PRAM - 13
Gimana rasanya baca bab kemarin Kak? Gumush ga? Hahaha.
Sebelum mulai bab ini, saya mau klarifikasi dulu ah. Terkait cerita di bab sebelumnya, bukan karena saya anti terhadap MLM. Yg mau saya tekankan pada bab sebelumnya adalah bahwa kita perlu waspada pada produk2 yg diklaim sbg produk kesehatan, pdhl ga ada bukti kesehatan.
Nah, soal MLM sendiri, saya krg tahu sih ya hukumnya dlm Islam. Tapi saya sendiri sebenarnya sering membeli kosmetik atau buku anak dari perusahaan yg memasarkan produknya secara MLM. Jadi saya ga anti thd sistem penjualan spt ini, asalkan ga maksa saya join jadi member dan asalkan produknya memang produk bermutu (ga tipu2) dan saya perlukan.
* * *
Salah satu kebiasan ibu-ibu komplek yang dibenci bapak-bapak seperti Pram adalah belanja sayur sambil ngerumpi. Pertama, ibu-ibu bisa menghabiskan waktu lama di tukang sayur, lebih lama untuk ngerumpi dibanding untuk milih sayuran. Kedua, gara-gara rumpian di tukang sayur bisa mengakibatkan perpecahan dalam rumah tangga. Misal si istri mendengar gosip perselingkuhan yang terjadi pada artis atau tetangga mereka, tidak jarang ketika pulang ke rumah, sang istri tiba-tiba bertanya, "Pah, kamu selingkuh ya?" Drama sekali kan!
Pram merasa beruntung karena Arum adalah ibu pekerja, sehingga hanya terjebak pada rutinitas "ghibah di tukang sayur" itu di akhir pekan. Lagipula, pada dasarnya Arum memang tidak suka terlibat rumpian ibu-ibu. Istrinya itu hanya beramah-tamah dan menjaga hubungan baik dengan tetangga.
Pram pikir, karena hanya tiap akhir pekan Arum terlibat kegiatan tersebut, maka Arum tidak akan seperti ibu-ibu lain yang terpengaruh oleh gosip. Nyatanya, di hari Minggu pagi itu, Arum pulang berbelanja dengan wajah penuh amarah.
Pram mengira Arum akan menyemburkan pertanyaan "Mas, kamu selingkuh ya?" gara-gara terpengaruh gosip artis selingkuh akhir-akhir ini. Tapi yang ditanyakan Arum lebih menyeramkan.
"Mas, kamu mau jual rumah ini?!" tanya Arum, dengan ekspresi wajah yang sudah jelas akan meledakkan amarah. "Aku tadi ditanyain sama Bu Romlah, kenapa rumah ini mau dijual. Katanya dia denger dari Mama, yang nawar-nawarin tetangga dan kenalannya buat beli rumah ini. Kata Bu Romlah, malah udah diiklanin di situs jual beli rumah. Ini maksudnya apa Mas? Kenapa aku malah nggak tahu apa-apa?"
Wajar saja sih kalau Arum marah. Istri mana yang tidak akan marah jika justru mendengar berita seperti ini dari tetangganya, bukan dari suaminya sendiri. Tapi sebenarnya bukannya Pram bermaksud menyembunyikan hal tersebut dari Arum. Ia sendiri belum setuju untuk menjual rumah ini dan masih terus membujuk Mama dan Prisa untuk membatalkan rencana tersebut.
"Kasih waktu beberapa tahun lah Ma. Begitu utang Pram di bank untuk bangun rumah kemarin lunas, Pram akan bayar harga tanah Papa yang bagian Kak Prisa kok. Jadi nggak usah jual rumah itu ya Ma?" Pram masih membujuk Mama, beberapa hari lalu.
"Tapi Dinda masuk SD beberapa bulan lagi, Pram. Nggak bisa nunggu beberapa tahun lagi," celetuk Prisa. "Aku butuh uang itu segera, Pram. Kamu minjemin 3 juta aja buat modal aku usaha aja nggak bisa. Apalagi kalau minjemin 20 juta buat uang masuk SD Dinda, pasti nggak mau kan?"
"Bukannya nggak mau minjemin, Kak. Tapi bisnis kayak gitu tuh nggak bener. Kata Arum, produknya juga nggak bener. Kalau makin lama Kak Prisa di bisnis kayak gitu, malah nyusahin Kak Prisa aja nantinya," kata Pram, berusaha memberi pengertian pada kakaknya."Kalau mau nyari penghasilan sampingan, yang jelas-jelas aja lah Kak. Mending jualan atau jadi reseller baju, buku atau jilbab aja Kak. Jelas produknya, jelas modalnya, jelas labanya, jelas sistemnya. Nggak pakai iming-iming jalan-jalan ke luar negeri tapi disuruh beli produk yang kita nggak perlukan."
