Unconditional Love - 3

Sesunggunya, yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah karena kehilangan yang tiba-tiba. Seperti halnya seorang perokok yang dipaksa berpisah dengan rokoknya. Atau pecandu narkoba yang suplainya dihentikan tiba-tiba oleh sang bandar. Pasti akan mengalami gejala putus obat.

Pada beberapa orang yang ingin berhenti merokok, mereka mengurangi jumlah rokoknya sedikit-sedikit dari hari ke hari. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah “gejala-putus-rokok” yang menyakitkan. Meski begitu, teknik ini tidak efektif. Orang tersebut akan tetap kecanduan. Pada akhirnya, meski menyakitkan, cara paling efektif untuk berhenti memang dengan cara berpisah.

Begitu pula dengan cinta.

Beberapa dari kita mungkin berpikir bahwa sebaiknya kita berpisah sedikit-sedikit dari orang yang kita sayangi. Mungkin dengan mengurangi dosis pertemuan dan obrolan, sedikit demi sedikit dari hari ke hari, maka dapat terhindar dari “gejala-putus-cinta” yang menyakitkan. Padahal sebenarnya cara itu hanya menunda rasa sakit. Cara paling tepat untuk berhenti mencintai adalah dengan berpisah. Rasanya mungkin sakit. Tapi kamu akan segera melaluinya.

Hal itu yang terjadi pada Dipta.

Rahmi menjadi saksi gejala-putus-cinta yang dialami Dipta. Selama seminggu lamanya Dipta memasang foto suram pada semua media sosialnya. Rahmi sampai perlu turun tangan untuk memaksa Dipta mengubah tampilan semua fotonya.

“Ngapain sih lo ikutan pasang foto suram gitu?” Dipta bertanya kepada Rahmi sambil manyun.

“Kalo lo belum pasang foto yang bener, gue juga nggak akan ganti foto,” jawab Rahmi cool. Sambil memakan es krimnya dengan santai.

Sambil menggerutu, Dipta akhirnya mengganti semua foto di semua media sosialnya dengan foto normal.

Rahmi tersenyum. Menyendok sekali lagi es krimnya, lalu menyambar ponselnya dan mengganti semua fotonya ke foto normal.

“Lo inget, gue pernah bilang bahwa nggak perlu selalu berpura-pura baik-baik aja? Bahwa kadang nggak apa-apa kok kalau lo mengaku sedang ada masalah,” Rahmi memandang Dipta dengan mata dinginnya. Dipta mengangguk pelan. “Tapi kadang, kita perlu membatasi, sejauh apa yang boleh orang tahu tentang kita.”

* * *

Tidak butuh waktu lama bagi Dipta untuk kembali seperti dulu. Terlepas dari apa yang disimpannya seorang diri di hati. Setidaknya sejauh yang dilihat Rahmi, Dipta sudah kembali menjadi Dipta yang cerewet seperti sebelum-sebelumnya. Rahmi bahkan takjub pada kemampuan recovery Dipta yang sangat cepat.

Dan dengan sikapnya yang ceria, ramah dan hangat itu, Dipta dengan segera menemukan cinta yang baru. Artha namanya. Dan sejauh yang dilihat Rahmi, kisah cinta Dipta kali ini berjalan sangat lancar dan baik-baik saja.

Sejauh yang dilihat Rahmi ...

* * *

Beberapa orang memiliki hati yang seperti rumah raja yang megah. Kamu baru bisa memasukinya setelah melalui serombongan penjaga, serangkaian pemeriksaan dan berlapis-lapis pagar dan pintu. Beberapa yang lain seperti taman bermain. Siapa saja bisa bermain dengan bebas di sana.

Beberapa yang lain seperti rumah kecil dengan halaman yang luas. Siapa saja bisa bermain di halamannya yang luas. Tapi jangan harap bisa memasuki rumah kecil di tengah-tengah situ. Tidak ada pagar pembatas, tidak juga penjaga yang galak. Hanya labirin di depannya.

Bagi Artha, Dipta adalah manusia seperti itu. Semua orang bebas masuk dan bertamu di halaman rumahnya. Semua orang merasa sudah mengetahui seluk-beluknya, padahal sebenarnya tidak ada satupun yang pernah benar-benar masuk ke dalam rumah itu.

Dipta adalah gadis biasa, simple, ceria dan banyak teman. Hal sederhana itulah yang pertama kali menarik perhatian Artha. Tapi saking simplenya hidup Dipta, Artha merasa bahwa gadis itu sebenarnya tidak sesederhana itu.

Sudah hampir setahun mereka berpacaran, tapi yang diketahui Artha tentang gadis itu tidak pernah lebih daripada yang diketahui orang lain. Semua yang diketahuinya tentang Dipta sama seperti semua yang diketahui orang lain tentang gadis itu. Tidak ada rahasia Dipta yang Dipta beritahu hanya kepadanya.

Teman-temannya yang lain banyak yang mengeluh tentang pacar mereka yang manja, ribet, posesif atau cemburuan. Artha tidak pernah merasakan semua itu.

