PRAM - 6

Setelah beberapa bulan, akhirnya rumah baru Pram selesai dibangun. Pram puas dengan hasilnya karena sejak awal dirinya sendiri yang merencanakan desain dan bahan-bahannya. Tidak seperti jika ia membeli rumah di perumahan yang dibangun pengembang, tentu desain dan bahannya sudah standar dari pengembang tersebut.

Ketika akhirnya Pram membawa Arum dan Patra ke rumah itu, Arum juga nampak senang dan puas dengan hasilnya. Rumah ini memang lebih luas, dengan 3 kamar tidur, 2 kamar mandi, dan masih ada halaman kecil di bagian belakang rumah. Jika nanti ada rejeki lagi, Pram berencana memperluas bangunan rumah tersebut atau membangunnya jadi dua lantai. Untuk sementara ini, rumah ini sudah lebih dari cukup. Rumah ini sudah lebih besar daripada rumah yang dibeli Arum di Depok, yang hanya terdiri dari 2 kamar tidur. Dengan cicilan per bulan yang lebih sedikit, Pram berhasil membangun rumah yang lebih luas dibanding rumah yang dibeli Arum. Pram puas dengan hal tersebut. Untung saja ia tidak harus membayar harga tanah milik Papanya sendiri sehingga ia bisa memiliki rumah dengan harga yang jauh lebih murah.

Dalam waktu seminggu, Pram dan Arum berhasil melengkapi rumah tersebut dengan perabot dan perlengkapan dapur. Tadinya Pram berencana memindahkan perabot dari rumah Depok ke rumah barunya ini. Tapi Arum menolak. Ia ingin semua perabot di rumah Depok tetap di rumah tersebut karena ia ingin mengontrakkan rumah tersebut.

"Menurut aku sih, rumah Depok dijual aja Rum. Kan kita udah punya rumah ini. Ngapain yang itu dikontrakin. Nanti banyak dramanya. Mesti ngurusin dan nengokin rumah yang dikontrakin. Nanti rumahnya rusak dan nggak dirawat sama yang ngontrak. Macem-macem drama."

"Nggak apa-apa Mas. Biar rumahnya tetep jadi punya kita. Nggak usah dijual," kata Arum, teguh dan sabar.

"Kita kan udah punya rumah ini, Rum."

"Ya nggak apa-apa Mas. Buat investasi," jawab Arum. Berkeras, tapi ia masih tersenyum manis.

Karena gagal meyakinkan Arum untuk menjual rumah Depok dan memindahkan perabotan mereka, maka Pram terpaksa membeli kembali semua perabot untuk rumah barunya.

* * *

Berbeda dengan rumah mereka di Depok yang berada di dalam cluster perumahan baru, dimana sebagian besar penghuninya adalah keluarga muda dengan para istri yang juga wanita pekerja, rumah baru yang ditempati Pram dan Arum kini berada di komplek perumahan lama. Sebagian besar penghuninya adalah keluarga lama. Para istri adalah ibu rumah tangga, atau wanita pekerja yang telah pensiun. Ada sih beberapa keluarga muda dengan anak seusia Patra hingga SD, tapi tidak banyak.

Komplek tempat Pram tinggal kini, bersebelahan dengan komplek perumahan ibunya. Tapi karena ibu Pram termasuk ibu gaul yang aktif di pengajian dan banyak kegiatan di lingkungannya, maka banyak yang mengenal beliau dengan baik, bahkan hingga beberapa ibu-ibu di komplek perumahan Pram. Itu mengapa ketika teman-teman ibu Pram mendengar bahwa keluarga Pram kini tinggal di lingkungan mereka, mereka bertanya-tanya.

"Temen-temen Mama tanya, kalian warga baru disini kok nggak ngadain syukuran rumah baru, Pram?" tanya Mama pada suatu akhir pekan, ketika ia berkunjung ke rumah Pram.

Dulu saat Pram tinggal di Depok, sang ibu hanya bisa bertemu cucunya sebulan sekali atau dua bulan sekali. Tapi kini karena rumah mereka berdekatan, Mama jadi bisa mengunjungi Patra tiap pekan.

"Iya Ma, memang nggak ngadain," jawab Pram. "Tapi kita udah bagi-bagi nasi kotak kok Ma, sambil kenalan ke tetangga sekitar sini."

"Tapi teman-teman Mama juga banyak yang kenal kamu, dan akhirnya tahu kamu pindah kesini. Sopan-sopannya, bikin acara selametan lah. Ngundang keluarga kita dan tetangga-tetangga. Jangan cuma tetangga yang rumahnya deket aja. Ini kan perumahan besar, kamu juga banyak kenal warga sini kan. Nggak enak kalau nggak ngundang mereka."