Prisa merengut."Udah lah Pram, nggak usah ngurusin bisnisku, yang jelas aku butuh uang buat pendaftaran SD Dinda. Kalau kamu nggak bisa minjemin, ya terpaksa aku minta bagian warisanku!"
"Kalau nggak mampu, kenapa maksain daftar ke SD itu sih Kak? Itu tuh bukan uang masuknya aja yang mahal. Nanti uang bulanan, uang seragam, uang buku dan lainnya juga mahal, Kak. Kalau di SD Negeri, kan bisa gratis Kak."
"Enak ya kamu ngomong gitu Pram!" ketus Prisa. "Bukan cuma kamu dan Arum yang pengen punya anak yang pinter kayak Patra dan disekolahin di sekolah bagus. Aku juga mau Dinda mendapat pendidikan terbaik."
"SD Negeri pun di Jakarta banyak yang bagus Kak. Nggak harus di sekolah mahal kalau pengin sekolah bagus."
"Kamu enak banget bisa ngomong gitu, karena kamu punya uang buat nyekolahin anakmu ke sekolah swasta yang mahal," Prisa kesal. "Udah lah nggak usah debat panjang-panjang. Yang jelas aku cuma minta hak ku sendiri dari warisan Papa. Ada hak ku dari tanah Papa itu lho Pram! Jangan dzolim kamu!"
"Astagfirullah Kak!" Pram membentak sambil beristighfar. "Siapa yang dzolim sih?! Ini sebenarnya aku lho yang dizholimi. Dulu aku disuruh bangun rumah disitu, aku pikir masalah warisan bisa diselesaikan bertahap. Toh kita keluarga. Aku nggak nyangka Kak Prisa dan Mama mendesak aku sekarang."
"Kalau kamu mau minjemin uang, Pram, keadaanku nggak akan terdesak dan nggak akan mendesak kamu kayak gini. Aku cuma memperjuangkan hakku!" Prisa bersikukuh.
"Ma, tolong dong," Pram akhirnya menoleh pada ibunya yang sedari tadi diam saja. "Pram bukannya nggak mau ngasih hak nya kak Prisa. Pram cuma perlu waktu untuk ngumpulin uang, Ma."
"Maaf Pram," kata Mama dengan wajah menyesal. "Kamu emangnya nggak bisa minjemin uang dua puluh lima juta gitu ke Prisa? Nggak mungkin kamu nggak punya simpanan segitu kan? Kalau kamu bisa minjemin, kan Prisa nggak akan terburu-buru butuh uang untuk pendaftaran Dinda sekolah."
"Bukannya nggak punya Ma. Tapi itu udah Pram masukin deposito pendidikan Patra. Nggak bisa diambil seenaknya seperti tabungan," Pram beralasan.
Padahal sebenarnya, kalau kepepet, deposito itu bisa saja dicairkan. Tapi memang Pram yang tidak mau meminjamkan uang lagi pada Prisa. Berdasarkan pengalamannya beberapa kali meminjamkan uang pada Prisa, belum ada yang dikembalikan. Jangankan pinjaman 5 juta, beberapa pinjaman sebelumnya yang ratusan ribu saja belum ada yang dikembalikan. Apalagi kalau meminjamkan uang 25 juta. Sudah pasti tidak akan dikembalikan kan.
"Arum kan pasti punya tabungan juga Pram. Bisa pinjam sama Arum dulu."
Pram meraup wajahnya dengan frustasi. Bukannya tidak tahu, Pram menyadari bahwa dirinya sudah banyak mengecewakan Arum perkara keluarganya ini. Jadi ia tidak mau menambah beban pikiran Arum lagi. Makanya ia tidak menceritakan masalah ini pada Arum.
Percakapan yang terjadi beberapa hari lalu tersebut belum juga menemukan titik temu dan kesepakatan antara Pram dan Prisa. Oleh karena itu Pram belum mengatakan apapun pada Arum. Siapa sangka Mama dan Prisa sudah bergerak lebih cepat dengan mengiklankan penjualan rumahnya, bahkan tanpa sepengetahuan Arum.
Kali itu Arum meninggalkan Patra di ruang tengah, membiarkan anaknya nonton TV, sementara ia menginterogasi suaminya. Pram berusaha menjelaskan situasinya pada Arum, meski hal itu tetap tidak bisa membuat Arum memaklumi kondisinya.
"Kan udah aku bilang dulu, status tanah ini harus diperjelas dulu!" kata Arum, marah. "Mas bilang, Mama dan Prisa nggak akan mempermasalahkan hal itu. Tapi lihat kan sekarang? Kelihatan semua aslinya mereka!"
