PRAM - 11

Memang benar adanya, Pram sendiri yang memasang CCTV di beberapa titik di rumah mereka, lalu menghubungkannya dengan ponselnya dan ponsel Arum. Awalnya hal tersebut ia lakukan agar dapat memantau keadaan rumah setelah mereka mendapat ART nanti. Dengan demikian, ia berharap Arum dapat bekerja dengan lebih tenang saat meninggalkan Patra bersama ART baru karena dapat selalu memantaunya dari CCTV. Dengan demikian, ia berharap Arum tidak lagi menyalahkannya karena menyebabkan Nur berhenti kerja.

Siapa sangka, Arum sudah langsung memanfaatkan CCTV tersebut, meski mereka belum mendapat ART baru dan Patra masih diasuh ibu Patra. Siapa sangka pula, CCTV tersebut menangkap sejumlah hal yang selama ini tidak mereka sadari.

Pram mengangkat wajahnya dari layar ponsel Arum dan menatap istrinya dengan wajah memerah.

"Maaf," kata Pram pada Arum. Kepalanya, yang menjadi berat, kembali menunduk di hadapan istrinya.

Pram sudah siap jika Arum menertawakannya, atau membalasnya dengan sinis. Tapi siapa sangka, yang dilakukan istrinya hanyalah mengambil ponselnya kembali, lalu meraih telapak tangan Pram. Perempuan itu menyelipkan jemarinya diantara jemari Pram, membuat Pram mengangkat kepala dan kembali menatap Arum.

"Aku harap Mas mau mengerti alasanku melakukan ini," kata Arum lembut. Perlahan senyum Arum juga terulas, kecil. Tampak menunggu tanggapan Pram.

Menerima respon Arum yang di luar ekspektasinya, Pram justru merasa tidak enak hati pada istrinya itu. Jadi, demi menebus rasa bersalahnya, ia berkata, "Oke, kalau menurutmu Patra lebih baik di daycare. Nanti aku ngomong sama Mama."

Arum mengangguk dengan senyum yang lebih lebar. "Makasih, Mas."

Saat itu, setidaknya Pram bersyukur karena 1 hal. Ia lega karena saat Mama meminta akses ke kamar mereka, Pram menolaknya dengan halus. Pram beralasan kamarnya berantakan dan belum sempat dibereskan. Untung saja saat itu Pram menolak. Andai ia membiarkan Mama bebas masuk ke kamarnya, tentu hal itu akan terpantau CCTV juga, dan pasti Arum tidak akan bersikap sepengertian ini.

Untuk pertama kalinya, Pram lega karena merasa telah bertindak benar sebagai kepala keluarga.

* * *

Sesuai janjinya pada Arum, meski dengan memberanikan diri, Pram akhirnya membicarakan rencana untuk menitipkan Patra di daycare selama mereka bekerja kepada sang ibu. Tentu saja, sesuai prediksi Pram juga, sang ibu nampak tidak suka dengan keputusan yang ia buat.

"Tega kamu, naruh anakmu di tempat penitipan anak begitu?" tanya Mama, dengan intonasi yang tajam.

"Ya tega nggak tega, Ma. Abisnya udah lama banget kami nyari ART belum ada yang cocok. Supaya Patra ada yang jaga," Pram memberi alasan.

"Ya kan selama ini Mama ngasuh Patra, dia baik-baik aja. Sampai kamu dapet ART, Mama nggak keberatan ngasuh Patra. Toh sekalian ngasuh Dinda juga."

Memang benar selama ini ibunya menemani Patra dan Patra baik-baik saja. Tapi tidak terlalu tepat juga jika apa yang dilakukan ibunya disebut sebagai mengasuh. Karena tidak seperti itu yang Pram lihat melalui CCTV. Apa yang dilakukan Mama, yang terlihat di CCTV, lebih tepat disebut "menemani" Patra.

Melalui rekaman tersebut, beberapa kali terlihat Mama tertidur, sementara Patra dan Dinda nonton TV dengan tenang. Arum dan Pram memang bukan orang tua yang ketat soal screen time. Tapi juga bukan berarti mereka tidak keberatan anaknya nonton TV seharian. Saat Mama sedang tidak tidurpun, beberapa kali Mama terlihat sedang ngobrol bersama tetangga, sementara Patra dan Dinda main sendiri.

