PRAM - 3
Ada 1 hal yang bisa disombongkan oleh pengendara motor kepada pengendara mobil. Yaitu bahwa pengendara motor selalu lebih mudah melalui kemacetan. Bisa nyelip kanan-kiri, bisa cari jalan tikus sana-sini.
Pram menatap motor yang bersliweran di sekitar mobilnya, sambil berpangku tangan di setirnya. Kini ia tentu saja tidak bisa lagi nyelip kanan-kiri dan mencari jalan tikus.
Dulu, meski pada keadaan macet parah karena ada kecelakaan lalu lintas seperti ini, ojek yang ditumpanginya selalu berhasil nyelip sana sini untuk mencapai stasiun kereta Jabodetabek. Kereta tujuan Bogor di malam hari memang selalu penuh, tapi tidak pernah mengalami kemacetan kan. Dan setibanya di stasiun Depok Baru, ia kembali bisa nyelip sana-sini mengendarai motornya hingga sampai ke rumah. Lelah memang harus berganti moda transportasi beberapa kali, tapi toh ia bisa sampai rumah. Tidak seperti malam itu, Pram hanya bisa terjebak di belakang kemudi mobilnya. Sudah 1 jam, tapi jarak yang ditempuhnya baru 5 km.
Frustasi dengan jalanan di hadapannya, akhirnya Pram memutuskan untuk berputar arah dan mengarahkan mobilnya keluar dari jalur macet itu. Ia menuju ke rumah ibunya.
"Mah, numpang nginep ya," kata Pram begitu melihat ibunya membukakan pintu. "Jalanan macet banget. Nggak bisa pulang ke Depok."
Sang ibu tentu senang dan tidak keberatan anak lelakinya menginap di rumah.
Setelah masuk ke kamarnya, Pram mengabari Arum terlebih dahulu bahwa ia tidak pulang hari ini.
"Astaghfirullah," suara Arum terdengar prihatin. "Iya, nggak apa-apa Mas, kalau capek dan mau tidur disana. Mama nggak kerepotan kan?"
"Nggak kok, Yang. Mama seneng-seneng aja aku nginep disini."
"Alhamdulillah," Arum terdengar lega. "Kamu belum makan Mas? Mau aku pesenin makanan online dari sini?"
"Nggak usah. Mama masak kok."
"Oh, alhamdulillah. Jangan telat makan ya, Mas."
"Iya, Sayang," refleks bibir Pram mendengar perhatian Arum. "Kamu dan Patra sendirian aja di rumah, nggak apa-apa? Apa mau nginep malam ini di rumah Ibu?"
Ibu yang dimaksud adalah ibu Arum, mertua Pram, yang rumahnya hanya 1 km dari rumah mereka.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku di rumah aja. Udah malam. Kalau keluar malam-malam, malah aku takut."
"Kamu ati-ati ya di rumah. Kunci pintu yang benar."
"Iya, Mas."
"Sun sayang buat Patra ya."
Arum terdengar terkekeh. "Sun juga dari Patra buat Papa."
"Mamanya Patra sun juga nggak?"
Terdengar suara kekehan lembut. Pram bisa membayangkan mata Arum yang menyipit saat tertawa seperti itu. Kemudian terdengar suara kecupan pelan.
Setelah mengabari Arum, Pram pun mengambil pakaian dari lemari dan bersiap mandi. Untung ia masih menyimpan beberapa pakaian di rumah ibunya. Meski itu pakaian lama, tapi masih sangat layak digunakan.
Meski telah lewat jam makan malam, ketika Pram selesai mandi ternyata telah terhidang oseng toge dan telur dadar di meja makan. Padahal tadinya Pram sudah berencana order makanan online agar tidak merepotkan ibunya. Tapi ternyata ibunya menyiapkan makanan lagi untuk Pram.
Sambil makan, mereka berbincang tentang kemacetan yang dialami Pram, yang menyebabkannya memilih menginap saja di sini daripada memaksakan pulang ke rumahnya di Depok. Prisa, kakak perempuan Pram, keluar kamar setelah menidurkan putri tunggalnya dan ikut ngobrol bersama mereka.
"Ya lagian kamu aneh sih," kata Prisa. "Kantor di Jakarta, kenapa malah beli rumah di Depok, coba?"
"Ya kan waktu itu aku lagi S2 di Depok, Kak. Arum juga kantornya di Depok. Jadi pas dia mau beli rumah di Depok, ya aku setuju aja."