Sejujurnya Pram merasa tersinggung saat Arum bicara seperti itu tentang ibu dan kakaknya. Arum bahkan tidak lagi memanggil "Kak" pada Prisa. Itu berarti istrinya telah hilang respek pada kakaknya. Tapi ia tidak bisa membela diri. Memang keluarganya ternyata semenyebalkan itu.
"Trus kalau udah kayak gini, Mas mau gimana?" tanya Arum.
"Aku masih coba nego Mama dan Kak Prisa terus, Rum," kata Pram. "Aku nggak nyangka mereka langsung mengiklankan rumah ini, bahkan sebelum aku setuju. Nanti aku coba ngomong lagi ke mereka."
Arum nampak membuka mulutnya, ingin melanjutkan amarahnya. Tapi kemudian ia mengatupkan bibirnya kembali, menahan amarahnya. Ia kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pram di kamar. Tentu saja dengan sebelumnya membanting pintu kamar mereka hingga tertutup.
* * *
Sialnya, belum sempat Pram bicara pada ibu dan kakaknya, kedua perempuan itu sudah datang ke rumah Pram, di hari Sabtu sore bersama sepasang suami istri. Mereka adalah orang yang melihat iklan penjualan rumah dan berminat membeli rumah Pram.
"Kami sepertinya cocok dengan rumah Mas Pram ini," kata sang suami, yang sepertinya usianya seumur dengan Pram. "Sepertinya ini bangunan baru ya? Kenapa sudah mau dijual?"
Pram tidak segera menjawab pertanyaan tersebut. Berusaha mencari jawaban sediplomatis mungkin. Namun sepertinya Arum tidak bisa menahan diri lagi.
"Kami nggak mau menjual rumah ini, Pak," kata Arum tegas kepada pasangan suami istri itu.
Tidak biasanya Arum bersikap sefrontal ini. Biasanya, bagaimanapun kesalnya Arum pada Mama dan Prisa, perempuan itu masih bisa bersopan santun. Tapi tidak kali itu. Arum memandang sepasang suami-istri calon pembeli rumah itu dengan tegas, juga memandang Mama dan Prisa dengan marah.
"Lho? Tapi..." Sang istri calon pembeli nampak bingung dengan jawaban Arum.
"Ini memang masih kami diskusikan, Pak, Bu," Prisa segera mengambil alih. "Rumah ini memang dibangun oleh adik saya. Tapi surat tanahnya atas nama Papa saya. Ini warisan Papa saya. Jadi ada hak saya dan mama saya juga disini. Saya dan Mama sudah sepakat untuk menjual tanah warisan ini. Adik saya juga harusnya tidak keberatan."
"Jadi rumah ini sengketa?" tanya sang suami, calon pembeli, hati-hati. Memandang bergantian pada Arum, Pram, Prisa dan Mama.
Arum sudah bersiap menjawab, tapi Prisa dengan cepat menyela.
"Akta tanahnya jelas ini punya Papa saya, Pak. Kami hanya menunggu kesepakatan adik saya aja kok."
"Gimana bisa sepakat kalau hal ini aja belum pernah didiskusikan dengan kami?" Arum menyela cepat. "Tiba-tiba iklan jual rumah tanpa bilang ke orang yang punya rumah. Itu namanya mau nyolong rumah orang!"
"Nyolong?!" Intonasi suara Prisa segera naik. "Ada bagian gue juga atas tanah Papa ini! Lo cuma orang luar ya Rum, nggak usah ikut campur urusan gue sama Pram."
"Aku istrinya Mas Pram! Mas Pram bisa membangun rumah ini karena saya ikut membantu keuangan rumah tangga! Jadi saya bukan orang luar!"
Baru kali ini Pram melihat Arum bersikap menantang Prisa.
"Lo bisa kerja karena diijinin Pram kerja. Jadi emang udah sewajarnya gaji lo buat keuangan rumah tangga juga!"
"Kak!" Pram segera menengahi perdebatan itu.
Arum nampak sudah siap menampar Prisa, namun ia mengepalkan tangannya, menahan diri. Dan sebelum ia hilang kendali, Arum memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
"Aduh, saya jadi nggak enak sama Mas Pram dan istri," kata sang suami, calon pembeli, memandang Pram dengan sungkan. Kemudian ia mengalihkan tatapan pada Prisa. "Sebaiknya masalah ini diselesaikan dulu sampai tuntas, Mbak Prisa. Kami nggak mau membeli rumah yang masih dalam sengketa seperti ini."
Tapi bagaimana perselisihan ini akan berakhir? Karena sejak kejadian itu, Arum tidak mau lagi membuka jalur komunikasi dengan Prisa dan ibu mertuanya.
* * *
Udah lah, bakar aja rumahnya, Pram!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top