PRAM - 2
Halo Kak!
Lama nggak ketemu! Ada yg kangen ga? Hehehe.
Seminggu lalu saya lg sakit n byk kerjaan. Jd ga sempet nulis2.
* * *
Btw, terkait info di bab sebelumnya ttg imunisasi, bulan Augustus ini adl Bulan Imunisasi Nasional lho. Hayooo yg anaknya blm diimunisasi, bisa imunisasi gratis di Puskesmas lho utk imuninasi wajib (BCG, DTP, HepB, Hib, Polio).
PCV skrg jg katanya gratis lho. Vaksinasi PCV (Pneumococcus) yg mencegah pneumonia bisa menurunkan angka keparahan andaipun terinfeksi SARS-Cov2 lho.
Oiya, sebenarnya hampir semua jenis vaksin berisiko menimbulkan demam. Itu merupakan bagian dari KIPI (kejadian ikutan pasca imunisasi) yg tdk dpt dihindari. Tergantung dr invidu yg divaksin jg. Namun, bbrp jenis vaksin risikonya lbh besar menyebabkan demam dibanding jenis vaksin yang lain.
Salah satu jenis vaksin yg prevalensi menyebabkan demam tinggi adl vaksin DTwP. Setidaknya 75% anak yg menerima vaksin ini akan mengalami demam. Hal ini krn vaksin tsb mengandung whole cell Pertusis, seluruh bagian tubuh dr kuman Pertusis yg sdh dilemahkan, shg memicu reaksi tubuh yg lbh banyak.
Sementara itu, jenis vaksin lain yaitu DTaP mengandung aseluler Pertusis, hanya mengandung antigen Pertusis tertentu saja yg dapat memicu imun tubuh, sehingga efek samping lain spt demam jarang terjadi. Namun masih ada kemungkinan 10% anak yg menerima vaksinasi ini akan mengalami demam. 90% lainnya biasanya ga demam, palingan sumeng2 aja.
Nah, biasanya ibu2 menyebut kedua vaksin ini sebagai "vaksin yg bikin demam" dan "vaksin yg ga bikin demam".
Diperlukan teknologi khusus untuk mendapatkan antigen yg memicu reaksi imun saja, sehingga harga DTaP lebih mahal drpd DTwP. Itu mengapa, vaksin DTaP tidak mendapat subsidi pemerintah, sehingga tidak bisa diperoleh gratis di Puskesmas/Posyandu.
Nah, smg skrg sudah lebih jelas, dan Kakak2 ga ragu lagi untuk membawa anak2nya imunisasi.
Jadwal vaksin DTwP biasanya pd usia bayi 2, 3 dan 4 bulan. Sementara DTaP diberikan saat bayi berusia 2, 4, dan 6 bulan. Nanti ada booster lg saat 18 bulan sih.
Bagi yg terlewat, ga apa2, tetep bisa catch-up vaksinasi kok. Konsul aja ke dokter/ bidan ya Kak 😘😘
* * *
Tidak lama setelah menyelesaikan studi magisternya dan kembali bekerja di instansinya, Pram mendapatkan promosi jabatan. Seiring dengan itu, tentu saja seluruh tunjangan kembali diterimanya, ditambah dengan tunjangan jabatan yang baru yang lebih besar. Finansial keluarga kecil Pram dan Arum perlahan membaik. Jika selama masa studinya Pram tidak bisa mentransfer uang bulanan terlalu banyak pada ibunya, dan tidak leluasa meminjamkan uang untuk kakak perempuannya, kini ia kembali bisa berbakti sepenuhnya pada ibu dan kakaknya.
Arumpun tidak perlu lagi seketat sebelumnya dalam hal pengelolaan keuangan. Jika sebelumnya gaji Arum dialokasikan untuk sebagian kebutuhan rumah tangga juga, kini tidak lagi. Kebutuhan keluarga kini sudah kembali diatur oleh Pram dan dapat tercukupi sepenuhnya oleh sang kepala keluarga. Gaji Arum hanya dialokasikan untuk mencicil rumah yang memang ia beli atas namanya, untuk gaji Bu Ida (pengasuh Patra), untuk uang bulanan orang tuanya, dan sisanya dapat ia tabung.
