu.

Arva terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala.

"Kalau kamu memang belum punya pacar, kenapa nggak mau sama saya?" tanya Arva, masih penasaran dengan respon Vica.

Vica menoleh dan memandang Arva dengan lebih serius. "Emang Mas Arva serius nanggapin usulan Mama?"

Sebelum mertuanya mengemukakan ide itu, sama sekali tidak terpikir oleh Arva untuk tertarik pada adik iparnya sendiri. Tapi sejak sang ibu mertua menawarkan ide itu, kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya ide itu tidak terlalu buruk juga.

Meski masih kuliah, Vica sama sekali tidak terlihat seperti remaja yang masih labil. Selama setahun terakhir Arva menyaksikan sendiri sikap keibuan Vica saat mengasuh Valdi. Jadi kalau sampai Vica mengatakan alasan bahwa ia merasa belum siap menikah, Arva tidak akan percaya. Di matanya, Vica sudah lebih dari siap untuk menjadi seorang ibu dari anaknya.

Apa itu berarti Arva sudah tertarik pada Vica, seperti seorang lelaki kepada seorang perempuan? Jujur saja, belum. Tapi perasaan itu bisa dibangun seiring kebersamaan kan? Dulu dirinya dan Vidya juga demikian. Perlahan belajar saling mengenal dan akhirnya menyayangi. Dan melihat karakter Vica, Arva yakin, tidak akan sulit baginya untuk menumbuhkan perasaan kepada perempuan seperti Vica.

"Nggak ada salahnya kan kalau dicoba dulu," jawab Arva diplomatis.

Vica menyuapkan sesendok nasi lodeh lagi pada Valdi yang baru saja menabrakkan mobil-mobilannya ke dinding.

"Salah. Kalau motivasi Mas pengen nikah sama saya cuma gara-gara disuruh Mama, takut digosipin, nyari pengganti Mbak Vidya atau karena nyari pengasuh tetap Valdi."

"Jadi motivasi yang benar itu yang kayak gimana?"

"Ya menikah karena cinta lah!"

"Cinta pada dua orang yang belum menikah itu ilusi, Vic."

Vica yang sedang mengulurkan botol air minum pada Valdi, nampak terdiam sesaat, ketika mendengar kakak iparnya.

"Perasaan yang terlalu diglorifikasi seperti itu membuat orang-orang membenarkan segala yang mereka lakukan, atas nama cinta. Padahal, cinta harusnya diekspresikan dalam sebuah hubungan yang bertanggung jawab. Sebaliknya, nggak ada yang salah dengan berusaha menumbuhkan rasa cinta pada orang yang sudah dinikahi. Cinta akan datang seiring kebersamaan."

Vica tidak menanggapi perkataan Arva. Tapi Arva tahu bahwa gadis itu mendengarnya.

"Kalau kamu memang penginnya nikah sama orang yang kamu cintai dan mencintai kamu, gimana kalau kita coba?" Arva menawarkan kemudian.

"Coba apaan? Emangnya saya minyak telon, dicoba-coba?" refleks Vica menjawab.

Arva terkekeh pelan mendengar analogi Vica. "Kamu coba lebih mengenal saya. Sebaliknya, saya juga akan coba lebih mengenal kamu. Kalau sampai kamu wisuda ternyata kamu tetep nggak bisa suka sama saya atau saya tetap cuma melihat kamu sebagai adik, kita bisa lebih mantap menolak saran Mama, karena setidaknya kita pernah mencoba lalu gagal."

"Ah! Perjanjian apaan tuh kayak gitu? Nggak mau ah!" tolak Vica dengan cepat. "Mas tuh pengen nikah sama aku karena lihat Valdi nempel sama aku kan? Karena Mas akan merasa kerepotan mengurus Valdi tanpa aku, Mama atau Papa kan? Nah, daripada Mas malah maksain diri nikah sama aku hanya demi Valdi, mending mulai sekarang Mas mulai lebih mendekatkan diri sama Valdi deh."

Dahi Arva mengernyit dan alis tebalnya nyaris bersatu.

"Jangan terlalu sibuk kerja melulu! Kalau sudah pulang ke rumah, jangan ngerjain kerjaan kantor lagi. Lebih banyak main sama Valdi. Kalau nanti Valdi makin lengket sama Mas, Mas nggak akan butuh aku, Mama atau Papa lagi untuk handle Valdi. Setelahnya, Mas bisa pindah ke rumah Mas sendiri kalau Mas sudah sepenuhnya percaya sama Mbak Tun. Dan kalau Mas punya calon istri baru nanti, yang memang Mas cintai dan ingin nikahi bukan karena paksaan orang lain, Valdi akan lebih mudah menerimanya karena dia sudah percaya penuh sama papanya dan pilihan papanya."

Mendengar penjelasan Vica, Arva justru kagum melihat kemampuan gadis itu mengurai masalah dan solusi tentang perjodohan mereka. Anehnya, makin gadis itu berusaha menolak perjodohan mereka, Arva yang awalnya hanya melihat Vica sebagai adik kecilnya, kini justru merasa bahwa gadis itu ternyata lebih dewasa dibanding yang ia kira selama ini.

* * *

Kira2 gimana nih perasaan Kakak2 baca cerita ini?

Gumush?

Atau dugun-dugun?

Hahaha.

Apakah Kakak2 udah ada gambaran, cerita kali ini tentang apa?

Tungguin bab selanjutnya yaaaa





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top