PRAM - 12
Sembilan dari sepuluh pintu rejeki ada di dalam perdagangan. Begitu katanya. Dan meski sejumlah ulama mengatakan bahwa hadits tersebut dhaif (lemah) dan terputus sanadnya, namun banyak orang masih percaya pada hadist tersebut. Dengan mendengar hadist tersebut sejumlah orang jadi mendapatkan motivasi untuk mencari nafkah melalui perniagaan. Dan tentunya tidak ada yang salah dengan berdagang, asalkan pedagang jujur dan jual-beli dilaksanakan atas dasar ikhlas dan saling membutuhkan.
Tapi bagaimana jika proses jual-beli itu tidak didasari rasa ikhlas?
Ada banyak cara mempromosikan produk yang kita jual. Bukan hanya promo melalui sosmed, promosi langsung pada target konsumen biasanya justru menghasilkan "closing" yang lebih pasti. Dan cara ini yang paling banyak dilakukan oleh para penjual dengan sistem multi-level marketing.
Maka seperti itulah yang dilakukan Prisa, yang belakangan ini mulai aktif berdagang, untuk menambah penghasilan. Dari salah seorang teman kantornya yang menawarkan produk suplemen dan alat kesehatan, Prisa kemudian membeli produk tersebut, dengan alasan untuk Mama. Dan sejak itu ia menjadi member MLM tersebut. Dengan proyeksi sistem penjualan dan keuntungan yang telah dijelaskan oleh teman kantor sekaligus upline-nya, Prisa mulai gencar melakukan promosi di status WA, IG dan FB. Tidak hanya itu, Prisa juga aktif menghubungi teman-teman lamanya, bahkan yang sudah bertahun-tahun tidak kontak, untuk mempromokan produknya.
Siapa yang pernah tiba-tiba dihubungi teman lama setelah sekian tahun tidak berkontak, diajak meet-up, dan berujung diajak beli produk dan gabung MLM atau ditawarin asuransi?
Selain promosi di media sosial dan mentarget teman-teman lamanya, Prisa juga mempromosikan produknya kepada orang-orang terdekatnya, termasuk teman kantor, saudara jauh dan bahkan adik iparnya sendiri, Arum.
"Kamu kan farmasis, Rum, jadi pasti tahu juga kan manfaat produk-produk ini?" tanya Prisa, sugestif, kepada adik iparnya yang mendengarkan promosinya sambil menemani Patra dan Dinda bermain ular tangga.
Arum mengangkat kepalanya dari papan ular tangga dan tersenyum menanggapi kakak iparnya.
"Dulu kamu juga pasti belajar farmasi medis kan Rum, tentang mekanisme obat seperti ini?" lanjut Prisa.
Ia menargetkan Arum sebagai calon pembeli dan downline-nya, karena Arum adalah apoteker. Kalau nanti Arum ikut memasarkan produk ini, pasti akan banyak orang yang percaya kata-kata Arum, karena ia adalah tenaga kesehatan. Dibandingkan jika Prisa yang promosi, barangkali tidak semua orang langsung percaya.
"Farmasi medis tuh apa Kak?" tanya Arum dengan wajah bingung. "Farmakologi mungkin ya maksudnya, Kak?"
"Ya, itu lah mungkin ya. Pokoknya yang belajar mekanisme kerja obat."
Arum mengangguk-angguk. "Tapi ini kan bukan obat ya Kak?"
"Tapi ini bagus buat kesehatan lho Rum! Kemarin aku beli 1 paket buat Mama, harganya 3 juta, trus Mama jadi kelihatan lebih segar dan sehat gitu lho!"
Bukannya Mama kelihatan lebih segar karena udah nggak kecapekan lagi ngurusin Patra yang nakal?, pikir Arum.
"Cobain ini deh Rum. Kamu kan pergi pagi pulang malem, apalagi naik kereta, pasti capek banget. Ini bisa mengobati pegal-pegal gitu lho," lanjut Prisa.
"Kalau suplemen, kan klaimnya bukan untuk mengobati ya Kak?"
"Eh tapi jangan salah Rum. Meski ini cuma suplemen, bisa mengobati banyak penyakit lho. Misalnya produk yang ini nih," kini Prisa menggeser sebuah box ke arah Arum. "Minuman ini bisa memperlancar pencernaan, membuang toksin di dalam saluran cerna, bisa juga untuk diet, dan bahkan bisa mengobati kanker kolon lho."