Dalam hal ini sebenarnya Pram tidak setuju dengan usulan Mama. Tapi ia tidak enak untuk membantahnya.

Pram melirik Arum yang sedang menyiapkan makanan di meja makan karena sudah menjelang siang hari. Tapi perempuan itu tidak balas melirik padanya sehingga ia bingung harus menjawab apa pada ibunya.

"Iya Ma, nanti Pram pikirin dulu dan cek dulu budgetnya," kata Pram akhirnya.

"Emang kamu nggak punya uang, Pram?" tanya sang ibu, gemas karena puteranya tidak memberikan jawaban pasti. "Mama malu lho sama tetangga-tetangga. Masa anaknya kerja di Kementerian, punya rumah baru disini, tapi nggak ngundang-ngundang selametan."

"Tabungan sih ada Ma. Tapi ya kan nggak banyak. Dan selametan rumah besar-besaran nggak ada di dalam rencana pengeluaran Pram sebenarnya."

"Uang pinjaman bank untuk bangun rumah, emang habis semua? Bukannya kemarin kamu bikin rumah ini dapet banyak diskon dari mandornya, karena kalian kenal?"

"Udah abis buat Pram beli perabotan rumah kan Ma."

Mama tampak kaget dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah. Karena jarang ke rumah Depok, Mama jadi tidak terlalu ingat perabot disana. Mama pikir perabotan di rumah ini adalah pindahan dari rumah Depok.

"Lho? Ngapain beli? Kenapa nggak mindahin dari rumah Depok aja?"

"Rumah Depok mau dikontrakin, Ma. Jadi biar aja perabotnya tetap disana."

"Lho? Mama kira, setelah punya rumah disini, yang di Depok dijual?"

"Nggak Ma. Yang di Depok nggak dijual." Kali ini Arum yang ikut nimbrung sambil tersenyum. "Biar aja itu jadi investasi."

"Berarti kamu masih bayar terus cicilan rumah itu?" tanya Mama pada Arum.

"Masih, Ma."

"Kalau kamu jual, kan kamu nggak usah nyicil lagi, Rum. Jadi sebagian gaji kamu bisa buat bantu-bantu Mas-mu untuk biaya rumah tangga. Jadi kalau ada kebutuhan kayak sekarang, mau bikin selametan, ada uangnya gitu."

"Iya Ma, sebenarnya Arum bisa ikutan bantu biaya rumah tangga," jawab Arum. "Tapi Mas Pram melarang. Katanya, semua keperluan Patra dan rumah tangga, itu kewajiban Mas Pram. Katanya malu kalau PNS Kementerian kok masih minta istri buat biaya rumah tangga. Gitu. Patra beruntung banget punya Papa bertanggung jawab kayak Mas Pram, Ma. Mama dan Papa juga hebat banget, bisa mendidik Mas Pram jadi laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarga. Tahu kewajibannya dan tahu prioritas keluarga.

Arum sih setuju sama Mas Pram, Ma. Kayaknya udah cukup sih kemarin kami pesan nasi kotak dan bagiin ke tetangga-tetangga. Minimal udah kenal sama tetangga se-RT. Nanti lama-lama juga bisa kenalan sama tetangga se-komplek dan se-RW. Iya kan Mas?"

Arum menoleh pada Pram, dan tersenyum. Membuat Pram tersenyum salah tingkah. Antara bersyukur Arum mendukungnya, dan merasa tersindir oleh kata-kata Arum barusan.

Di sisi lain, Mama juga tampak tidak bisa membalas kata-kata Arum, karena barusan saja perempuan itu memujinya telah berhasil mendidik Pram menjadi suami bertanggung jawab. Akan kontradiktif sekali jika dirinya sekarang memaksakan Pram untuk tetap mengadakan selamatan rumah baru, yang menurut Pram tadi bukan prioritasnya.

* * *

"Mas, beliin daging lagi dong," pinta Arum suatu malam, sebelum tidur. "Patra minta dimasakin gadon daging."

Karena sejak awal berumah tangga Pram sendiri yang mengatur keuangan dan berbelanja untuk kebutuhan rumah tangga, jadi tiap kali ada bahan makanan atau keperluan rumah tangga lain yang habis, Arum akan melapor pada Pram. Lelaki itu kemudian akan mengajak Arum dan Patra ke pusat perbelanjaan di akhir pekan, untuk berbelanja kebutuhan mereka. Atau kadang Pram memesan di online shopping.

