Unconditional Love - 2

Halo Kakak2!
Kayaknya byk yg terkecoh ya, dan menganggap Dipta adalah cowok.

Hahaha, aduh ampun ya Kak.
Saya pny 2 temen bernama Dipta. Yg 1 cewek, yg 1 cowok. Jd emang kynya nama ini unisex ga sih? Makanya saya pake di cerpen ini, nama Dipta utk tokoh perempuan, hehehe. Maaf ya jd bikin bingung.

Oiya, byk yg msh blm move on dari Ning ya Kak?

Kalo bagi saya pribadi, cerita Ning si istri simpanan sudah selesai. Dia sudah belajar dari kesalahannya dan dia lulus dg baik. Sudah happy ending. Perkara apa yang terjadi pd orang2 di sekitarnya, ga tll saya eksplor krn bukan itu inti ceritanya.

Tapi, kisah Ning masih meninggalkan banyak pertanyaan, itu jg saya sadari. Daaaann jujurly, sekarang saya sdg nulis kelanjutannya. Membahas kehidupan Ning pasca berpisah dg suaminya rasanya nggak bisa ditulis hny dalam 2-3 extra part. Jadi saya berencana bikin work baru nanti, sehingga bukan cuma jadi novelette aja, tapi jadi novel beneran. Kalau kisah lanjutan Ning sudah agak banyak bab-nya, nanti saya infoin ya Kak.

Btw, kapan EKSIPIEN dilanjut kalo gitu? Hahaha, nah ini msh misteri. Krn saya penulis yg msh mengandalkan mood, jd skrg mood saya lg nulis Ning dulu. Utk Randu, sabar ya Kak.

Nah, sambil nunggu lanjutan Ning,,, baca cerita receh dulu ya Kak. Baca cerita Dipta ini ga pake mikir kok. Ringaaaaannnnn banget. Buat refreshing stlh kmrn tarik urat di cerita Ning.

Semoga suka ya Kak.

* * *

Sometimes you have to try not to care.
Because sometimes, no matter how much you do,
You can mean nothing to someone who means so much to you.
It’s not pride. It’s self respect.

(PS. Saya baca quote ini di akun Twitter fatimaalkaf, udah lama banget sih. Tapi pas saya googling skrg, tertulis sumbernya Unknown gitu. Jd saya krg tahu jg apakah yg pertama kali nulis ini adl Kak Fatima Alkaf atau orang lain)

* * *

Dipta lulus dari SMA dengan prestasi akademik yang membanggakan, tapi tidak bisa membuktikan lagu Chrisye “Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah-kasih di sekolah.” Bah!

Dipta baru memiliki pacar pertama di tahun terakhir kuliahnya. Mereka sudah saling kenal sejak jadi mahasiswa baru sebenarnya, tapi butuh waktu yang lama bagi Angga – nama pemuda itu – untuk mendekati Dipta.

Tidak ada yang berubah dari Dipta. Dia tetap gadis yang ceria, ramah, hangat dan mudah berteman dengan banyak orang. Tapi terhadap pemuda-pemuda yang mendekatinya, dia tidak pernah lagi menanggapi mereka. Sejak kejadian tidak menyenangkan saat SMA dulu, dia berhenti peduli.

Selama masa kuliah, ada dua pemuda selain Angga yang juga mendekati Dipta. Modusnya masih mirip dengan yang dilakukan Aldi: dimulai dari instagram, berakhir pada WA. Tapi Dipta tidak pernah membiarkan cowok-cowok itu maju lebih jauh, masuk ke hatinya.

Dia memang ramah kepada semua orang, selalu begitu yang Dipta tanamkan di pikirannya terhadap aksi pendekatan pemuda-pemuda itu.

Sesama teman memang harus saling memperhatikan, begitu yang Dipta pikirkan jika ada cowok yang mulai mengiriminya SMS “Udah makan belum?”

Tapi saat moodnya buruk, Dipta tidak bisa menahan dirinya untuk berpikir, Cowok ini pasti mendekati gue hanya untuk memanfaatkan gue seperti Aldi. Tanpa bisa dicegah, Dipta menjadi apatis terhadap pesan manis cowok-cowok yang mendekatinya.