Alis Arum naik ketika mendengar penjelasan itu, sambil memandangi box berisi produk minuman. Hebat juga ya, satu produk bisa banyak khasiat.
"Lihat dulu deh Rum." Melihat adik iparnya yang tampak tidak antusias karena sedari tadi tidak menyentuh satupun produk yang ditawarkan, Prisa meletakkan box produk itu di pangkuan Arum. "Ini udah terdaftar di BPOM lho. Jadi pasti bagus nih, Rum."
Arum akhirnya mengangkat kotak produk tersebut. Tapi belum sempat Arum mencermati yang tertera di label kemasan produk tersebut, Prisa sudah melanjutkan promosinya.
"Trus, bulan ini lagi ada promo, Rum. Nggak tahu deh bulan depan masih ada lagi atau nggak. Mumpung promo nih Rum," lanjut Prisa. "Cuma bulan ini aja nih. Kalau kamu beli 1 paket, cuma 3 juta aja, kamu bisa langsung jadi member lho. Nanti jadi downline aku. Trus kalau kamu berhasil jual produk ini juga, sampai dapet 5000 poin, nanti bisa jalan-jalan ke luar negeri lho. Katanya sih, bonus tahun ini ke Korea, Rum! Kamu kan suka nonton drakor tuh!"
Arum tertawa mendengarkan promosi Prisa, demi sopan santun, agar kakak iparnya tidak merasa diabaikan.
Ini jualan apa sih? Jual produk kesehatan, tapi yang dipromoin kok bonus jalan-jalan?
"Gimana Rum? Minat kan Rum?" lanjut Prisa bersemangat.
Tidak segera menjawab pertanyaan kakak iparnya, Arum memandangi penandaan pada box produk di tangannnya. "Ini terdaftar di BPOM sebagai produk pangan ya Kak?"
"Nggak kok! Ini produk kesehatan."
"Tapi ini kode registrasinya MD Kak. Kalau suplemen, kodenya SD. Kalau produk herbal, kodenya TR, OHT atau FF. Tapi ini MD, Kak," Arum mengangkat kepalanya dan menatap Prisa, hati-hati. "Artinya, ini didaftarkan sebagai produk makanan atau minuman. Terbukti aman untuk dikonsumsi sebagai makanan minuman, tapi untuk klaim kesehatan, perlu data ilmiah tambahan."
Arum sengaja memilih istilah yang lebih halus. Ia tidak mengatakan "untuk klaim kesehatan, belum terbukti."
Prisa nampak tercenung sesaat. Ia bingung menanggapi pernyataan Arum.
Selama ini, ia sudah berkali-kali mengalami penolakan calon pembeli. Mulai dari alasan harga terlalu mahal, tidak punya uang atau tidak percaya MLM. Tapi tidak pernah satupun calon pembelinya mempermasalahkan produknya. Mereka semua percaya dan kagum pada khasiat yang diklaim atas produk tersebut. Makanya, ia berharap Arum, yang seorang apoteker dapat mendukung produknya dan dapat membeli produknya. Siapa sangka, adik iparnya malah mempertanyakan klaim kesehatan produknya.
Prisa kan jadi kesal.
"Tapi udah terbukti kok Rum, si Mama jadi sehat setelah konsumsi ini."
Itu bukannya efek sugestif? Udah beli 3 juta, pasti sugestinya berkhasiat dong.
"Beli 1 paket aja Rum. Mumpung masih promo bulan ini nih. Yuk, langsung aku daftarin jadi member ya Rum. Mana KTP kamu, Rum?" Prisa langsung melompat ke bagian closing.
"Tapi aku nggak punya uang, Kak," jawab Arum.
"Ah masa sih? Minta sama Pram lah."
"Kan kemarin uang Mas Pram dipinjem Kak Prisa 5 juta. Buat beli produk ini bukan sih Kak?"
Wajah Arum memerah. "Perhitungan amat, Rum," gerutu Prisa.
"Maaf Kak. Bukan perhitungan. Tapi kalau uang itu belum dibalikin, ya memang kami nggak punya uang simpanan lagi."