"Tapi sekarang kan kamu seterusnya kerja di Jakarta. Lebih efisien kalau kamu punya rumah di Jakarta kan," imbuh sang ibu.
"Iya sih Ma. Nanti deh dipikirin."
Malam itu Pram mengunyah makan malamnya sambil memikirkan kemungkinan yang disarankan ibu dan kakaknya.
"Kamu tiap hari pulang malam begini, Pram?" tanya Prisa, ketika makanan di piring Pram hampir habis.
"Nggak tiap hari sih Kak. Tapi lumayan sering juga."
"Pasti capek banget kan pulang malem, masih harus nyetir ke Depok?"
"Mayan juga sih."
"Kalau kamu kecapekan banget, pulangnya kesini aja, Pram," usul Prisa. Kemudian perempuan itu menoleh pada ibunya. "Boleh kan Ma?"
"Ya boleh lah," sambut Mama dengan senyum lebar. "Masa anak sendiri nggak boleh pulang ke rumah orangtuanya sendiri."
Pram pun tersenyum lebar menerima tawaran kakak dan ibunya itu.
* * *
Setelah malam itu ternyata pekerjaan Pram makin banyak dan lelaki itu menjadi makin sibuk. Pram jadi makin sering pulang malam. Tidak jarang Pram sampai di rumahnya sudah terlalu malam, sehingga ia hanya sempat mandi dan langsung tidur, tanpa sempat berbincang lagi dengan Arum. Dan keesokan paginya ia harus berangkat pagi-pagi sekali kalau tidak ingin terjebak macet.
"Mas..." Arum memanggil, sambil terus memijat punggung suaminya, suatu malam.
"Hmmm...?" Pram hanya sanggup menanggapi dengan erangan, saking lelahnya tubuhnya.
"Pasti capek banget kerja sampai malam dan masih harus nyetir sejauh ini kan?" tanya Arum lembut. "Gimana kalau mobil Mas ditinggal di kantor aja?"
"Hmm? Gimana?" Pram merespon pelan.
"Mobil Mas ditaruh di kantor aja," Arum mengulangi usulnya. "Jadi kalau Mas meeting kemana-mana, bisa pakai mobil. Tapi kalau pulang kesini, naik KRL aja, kayak dulu. Supaya Mas nggak kecapekan macet-macetan di jalan. Gimana? Aku kasihan lihat Mas pulang malem terus begini, kecapekan."
"Kalau aku meeting pagi-pagi, nggak praktis kalau harus ambil mobil di kantor dulu. Lagian, nggak ada teman-temanku yang lain yang parkir mobil semalaman di kantor."
Arum menghela nafas pelan. Ia kasihan melihat keadaan suaminya yang selalu pulang dengan kelelahan. Tapi ternyata usulannya pun tidak bisa membantu banyak.
"Sayang..."
"Ya, Mas?" Arum menyahut, masih sambil terus memijat punggung sang suami yang tidur tengkurap di bawahnga.
"Kalau aku lagi pulang malem banget, aku boleh nginep di rumah Mama aja nggak?" Pram menawarkan solusi lain. Ia sudah memikirkan tawaran kakak dan ibunya itu selama beberapa waktu, namun belum membicarakannya dengan Arum karena selama ini ia masih khawatir meninggalkan Arum dan Patra sendirian di rumah. Tapi mengingat kesibukannya makin menjadi akhir-akhir ini, Pram mulai berpikir bahwa usulan ibunya masuk akal.
Pram tidak segera mendengar tanggapan Arum selama beberapa saat. Ia maklum jika istrinya keberatan dengan usulnya. Tapi sementara ini baru cara tersebut yang terpikirkan oleh Pram.
"Nanti kalau aku mau ndusel-ndusel sama siapa?" tanya Arum. Suaranya tidak terdengar merajuk. Hanya terdengar manis.... dan menggoda.
Refleks saja Pram terkekeh mendengar keluhan Arum yang terdengar manis tersebut.
Dengan isyarat, Pram meminta Arum berhenti memijatnya dan turun dari punggungnya. Setelahnya Pram membalikkan tubuh hingga kini bisa menatap istrinya.
"Mau bikin adeknya Patra?" goda Pram.
Sontak Arum mencubit perut Pram. "Ih mesum!"