Seiring kenaikan jabatannya, Pram memutuskan untuk membeli mobil. Ini termasuk salah satu tuntutan jabatan. Di jabatan barunya saat ini, pekerjaannya menuntut mobilitas tinggi dan pertemuan dengan orang-orang penting, baik dari Kementerian maupun banyak pihak lainnya. Tidak mungkin ia masih pulang-pergi dari Depok ke kantornya dengan KRL Bogor-Jakarta. Jika sewaktu-waktu ada rapat di luar kantor, ia tidak mungkin naik motor atau ojek online kemana-mana kan? Karena adanya mobil memang dibutuhkan untuk menunjang pekerjaan dan jabatannya, maka membeli mobil bagi Pram saat ini adalah kebutuhan primer, bukan lagi kebutuhan tersier. Itu mengapa Pram berani memutuskan untuk membeli mobil.
Pram pikir, Arum pasti akan ikut senang dengan keputusannya untuk membeli mobil. Selama ini mereka hanya memiliki motor sebagai kendaraan, sementara hampir semua tetangga mereka di perumahan tersebut memiliki mobil. Jika kini Pram membeli mobil, tentu saja bukan hanya dapat digunakan untuk menunjang pekerjaannya, tapi juga dapat meningkatkan derajat keluarganya di mata para tetangga. Itu mengapa, ketika ternyata Arum terlihat kurang mendukung, Pram jadi bingung. Biasanya justru perempuan kan yang suka membanding-bandingkan barang-barang yang mereka miliki, jadi bukannya harusnya Arum ikut senang dan bangga kalau akhirnya keluarga mereka punya mobil juga, seperti para tetangga?
"Bukannya nggak setuju sama rencana Mas," kata Arum, ketika Pram bertanya mengapa perempuan itu tampak tidak mendukung. "Aku mah dukung aja, Mas. Tapi... apa iya, kita butuh mobil semahal itu? Mobil yang kamu mau itu emang keren sih, tapi agak boros bensin nggak sih Mas? Apa nggak lebih baik kalau beli mobil second atau jenis lain yang lebih murah? Yang penting kan bisa dipakai untuk Mas kerja kan?"
"Tapi jenis mobil yang lebih murah itu cuma ada 5 seat, Sayang," kata Pram.
"Trus kenapa? Cukup kan untuk kita bertiga?"
"Nanti kalau ada adik-adiknya Patra?"
"Masih cukup."
"Kalau kita mau ngajak Mama, Kak Prisa dan anaknya, gimana?" tanya Pram. "Aku tuh udah mikir jauh ke depan, Sayang. Makanya sekalian beli mobil 7 seat. Supaya bisa buat jalan-jalan keluarga."
"Mobil 7 seat juga banyak yang second, Mas. Lebih murah."
"Mobil second itu, kita harus lebih hati-hati belinya. Khawatir kondisinya udah kurang di sana-sini. Lebih terjamin beli baru lah, Rum."
"Iya sih, Mas. Tapi..."
"Kamu nggak usah khawatir. Aku udah ngitung kok. Mobil yang mau aku beli ini, cicilannya cuma sepertiga gajiku. Masih ada dua pertiga untuk biaya hidup kita."
"Tapi kalau beli mobil tuh, bukan cuma ngitung cicilannya aja Mas. Akan ada biaya perawatan, servis rutin, bensin. Perhitungan besaran cicilan maksimal sepertiga gaji itu udah nggak relevan lagi, Mas."
"Udah, tenang aja. Aku pasti bisa menyelesaikan cicilannya tanpa mengganggu alokasi keuangan keluarga kita selama ini."
"Termasuk untuk nabung, untuk sekolah Patra nanti?"
"Patra belum juga 2 tahun. Masih ada waktu untuk nabung."
Arum tampak sudah hampir membuka mulutnya kembali. Tapi Pram dengan cepat mencium bibir itu.
"Nggak usah terlalu khawatir, Sayang. Percaya sama aku. Ya?" putus Pram, sambil tersenyum manis.
* * *
Sesuai dugaan Pram, ibunya tampak bahagia sekali ketika suatu hari Pram berkunjung ke rumah sang ibu, bersama dengan Arum dan Patra, dengan mengendarai mobil.