Kedua pemuda yang mendekati Dipta lama-lama merasa frustasi karena aksi PDKT mereka tidak pernah mendapat respon positif dari Dipta. Dipta memang tetap menyapa ramah dan berteman hangat dengan mereka, tapi Dipta tidak pernah menanggapi usaha-usaha flirting mereka. Tidak ada laki-laki yang mampu bertahan flirting tanpa hasil selama lebih dari enam bulan. Maka akhirnya satu per satu mundur.

Hanya Angga yang bertahan.

Angga tidak memulai dari instagram seperti yang lain. Ia meminta nomor ponsel Dipta saat mereka sama-sama mahasiswa baru di kampus. Mereka satu kelompok ospek. Setelah masa ospek berakhir, mereka terpisah beberapa lama sampai bencana banjir di Jakarta mempertemukan mereka kembali. Mereka tergabung di divisi Pengabdian Masyarakat BEM Fakultas masing-masing. Angga membantu di posko pengobatan untuk para pengungsi. Sementara itu, Dipta dan beberapa temannya yang lain mendapat tugas mengajar anak-anak di pengungsian.

Sebenarnya Dipta dan teman-temannya tidak selalu benar-benar mengajar. Mereka kadang hanya mengajak anak-anak itu bernyanyi dan bermain. Dipta bahkan membacakan dongeng yang ditulisnya sendiri. Pada beberapa hari setelahnya, ketika mereka telah akrab dengan anak-anak itu, barulah Dipta dan teman-temannya mulai membagi anak-anak itu berdasarkan kelas, lalu mereka mulai mengajar.
Angga melihat itu semua dan dia tertarik pada Dipta. Terutama, dia suka melihat Dipta mengajar dan mendongeng. 

Setelah banjir Jakarta surut dan kegiatan PengMas itu berakhir, Angga tetap secara rutin mengirim SMS kepada Dipta. Tidak seperti pemuda lain yang  sejak awal memberondong Dipta dengan pertanyaan semacam “Udah makan belum?” nyaris setiap hari, Angga memulainya dengan cara lain.

Angga: Ngantuk di kelas. Dosennya membosankan. Mereka mengajar seperti mendongeng.

WA sederhana seperti itu yang biasa dikirim Angga untuk membuka obrolan.

Jadi waktu dulu melihat gue mendongeng, lo bosan juga?
Sampai mengantuk?

Angga: Gue mengantuk bukan karena bosan mendengar lo mendongeng.

Oh ya? Trus?

Angga: Gue mengantuk karena nyaman mendengar suara lo.

Sampai di situ, biasanya Dipta akan segera mengalihkan percakapan. Dia tidak suka membiarkan hatinya jatuh pada orang yang salah lagi. Karena kata Rahmi, “Jatuh cintalah pada orang yang mau menangkap lo yang jatuh kepadanya.” Maka, dia memutuskan untuk tidak akan pernah lagi membiarkan hatinya jatuh pada orang yang tidak pernah menyatakan cinta padanya.

* * *

Tidak seperti pemuda lain yang segera menyerah setelah enam bulan pendekatan tanpa hasil, Angga tidak berhenti. Ia tetap mengirimi Dipta WA. Kadang hanya seminggu sekali atau dua kali. Kadang bahkan sebulan sekali. Tapi Angga tidak pernah berhenti. Angga tidak pernah secara frontal merayu atau memuji Dipta. Sepertinya Angga menyadari bahwa Dipta selalu mengalihkan pembicaraan setiap dia mulai bersikap manis.

Alih-alih mengandalkan pertanyaan pamungkas “Udah makan belum?”, Angga justru mengirim WA: Gue udah di depan kampus lo nih. Makan siang bareng yuk. Gue mau ngobrolin project PengMas kita nih.

Angga memanfaatkan kolaborasi BEM fakultas mereka pada suatuproject PengMas sebagai alibi pendekatan. BEM fakultas mereka memang berkolaborasi untuk mengembangkan suatu desa. BEM fakultas Angga mengembangkan bidang ekonomi melalui wirausaha produk pertanian, sementara BEM fakultas Dipta fokus pada pembangunan perpustakaan dan pendidikan anak-anak di desa tersebut.

