Unconditional Love - 4

Dipta merasa  dirinya akan meledak melihat pemandangan di hadapannya. Tangan itu. Tangan dari dua orang yang disayanginya, saling terkait. Mereka berpegangan tangan. Artha dan Rahmi. Pacar dan sahabatnya.

Dia menatap kedua orang itu. Yang menatapnya balik dengan tatapan yang aneh. Apa seperti itu tatapan maling yang tertangkap basah sedang mencuri? Apa seperti itu tatapan orang yang ketahuan selingkuh?

Sebelum dirinya benar-benar meledak, Dipta berbalik dan berlari pergi. Ia mendengar kedua orang itu mengejar dan memanggil namanya. Tapi dia tidak peduli. Dengan cepat, ia berlari menuju mobilnya dan melarikannya dengan kecepatan tinggi. Pulang ke rumah.

“Mati gue, Tha! Lo harus tanggung jawab!” kata Rahmi panik selagi mereka mengejar mobil Dipta. “Lo harus lihat matanya. Bahkan gue belum pernah lihat mata seperti itu saat dia bersama Angga. Dia cemburu sampai ingin membunuh kita, Tha.”

“Mi, lo bisa nggak sih tenang sedikit? Kita akan menyelesaikannya.”

Bi Parti yang bekerja di rumah Dipta hampir saja tidak mengijinkan mereka berdua menyusul Dipta masuk ke rumah jika saja bukan karena Rahmi yang sudah sangat akrab dengan Bi Parti. Dipta sudah memerintahkan Bi Parti untuk menahan kedua orang itu di luar rumah. Tapi Rahmi memiliki kemampuan persuasi yang baik, membuat Bi Parti membiarkan dirinya dan Artha menyusul Dipta ke kamarnya.

Dipta tidak mengunci pintu kamarnya. Dia tidak mengira Artha dan Rahmi akan tiba di kamarnya. Wajahnya yang merah dan basah dengan air mata tidak sempat ia sembunyikan ketika Artha dan Rahmi masuk secara tiba-tiba.

Sepuluh detik yang terasa sepuluh abad. Mereka bertiga saling berpandangan. Udara di sekitar mereka terasa pekat dan tegang.

“Artha... kita putus!” kata Dipta akhirnya, dengan suara tercekat.

“Kamu cemburu, Ta?” Artha bertanya hati-hati.

Dipta tidak menjawab.

“Kamu cemburu?” Artha mengulang.

“Iya. Gue cemburu!” akhirnya Dipta membentak dengan suara yang tinggi, “Melihat pacar dan sahabat gue mengkhianati gue ...”

“Gue bisa jelasin, Ta,” kata Rahmi pelan-pelan.

“Nggak perlu. Udah cukup. Kalian ...” Dipta terisak nyaris tidak tertahankan, “... pergi dari sini. Pergi!”

Tapi Artha dan Rahmi tidak ada yang menggeser kakinya dari tempatnya semula.

“Ekspresi ini yang aku tunggu dari dulu, Ta,” kata Artha akhirnya. Dipta mengabaikannya. “Berkali-kali aku coba membuat kamu cemburu. Bahkan terhadap Amira, kamu nggak cemburu juga.”

Ekspresi Dipta sedikit berubah. Bingung.

“Aku nggak pernah tahu, apakah kamu sayang sama aku atau nggak. Kamu nggak pernah terlihat cemburu. Kamu nggak pernah terlihat takut kehilangan aku ...” Artha melanjutkan, “Itu kenapa aku meminta tolong Rahmi untuk membuat kamu cemburu. Gadis secantik Amira nggak bisa bikin kamu cemburu? Dan ternyata yang bisa bikin kamu cemburu cuma gadis seperti Rahmi ini?”

“Yeeee! Si Anjir! Gadis seperti apa, maksud lo?” refleks, Rahmi menyahut pernyataan Artha dengan kesal.

Artha nyengir minta maaf. “Sori, sori,” katanya kepada Rahmi.

“Kenapa selama ini kamu nggak pernah cemburu sama aku, Ta?” Artha bertanya kepada Dipta, “Bikin aku berpikir bahwa kamu nggak pernah sayang sama aku. Aku berpikir kamu nggak pernah takut kehilangan aku.”

Air mata Dipta mengalir tidak terkendali. Dia menatap Rahmi yang matanya juga sudah berkaca-kaca.

Dipta marah, tapi juga bingung. Apakah dia bisa mempercayai alasan konyol kedua orang ini?

Diantara rasa bingung Dipta tersebut, Rahmi memanfaatkan kesempatan untuk meyakinkan sahabatnya. Rahmi mengangguk kepada Dipta, seperti memberi kode.