Meski bukan dari keluarga yang sangat miskin, keluarga Pram juga bukan keluarga kaya raya. Mendiang sang ayah adalah guru SMA. Meski gajinya tidak kecil-kecil amat, tapi dengan istri yang tidak bekerja dan harus membiayai kedua anaknya, membuat mereka sekeluarga hidup sederhana. Kendaraan pribadi yang selama ini keluarga mereka miliki hanyalah motor. Sehingga ketika Pram berhasil membeli mobil, itu adalah suatu kebanggaan bagi sang ibu. Itu artinya, beliau berhasil membesarkan anaknya hingga dapat sukses dalam karir dan memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding diri beliau sendiri dulu.
Pram senang karena sudah berhasil membuat ibunya bangga dengan pencapaiannya. Terlebih, sesuai rencana Pram, dengan membeli mobil tersebut, bukan hanya mobilitasnya menjadi lebih mudah saat ia harus rapat di luar kantor, tapi juga bisa membantu ibunya. Jika sang ibu ada keperluan, kondangan atau ingin berpergian, kini Pram dapat menggunakan mobil tersebut untuk menjemput dan mengantar ibunya. Memang agak repot sih karena rumahnya di Depok, sementara rumah ibunya di Jakarta Pusat. Namun sebagai anak lelaki satu-satunya yang harus berbakti pada sang ibu, masa mengantar-jemput begitu saja sudah protes. Itu kan cuma Depok-Jakarta, tidak terlalu jauh.
* * *
Sebelum membeli mobil tersebut, Pram sudah mempertimbangkan besaran cicilan, perkiraan biaya bensin, dan servis rutin. Namun ternyata setelah dijalani, benar adanya uang gajinya jadi lebih cepat habis setelah ia memiliki mobil tersebut. Sebulan, dua bulan pertama, Pram masih bisa mengandalkan tabungannya untuk menutupi kekurangan di bulan ini. Namun Pram tahu tidak bisa selamanya seperti ini.
Pram sadar, salah satu penyebabnya karena ibunya sering memintanya mengantar-jemput beliau saat akhir pekan, untuk kondangan atau sekedar berpergian. Perjalanan Depok-Jakarta memang tidak jauh sekali, tapi juga tidak bisa dibilang dekat, sehingga menghabiskan cukup banyak bensin. Meski demikian, ia tidak mungkin menolak permintaan ibunya kan? Ini kan sekedar antar-jemput. Dulu saat ia masih kecil, sang ibu akan mengusahakan apapun permintaannya. Jadi sudah seharusnya sekarang ia membalas budi pada ibunya kan?
Untuk mengatasi defisit keuangan yang ia alami, suatu ketika Pram meminta maaf dan meminta ijin pada ibunya karena ia tidak bisa mentransfer uang bulanan sebesar yang biasanya.
"Pram lagi banyak pengeluaran, Ma. Maaf ya Ma, belum bisa transfer seperti biasanya," kata Pram hati-hati. Tentu saja ia tidak menyebutkan alasan sebenarnya mengapa pengeluarannya belakangan ini banyak. Khawatir ibunya tersinggung.
Untungnya ibunya adalah wanita yang pengertian. Dengan senyum kecilnya, beliau menjawab, "Iya, nggak apa-apa. Meski Mama nggak kerja, Mama masih dapet uang pensiun almarhum Papa kok. Selama ini Mama juga udah biasa ngatur uang yang pas-pasan. Tetap bisa hidup kok. Kamu nggak usah mikirin Mama, Pram. Yang penting kamu dan keluarga kamu cukup."
Pram merasa terenyuh. Terbersit rasa bersalah juga di hatinya. Berkurangnya uang bulanan untuk ibunya menyebabkan sang ibu yang hanya janda pensiunan guru harus berhemat ketat untuk kebutuhan hidup. Betapa sedihnya. Meski demikian, Pram tidak punya solusi lain. Biaya hidup keluarga kecilnya sendiri juga banyak.
"Makasih ya Ma, udah maklum sama keadaan Pram."