Setelah dua tahun pendekatan yang panjang, akhirnya Angga menemukan momen yang tepat. Saat mengantar Dipta pulang setelah kegiatan PengMas mereka, akhirnya Angga memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.

Karena suatu hari, yang bertanya “Udah makan belum?” akan dikalahkan oleh yang berkata “Makan bareng yuk.”

* * *

Dipta telah gagal mencegah dirinya sendiri jatuh cinta pada orang yang tidak mencintainya. Bahkan sebelum Angga menyatakan perasaannya, Dipta sudah jatuh hati pada pemuda itu. Beruntung baginya karena ternyata perasaannya berbalas. Saat Angga mengatakan sayang padanya, Dipta lega luar biasa. Juga senang bukan kepalang. Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan lagi.

Sejak pacaran, mereka tidak lagi hanya WA-an seminggu sekali atau dua kali, tapi setiap hari. Dulu Dipta selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali Angga mengiriminya pesan “Udah makan belum?”, tapi kini justru Dipta yang biasa memulai obrolan mereka dengan kalimat itu. Dipta berubah, dari seorang gadis yang cuek terhadap perhatian laki-laki, menjadi pacar yang penuh perhatian.

Angga senang dengan perubahan Dipta. Dia senang diperhatikan oleh Dipta. Angga merasa perasaannya kepada gadis itu tidak bertepuk sebelah tangan.

* * *

Pada semester akhir kuliah, kesibukan Angga dan Dipta meningkat karena masing-masing sedang sibuk dengan penelitian dan skripsinya. Meski begitu, setiap hari Dipta masih terus menghubungi Angga. Tapi di sisi lain, karena kesibukan penelitiannya, Angga tidak lagi bisa membalas pesan Dipta sesering dulu. Hal inilah yang mulai memicu pertengkaran-pertengkaran.

Angga tidak lagi merasa senang dengan perhatian Dipta yang berlebihan. Dia mulai merasa terganggu dengan sikap pacarnya itu. Setiap hari mengirim pesan menanyakan kabar, yang jika tidak segera dibalas, maka Dipta akan mulai ngambek. Dulu Angga senang kalau Dipta memarahinya saat pulang malam, karena itu bukti perhatian. Tapi sekarang, Angga justru merasa terganggu saat Dipta makin gencar mengiriminya pesan jika ia mengatakan akan berada di lab sampai malam untuk penelitian skripsi.

Kenapa pulang malam?

Di lab sama siapa?

Udah makan belum?

Jangan lupa makan.

Jangan pulang malam-malam.

Hati-hati naik motor malam-malam.

Dan masih sederet pesan lain yang mengganggunya. Angga suka diperhatikan, tapi dia tidak suka diatur-atur. Makin lama perhatian Dipta makin mengganggu. Sudah memasuki kategori annoying.

Dan bukan hanya sikap posesif Dipta yang membuat Angga kesal, tapi juga sikap kekanakan Dipta. Setiap kali mereka berdebat, Dipta pasti merajuk. Kadang sih Dipta nggak ngambek, tapi dia melampiaskan kekesalannya dengan modus #nomention di twitter atau mem-post status galau di instagram. Angga merasa tidak nyaman membaca tweet-tweet #nomention atau status-status IG Dipta yang ditujukan untuk menyindirnya.

"Jangan cuma nyindir-nyindir di twitter. Kita omongin baik-baik kalau kamu nggak suka dengan caraku," begitu selalu yang dikatakan Angga, menegur sikap kekanakan Dipta. "Kamu berharap orang lain nggak tahu keluhanmu? Jangan menulisnya di social media!"

* * *

Belakangan Rahmi merasakan ada yang berbeda pada Dipta. Sahabatnya itu jadi lebih sering uring-uringan dan sedih. Pada beberapa kesempatan, Rahmi memergoki mata Dipta berkaca-kaca saat sedang membaca pesan di ponselnya.

