PRAM - 9
Bab sebelumnya sudah dibaca 1700 kali, tapi ternyata yang klik bintang tetap belum sampai 500.
Ah, ya sudahlah.
Selamat membaca, Kak!
* * *
Meski Arum dan Pram telah memperlakukan Nur dengan sangat baik, bahkan Arum sudah menambah gaji Nur, tapi gadis itu hanya bertahan hingga 2 bulan kemudian. Pada akhirnya Nur tetap minta berhenti bekerja. Hal ini membuat Arum stres dan marah-marah pada Pram.
"Aku kan udah bilang, Mas cari 1 ART lagi buat Mama. Kalau minta Nur terus-terusan bantu di 2 rumah, meski gaji dinaikin, lama-lama dia kecapekan juga. Makanya dia ga betah dan minta berhenti," keluh Arum malam itu sambil menangis.
Pram tidak sepenuhnya setuju pada analisis Arum tentang alasan Nur berhenti. Tapi melihat istrinya dalam keadaan seperti ini, Pram memilih untuk diam saja, menerima disalahkan. Daripada mereka bertengkar hebat.
"Lagian, Mama itu kecapekan karena ngurusin Dinda. Harusnya kakakmu dong yang nyari ART buat Mama. Bukan nebeng ARTku!"
"Kan kamu tahu, gaji Kak Prisa nggak seberapa."
"Dia tuh bisanya apa sih, selain nambahin beban kamu dan Mama?"
Menahan geram dalam hati karena Arum sudah berani menjelek-jelekkan kakaknya di hadapannya sendiri, Pram menyabar-nyabarkan hati saat menjawab, "Maklumin aja, Rum. Dia kan single parent. Cari uang sampai ngurus semuanya harus sendiri, gara-gara mantannya yang nggak bertanggung jawab."
"Ngurus semua sendiri? Huh!" Arum mencibir. "Setahuku, semua dibantuin Mama. Mama yang masak, Mama yang beresin dan ngepel rumah, Mama juga yang ngurus Dinda."
Yang dikatakan Arum tidak sepenuhnya salah. Prisa memang tidak terlalu pandai memasak, sehingga Mama yang memasak untuk makan sehari-hari. Dinda juga lebih dekat dengan neneknya dibanding ibunya sendiri. Itu mengapa bahkan setelah Prisa pulang kerja, Dinda tetap lebih suka bersama neneknya. Bahkan tidurpun bersama neneknya. Hal ini yang membuat Mama kelelahan.
"Mas pernah merasa bahwa Mama nggak adil nggak?" lanjut Arum.
"Maksud kamu apa?!" nada suara Pram meningkat 1 oktaf. Dari tadi ia sudah menyabar-nyabarkan diri mendengar keluhan Arum tentang kakaknya, tapi kok istrinya ini malah makin ngelunjak? Sekarang berani-beraninya dia mau menjelekkan ibunya?!
"Kalau Kak Prisa, semua kekurangannya dimaklumi. Nggak bisa masak, Mama mau masakin. Nggak bisa ngurus anak, Mama yang ngurusin," kata Arum, tidak dapat menutupi nada sinisnya. "Tapi kalau sama Mas, bahkan setelah semua yang Mas berikan, Mama tetap merasa nggak cukup. Mama itu kan mamanya Kak Prisa dan Mas Pram. Tapi kenapa cuma Mas Pram yang bertanggung jawab memenuhi semua kebutuhan Mama? Padahal Mas anak bungsu lho."
"Tapi aku anak laki-laki, Rum. Anak laki-laki satu-satunya," Pram menjawab. Pelan tapi tegas. "Surganya anak laki-laki itu ada pada ibunya. Dan meski sudah menikah, anak laki-laki tetap bertanggung jawab atas ibu dan saudara perempuannya yang belum menikah."
Pram melihat Arum sudah membuka mulutnya, siap membalas. Tapi tidak ada satu katapun yang akhirnya terucap. Meski Arum menatapnya kesal, Pram tahu bahwa Arum menyadari kebenaran kata-katanya.
Katanya, seorang istri adalah tulang rusuk yang bengkok. Maka menjadi kewajiban suami untuk meluruskannya dengan cara yang baik. Pram tahu istrinya tidak suka pada ibunya, dan terutama kakaknya. Tapi Arum tetap harus diberi pengertian bahwa Pram tetap harus berbakti pada ibunya.
"Lagian, adil itu nggak harus selalu sama rata, Rum," lanjut Pram. "Kesannya mungkin Mama bersikap nggak adil sama aku. Tapi sebenarnya bukan gitu maksud Mama. Kak Prisa itu serba sulit hidupnya. Menghidupi diri sendiri dan Dinda, nggak ada suami yang bantu. Jadi siapa lagi yang bantu Kak Prisa kalau bukan Mama? Tapi kalau terhadapku, Mama menganggap keluarga kita mampu dan cukup, Rum. Makanya, ke siapa lagi Mama minta bantuan kalau bukan ke kita? "
Arum tampak menghapus air matanya dan menatap Pram dengan kecewa. "Trus Mas pikir sikap Mas terhadapku adil?"
Meski lelah, Pram mencoba menghela nafas tak kentara, agar tidak makin memicu kekesalan Arum. Ia mengulurkan tangannya, meraih tangan Arum. Tapi itu langsung ditepis oleh sang istri.
"Aku harus gimana Rum?" bujuk Pram, mencoba bertutur manis.