"Lha tadi, katanya kamu mau ndusel-ndusel?"
"Ndusel-ndusel kan nggak harus begituan."
"Begituan apa?"
"Iiisssh..." desis Arum. Wajahnya memerah antara kesal dan malu. "Aku kan pengen kalo malem tuh tidur sambil ndusel-ndusel peluk Mas. Nggak harus begituan, kalau kamu capek. Yang penting aku bisa peluk."
Pram terkekeh dan menarik sang istri untuk rebah di sisinya.
"Yaudah kalau kamu nggak mau aku nginep di rumah Mama," kata Pram sambil membelai lengan istrinya. "Aku masih kuat kok pulang-pergi Jakarta-Depok."
Mendengar Pram mengalah seperti itu, Arum justru jadi merasa tidak enak hati. Kalau sudah begini, Arum malah jadi merasa bersalah.
"Yaudah kalau pulang kemaleman banget, Mas nginep di rumah Mama aja. Daripada kecapekan di jalan dan nggak konsen nyetir," kata Arum akhirnya.
Pram membuka matanya dan menunduk menatap istrinya. "Beneran? Kamu nggak ngambek kan?"
Arum menggeleng. "Nggak lah," jawab Arum. "Tapi, emangnya Mama nggak repot kalau Mas nginep disana?"
"Justru Mama dan Kak Prisa kok yang nawarin supaya aku nginep disana aja kalau pulang kemalaman."
"Oh...." Hanya itu respon Arum.
Setelahnya Pram merengkuh tubuh Arum dan memeluknya. Lalu ia memejamkan mata, dan akhirnya terlelap bersama.
* * *
Terbukti penawaran sang ibu untuk tinggal di rumah beliau saat Pram pulang malam, sangat bermanfaat bagi Pram. Karena ternyata pekerjaannya memang makin sibuk dan ia makin sering pulang malam. Meski awalnya Pram mengatakan bahwa ia hanya akan menginap di rumah ibunya jika pulang selewat jam 9 malam, nyatanya saat pulang jam 7 malampun Pram lebih memilih pulang ke rumah ibunya. Bukan karena tidak rindu atau khawatir pada anak istrinya yang sendirian di rumah, tapi memang karena Pram malas menyetir jauh setelah seharian lelah bekerja. Lebih nyaman untuk pulang ke rumah ibunya dan agar bisa segera beristirahat.
"Udah nikah dan punya istri, tapi yang nyiapin makan tetep Mama," sindir Mama, suatu malam, ketika menemani Pram makan. "
"Maaf ya Ma. Mama jadi repot," jawab Pram, merasa tidak enak hati, karena terlalu sering menginap di rumah Mama.
"Mama tuh nggak nyalahin kamu, Pram. Mama ngerti kamu capek kerja seharian dan pengen cepat istirahat. Lagian Mama malah senang kalau anak Mama sering main kesini," kata Mama. "Mama cuma kasihan aja sama kamu. Punya istri, tapi nggak diurusin istri. Berasa kayak bujangan lagi."
"Ya gimana lagi, Ma. Risiko kalau rumahnya jauh ya gini."
"Padahal cuma Jakarta-Depok ya. Tapi berasa LDM jauh banget," kata sang ibu. "Daripada begini terus, ajak aja istrimu tinggal disini."
"Pram udah kepikiran sih Ma, mau beli rumah di Jakarta. Biar Pram sekeluarga bisa tinggal sama-sama di Jakarta. Tapi uang Pram belum cukup buat beli rumah di Jakarta. Masih ada cicilan mobil juga."
"Serius kamu nggak punya uang?" tanya Prisa, yang ikutan nimbrung obrolan mereka di meja makan. "Dulu kamu kerja 6 tahun pas belum nikah, bisa renov rumah ini dan ngajak Papa Mama umroh. Lha ini udah nikah 4 tahun belum ada tabungan juga buat nyicil rumah disini? Bukannya gaji kamu tambah gede? Itu uang dihabisin semua sama Arum?"
"Nggak gitu, Kak. Emang kebutuhan rumah tangga kan besar."