“Berantem lagi sama Angga?” Rahmi bertanya sambil menyendokkan es krim ke mulutnya.

Dipta hanya menjawab dengan gumaman. Matanya masih memandang ponselnya sambil guling-gulingan di kasur.

“Gue ngambek,” kata Dipta akhirnya, “Karena Angga nggak cerita kemarin seharian dia ngapain aja. Jadi gue nggak balas WA dia sejak tadi malam. Tapi dia beneran nggak WA gue lagi. Dan sekarang gue yang khawatir.”

Rahmi melirik Dipta sambil terus menyendok es krimnya.

“Kelihatan banget,” kata Rahmi, “Lo yang lebih cinta ke Angga, dibanding Angga cinta ke lo.”

Dipta termangu.

Dalam hubungan apapun, akan ada salah satu pihak yang lebih cinta kepada pihak lainnya. Dalam hubungan Dipta dan Angga ini, dengan jelas Rahmi melihat bahwa Diptalah yang rasa sayangnya lebih besar kepada Angga dibanding sebaliknya.

“Dih!” Dipta mengelak, “Kata siapa gue yang lebih cinta? Dia yang duluan mendekati gue, mulai mengirim WA, dan pertama bilang cinta ke gue.”

“Iya, dia yang memulai, tapi kelihatan jelas bahwa lo yang lebih berusaha mempertahankan hubungan,” jawab Rahmi dingin, tanpa mempedulikan ekspresi Dipta yang terpukul, “Lo jadi lebih perhatian. Itu cuma bahasa halus gue untuk sikap posesif lo yang kebangetan. Beberapa kali gue lihat lo ngambek karena kesal dengan sikap Angga. Tapi pada akhirnya selalu lo yang mengalah dan ngajak baikan duluan. Selalu lo yang bertahan. Apa lo melihat Angga bertahan juga?”

Dipta terhenyak.

* * *

Sikap posesif Dipta saja sudah membuat Angga kesal. Ditambah lagi, belakangan ini Dipta jadi lebih cemburuan. Padahal Angga sudah menjelaskan bahwa Hilda adalah sahabatnya, yang kebetulan berada di tim riset skripsi yang sama, dan dengan pembimbing skripsi yang sama, sehingga wajar saja jika mereka sering bersama-sama. Tapi Dipta tetap curiga. Tiap Angga mengatakan bahwa ia menginap di laboratorium bersama kelompok risetnya, Dipta langsung menyebut nama Hilda. Dan tentu saja memang Hilda ada di kelompok itu. Bahkan meski Angga tidak mengatakan apa-apa, Dipta tetap sering mengungkit-ungkit nama Hilda. Kecemburuan Dipta yang membabi buta ini membuat Dipta uring-uringan, dan terlebih membuat Angga frustasi.

Kecemburuan Dipta bukannya tanpa alasan. Dia pernah trauma dengan kisah Aldi-Hani yang ternyata memiliki hubungan romansa meski berkali-kali mengaku hanya berteman. Dipta melihat pola serupa pada hubungan Angga dan Hilda. Mereka sama-sama sahabat sejak lama. Kepada Hildalah, Angga banyak bercerita tentang masalahnya. Apalagi kini melakukan penelitian yang sama, di lab yang sama dan dengan tema serupa. Wajar saja kalau Dipta curiga. Mereka memiliki alasan yang kuat untuk terlibat cinta lokasi.

“Apa aja yang Hilda tahu, tapi aku nggak tahu?” tanya Dipta suatu hari.

Bahkan meski ia sudah mencoba menahan diri, Angga tahu bahwa Dipta bertanya dengan aura cemburu yang sangat jelas.

“Dia datang di kehidupanku sebelum kamu. Wajar kalau dia sudah tahu banyak hal tentang aku. Nggak perlu membanding-bandingkan,” Angga menjawab dengan diplomatis, sambil menahan kesal.

Kecemburuan Dipta ini yang membuatnya nekat mendatangi Angga ke fakultasnya, berpura-pura membawakan makan siang, padahal membawa misi khusus untuk memata-matai Angga dan Hilda.