Artha tidak pernah perlu menunggu lama kalau menjemput Dipta untuk malam mingguan. Gadis itu hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk mandi dan ganti pakaian. Dipta juga tidak pernah manja atau merajuk minta ditemani kemana-mana. Gadis itu sangat mandiri, pergi kemanapun sendirian. Bahkan nonton bioskop pun sendirian. Dipta juga tidak pernah terlihat cemburu sama sekali, bahkan meski pekerjaan Artha di bidang advertising menyebabkannya banyak bergaul dengan model-model cantik. Artha bahkan tidak pernah melihat Dipta marah. Semua yang dilihat Artha tetap sama seperti Dipta yang dikenalnya pertama kali. Ceria, banyak tawa, tidak banyak gaya, tidak pernah marah dan sederhana.

Datar.

Dan yang namanya manusia, memang tidak pernah puas. Kalau punya pacar yang manja dan cemburuan, laki-laki mengeluh lelah. Tapi kalau punya pacar yang tenang dan santai, laki-laki mengeluh “Nggak ada tantangannya”. Ya seperti itulah si Artha. Dia merasa Dipta begitu datar. Benar-benar gadis baik-baik yang terlalu positif, tidak pernah marah, manja dan cemburu.

Demi melihat ekspresi Dipta yang lain, Artha bahkan pernah sengaja bercerita tentang Amira, salah seorang model cantik yang dikenalnya. Dipta mendengarkan cerita Artha dengan antusias, seperti selalu.

Gagal memancing amarah Dipta secara implisit, Artha memancingdengan lebih frontal.

“Kamu nggak cemburu sama Amira?” tanya Artha.

“Nggak lah. Kamu kan temenan doang sama dia. Iya kan?”

Artha tidak tahu harus merasa apa. Laki-laki lain kebingungan menghadapi pacarnya yang cemburuan. Artha justru bingung mencoba membuat pacarnya cemburu. Dipta seperti makhluk yang tidak punya emosi lain selain bahagia.

* * *

Demi membuat Dipta cemburu, Artha bahkan merencanakan hal gila. Lebih gila lagi karena dia mengajak Rahmi, sahabat baik Dipta, untuk bersekongkol.

“Please Mi, bantu gue sekali ini aja,” Artha memohon dengan tampang memelasnya yang lucu.

Rahmi tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Buat apa melakukan hal ini, Tha?”

“Gue perlu membuktikan bahwa dia memang benar-benar sayang sama gue.”

“Dipta sayang sama lo. Kurang bukti apa?”

“Semuanya. Gue nggak punya bukti apa-apa bahwa dia sayang sama gue,” kata Artha. Dia berhenti sejenak untuk menyeruput minumnya. “Sejak awal, gue yang menyatakan cinta. Setiap hari, gue yang selalu menyapanya duluan. Gue memanggilnya Schatzi, dia nggak punya panggilan sayang buat gue. Berkali-kali gue bilang sayang ke dia. Dia cuma senyum dan mengangguk. Setiap gue tanya, apakah dia sayang sama gue atau nggak, dia cuma mengangguk. Dia nggak pernah mengatakan kata sayang.

Dia nggak pernah cemburu bahkan meski gue dikelilingi model-model cantik. Dia sama sekali nggak takut gue akan diambil perempuan lain. Dia nggak pernah menceritakan rahasianya ke gue. Semua ekspresinya buat gue sama seperti semua ekspresinya untuk semua orang yang lain. Gue bukan seseorang yang istimewa buat dia. Nggak ada bedanya gue dengan temannya yang lain.”

Rahmi menghela nafas. “Lebay banget sih lo, Tha.”

“Gue cuma pengen tahu, siapa gue ini bagi dia. Apa gue istimewa bagi dia? Apa dia pernah merasa takut kehilangan gue?”

“Dia begitu, Tha. Dia pasti menganggap lo istimewa dan takut kehilangan lo.”

Then, prove it! Bantu gue, Rahmi. Berpura-puralah selingkuh sama gue. Gue perlu tahu, apa dia akan cemburu kalau melihat kita bersama.”

Gadis itu menyeruput jus jeruknya tanpa ekspresi nikmat. Lalu dia menyingkirkan anak-anak rambutnya, yang diterbangkan angin dari wajahnya, dengan gerakan yang gusar.

“Dia bakal marah besar kalau tahu tentang kita, Artha,” kata gadis itu.

“Gue tahu.” Pria bermata kecil itu menjawab.

“Kalau udah tahu, kenapa tetap meminta gue?”

“Karena cuma lo yang bisa ...”

“Kalau lo udah nggak tahan, kenapa nggak putusin dia aja?”

“Lo tahu alasannya.”

“Gue merasa bersalah sama Dipta, Tha.”

“Ini bukan salah lo, Rahmi,” lelaki itu meraih tangan gadis di hadapannya.  “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya, gue nggak akan melakukan ini. Lo ngerti kan?”