"Orangtua seusia Mama Mas dan Ibuku, memang sudah bukan waktunya lagi untuk jaga anak kecil, Mas," kata Arum, malam itu, setelah di pagi harinya mereka menyaksikan rekaman CCTV bersama. "Mereka sudah capek menjaga kita saat kita masih kecil dulu. Sekarang waktunya mereka istirahat. Makanya aku nggak pernah minta Ibuku jaga Patra. Beliau cuma bantu mengawasi ART yang mengasuh Patra. Jadi beliau nggak terlalu kecapekan.

Terhadap Mama sekarang, aku juga ngerti, Mas. Beliau itu udah kecapekan. Menjaga dua anak balita seperti Dinda dan Patra, pasti menguras tenaga. Jadi wajar aja kalau Mama sering ketiduran karena kecapekan. Karena itu, aku nggak mau ngerepotin Mama lagi."

Mengingat kata-kata Arum itu, Patra menggunakan alasan yang sama saat bicara dengan ibunya.

"Iya, Ma. Patra baik-baik aja selama diasuh Mama. Makasih ya Ma," kata Pram. "Tapi Mama pasti kecapekan kan jaga Dinda dan Patra sekaligus? Jadi Pram dan Arum memutuskan mulai Senin besok Patra di daycare aja. Supaya Mama nggak makin kecapekan."

"Mama masih sanggup kok ngasuh Patra," Mama tampak berkeras.

Tapi kenyataannya, rekaman CCTV tidak bisa mendukung pernyataan Mama barusan.

Pram jadi ingat kata-kata Arum lainnya malam itu.

"Patra itu anak kinestetik, makanya aktif bergerak. Dari kecil kita juga membiarkan dia mengeksplor banyak hal saat main. Tapi kan kita juga ngajarin dia untuk bertanggung jawab, iya kan Mas? Patra memang kalau main, banyak mengeluarkan mainan. Tapi kan setelah itu, dia selalu ngembaliin mainannya ke kotaknya. Hanya karena dia lincah, banyak bergerak, dan mengeksplor banyak mainan, bukan berarti dia anak bandel kan Mas?"

Arum mengatakan hal itu dengan wajah sedih, sekaligus tersinggung. Sehingga Pram tidak mungkin mengabaikan apa yang disampaikan istrinya saat itu.

"Aku paham Mama capek banget kalau ngikutin ritmenya Patra. Tapi aku nggak mau Patra dibatasi mengeksplor dirinya. Aku juga nggak mau Patra merasa dirinya anak nakal hanya karena dia ingin mencoba banyak hal. Jadi aku pikir, kalau kita nggak berhasil juga dapet ART, daycare adalah alternatif terbaik saat ini. Supaya Mama nggak kecapekan, dan keinginan eksplorasi Patra tetap bisa terfasilitasi."

Sepakat dengan pemikiran istrinya saat itu, kali ini Pram mencoba menjelaskan pilihannya pada sang ibu.

"Iya Ma, Pram percaya Mama masih sanggup. Cuma Pram dan Arum yang nggak tega kalau Mama kecapekan," kata Pram, mencoba diplomatis.

"Tapi kamu tega nitipin anak sekecil Patra ke tempat penitipan anak kayak gitu?" tukas sang ibu. "Jangan-jangan, nanti kalau Mama makin tua, kamu tega naruh Mama di panti jompo."

Pram menghela nafas pelan. Kenapa tiba-tiba bawa-bawa panti jompo sih? Paling bisa ya si Mama ini.

"Nggak gitu, Ma. Beda dong," jawab Pram. "Lagian sekarang Pram memutuskan begini demi kebaikan Mama juga. Supaya Mama nggak terlalu capek. Jaga Dinda aja udah capek kan Ma? Apalagi ditambah Patra, pasti lebih capek."

"Emang kamu nggak khawatir Patra di daycare gitu? Patra masih kecil banget, Pram."

"Di daycare itu bahkan ada yang usianya baru 3 bulan kok Ma," Pram memberi tahu, berdasarkan info yang ia dapatkan dari Arum. "Dan beda kelompok usia, treatment nya juga beda. Menurut Pram, disana bagus sistemnya. Jadi bukan sekedar tempat penitipan anak biasa. Pemilik yayasan daycare itu kan psikolog anak. Jadi disana, anak-anak juga difasilitasi dan diarahkan minat dan bakatnya. Kayaknya akan cocok buat Patra yang aktif banget."