* * *

“Aku udah nggak tahan, Ta,” kata Angga akhirnya. “Kita putus aja.”

Tangan Dipta menggantung di udara. Dia tidak jadi menyuap baksonya.

“Angga?” Dipta mengatur nada suaranya supaya tidak bergetar. “Kenapa?”

“Kita udah nggak cocok lagi.”

“Nggak cocok apa?”

“Aku udah nggak tahan sama sikap kamu.”

“Sikap yang mana?”

“Kamu nggak sadar?”

Dipta diam. Nafasnya tercekat. “Aku minta maaf...”

“Nggak perlu minta maaf.”

“No. Aku yang salah, Angga. Aku tahu aku salah. Aku posesif dan cemburuan. Aku minta maaf.” Suara gadis itu terdengar panik.

“Kamu nggak salah,” Angga berkata dengan sangat hati-hati. “Aku tahu kamu sayang sama aku, itu kenapa kamu sangat memperhatikan aku. Tapi kemudian kamu jadi posesif. Aku tahu kamu nggak mau kehilangan aku, itu kenapa kamu cemburu kalau aku dekat dengan perempuan lain. Tapi rasa cemburumu sudah membabi-buta. Kamu nggak salah. Hanya saja, aku nggak cocok lagi dengan cara kamu memperhatikan dan menyayangi aku.”

Mata Dipta sudah berkaca-kaca. Dia meletakkan sendoknya kembali ke mangkoknya dengan gemetar.
“Aku ... nggak akan begitu lagi. Aku nggak mau kita putus, Ngga.”

“Aku udah nggak bisa lagi disayangi dengan cara seperti yang kamu lakukan selama ini. Kamu selalu minta aku segera membalas pesanmu. Kamu menuntut kita berkomunikasi dari pagi sampai malam, seolah-olah aku nggak punya kerjaan dan kegiatan lain. Kamu mencurigaiku, seolah-olah aku nggak boleh berteman dengan siapa-siapa.”

“Aku nanya bukan untuk menginterogasi, Ngga. Aku bertanya untuk mempertahankan percakapan kita. Cuma aku yang bertahan.”

“Kalau gitu, mungkin memang nggak ada yang perlu dipertahankan.”

Dipta menengadah menatap mata Angga. Tidak ada lagi celah yang terbuka untuknya di sana.

“Aku ... akan berubah, Angga.” Dipta menundukkan wajahnya.

“Kamu sudah berubah, Dipta. Bukan lagi seperti yang pertama kali aku kenal dulu.”

“Kalau begitu, aku akan berubah menjadi seperti dulu lagi. Menjadi seperti yang kamu mau.”

“Nggak perlu, Ta,” potong Angga cepat, “Semua orang berubah. Dan nggak ada yang salah dengan perubahan. Hanya saja, ternyata kita berubah ke arah yang berbeda, Ta. Kita nggak sejalan lagi.”

Dipta tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia tetap menunduk.

“Setiap orang harus berubah jadi lebih baik, Ta. Suatu saat nanti kamu akan menemukan orang yang selalu berubah ke arah yang sejalan dengan kamu. Sayangnya, itu bukan aku.”

Dengan gemetar Dipta mengambil mangkuk kecil berisi sambal dan menuangkan semua isinya yang tersisa ke mangkuk baksonya. Melotot, Angga menarik mangkuk bakso Dipta. Tapi Dipta menahan tangan Angga.

Tanpa menengadahkan kepalanya dan menatap Angga, Dipta bicara pelan. “Pergi aja, Ngga.”

“Aku antar kamu pulang.”

“Pergi, Ngga!” nada suara Dipta menjadi lebih tegas, meski volumenya tetap rendah. “Pergi. Pergi.”

Dipta menghabiskan baksonya hingga tak bersisa. Sekotak penuh tissue di meja itu dihabiskan oleh dirinya seorang.

Bukan jarak, waktu atau kesibukan yang memisahkan.
Ketidak-inginan untuk terhubung adalah yang sebenarnya memisahkan.

* * *

Receh banget ga sih Kak?

Bosen ga sama cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top