"Tanggung jawab!" jawab Arum ketus. "Nur berhenti gara-gara Mama dan Prisa. Jadi kamu harus tanggung jawab!"
"Iya, nanti aku cariin ART lagi ya. Kali ini aku yang bayar gajinya."
"Kamu pikir, cari ART gampang? Bahkan kalaupun punya uang, nyari ART yang bisa kita percaya untuk ninggalin anak kita sama dia di rumah, itu nggak gampang!" kesal Arum. "Tiap kali kita ganti ART, aku harus minta tolong ibuku untuk ngawasin di rumah, minimal sebulan pertama. Tapi sekarang kita tinggal disini, aku nggak bisa minta tolong Ibu. Jadi gimana aku bisa yakin ninggalin Patra berdua aja sama ART baru?!"
Pram terdiam. Tidak tahu harus menyarankan apa. Ia ingin mengusulkan bahwa Mama bisa membantu mengawasi ART baru di rumahnya sebulan pertama, seperti yang dilakukan ibu mertuanya, tapi Mama sendiri sudah cukup repot dengan Dinda.
"Kita bisa pasang CCTV untuk ngawasin kerjanya ART itu. Jadi kalau ada apa-apa, bisa kita pantau," usul Pram akhirnya.
"CCTV memang bisa memantau kinerja dia. Tapi kita tetap nggak bisa yakin dia nggak bakal culik anak kita kan?" tepis Arum, penuh kekhawatiran.
Pram diam. Tidak bisa memberi solusi untuk pertanyaan Arum kali itu.
"Kalau gitu kamu cuti!" todong Arum tiba-tiba. "Kamu cuti, jaga Patra di rumah sampai dapet ART baru yang bisa dipercaya jaga Patra."
"Hah?! Yang bener aja Rum!" tolak Pram dengan nada suara yang refleks naik. "Kerjaanku di kantor banyak. Aku nggak mungkin cuti cuma untuk jaga Patra."
"Cuma?! Jadi di matamu, menjaga Patra itu pekerjaan remeh, sehingga kamu nggak bersedia cuti demi dia?" Nada suara Arum kini juga sama tajamnya dengan Pram. Meski ia menjaga volumenya agar tidak membangunkan Patra yang sudah tidur di ranjang kecil di sebelah ranjang mereka. "Patra itu anak kita berdua, Mas! Tapi kenapa selalu aku yang harus cuti kalau Patra sakit? Kenapa kamu bisa bebas tugas ke luar kota atau ke luar negeri, ninggalin Patra yang lagi sakit? Padahal aku mau tugas ke luar kota 1 malam aja, pas Patra lagi sehat, nggak pernah kamu ijinin? Kenapa harus selalu aku yang ngalah? Kamu pikir pekerjaanku rendahan banget dibanding pekerjaanmu, hah?!"
"Tapi kamu kan ibunya Patra, Rum! Itu memang tugas utama kamu untuk jaga Patra."
"Trus tugas utama kamu apa Mas? Menafkahi keluarga? Keluarga siapa?!" balas Arum. "Jangan nuntut tugas utamaku, kalau kamu sendiri nggak bisa bertanggung jawab atas tugas utama kamu sebagai kepala keluarga!"
Dengan satu gerakan kasar, Arum merebahkan diri di ranjang, memunggungi Pram. Pram dapat mendengar suara isak tangis yang jelas dari bahu wanita yang bergetar itu. Tapi Pram tidak berusaha meminta maaf ataupun menenangkan wanita itu. Karena dirinya sendiri marah dan tersinggung dengan kata-kata Arum.
Perempuan itu menuntut Pram untuk bertanggung jawab penuh atas nafkah keluarga?! Bukankah selama ini ia sudah bertanggung jawab? Bukankah segala kebutuhan rumah tangga telah ia penuhi? Dan setelah semua tugas utamanya sebagai suami ia lakukan, berani-beraninya Arum marah saat ia meminta perempuan itu melakukan tugas utamanya sebagai ibu?! Kurang toleran apa Pram selama ini? Arum ingin bekerja, sudah ia ijinkan. Tapi kini Arum malah ngelunjak dan menuntut berlebihan.
Dasar perempuan!
* * *
Ada ibu pekerja yang mengalami hal2 seperti ini? Suami bisa bebas bekerja dengan tenang, pergi kemanapun, bahkan meski anak sedang sakit. Tapi hal yang sama tidak bisa dilakukan seorang istri.
Anak ambil rapor, istri yang harus cuti.
Anak sakit, istri yang harus cuti.
Pulang kerja, suami bisa istirahat sambil ngegame di hp. Tapi istri, pulang kerja, lgsg heboh sama kerjaan rumah tangga.
Work from home, suami tetap bs kerja dg tenang. Tapi istri? Pasti selalu digelendotin anak2. Mana bs kerja dg fokus.
Bagaimanapun digaungkan kesetaraan, perempuan dan laki-laki tidak akan pernah mendapat kesempatan yang sama sebagai pekerja. Tantangan untuk wanita pekerja lebih besar dibanding pria.
Jadi kalau ada ibu pekerja yang bisa sukses, itu pasti karena support systemnya yang mumpuni. Entah suaminya mau terlibat setara dalam pengasuhan anak dan pekerjaan rumah, atau suaminya mampu menyediakan ART yang cukup sehingga sang istri bisa bekerja dengan optimal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top