"Kamu dan Pram kan dua-duanya kerja. Nggak mungkin simpanannya cuma 5 juta kan?"
"Hmmm... Ada sih Kak. Tapi kan itu simpanan buat sesuatu yang urgent dan penting."
"Ini demi kesehatan lho Rum. Penting lho! Masa pelit sih buat kesehatan sendiri."
Sampai disini Arum cuma bisa nyengir salah tingkah. Bingung mau memberi alasan apa lagi.
"Oh, produk yang ini," Prisa mengambil 1 box lain dengan kemasan yang berwarna-warni. "Bisa buat nambah nafsu makan anak lho Rum. Si Patra kan kurus. Coba minum ini deh, biar dia nafsu makan."
"Tapi Patra sehat-sehat aja kok Kak. Kelihatannya memang kurus, tapi kalau dicek di Tabel Tumbuh Kembang, berat badannya normal kok Kak. Mungkin karena tingginya yang lebih tinggi dari anak seumurnya, jadi kelihatan kurus, Kak."
"Kamu tuh! Buat kesehatan anak sendiri lho!" Prisa mulai terdengar kesal karena tidak berhasil mempersuasi adik iparnya. "Masa sih kamu nggak punya uang, Rum? Kamu bayar playgroup dan daycarenya Patra aja bisa kan? Itu daycare di yayasan sekolah yang mahal kan?"
"Ya itu kan pengeluaran wajib Kak. Karena aku susah nyari ART, daripada ngerepotin Mama, aku harus titip Patra di daycare. Dan meski agak mahal, di daycare itu kreativitas Patra bisa disalurkan, Kak, tanpa dia dianggap nakal. Kan Patra emang lincah banget ya."
Prisa manyun.
"Kurikulum playgroupnya juga bagus Kak. Nggak maksa anak belajar baca tulis. Tapi justru karena disana sering dibacain buku cerita, Patra jadi mau belajar baca sekarang. Jadi ya meski agak mahal, ga apa-apa Kak. Apalagi disitu sekalian ada TKIT dan SDITnya. Nanti Patra bisa sekalian lanjut disana, uang masuknya bisa diskon."
"Emang uang masuk SDnya berapa?" tanya Prisa, kepo.
"Sekitae dua puluh juta."
"Hah? Mahal amat! Mending SD Negeri biasa aja!"
"Ya namanya buat anak Kak. Meski mahal ya harus diusahain."
"Nah kan! Kalau gitu sekalian beli produk ini, Rum! Kan demi anak, mahal nggak apa-apa kan?"
"Emmmm.. Ini bukan masalah mahal atau murah Kak. Kalau mahal tapi memang diperlukan Patra, pasti aku beli kok. Tapi meski murah, kalau khasiatnya belum teruji, emmm... gimana ya Kak?"
Barangkali kita sering mendengar, gara-gara hutang, persaudaraan retak. Tapi, apakah kita juga pernah dengar, berkat MLM, persaudaraan juga bisa retak?
* * *
"Pram, aku mau pinjem uang lagi dong," kata Prisa lugas, begitu Pram mengangkat teleponnya.
Refleks, Pram langsung memijat dahinya. "Buat apa Kak?"
"Aku mau beli paket produk lagi nih Pram. Biar bisa naik level. Nanti kalau levelnya tinggi, bisa dapet bonus banyak juga."
"Tapi Kak, kemarin kan Kakak baru pinjem 5 juta..."
"Ini gara-gara istrimu, Pram!" kesal Arum. "Kalau dia mau beli produkku, aku nggak perlu beli produk lagi untuk naik level. Tapi karena dia nggak mau beli, aku harus beli 1 paket lagi untuk naik level. Kalau nggak, nanti aku nggak bisa jadi member lagi. Kan sayang, Pram. Dikit lagi aku bisa dapet bonus."
"Kak, kalau sistem jualannya gitu, malah memberatkan Kak Prisa nggak sih? Yaudahlah, nggak usah dilanjut. Mumpung baru beli 1 paket."
