NING - 9

Ada momen-momen dimana kita sudah punya firasat kuat tentang hasil akhir dari suatu hal, namun kita tetap berjuang.

Seperti seorang ayah yang tahu bahwa menyusuri tepian sungai tidak akan membuatnya menemukan sang anak yang dilarung arus, namun beliau tetap melakukannya.

Beberapa orang barangkali bilang kita keras kepala. Beberapa yang lain menyebut kita tidak ikhlas terhadap takdir. Tapi sebenarnya yang kita lakukan hanya berusaha agar diri ini tidak menyesal. Setidaknya kita pernah memperjuangkan sekuat-kuatnya, sebelum mencoba melepaskan seikhlas-ikhlasnya.

Barangkali itu yang dilakukan Ning. Meski kini ia menyadari, siapa dirinya dimata Arya, rasa cintanya yang besar pada lelaki itu membuatnya memutuskan untuk menjadi istri terbaik untuk lelaki itu. Sampai akhirnya nanti lelaki itu melepaskannya, membuangnya. Setidaknya, ia tidak akan menyesal karena sudah pernah berjuang sekuat-kuatnya untuk mempertahankan rumah tangganya.

Itulah yang membuat Ning mengikuti perintah Arya untuk tidak bekerja di luar rumah. Ia menyampaikan keputusannya itu pada Rara yang menawarinya pekerjaan di cake shop.

"Mohon maaf ya Mbak Rara," kata Ning sekali lagi, dengan santun, karena telah menolak tawaran itu. "Tapi kalau Mbak Rara suka sama kue dan cake buatan saya, apakah boleh kalau saya nitip kue dan cake saya untuk dijual disini?"

Rara menyambut ide itu dengan senang hati. Dan untuk kemurahan hati Rara tersebut, Ning sangat berterima kasih.

Beberapa waktu kemudian mereka habiskan untuk mendiskusikan kue dan cake apa saja dan berapa banyak yang akan Ning supply ke cake shop Rara. Pada tahap awal, Ning hanya akan mensupply dalam jumlah sedikit. Setelah mendapatkan respon pelanggan, mereka akan menentukan kembali berapa banyak produk yang dapat disupply Ning.

"Makasih banyak ya Mbak Rara," kata Ning setelah diskusi mereka mencapai kesepakatan. "Mbak nggak tersinggung karena saya nolak tawaran Mbak. Malah membolehkan saya nitip kue saya di cake shop Mbak Rara. Mbak baik sekali."

Perempuan dengan wajah anggun di hadapan Ning itu terkekeh kecil.

"Sama-sama Ning. Nggak peru merasa sungkan," kata Rara. "Ini bisnis. Saya mau menjual kue kamu di cake shop saya karena saya punya feeling kue-kue kamu akan banyak disukai pelanggan saya. Rasanya enak."

Ning terkekeh malu. "Makasih Mbak."

"Pas nyobain boeterkoek dan cinnamon roll yang dibawa Mbak Dwi ke acara arisan, saya langsung nyobain resep di cookpad. Tapi nggak berhasil dapet yang tekstur dan rasanya seperti yang kamu buat. Akhirnya saya minta nomer hp kamu ke Mbak Dwi," kata Rara. "Kamu modif-modif resepnya ya Ning?"

"Iya Mbak. Di rumah kan saya sendirian aja, nggak ada kesibukan, jadi iseng aja nyobain dan modif resep."

"Oh, cuma tinggal berdua aja ya sama suami?"

"Iya, Mbak, cuma berdua aja. Jadi pas suami kerja, ya saya cari kesibukan di dapur."

"Pengantin baru ya?"

Ning tertawa. "Bukan pengantin baru juga Mbak. Tapi juga belum lama."

"Sudah berapa lama menikahnya?"

"Baru 8 bulan kok Mbak."

Rara terlihat mengangguk-anggukkan kepala. "Dan belum berencana punya baby?"

"Saya sih pengin Mbak. Tapi suami bilang, nunggu sampai kondisi kami lebih mapan." Ning tidak bohong kan, memang Arya tidak ingin punya anak sampai hubungan mereka resmi dan mapan kan?

"Udah pacaran dari SMA ya? Jadi udah yakin nikah muda?"