Rahmi menarik tangannya dan menghela nafas. Gusar. “Kalau dia nggak sebegitu dinginnya? You have no idea what she has been through.”

“You tell me, then.”

*  *  *

Just because I don’t react,
doesn’t mean I don’t notice

“Kali ini hubungan lo dan Artha berjalan lancar kelihatannya,” kata Rahmi, seperti biasa sambil memakan es krimnya dan berguling-guling di kasur Dipta, “Kalian nggak pernah berantem dan ngambek-ngambek lagi.”

Dipta nyengir sambil menggigit coklatnya.

“Padahal Artha dikelilingi cewek-cewek cantik. Lo udah nggak pernah cemburu lagi ya?”

“Nggak.”

“Beneran nggak cemburu?”

“Nggak.”

“Mungkin lo nggak sayang sama Artha?”

“Gue sayang.”

“Kalau sayang, nggak mungkin nggak cemburu.”

Dipta membuang bungkus coklat kosong ke tempat sampah, lalu menjilati coklat yang tersisa di tangannya.

“Gue belajar dari masa lalu, Mi,” kata Dipta. “Terhadap Artha, gue jauh lebih cemburu dibanding terhadap dua laki-laki sebelumnya.”

Rahmi menyadari satu hal. Dipta tidak pernah menyebut nama Aldi dan Angga lagi sejak mereka putus hubungan.

“Semua perempuan di sekelilingnya lebih cantik daripada gue. Dan Artha punya sifat yang hangat, membuat banyak orang, termasuk para gadis cantik itu, nyaman bersama dia. Dia juga humoris. Perempuan gampang luluh terhadap laki-laki yang bisa membuatnya tertawa. Gue cemburu banget.”

“Tapi lo nggak pernah menunjukkan itu kepada Artha. Dia bisa berpikir bahwa lo nggak sayang sama dia.”

Just because I don’t react, doesn’t mean I don’t notice,” kata Dipta, “Gue memperhatikan semua hal di sekitarnya. Gue tahu jadwal makannya dan makanan yang dibencinya. Gue tahu siapa saja teman-temannya di kantor, juga teman-teman futsalnya. Gue tahu klub bola idolanya. Gue tahu siapa saja perempuan yang mendekatinya. Gue banyak mencari tahu tentang dia, Mi. Gue memperhatikannya.

Gue hanya menahan diri untuk nggak terlalu sering menginterogasinya. Gue menahan diri supaya nggak cemburu buta seperti yang gue lakukan dulu. Gue nggak mau menahannya. Pasir yang digenggam terlalu kuat, akan berjatuhan dari kisi-kisa tangan.”

“Lo bukan menahan diri.” Rahmi mendesah prihatin. “Lo berpura-pura.”

“Mungkin berpura-pura adalah langkah awal yang baik supaya kepura-puraan itu bisa jadi kenyataan. Gue berpura-pura baik-baik aja, supaya benar-benar menjadi baik-baik aja.”

“Dipta ...”

“Gue sayang sama Artha, Mi. Gue nggak mau kehilangan dia.”

Rahmi terhenyak.

“Gue akan kehilangan dia kalau gue masih bersikap kekanakan, ngambek, posesif dan cemburu buta seperti yang gue lakukan dulu.”

Rahmi lemas. Sejauh yang dilihatnya selama ini ... ternyata semua ilusi.

* * *

Akhirnya Rahmi setuju untuk membantu Artha. Meski risikonya sangat besar, dan bisa-bisa membahayakan persahabatannya dengan Dipta. Tapi sikap Dipta sungguh sudah mengkhawatirnya. Satu orang tidak mungkin mampu menahan semua perasaan itu seumur hidup. Dipta harus belajar mengungkapkan perasaannya, dengan cara yang tepat, bukan dengan cara memendamnya.

Sesuai skenario yang sudah direncanakan Artha, mereka sengaja membuat diri mereka terlihat sedang jalan berdua oleh Dipta. Dan mereka berhasil. Mereka berhasil membuat Dipta menemukan mereka sedang berjalan bergandengan tangan.

*  *  *

Dipta merasa  dirinya akan meledak melihat pemandangan di hadapannya. Tangan itu. Tangan dari dua orang yang disayanginya, saling terkait. Mereka berpegangan tangan. Artha dan Rahmi. Pacar dan sahabatnya.

Dia menatap kedua orang itu. Yang menatapnya balik dengan tatapan yang aneh. Apa seperti itu tatapan maling yang tertangkap basah sedang mencuri? Apa seperti itu tatapan orang yang ketahuan selingkuh?

Sebelum dirinya benar-benar meledak, Dipta berbalik dan berlari pergi. Ia mendengar kedua orang itu mengejar dan memanggil namanya. Tapi dia tidak peduli. Dengan cepat, ia berlari menuju mobilnya dan melarikannya dengan kecepatan tinggi. Pulang ke rumah.

* * *

Abis baca cerita Ning, trus baca cerita ini, jd ky antiklimaks ya Kak? Hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top