"Arum juga kayaknya gajinya gede kan? Apa karena itu, dia jadi nggak biasa hemat ya?" tanya Prisa. "Kalau aku kan cuma staf admin biasa, gajinya kecil. Makanya biasa ngirit. Kalau Arum, karena gajinya gede, jadi nggak biasa ngirit ya? Itu aku lihat dia beliin Patra buku-buku premium. Padahal buat apa? Patra kan belum bisa baca. Dibeliin buku murah aja bisa kan. Dia juga suka beli mainan edukasi kan buat Patra? Aku aja cuma beliin anakku mainan murah, demi ngirit. Istrimu kayaknya nggak bisa diajak hidup prihatin ya Pram?"
" Oiya, susunya Patra juga yang mahal kan?" imbuh sang ibu." Udah nggak bisa ngasih ASI, malah pilih sufor yang mahal. Padahal kakakmu beliin susu biasa aja buat anaknya, ya anaknya tetep sehat kok. Popoknya Patra juga yang mahal, karena katanya gampang ruam. Vaksinasi juga nggak mau yang gratisan di Puskesmas. Gaya hidup istrimu itu lho, agak hedon ya? Makanya kamu nggak bisa nabung, gara-gara habis buat kebutuhan rumah tangga yang sebenarnya nggak perlu ya?"
Pram juga sebenarnya pernah mempertanyakan hal yang sama pada Arum, mengapa ia selalu memberikan yang mahal untuk Patra. Tapi Arum selalu punya alasan.
"Aku udah nggak bisa ngasih ASI full buat Patra, Mas. Susu yang ini kandungannya lebih menyerupai kandungan ASI dan less sugar, jadi berat bada anak naik memang karena proteinnya tinggi, bukan karena kandungan gulanya tinggi. Susu yang lebih murah itu, kandungan gulanya tinggi."
"Kalau dilihat sekilas, harga bukunya emang mahal Mas. Tapi ini board book. Ga bakal bisa dirobek Patra. Awet. Jadi nggak usah beli buku lagi buat adiknya Patra."
Begitu juga alasan lain jika Arum ingin membeli mainan-mainan edukasi untuk Patra. Dan setelah beragumen begitu, biasanya Arum menggunakan kalimat saktinya,"Yaudah kalau Mas nggak mau beliin. Aku beli pakai uangku sendiri aja."
Kalau sudah begitu, Pram akan merasa menjadi suami dan ayah yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya iapun mengabulkan keinginan Arum untuk membeli barang-barang premium tersebut.
Tapi jika dipikir-pikir lagi sekarang, benar juga kata Mama dan Kak Prisa. Barangkali dirinya selama ini terlalu konsumtif sehingga meski telah 4 tahun menikah dan istrinya wanita pekerja, ia belum memiliki tabungan yang cukup untuk membeli rumah.
"Eh, tapi kamu kan PNS, Pram. SK PNSmu bisa dijadikan jaminan untuk pinjam uang ke bank, untuk beli rumah kan?" usul Mama kemudian.
Pram pikir, ide itu baik juga untuk dipertimbangkan.
* * *
Setelah seminggu bekerja keras, dan kadang tidak pulang ke rumah, Pram memanfaatkan Sabtu dan Minggu untuk bermain dengan Patra. Jadi pagi itu, Pram mengajak Patra bermain di taman dekat rumah mereka, selagi Arum menyiapkan sarapan. Ketika matahari meninggi dan perut mulai terasa lapar, barulah Pram dan Patra kembali ke rumah.
Sarapan nasi kuning sudah terhidang di meja makan, dan mereka sarapan bersama. Sepanjang makan bersama, Patra asik bercerita pada Arum tentang kegiatannya bersama sang ayah pagi ini. Pram menghabiskan sarapannya sambil tersenyum. Bangga melihat dan mendengar celoteh anaknya.
Kata orang, biasanya anak lelaki lebih lambat bicara, tapi Patra tidak mengalami hal itu. Di usianya yang baru 2.5 tahun, tumbuh kembangnya cukup baik. Motorik kasar dan motorik halusnya berkembang baik. Patra anak yang cukup aktif. Iapun sudah bisa bercerita dengan kata-kata pendek. Kosa katanya sudah cukup banyak, meski beberapa kata lafalnya belum terlalu jelas.
Selesai sarapan, Patra mandi bersama Bu Ida, pengasuhnya. Pram pun mengambil handuk dan hendak melangkah ke kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Saat itulah Arum yang sedang duduk di ranjang, memanggilnya.
"Tadi ada WA dari Mama. Aku nggak sengaja lihat pop-up message di HP Mas," kata Arum.
Melihat ekspresi Arum, tiba-tiba saja Pram merasa tidak enak.