"Nggak kok Mbak. Cuma ketemu sebentar, di tempat kerja. Trus dia ngajakin nikah."

"Trus kamu langsung setuju?"

Ning mengangguk malu-malu.

"Kok dulu kamu bisa langsung yakin mau nikah sama suami kamu, padahal belum kenal lama?" tanya Rara.

Ning menggaruk kepalanya. "Emm... mungkin karena udah terlanjur cinta Mbak," jawabnya malu-malu. "Dia orangnya baik dan nggak sombong, Mbak."

Rara terkekeh kecil, melihat ekspresi Ning yang malu-malu. "Kalau udah jodoh tuh emang gitu kayaknya ya, Ning, lancar aja jalannya."

"Mungkin ya Mbak." Ning yang tidak tahu harus merespon bagaimana hanya senyum-senyum saja.

"Saya tuh pacaran dari jaman kuliah, Ning, akhirnya putus juga. Trus baru 2 bulan saya kenalan sama cowok, dikenalin orang tua kami, eh malah langsung berencana menikah bulan depan."

"Wah!" seru Ning antusias. "Baru dua bulan kenal dan Mbak udah yakin mau nikah? Masnya pasti ganteng banget ya Mbak?"

Rara tertawa. "Iya dong! Harus ganteng dong!" Gadis itu menjawab sok jumawa. "Tapi bukan itu sih yang akhirnya bikin saya setuju sama pilihan orangtua saya kali ini. Dia tuh ramah dan sopan. Nice guy banget. Mantan pacar saya kan tipe-tipe bad boy ya. Seru sih pacaran sama dia. Tapi setelah makin dewasa, saya merasa bahwa saya lebih butuh laki-laki yang baik, dewasa dan bertanggung jawab, dibanding laki-laki yang masih senang bertualang. Dan saya menemukan sosok laki-laki baik, dewasa dan bertanggung jawab ini pada diri calon suami saya."

Ning mengangguk-angguk mendengarkan cerita Rara.

"Kadang jodoh emang sebercanda itu ya." Gumam Rara sambil terkekeh sendiri.

Ning juga ikut tertawa. "Iya, Mbak. Lama-lama pacaran, cuma jagain jodoh orang lain. Pas sekalinya ketemu jodoh beneran, tiga bulan langsung ijab sah ya Mbak."

Kedua perempuan itu tertawa bersama, menertawakan lucunya jodoh dan kehidupan.

* * *

Meski tidak lagi berkontak pribadi terlalu sering, Nares tetap menjadi pelanggan setia catering Ning. Sesekali ia juga masih memesan boeterkoek dan cinnamon roll, resep spesial Ning, terutama saat ingin mengunjungi ibunya.

"Mama saya ketagihan boeterkoek kamu Ning. Katanya bikin kenyang, tapi nggak bikin eneg. Kalau beliau males makan, makan boeterkoek aja udah cukup. Apalagi boeterkoek kamu nggak terlalu manis," cerita Nares.

"Soalnya Mas Nares pernah cerita, mamanya Mas ada risiko diabetes kan. Jadi khusus buat mamanya Mas, saya bikin less sugar."

"Wah, kamu merhatiin cerita saya ya? Aduh jadi terharu. Makasih ya Ning, udah mau menyesuaikan takarannya khusus buat mama saya."

"Sama-sama Mas," jawab Ning sambil tersenyum.

"Mama saya juga suka ayam suwir frozen kamu. Sekalian saya pesan itu juga ya."

"Wah, alhamdulillah kalau Mama Mas suka juga," Ning menanggapi dengan bahagia. Bagi seorang Ning yang tidak pernah punya prestasi apapun dalam hidupnya yang biasa-biasa saja, apresiasi atas masakannya terasa sangat berarti. "Nanti saya siapin ya. Mau diambil kapan?"

"Jam 10 pagi hari Sabtu, bisa? Langsung saya bawa ke rumah Mama."

"Siap Bos!"

Nares tertawa. "Thanks ya Ning."

"Sama-sama Mas."

Obrolan mereka terputus saat terdengar suara elevator tiba di floor apartemen mereka. Apalagi ternyata yang melangkah keluar dari elevator adalah Arya.

