PRAM - 5
"Lho Mas? Kok belum siap?"
Pram mendengar sapaan bernada heran dari istrinya ketika ia keluar dari kamar tidur. Wajar saja Arum bertanya demikian, karena biasanya selesai sholat Subuh, Pram keluar dari kamarnya sudah dengan pakaian kerja yang rapi, siap untuk sarapan dan kemudian langsung berangkat kerja. Tapi pagi itu, Pram keluar kamar masih dengan celana pendek dan kaos rumahan.
"Aku cuti hari ini," kata Pram sambil menarik kursi makan dan duduk di depan meja makan.
Dari dapur yang hanya beberapa langkah dari meja makan mereka, Arum membawakan secangkir jahe hangat untuk Pram, dan meletakkannya di meja makan, di hadapan pria itu.
Dahi Arum mengernyit. "Mas nggak sakit kan? Kelihatannya sehat kok?" tanyanya sambil meraba dahi Pram.
"Aku sehat kok Sayang."
"Trus kok cuti nggak ngantor? Tumben?"
Arum menurunkan tangannya dari dahi Pram, kemudian beranjak ke dapur lagi.
"Aku pagi ini mau ke bank dulu. Makanya cuti setengah hari. Abis dari bank, baru ke kantor."
"Ke bank? Ngapain?" Arum kembali dengan semangkuk besar sayur lodeh. Ia meletakkannya di samping piring berisi ayam goreng dan sambal.
Pram nampak meneguk ludah sekilas sebelum akhirnya menjawab hati-hati. "Mau urus peminjaman uang."
Kerutan di dahi Arum nampak makin dalam. "Pinjam uang untuk___?"
"Biaya bangun rumah, Rum," jawab Pram. "Aku udah hitung-hitung, kita cuma perlu pinjam 300 juta untuk bangun rumah. Dan masih bisa dicicil sama gajiku, Rum. Alhamdulillah banget lho ini Rum. Kalau beli rumah di Jakarta dengan luas yang sama dengan tanah Papa mah udah 1 milyar tuh. Tapi alhamdulillah karena tanahnya gratis, jadi tinggal butuh uang untuk bahan bangunan dan tukangnya aja. Jadi jauh lebih murah."
Pram, dengan seceria mungkin, menjelaskan keuntungan yang mereka peroleh dengan kondisi mereka saat ini. Agar Arum menyetujui rencananya. Namun dilihat dari ekspresi wajah Arum, nampaknya perempuan itu masih konsisten pada pendapatnya sebelumnya.
"Bukannya kita udah diskusi tentang ini ya Mas?" tanya Arum, dengan ekspresi dan suara tidak suka.
"Iya," jawab Pram dengan nada sabar. Berusaha menunjukkan bahwa dirinya berusaha memahami Arum, namun pendapat Arum tidak seluruhnya benar. "Tapi menurutku, kita nggak perlu terlalu khawatir berlebihan gitu Rum. Aku kenal baik Mama dan Kak Prisa. Nggak mungkin lah hal kayak gitu dipermasalahkan di belakang nanti. Kan Mama sendiri yang nawarin dan ngijinin kita bangun rumah di tanah Papa itu."
Arum mengambil nasi, sayur dan lauk, lalu menyerahkannya pada Pram. Ia sendiri mengambil makanan untuk dirinya sendiri, lalu memakannya dalam diam.
Pram tahu Arum tidak setuju dengan keputusannya. Tapi tawaran Mama adalah satu-satunya cara yang masih dapat ia tempuh untuk memiliki rumah di daerah Jakarta, dengan jumlah pinjaman yang masih memungkinkan untuk ia cicil dengan gajinya. Jadi kalau kali ini ia melewatkan kesempatan tersebut, ia tidak tahu kapan lagi punya kesempatan memiliki rumah di daerah Jakarta. Apalagi tanah Papa tersebut lokasinya cukup dekat dengan kantornya. Ini adalah solusi yang paling baik agar dirinya sekeluarga bisa tinggal serumah dengan Arum dan Patra, tanpa setiap hari harus menempuh 80 km perjalanan pulang pergi nan penuh kemacetan.
"Rum..." Pram memanggil istrinya, berusaha merayu dan mengambil hati istrinya, agar perempuan itu akhirnya menerima keputusannya.
Namun saat itu bertepatan dengan suara rengekan Patra dari dalam kamar. Arum yang belum menyelesaikan sarapannya bergegas bangkit dari kursi makan dan menghampiri Patra yang baru bangun tidur. Setelahnya perempuan itu sibuk dengan Patra. Memandikan hingga menemani sarapan. Setelah Bu Ida datang, barulah Arum menyerahkan Patra pada Bu Ida dan dirinya sendiri mandi dan bersiap untuk berangkat kerja.
