PRAM - 15
"Emang lagi musim anak-anak sakit ya. Dua minggu lalu anak saya yang sakit," ucap Pak Bagas, menanggapi cerita Pram tentang Patra yang sakit.
"Iya Pak. Sama. Pas saya berangkat ini, anak saya juga lagi sakit," imbuh wanita yang duduk di sampingnya.
"Sakit batuk-pilek juga, Ris?"
"Pilek-demam, Pak," jawab wanita bernama Riska itu. "Tapi sekarang udah sembuh sih Pak. Cuma agak rewel pas kemarin saya mau berangkat aja."
Pak Bagas terkekeh. "Untung suami kamu nggak nyuruh kamu batalin keberangkatan karena anak rewel, Ris. Kalau bapak-bapak lain, mungkin nggak ngijinin istrinya tugas luar kota kalau anaknya lagi sakit gitu."
Pram yang mendengar percakapan Pak Bagas dan Riska, mengamini dalam hati. Dulu juga Arum pernah membatalkan tugas luar kota karena Pram melarangnya pergi. Saat itu Patra sedang agak demam, sehingga merajuk dan menangis saat Arum pergi.
Riska ikut terkekeh. "Waktu saya mau berangkat, demamnya udah reda kok Pak. Tinggal pilek sedikit. Rewelnya masih bisa lah dihandle bapaknya," jawabnya.
"Untung udah rada reda sakitnya ya Mbak, jadi Mbak bisa pergi," Pram menimpali.
"Tapi waktu itu, pernah anak saya lagi baru mulai demam gitu, pas saya ditugasin ke Malaysia. Suami saya tetep nyuruh saya pergi aja. Anak lagi rewel-rewelnya, tapi suami tetep bisa handle."
"Wah hebat suaminya, Mbak!"
"Alhamdulillah, Pram. Suami saya support banget," kata Riska sambil tersenyum. "Dia nggak pernah melarang saya pergi kalau untuk urusan kerjaan. Minta ijinnya cukup sekali, sebelum nikah. Setelah nikah, saya cukup ngasih info aja kalau mau tugas ke luar kota."
"Maksudnya gimana Mbak, minta ijin sekali aja, sebelum nikah?"
"Maksudnya, sebelum nikah dulu, saya udah bilang ke calon suami, bahwa saya pengen terus kerja. Orangtua saya sudah nggak kerja, jadi saya juga pengen berbakti ke orangtua saya tanpa harus minta-minta uang suami. Lagian, suami saya kan bukan Ardi Bakrie yang uangnya nggak abis-abis meski buat membiayai keluarga mertuanya sekaligus. Hehehe. Nah, saat itu dia setuju saya terus bekerja.
Alhamdulillah, itu bukan sekedar omong kosong doang. Saat dia mengijinkan saya terus bekerja, saat itu juga dia udah mempersiapkan diri untuk merawat anak bersama. Kalau lagi lebaran nggak ada ART, kami berbagi kerjaan rumah tangga bersama. Dia juga nggak pernah melarang saya kerja kemanapun. Asal saya ngasih tahu, pergi kemana, kerjaannya apa, sama siapa aja.
Beruntung banget sih saya nikah sama suami saya. Apalagi pas membandingkan sama Anita. Duh, kasihan dia. Saya dan Anita kan masuk CPNSnya barengan disini. Tapi karirnya gitu-gitu aja karena nggak didukung suami. Katanya sih pas mau nikah, suaminya udah ngijinin Anita tetep kerja. Tapi setelah nikah, aktualnya suaminya nggak mendukung Anita bekerja. Semua tentang anak, urusan Anita. Suaminya ga mau bantu. Anak sakit, anak ambil rapor, ART mudik dan anak nggak ada yang jaga, semuanya Anita yang harus cuti. Anita juga nggak pernah boleh tugas luar kota karena katanya anak-anak rewel kalau nggak ada ibunya. Ya emang anak pasti rewel kalau nggak ada ibunya lah. Makanya di saat seperti itu ayah harus berperan kan. Lha kalau semuanya tugas ibu, berarti itu cuma anak ibu kan? Trus laki-laki sudah merasa menjadi seorang ayah hanya hanya dengan mendonorkan sperma dan ngasih uang bulanan aja?