Dia berhak tahu alasannya, Ta, tell him. Kira-kira seperti itu arti kode yang ditangkap Dipta dari anggukan Rahmi barusan.

“Aku nggak mau kelihatan jelek...” Dipta berkata ragu, “... di depanmu. Aku nggak mau kelihatan manja, marah, posesif dan cemburu. Nanti kamu akan pergi.”

“Kamu cuma mau menunjukkan sisi baikmu padaku?”

Dipta tidak menjawab.

“Kenapa?”

“Nggak ada yang bisa tahan dengan sifat jelekku.”

“Aku tahan. Aku mau melihatnya.”
Artha berjalan mendekat, menghampiri Dipta.

“Koin selalu punya dua sisi. Aku mau melihat kedua sisi koinmu. Bolehkah?”

Dipta tetap diam.

“Aku mau jadi orang yang pertama kali kamu beri kabar saat ada berita gembira. Aku mau jadi yang pertama kamu kabari saat ada masalah. Aku mau jadi yang pertama melihat kamu tertawa. Juga mau jadi orang yang kamu percaya melihat kamu menangis. Boleh nggak?”

Artha menggenggam tangan Dipta. “Boleh nggak?” tanyanya sekali lagi.

Dipta menggeleng. “Kamu nggak bisa jadi yang pertama.”

Artha terkesiap.

“Posisi pertama sudah ditempati Ibuku. Kedua adalah Rahmi. Kamu cuma bisa jadi yang ketiga. Apa kamu keberatan?”

Tanpa aba-aba, Rahmi langsung berlari dan memeluk Dipta. Lalu mereka berdua berpelukan sambil menangis.

“Maaf ngerjain lo begini,” kata Rahmi sambil terisak.

Dipta tidak menjawab. Dia balas memeluk Rahmi dengan lebih kuat.
Artha mengelus kedua lengan Dipta dengan perasaan lega.

“Kalian dua orang yang paling aku sayang setelah keluargaku. Itu kenapa nggak ada perempuan cantik manapun yang bisa mengalahkan Rahmi dalam membuat aku cemburu.”

I take it as compliment.” Rahmi tertawa sambil menghapus air matanya.

Dipta tertawa. Begitu juga dengan Artha.

*  *  *

Kita bertemu dengan seseorang bukan karena kebetulan. Mereka hadir dalam hidup kita untuk alasan tertentu. Mereka hadir untuk membawa pelajaran bagi kita.

Tidak semua pelajaran disampaikan dengan baik oleh sang guru. Tapi bukan berarti isi pelajaran itu tidak baik.

Hanya karena pelajaran itu disampaikan dengan buruk, banyak orang yang salah mengerti tentang makna sesunggunya pelajaran itu.

Jangan salah mengerti tentangku. Aku hanya salah mengerti tentang hidup. Terima kasih karena telah tetap bersamaku.

Oh, did I get too close?
Did I almost see what’s really on the inside?
All your insecurities
All the dirty landry
Never made me blink one time

Come just as you are to me
Don’t need apologies
Know that you are worthy

I’ll take your bad days with your good
Walk through this storm I would
I’d do it all because I love you

Unconditional, unconditionally
I will love you unconditionally
There is no fear now
Let go and just be free
I will love you unconditionally

-- Unconditionally, Katy Perry --

Terima kasih sudah bersamaku tanpa syarat. Menerimaku apa adanya.
Thank you for always love me unconditionally.

* * * SELESAI * * *

Woeeee apaan nih? Pendek amat! Mana agegapnya? Mana om-omnya?!!!

Kami mau om-om!!!!

* * *

Terima kasih utk Kakak2 yg sudah baca 4 bab cerita ini. Maaf ya Kak, ternyata tiada om2 di cerita ini.

Cerita ini saya tulis 12 tahun lalu. Hahaha. Astaga. Ada yg sadar ga, apa yg beda dg tulisan2 saya yg baru2 ini?

Saya pas baca ulang cerita ini merasa "Ya ampun receh sekali ya diriku dulu". Tapi bersyukur juga, saya punya kesempatan belajar shg tulisan saya skrg lebih baik (menurut saya sih hehehe,,, ga tahu jg deh kl mnr pembaca, udh lbh baik atau blm).

Terima kasih Kakak2 WP yg sdh menemani saya belajar menulis selama ini n memberi komen, kritik n saran shg tulisan saya bs makin berkembang.

Nah, sampai jumpa di cerita berikutnya. Cerita setelah ini, tentu saja menghadirkan om2 yg ga kalah ganteng dr Om Arya. Eeeeaaaa. #autotimpuk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top