Ning tersenyum menyambut suaminya, dan mencium punggung tangannya. Sementara Nares mengangguk sopan pada pria itu.

"Lagi ngobrol?" sapa Arya berbasa-basi. 
Lengannya melingkar di sepanjang pinggang Ning.

"Iya, Pak. Mas Nares pesan makanan. Sambil ngobrol sebentar di depan pintu." Ning menjawab menjelaskan, tidak ingin suaminya salah paham lagi.

"Oh." Arya manggut-manggut saja. "Silakan dilanjut kalau gitu. Saya masuk dulu."

"Oh saya juga udah selesai pesan kok," Nares menanggapi dengan cepat. "Saya masuk juga ya Pak, Ning."

Ning dan Nares saling melempar senyum sebelum lelaki itu masuk ke apartemennya. Setelahnya Arya langsung masuk juga ke unitnya, diikuti oleh Ning.

Ning cukup lega melihat interaksi Arya dan Nares belakangan ini. Meski belum sepenuhnya bersikap ramah, Arya tidak pernah lagi bersikap antipati terhadap tetangga mereka itu. Sebulan terakhir ini Arya lebih sering pulang ke apartemen Ning, sehingga ia menyaksikan sendiri bahwa Ning sudah berusaha membatasi interaksinya dengan Nares. Arya melihat sendiri pria tetangga itu tidak lagi bolak-balik dua kali sehari untuk mengambil pesanan dan mengembalikan kotak kosong. Arya menyaksikan sendiri bahwa Ning tidak pernah lagi menerima Nares masuk ke unitnya, alih-alih mereka hanya mengobrol di depan pintu. Itupun hanya sesekali saja.

Setelah pertengkaran malam itu, hubungan Ning dan Arya juga membaik. Lelaki itu tetap belum bisa menjanjikan apa-apa, tapi kini ia makin sering pulang ke apartemen Ning. Meski kadang-kadang hanya mampir saja, tidak menginap.

"HW Food itu didirikan Eyang saya, Ning," Arya bercerita suatu kali. "Papa saya bukan anak laki-laki tetua, tapi beliau yang membuat HW Food seperti sekarang. Saya adalah cucu laki-laki tertua, dan Eyang ingin saya yang meneruskan mengelola HW Food. Tapi karena saya bukan cucu dari anak laki-laki pertama, posisi saya bisa saya digeser sewaktu-waktu kalau saya melakukan kesalahan sekecil apapun. Dan banyak sepupu-sepupu saya yang sudah mengincar posisi itu kalau saya lengah."

"Kesalahan sekecil apapun... itu termasuk kesalahan memilih istri seperti saya?" tanya Ning memperjelas.

"Saya cuma butuh waktu Ning," Arya mengusap-usap lengan Ning, berusaha meyakinkan gadis itu. "Begitu perusahaan sudah resmi menjadi milik saya, kita mulai bisa terbuka dengan hubungan kita."

Dunia Arya adalah dunia yang berbeda dengan Ning. Tapi Ning bisa mengerti yang dihadapi Arya. Itu mengapa dirinya tidak lagi menuntut macam-macam belakangan ini.

* * *

Sejak Ning menjalankan usaha catering kecil-kecilan ini, Arya selalu dibangunkan oleh aroma masakan yang lezat. Seperti halnya pagi itu dirinya disambut aroma cinnamon yang menguar di dapur.

"Kemuning..." Pria itu menyapa mesra, sambil melingkarkan lengannya di sekeliling perut dan pinggang Ning. Lalu mengendus leher perempuan itu.

Ning tertawa sambil menggeliat kegelian ketika Arya menggesekkan rahangnya di bahunya.

"Saya hari ini ada meeting pagi," kata Arya.

"Aduh, sarapannya belum siap Pak."

"Nggak apa-apa. Nanti saya sarapan di kantor."

"Saya bikinin sandwich tuna ya? Cepet kok."

"Oh, oke kalau gitu. Sandwich tuna buatan kamu tuh favorit saya."

Ning tertawa. "Gombal!"

Arya ikut tertawa. Lalu menyurukkan kepalanya kembali ke lekuk lehernya. "Kok harum banget? Udah mandi ya?"
Lelaki itu menghisap kuat disana.