Kasihan Anita. Ya gimana karir mau berkembang kalau gitu. Itu sih omong kosong banget suaminya ngijinin Anita kerja. Secara perilaku, sama sekali nggak menunjukkan ngasih ijin dan dukungan kok."
Pak Bagas terkekeh mendengar anak buahnya itu bicara dengan berapi-api.
"Wah, wah! Yang kayak kamu ini, kalau dulu calon suami kamu nggak ngijinin kamu lanjut kerja, gimana Ris?" tanya Pak Bagas.
"Ya saya nggak mau nikah sama dia, Pak!" jawab Riska tegas. "Istri kan harus dapet ijin suami kalau mau keluar rumah. Nah, mumpung belum nikah, ya saya nyari suami yang bakal ngijinin saya kerja lah. Daripada nanti saya jadi istri durhaka kalau pergi tanpa ijin suami kan. Mending cari laki-laki yang nggak bikin saya jadi istri durhaka."
"Wah, tegas juga kamu ya Ris."
"Iya lah Pak. Ini kan hidup saya. Ngapain saya hidup bersama laki-laki, tapi berasa kayak hidup sendiri. Anak berdua, tapi ngurus sendiri. Rumah berdua, tapi ngurus sendiri. Apa fungsinya suami coba kalau gitu? Cuma buat nambah-nambahin beban hidup doang. Laki-laki tuh harus konsekuen. Kalau nggak mau istrinya kerja di luar rumah, ya semua kebutuhan, termasuk kebutuhan orangtua si istri, ya dia harus bisa nanggung. Kalau pengennya istri nggak kerja, tapi dia sendiri nggak bisa ngasih ke mertua dengan layak, itu namanya banyak gaya!
Saya sering bilang tuh ke Anita. Kenalin tuh suami lu sama Pak Bagas. Pak Bagas yang jabatannya tinggi aja mau berbagi peran ngurusin anak. Laki lu yang gajinya segitu doang, sombong bener, semuanya minta dilayanin dan nggak mau bantuin. Gemes saya Pak, ngelihat nasibnya Anita. Pak Bagas tahu sendiri kan, dia kerjanya bagus. Cuma karena sial aja dapet suami kayak gitu, karirnya jadi mandek."
Pram menelan ludah berkali-kali mendengarkan Riska yang bercerita dengan berapi-api. Sementara Pak Bagas tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ini Pak Bagas dan Mbak Riska sedang membicarakan tentang Anita dan suaminya kan? Bukan sedang menyindir Pram kan?
* * *
"Kamu tuh bisa tetep kerja karena aku ijinin. Harusnya kamu berterima kasih sama aku karena aku ijinin kerja"
Pernah denger laki-laki ngomong begitu? Saya pernah. Rasanya pengen saya sumpel mulutnya pakai obat wasir.
Untung bukan suami saya yg ngomong gitu. Krn kalau suami saya sampai ngomong begitu, bakal langsung saya bales, "Kalau dari awal kamu nggak ngijinin saya kerja, saya yang nggak mau kawin sama kamu!"
Mari kita ingat kata Pak Bagas kesayangan kita semua, "Perempuan, meski tidak berambisi dalam karir, tetap memiliki hak yang sama, dan harusnya diberikan kesempatan yang sama untuk meniti karir."
* * *
Bab ini sudah pernah diunggah utuh disini, tapi saat ini sudah dihapus sebagian. Jika Kakak2 ingin membaca versi full, Kakak2 bisa cari cerita PRAM Bab 14-17 ini di KaryaKarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top