Di rumah tangga lain, biasanya sang istri yang mengatur keuangan dan belanja rumah tangga. Keluarga Pram dan Arum sedikit berbeda. Bukan hanya urusan belanja, urusan bayar listrikpun, Pram yang membayar. Tapi Arum tidak pernah keberatan, sepanjang semua kebutuhan Patra dan rumah tangga terpenuhi. Arum hanya perlu menambahi biaya rumah tangga ketika Pram studi S2. Setelahnya, kembali Pram yang mengatur semuanya.

"Lho? Daging yang kemarin habis? Bukannya aku beliin banyak?" tanya Pram heran. "Si Nur banyak makan daging?"

Nur adalah nama ART yang tinggal di rumah mereka.

"Bukan Mas," jawab Arum, tampak hati-hati.

"Trus? Kok tumben dagingnya cepet banget abisnya?"

"Hmmm..." Arum nampak menimbang sesuatu, sebelum akhirnya menjawab lirih, "Dibawa pulang sama Mama."

"Hah? Gimana?"

Arumpun menceritakan bahwa sejak rumah mereka berdekatan, selagi Pram dan Arum bekerja, Mama suka mengajak Dinda sepulang sekolah untuk main ke rumah Pram, untuk bermain bersama Patra. Sering juga mereka makan siang di rumah Pram. Arum dan Pram sudah tahu hal ini dan membiarkannya, lagipula Patra jadi punya teman main. Tapi ternyata bukan hanya main dan makan siang, jika kebetulan Arum memasak menu daging sapi, maka ketika pulang di sore hari, Mama membungkus daging tersebut untuk dibawa pulang. Mama memang pernah bilang pada Pram dan Arum, meminta semur daging masakan Arum, karena rasanya yang enak. Pram pikir hanya sesekali itu saja ibunya membawa pulang makanan dari rumahnya. Tapi ternyata tiap Arum masak daging, Mama pasti membawa pulang.

"Kasihan Dinda, jarang makan daging. Si Prisa kan kerjanya sekretaris biasa aja, gajinya nggak sebesar kalian. Dia cuma bisa beli tahu-tempe-ayam-ikan-telur. Dinda bosen. Mama juga bosen sih makan itu melulu," kata Mama suatu hari sambil terkekeh.

Arum pernah mencoba stop masak daging hingga sepekan. Tapi Patra yang protes. Patra doyan sekali gadon daging buatan ibunya, dan sering minta dimasakkan itu.

Arum pernah juga masak daging, lalu hanya sebagian yang disajikan di meja makan, sementara yang lain disimpan di kulkas. Tapi ibu Pram sudah merasa rumah Pram sebagai rumahnya sendiri, sehingga merasa bebas saja membuka kulkas dan mengambil makanan dari dalamnya.

"Rumah ini kan di atas tanah Papa. Jadi kan Mama ada hak disini juga kan? Nggak apa-apa kan Mama sering main kesini?"

Tentu saja Pram tidak mungkin melarang ibunya datang, atau melarang ibunya mengambil makanan dari rumahnya. Jadi ketika Arum minta dibelikan daging lagi, Pram tidak punya pilihan lain selain membeli lebih banyak daging.

"Rum, salmon mentai yang kemarin kamu bikin enak banget lho," kata Mama di hari lain. Saat itu Pram mendengarnya juga. "Kamu sering masakin salmon buat Patra ya. Kemarin Mama ambil sebagian ya Rum. Kasihan Dinda, nggak pernah makan salmon. Biar dia pinter juga kayak Patra."

Dan sejak itu Pram juga harus membeli lebih banyak salmon.

"Rum, kita perlu beli kulkas satu lagi nggak ya?" tanya Pram tiba-tiba, di suatu hari.

"Lha? Kulkas kita aja nggak pernah penuh-penuh amat. Buat apa beli kulkas lagi?"

"Kulkas kecil aja. Ditaruh di kamar kita. Buat nyimpen stok daging dan salmon."

Wajah Pram meringis saat mengusulkan ide itu pada Arum. Membuat Arum justru tertawa terbahak-bahak.

Dikala istri lain ditanya "Uang belanja kok cepet abis? Kamu pakai belanja apa aja sih?" tiap minta tambahan uang belanja, Arum berasa beruntung karena semua keperluan rumah tangga diatur oleh Pram, sehingga suaminya sendiri yang langsung tahu peningkatan kebutuhan rumah tangga mereka sejak pindah ke rumah baru.

Selamat menikmati hidup di rumah baru!

* * *

Iya Ma, rumah Pram ya rumah Mama juga. Semua yang di rumah Pram, boleh Mama ambil. Ambil aja semuanya Ma. Kan Mama memang tanggung jawab Pram.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top