"Duh! Kamu nggak ngerti sih Pram! Aku butuh uang tambahan. Bentar lagi Dinda masuk SD. Butuh uang banyak. Kalau cuma dari gajiku, aku nggak bisa nyekolahin Dinda di sekolah yang bagus," Prisa mengeluh dengan tidak sabar. "Bukan cuma Arum yang pengen nyekolahin anaknya di sekolah bagus dan mahal. Aku juga mau nyekolahin Dinda di sekolah bagus. Jadi aku harus bisa dapet bonus dari jualan ini, supaya bisa bayar uang masuk SD Dinda. Aku cuma pinjem sedikit doang, Pram. Tiga juta aja. Nanti kalau udah dapet bonus, aku balikin kok hutangku."
Pram makin pusing menghadapi permintaan Prisa.
* * *
Pram memang merasa tidak enak karena sudah menolak permintaan Prisa yang terakhir. Tapi ia tidak bisa selalu membantu kan? Apalagi ini terkait uang jutaan, bukan cuma ratusan ribu. Toh dari Arum, Pram mendengar bahwa produk yang dijual Prisa bukan murni produk kesehatan. Melalui Mama, Pram juga sudah mencoba memberi tahu Prisa untuk tidak melanjutkan bisnisnya. Namun Prisa berkeras, karena ia butuh uang.
Pram tidak mengerti seberapa besar uang yang dibutuhkan Prisa untuk uang masuk Dinda. Karena setahunya, untuk masuk SD Negeri di Jakarta, tidak butuh terlalu banyak uang, dan ada sejumlah subsidi biaya pendidikan. Maka ketika akhirnya Mama menghubunginya dan menyampaikan solusi atas permasalahan Prisa, Pram tidak tahu harus marah pada siapa.
"Tanah Papa dijual aja ya Pram? Prisa lagi butuh uang. Beberapa bulan lagi Dinda masuk SD. Prisa mau masukin Dinda ke sekolah Patra. Kalau tanah Papa dijual dan dibagi untuk kalian berdua, pasti cukup untuk Prisa."
"Tapi kan Pram udah bangun rumah ini, Ma," geram Pram lemah.
"Justru bagus. Nanti harga jualnya jadi lebih tinggi kan."
"Trus Pram, Arum dan Patra tinggal dimana, Ma?"
"Kan Arum masih punya rumah di Depok kan?"
"Ma...." geram, tapi Pram masih berusaha menahan makiannya, karena sedang bicara pada ibunya.
"Trus kalau Prisa butuh 20 juta buat daftar sekolah Dinda, solusinya gimana, Pram? Emang kamu mau minjemin? Nggak mau kan? Kemarin Prisa minjem 3 juta lagi aja, kamu nggak mau minjemin," kata Mama. "Inget lho Pram. Tanah itu tanah Papa. Ada hak Prisa disitu. Kamu jangan dzolim sama kakak kamu!"
Astagfirullah! Ini sebenarnya yang dzolim siapa sih?!!!!!!
Pram ingin membanting ponselnya saat itu juga.
* * *
Waktu "kelakuan Mama" kelihatan di CCTV, siapa yang menduga Mama jahat dan mukulin Patra? Atau nyolong barang2 di rumah Pram?
Ternyata Mama nggak jahat kan ya?
Tapi kadang, yang menyebabkan retaknya rumah tangga bukan melulu mertua dan ipar yang jahat kok. Kalau dilihat, kelakuan Mama dan Prisa kan nggak tergolong "jahat" ya,, cuma "menggemaskan" aja. Tapi hal spt itupun sudah bisa memicu konflik.
Saya mencoba menulis cerita ini se-otentik mungkin. Tidak ada mertua yang jahatnya spt Leily Sagita (ketahuan deh umur gue). Tidak ada juga ipar yang jahatnya kayak.... kayak siapa ya? Hahaha, saya ga nonton sinetron, jadi ga tahu tipe ipar jahat kayak siapa ya?
Tidak harus mertua dan ipar jahat yang menyebabkan konflik rumah tangga,,, urusan receh macam MLM aja bisa menimbulkan konflik kok.
Meski cerita ini agak flat dan kurang dramatis, smg dapat memberi insight buat Kakak2 pembaca. Terima kasih sudah setia mengikuti cerita ini.
Ditunggu 550 vote n 200 komen utk update bab selanjutnya ya Kak. Targetnya ga dinaikin kok. Tapi knpa ga tercapai juga ya? Hikshikshiks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top