"Daycare kayak gitu pasti mahal kan Pram? Daripada ngeluarin uang sebanyak itu dan Patra diasuh orang lain, mending Patra sama Mama aja lah. Mama masih sanggup kok. Lagian lumayan kan tambahan dari kamu buat Mama, buat nambah-nambah kebutuhan Mama. Daripada uangnya buat orang lain yang belum tentu sayang sama Patra."

Kali itu akhirnya Pram tidak bisa menahan diri lagi. Ia tidak lagi menahan helaan nafasnya agar tidak terdengar sang Mama. Terang-terangan ia menghela nafas lelah dan berat.

"Tanpa uang tambahan selama Mama mengasuh Patra, emang uang yang selama ini Pram kasih buat Mama, kurang ya, Ma? Biaya listrik, air, dan internet di rumah kan sudah Pram bayarin semua. Jadi yang Pram kirim tiap bulan, bukannya harusnya cukup untuk keperluan Mama sehari-hari ya Ma?"

"Buat Mama sih cukup, Pram. Tapi kan di rumah ada Prisa dan Dinda juga."

"Kak Prisa kan kerja, Ma," Pram mendesah. "Buat apa dia kerja, nitipin Dinda ke Mama dan bikin Mama capek, kalau untuk kebutuhan dirinya dan anaknya aja dia masih nebeng Mama? Kak Prisa sudah besar, Ma. Bahkan sudah punya anak. Mama jangan terlalu manjain dia."

"Prisa emang udah besar, Pram. Tapi bagaimanapun, dia kan anak Mama. Masa kamu tega sama kakakmu? Dia single parent. Mantan suaminya nggak bertanggung jawab. Dia harus menghidupi anaknya sendirian. Apalagi sebentar lagi Dinda SD. Butuh uang pendaftaran dan biaya sekolah yang lebih besar. Mama cuma mau bantu dia."

"Tapi Ma___"

"Prisa itu kakak kamu, Pram!" tukas Mama. "Kamu nggak kasihan sama nasibnya? Kamu dikasih kelebihan rejeki sama Allah, ya harusnya buat bantu saudara kamu yang hidupnya nggak seberuntung kamu. Kamu kenapa sih Pram? Biasanya kamu sayang sama Prisa dan nggak keberatan bantu dia. Tapi kenapa sekarang kamu perhitungan sama saudara sendiri? Apa jangan-jangan, Arum ya yang melarang kamu berbakti sama Mama dan bantu Prisa?"

"Nggak gitu Ma. Arum nggak pernah___"

"Inget, Pram! Ada istilah mantan istri dan mantan suami. Tapi nggak ada istilah mantan ibu dan mantan kakak!"

Duh! Kenapa urusan daycare aja jadi melebar kemana-mana begini sih? Tadi bawa-bawa panti jompo. Sekarang ungkit-ungkit soal bakti. Mama memang ahlinya bikin Pram merasa bersalah begini. Kalau sudah begini, Pram kan jadi makin dilema.

Ternyata memang sulit sekali ya menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab, sekaligus anak yang berbakti terhadap orangtuanya.

* * *

"Wah, Bu Prasojo ini hebat banget. Sudah 60 tahun, masih kuat banget jaga cucu begini. Dua orang pula. Emang nggak capek, Bu?"

"Sebenarnya sih capek banget, Bu, ngurus dua anak begini. Tapi dua-duanya cucu saya, jadi saya sayang dan nggak tega kalau nggak ada yang ngurus. Menantu saya juga nggak mau cuti sampai dapet ART baru. Jadi karena nggak tega sama cucu, ya saya harus jagain dua-duanya. Tapi ternyata jagain Patra itu jauh lebih capek daripada jaga Dinda. Saya nggak ngerti, itu menantu saya gimana sih didik anak, si Patra itu nakal banget. Nggak bisa diem. Nggak kayak Dinda yang bisa anteng asal dikasih nonton TV."

* * *

Sampai jumpa di bab berikutnya setelah 550 vote n 200 komen, Kakak2ku 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top