PRAM - 7

"Kamu nggak mau lepas IUD?" tanya Pram, selagi tangannya memeluk perut Arum dari belakang. Lelaki itu mencium rambut sang istri selagi mendesakkan tubuhnya agar lebih lekat pada sang istri.

"Hmmm..." Arum hanya menjawab dengan gumaman. Dari balik punggung, Pram melirik bahwa kelopak mata Arum mulai menutup. Sepertinya kelelahan setelah olahraga malam yang mereka lakukan.

"Patra udah hampir 4 tahun. Udah pantes jadi kakak."

"Kita udah pantes jadi orangtua lagi belum?" Arum balik bertanya, dengan gumaman bosan.

"Hah? Maksudnya?"

"Kita udah pantes punya anak lagi belum?"

"Kenapa kita nggak pantas?"

"Udah punya tabungan yang cukup buat Patra sampai masuk SD?"

"Tiap anak ada rejekinya, Sayang."

"Ya tapi kalau rejeki anak dialihkan mulu ke pos pengeluaran lain, ujung-ujungnya nggak ada juga."

Pram menghela nafas pelan. Sedikitnya ia mulai sadar maksud kata-kata Arum.

"Aku belum siap jadi ibu lagi," kata Arum kemudian.

Kali ini Pram mengernyit, merasa aneh.  Baginya, Arum adalah sosok yang keibuan. Patra bahkan lengket sekali pada ibunya. Pernah suatu kali Arum pergi ke luar kota, hanya 1 hari 2 malam, dan Patra demam. Demam Patra baru reda ketika Arum pulang. Sedekat itu ikatan yang terjalin antara Arum dengan anaknya, jadi apanya yang tidak siap menjadi ibu lagi?

"Kalau Mas bisa menggaji 1 orang ART lagi, mungkin aku bisa lebih siap punya anak lagi," lanjut Arum.

Pram tercenung. Apakah selama ini 1 ART tidak cukup? Perempuan lain bisa mengasuh anak tanpa ART. Kenapa istrinya sampai butuh 2 ART jika ingin memiliki 2 anak? Bukankah permintaan itu berlebihan? Lalu apa gunanya Arum sebagai ibu kalau tiap anak sudah dipegang 1 pengasuh? Lama-lama, nanti anak mereka bisa jadi lebih dekat dengan pengasuh, dibanding dengan ibunya sendiri.

"Kak Prisa dan Mama juga udah pernah ngeledekin kan, kapan Patra punya adek. Mama juga kayaknya pengen nambah cucu lagi."

"Suruh Kak Prisa aja lah kalau Mama pengen cucu lagi."

"Hush! Ngawur!" Pram terkekeh mendengar gerutuan Arum.

"Ya abisnya si Mama, minta apa-apa semuanya dari Mas. Minta belanja ini-itu dari Mas, minta nambah cucu dari Mas juga. Ya sekali-sekali lah minta sama anak yang satu lagi."

Dulu, Pram akan mudah tersinggung jika Arum mulai menunjukkan ketidakcocokannya kepada sang ibu. Namun setelah kini tinggal dekat dengan Mama, Pram mulai belajar memahami bahwa kedua perempuan yang paling dicintainya itu memiliki banyak perbedaan. Dulu ketika mereka tinggal berjauhan dan hanya bertemu sesekali, perbedaan tersebut tidak terlalu terlihat mencolok. Tapi kini ketika mereka makin sering berinteraksi, makin terlihat perbedaan itu.

Sebisa mungkin Pram berusaha untuk menjadi penengah diantara keduanya. Arum juga sudah berusaha sabar dan menahan diri. Tapi yaaaa... begitu. Ada saat-saat dimana mood Arum buruk dan tidak bisa menutupi ketidaksukaannya.

Pram menyadari bahwa mood Arum makin sering terlihat buruk sejak mereka pindah ke rumah baru. Pram sih paham, hal tersebut pasti karena Arum kelelahan sejak tinggal di rumah tersebut.

Sejak pindah ke rumah baru, Pram memang jadi lebih nyaman karena tidak perlu lagi berangkat kerja setelah subuh. Kini ia berangkat jam 7 pagi pun, bisa tiba tepat waktu di kantornya. Begitupun dengan perjalanan pulang kerja yang tidak lagi sepanjang dulu. Tapi sebaliknya, kini Arum yang harus mengalami hal tersebut. Meski ia melawan arus kemacetan, tetap saja Arum harus berangkat kerja pagi-pagi sekali dan pulang lebih malam daripada Pram.

Arum jadi lebih sering terlihat kelelahan. Hal ini membuat Pram prihatin, sehingga ia mengusulkan pada Arum untuk pindah kerja saja, ke industri farmasi lain yang berlokasi di daerah Jakarta.

Pram merasa tidak ada yang salah dengan usul yang disampaikannya. Tapi kenapa Arum malah terlihat sebal padanya?

Menurut Pram, tidak ada salahnya jika Arum mencoba bekerja di perusahaan lain di daerah Jakarta. Jarak dan waktu tempuh akan lebih singkat. Selain itu, barangkali saja Arum mendapat pekerjaan dengan job desk yang lebih baik. Sebab sebenarnya Pram agak kurang setuju dengan pekerjaan istrinya sekarang. Beberapa kali perempuan itu ditugaskan untuk melakukan audit pemasok ke luar kota bersama atasannya, dan Pram tidak suka dengan tugas istrinya itu. Atasan Arum adalah seorang wanita, jadi Pram bukannya melarang Arum pergi karena khawatir Arum berselingkuh. Tapi dengan Arum keluar kota, tidak ada yang menjaga Patra.