"Transferan Mas buat Mama, naik ya?"
"Eh? Itu..."
"Mas belum sempat bilang sama aku, atau memang nggak berencana ngasih tahu aku?"
Sejak awal pernikahan, mereka sudah sepakat untuk saling terbuka. Tidak ada password ponsel yang mereka tidak saling tahu. Dan semua keputusan harus dibicarakan bersama. Jadi sejak awal, Arum sudah tahu, berapa uang bulanan yang Pram berikan untuk ibunya. Tapi pagi ini, ketika melihat riwayat pesan antara Pram dan ibunya, Arum menemukan bahwa besaran uang bulanan Pram untuk ibunya sudah bertambah.
"Emmm, Rum... kan aku sering nginep di rumah Mama. Ikut makan dan pakai listrik disana. Nggak enak kalau nggak nambahin," kata Pram memberi penjelasan.
"Itu juga aku tahu, Mas. Kalau kamu numpang tinggal disana ya memang sepantasnya kamu nambahin uang buat Mama," kata Arum. "Tapi kenapa nggak pernah bilang ke aku, Mas? Kenapa terkesan sembunyi-sembunyi?"
"Aku nggak diam-diam___"
"Apa karena Mas nambahin uang bulanan 2x lipat?"
Pram merasa terpojok dengan pertanyaan itu. Memang apa salahnya jika ia memberi tambahan uang bulanan untuk ibunya sendiri?
"Uang segitu, lebih dari cukup untuk hidup Mama, bahkan termasuk Kak Prisa dan anaknya. Jadi Mas sekarang menanggung kehidupan sehari-hari Kak Prisa juga?"
"Apa salahnya Rum? Mama janda, setelah Papa meninggal. Kak Prisa juga janda, setelah cerai dari suaminya. Anak laki-laki punya tanggung jawab terhadap ibu dan saudara perempuannya kan?"
"Aku nggak masalah kalau Mas ngasih Mama. Itu kewajiban Mas. Tapi Kak Prisa dan anaknya? Anak itu masih punya bapak. Bapaknya masih hidup. Jadi anak itu tanggung jawab bapaknya."
"Tapi kan kamu tahu, mantannya Kak Prisa itu brengsek dan nggak bertanggung jawab. Aku kasihan sama Kak Prisa."
"Tapi Kak Prisa masih muda dan masih bekerja, Mas. Kalau bantu sesekali aja nggak apa-apa. Tapi kalau tiap bulan kamu yang nanggung biaya hidupnya, itu berlebihan."
"Kok kamu jadi perhitungan sih Rum? Terserah aku dong kalau mau ngasih Mama dan kakakku. Toh semua kebutuhan rumah ini masih bisa terpenuhi. Aku nggak lupa tanggung jawabku sama kamu dan Patra. Iya kan?"
"Oh ya?" Arum balik bertanya. "Beberapa bulan lalu, anaknya Kak Prisa masuk TK, uang masuknya minta sama kamu. Dua tahun lagi Patra masuk TK, kamu udah nyiapin tabungan belum untuk uang sekolah Patra?"
"Itu kan masih lama, Rum. Pasti nanti ada uangnya. Tenang aja."
"Dua tahun lagi, pas Patra masuk TK, anak Kak Prisa masuk SD. Dia akan minta uang lagi sama Mas kan? Siapa yang akan Mas prioritaskan? Patra, yang tanggung jawab Mas, atau keponakan kamu?"
"Arum!"
"Kemarin, karena pengeluaran mobil yang membengkak karena keluargamu minta jalan-jalan terus, aku yang beli susu dan popok Patra. Nanti demi keponakan kamu yang mau masuk SD, harus aku yang bayar uang masuk TKnya Patra?!"
"ARUM!!"
Patra mengepalkan tangan. Menahan diri agar tidak sampai memukul perempuan di hadapannya ini.
Dia tidak menyangka gadis manis yang memikat hatinya ini dulu, kini berubah menjadi perempuan yang perhitungan dan sombong. Mentang-mentang dirinya bekerja dan tidak bergantung pada Pram, Arum jadi sombong dan memandang rendah kakaknya yang karirnya tidak sebaik dirinya.
* * *
Udah lama ya ga update cerita.
Udah pada lupa belum sama cerita ini?
Semoga puas baca dan puas misuh2nya ya Kak. Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top