Sang ibu mengangguk, tetap dengan senyumnya. Beliau menepuk-nepuk lengan Pram. "Beda jaman, beda gaya hidup. Dulu, karena Mama fokus di rumah aja, Mama bisa menyusui Kak Prisa dan kamu sampai 2 tahun penuh. Jadi Papa nggak perlu mengeluarkan uang untuk beli susu formula. Kalau sekarang, mungkin Arum nggak bisa mengatasi stres pekerjaan di kantornya. Jadi ASInya dikit, dan jadi harus ditambah susu formula.
Dulu juga kalian berdua pakai popok kain aja cukup. Ya memang agak repot gonta-ganti popok, ngepel ompol dan nyuci baju terus. Tapi ya risiko punya anak ya. Kalau sekarang kan Arum kerja, jadi nggak bisa telaten kalau anak pakai popok kain kan. Ya jadinya harus ada pengeluaran untuk diaper.
Tapi ya itu kan risiko wanita bekerja ya. Ada biaya-biaya ekstra yang harus dikeluarkan sebagai kompensasi tidak bisa mengerjakan tanggung jawabnya di rumah. Tapi di sisi lain, dengan Arum bekerja, kan dia juga ikut menanggung biaya rumah tangga bersama kan?
Kalau dulu, Mama sepenuhnya bergantung sama gaji Papa. Jadi Mama yang pinter-pinter berhemat sana-sini. Kalau sekarang Arum mungkin nggak bisa sehemat Mama karena di bekerja, tapi dia mengkompensasinya dengan berbagi tanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga kan? Bukan kamu semua yang nanggung kan?"
* * *
Kalau dipikir-pikir lagi, perkataan ibunya ada benarnya juga. Biaya susu formula dan biaya popok hanya dua diantara biaya-biaya yang timbul akibat Arum bekerja di luar rumah. Andai Arum menjadi ibu rumah tangga seperti ibunya, tentu Arum tidak stres bekerja dan ASInya bisa lancar, sehingga tidak perlu ada biaya susu formula tiap bulan. Andai Arum di rumah, tentu Patra bisa menggunakan popok kain saja karena Arum bisa telaten merawat Patra jika ia mengompol. Andai Arum merawat Patra sendiri, tentu tidak perlu menggaji Bu Ida untuk mengasuh Patra dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Ada banyak biaya yang bisa dihemat jika Arum tidak bekerja di luar rumah.
Jadi kalau sekarang Pram sudah mengijinkan Arum tetap bekerja, bukankah seperti kata ibunya, sudah sewajarnya jika mereka berbagi beban kebutuhan rumah tangga dengan sama banyaknya? Kalau bukan karena ijin Pram sebagi suami, Arum juga tidak bisa bekerja kan?
Setelah memikirkan dan merencanakan selama beberapa hari, akhirnya Pram memutuskan untuk bicara pada Arum. Ia meminta tolong pada Arum untuk menanggung pengeluaran susu formula dan diaper Patra, karena gaji Pram tidak cukup untuk keluarga mereka.
"Jabatan Mas naik. Gaji dan tunjangan naik. Tapi kenapa malah nggak cukup, Mas?" tanya Arum, dengan dahi berkernyit. "Biaya bensin banyak ya Mas? Karena sering rapat di luar kantor atau karena sering pergi pas akhir pekan juga?"
Pram sudah menahan diri untuk tidak menyindir Arum, bahwa susu formula dan diaper adalah biaya yang memang sudah seharusnya ditanggung Arum, karena itu adalah efek samping dari pekerjaannya sehingga tidak bisa sempurna sebagai ibu. Sehingga memang sudah seharusnya Arum yang mengeluarkan uang untuk kedua hal tersebut. Tapi kenapa sekarang Arum yang seolah balik menyalahkan ibu Pram dan minta pertanggungjawaban Pram?
Mungkin benar kata orang, saat kondisi finansial pria meningkat, biasanya si istri akan lebih menuntut. Apakah sekarang Arum sudah menjadi perempuan seperti itu?
* * *
Siapa Kakak2 yg masih berpatokan bahwa asal gaji kita 3x cicilan mobil, maka kita bisa membeli mobil seharga demikian?
Have a nice Sunday, Kakak2!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top