Di siang hari, memang ada Nur yang mengasuh Patra. Namun di malam hari, Patra tetap tidur bersama mereka, meski di kasur terpisah. Dan meski sudah hampir 4 tahun, Patra masih suka terbangun malam hari dan minta susu. Hal itu yang membuat Arum masih sesekali bangun malam hari untuk membuatkan susu. Jadi kalau Arum harus tugas keluar kota, tidur Pram tidak nyenyak karena sesekali terbangun jika Patra minta susu.

Itu sebabnya Pram mengusulkan Arum untuk pindah kerja ke perusahaan lain, dengan job desk yang lebih masuk akal bagi ibu pekerja. Job desk yang tidak membuat perempuan lembur hingga malam dan menugaskan perempuan untuk dinas keluar kota. Karena hal tersebut tidak kondusif bagi tumbuh kembang anak.

"Mas juga sering tugas luar. Bahkan kadang sampai 1 minggu nggak pulang. Dan itu pekerjaan rutin. Hampir tiap bulan Mas tugas luar. Kenapa aku, yang cuma sesekali audit, nggak boleh?" protes Arum suatu hari.

"Tapi kamu seorang ibu, Rum. Ada Patra yang nggak bisa jauh dari kamu. Patra rewel kalau jauh dari kamu. Malam-malam dia kebangun-bangun terus. Aku sampai nggak bisa tidur nyenyak."

"Ya Patra kan juga anak kamu Mas. Sesekali lah kamu yang jaga malam. Empat tahun ini aku belum pernah 1 malampun tidur nyenyak selama 6 jam lho. Selalu aku yang bangun kalau Patra minta nenen, ganti popok atau minta susu."

"Ya kan aku nggak bisa menyusui, Rum."

"Tapi Mas bisa gantiin popok dan bikin susu formula kan?"

"Aku kan udah capek kerja Rum. Pulang malem. Masa harus begadang lagi?"

"Emang Mas pikir, kerjaanku di kantor nggak capek? Mas pikir, kerjaan Mas doang yang capek? Mas pikir, Mas doang yang perlu meniti karir? Mas pikir aku nggak pengen meniti karir? Empat tahun ini aku menahan diri nggak ngambil kesempatan meski pernah akan dipromosikan jadi Manajer, Mas. Karena mungkin aku akan lebih sering pulang malam atau tugas ke luar kota.

Kamu selalu bilang nggak bisa melepas karir kamu karena kamu PNS. Emang, mentang-mentang aku bukan PNS, aku bisa mudah melepas pekerjaanku? Aku udah banyak ngalah, Mas. Patra anak kita berdua, tapi selalu aku yang begadang. Aku udah ngalah pindah ke rumah yang jauh dari kantor. Juga ngalah, nggak bisa selalu tugas luar kota. Sesekali kamu lah yang ngalah. Masa aku mulu yang ngalah. Bukan cuma kamu yang pengen karir cemerlang. Aku juga pengen jadi Manajer, Mas.

Pokoknya aku nggak mau punya anak lagi, kalau kamu belum mau berbagi peran sebagai orangtua, Mas. Aku juga mau punya kesempatan yang sama untuk berkarir. Kalau punya bayi lagi, kapan karirku bisa berkembang, Mas?"

"Kok kamu jadi itung-itungan gini, Rum?!" Pram akhirnya kesal juga. "Kamu tuh perempuan. Kamu seorang ibu. Tugas utama kamu ya sebagai istri dan ibu. Itu karir utama kamu! Jangan lupa kodrat, Rum! Mentang-mentang aku ngijinin kamu kerja, kamu jadi ngelunjak sekarang!

Kamu tuh kerja biasa aja! Nggak usah ngejar karir! Biar aku yang kerja keras, karena aku yang bertanggung jawab memenuhi semua kebutuhan keluarga."

"Memenuhi kebutuhan keluarga siapa maksud Mas? Kebutuhan Mama, Prisa dan Dinda maksudnya?"

"Rum!"

"Uang gajimu, dari kerja kerasmu yang bikin kamu nggak kuat begadang jaga anak itu, emangnya buat aku dan Patra semua? Gajinya Nur, buat jaga Patra aja, aku yang bayar lho Mas!"

"Kalau kamu nggak kerja kan kita nggak perlu gaji pembantu."

"Trus kalau aku nggak kerja lagi, aku yang jadi pembantu gratisan?"

Rahang Pram mengetat. "Kamu kok jadi perhitungan gini, Rum? Kamu nggak ikhlas jadi istri dan ibu? Kamu nyesel punya Patra? Kamu merasa dia yang menghambat karir kamu? Hah?! Kamu nyesel punya anak?! Nggak bersyukur kamu! Pantesan dulu kamu lama hamilnya setelah kita nikah. Pasti Allah tahu, kamu belum pantes jadi ibu... "

Belum selesai Pram dengan kata-katanya, Arum sudah berlari keluar kamar dengan derai air mata.

Kan kalau sudah begini, ujung-ujungnya pasti Pram lagi yang dituduh jadi antagonis kan?

Dasar perempuan! Playing victim mulu! Modal air mata!

Padahal ini kan jelas-jelas kesalahan Arum yang tidak bisa jadi ibu dan istri yang baik. Malah terobsesi dengan karirnya.

* * *

Selamat memulai weekend dengan misuh-misuh, Kak 🤭🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top