Setelahnya hingga Arum berangkat kerja, tidak ada lagi perbincangan soal pinjaman uang ke bank. Meski tahu bahwa keterdiaman Arum bisa jadi berarti penolakan, namun Pram memanfaatkan hal tersebut untuk pura-pura menganggap Arum menyetujui rencananya.
* * *
Setelah perbincangan pagi itu, Pram merealisasikan rencananya: meminjam uang pada bank, lalu mencari pekerja bangunan untuk membangun rumah di atas tanah peninggalan sang ayah. Dari waktu ke waktu Pram selalu menginformasikan pada Arum tentang perkembangan pembangunan rumah mereka. Pram juga selalu meminta pendapat Arum dalam mendesain layout bangunan dan pemilihan bahan bangunan seperti pilihan lantai, toilet, warna cat dan sebagainya. Sesekali Arum memberi pendapatnya, tapi lebih sering ia menjawab "Terserah Mas aja."
Tiap beberapa hari sekali sepulang kerja Pram juga mengunjungi calon rumah barunya, untuk melihat progress pembangunannya. Pram juga beberapa kali mengajak Arum dan Patra untuk melihat bakal rumah mereka, namun lebih sering Arum menolaknya. Ia hanya mengunjungi rumah baru itu jika sekalian dengan jadwal kunjungan ke rumah mama mertuanya.
Barangkali Arum tidak terlalu peduli pada calon rumah barunya karena Arum sendiri belakangan ini tampak sedang pusing dengan ART baru di rumah. Kini Bu Ida sudah tidak lagi membantu mengasuh Patra saat Arum bekerja. Melainkan Arum mencari seorang ART lain dari sebuah yayasan penyalur ART. ART baru ini menginap di rumah mereka.
Saat bersama Bu Ida dulu, Arum dapat langsung mempercayakan Patra pada Bu Ida, karena Bu Ida juga merupakan tetangga mereka, meski rumahnya tidak terlalu dekat juga. Tapi bersama ART baru ini, Arum tidak bisa segera memercayai, karena Arum belum benar-benar mengenalnya. Arum memang memegang KTPnya dan mengetahui alamatnya, tapi tetap saja selalu ada kegelisahan jika sang ART tidak merawat Patra dengan baik atau bahkan menculik anaknya. Karena kekhawatiran itulah, Arum meminta tolong ibunya untuk tinggal sementara waktu di rumah, tiap kali Arum berangkat kerja. Karena rumah ibu Arum cukup dekat, beliau mau membantu mengawasi ART baru tersebut.
Baru saja 3 bulan ART baru tersebut bekerja dan Arum mulai bisa mempercayainya, tiba-tiba sang ART ijin pulang karena orangtuanya tiba-tiba sakit. Dengan alasan seperti itu, tentu Arum tidak bisa mencegah sang ART untuk pulang. Dan karenanya, Arum harus kembali mencari ART baru dan drama per-ART-anpun dimulai kembali dari awal.
Pram melihat Arum cukup stres dengan drama ART ini. Karenanya, suatu kali Pram mengusulkan Arum untuk kembali minta bantuan Bu Ida.
"Mas ngerti nggak sih, kenapa aku cari ART baru?"
"Karena kamu udah nggak cocok sama Bu Ida?"
Arum menghela nafas berat dan kesal. "Aku udah cocok banget sama Bu Ida. Tapi kan Bu Ida nggak mungkin ikut kita ke rumah baru. Rumahnya sendiri di sini. Jadi karena Mas bakal ngajak pindah rumah, aku harus nyiapin seorang ART yang sudah bisa aku percaya. Makanya aku nyari jauh hari sebelumnya, supaya bisa minta tolong diawasi Mama, agar aku tahu ART ini bisa dipercaya atau nggak. Jadi nanti kalau Patra ditinggal sama ART di rumah baru, aku udah yakin Patra di tangan yang baik. Tapi ternyata nyari ART yang cocok banyak dramanya."
Pram tercenung. Ternyata meski Arum tidak terlihat antusias dengan rumah baru mereka, perempuan itu sudah memikirkan hal-hal terkait kepindahan mereka sekeluarga. Termasuk mentraining ART yang dapat dipercaya.
"Kita nggak perlu terlibat drama ART kayak gini kalau kita nggak pindah rumah, sehingga Bu Ida tetap bisa jaga Patra." Arum mengatakannya pelan, hanya seperti orang menggerutu. Tapi Pram dapat mendengarnya.
"Jadi kamu nyalahin aku Rum? Kamu nggak suka pindah ke rumah baru kita?!" Meski sudah menahan diri, nada suara Pram tetap terdengar meninggi.
Istri yang baik harusnya mengikuti dan mendukung keputusan suaminya kan. Tapi kenapa Arum selalu tidak suka dengan keputusan-keputusan Pram dan malah menyalahkannya sih?!
Pram jadi kesal sendiri pada istrinya.
* * *
Have a nice weekend, Kakak2!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top