"Udah dong Pak." Ning berbalik dan berjinjit. Dengan cepat ia melumat bibir suaminya. "Supaya nggak bau iler kalau dicium Bapak."

Arya tertawa senang. Begitupun Ning. Ia senang bahwa usahanya untuk selalu memuaskan suaminya berhasil membuat suaminya senang.

Tiba-tiba saja tangan Arya memutar kompor hingga mati.

"Eh kok____?"

Belum juga Ning sempat bertanya, tangan Arya sudah menelusup melalui pahanya.

"Mandi lagi, nggak apa-apa ya?" Lelaki itu menggeram. Dan sebelum Ning sempat menjawab, pria itu sudah mengangkat tubuh kecil Ning ke atas meja dapur dan membuatnya sibuk disana.

Suara ponsel, tanda pesan masuk, terdengar tepat saat Arya menggeram puas. Setelah membersihkan diri dan melihat suaminya masuk kamar untuk mandi, barulah Ning membuka pesan tersebut.

Mbak Rara: Ning, kamu tinggal di Depok dimana? Pagi ini saya abis nginep di rumah sepupu di Depok, trus mau ke cake shop. Kuenya saya ambil pagi ini aja gimana? Jadi kamu nggak usah nganter ke cake shop. Udah kelar belum?

Udah siap Mbak.
Jadi mbak aja yang ambil ya?
Ga ngerepotin Mbak?

Mbak Rara: Nggak kok. Sekalian jalan searah. Saya ambil jam 6 kalo gitu ya?

Ning kemudian mengetikkan alamat apartemennya. Setelahnya bergegas ia mengemas boeterkoek dan cinnamon roll untuk dibawa Rara nanti.

Selesai mengemas kue, sambil menunggu Rara datang, Ning menyiapkan sandwich tuna untuk suaminya dan melanjutkan memasak shirataki tuna mentai sebagai menu catering hari ini.

Tiga puluh menit kemudian, tepat ketika Ning menyelesaikan masakannya, ponselnya berdering. Telepon dari Rara. Sambil mengangkat telepon tersebut, Ning menyambar box berisi kue yang sudah disiapkannya tadi.

"Halo Mbak," sapa Ning ketika mengangkat telepon Rara, sambil melangkah cepat keluar unit, menuju elevator. "Udah di bawah ya? Saya ke lobby sekarang, Mbak."

Lima menit kemudian kedua perempuan itu bertemu di lobby apartemen dan Ning menyerahkan box kuenya kepada Rara.

"Makasih banyak ya Mbak," kata Ning sekali lagi. "Saya jadi ngerepotin nih. Mbak malah ambil sendiri kesini."

"Santai aja," kata Rara santai. "Saya juga sekalian mau sarapan bareng calon suami saya di sekitar sini. Jadi emang sekalian lewat daerah sini."

"Oh iya, ini sekalian ada sarapan sedikit buat Mbak Rara nih," kata Ning sambil menyerahkan box cateringnya yang berisi shirataki tuna mentai kepada Rara. "Tapi saya cuma nyiapin 1 porsi. Saya nggak tahu Mbak Rara mau sarapan bareng."

Rara melirik isi box tersebut dan tersenyum senang. "Mentai ya? Wah! Calon suami saya suka makanan ini nih. Nanti kami makan bareng deh. Makasih ya Ning."

"Maaf ya Mbak, cuma 1 porsi."

"Nggak apa-apa. Biar romantis, 1 box berdua," seloroh Rara, kemudian sambil tertawa lebar.

Ning juga ikut tertawa dengan gurauan Rara.

"Abis ini kamu langsung balik ke apartemen kan?" tanya Rara setelah tawa mereka mereda.

"Iya Mbak. Kenapa?"

Rara mengeluarkan ponselnya, mengarahkan kameranya pada Ning yang kaget dan bingung, lalu menunjukkan hasil jepretannya pada Ning. Karena melihat ekspresi Ning yang tidak mengerti, Rara menunjuk satu tanda ungu di batas leher dan tulang selangka Ning, yang terlihat ketika kaos yang dikenakannya agak tersingkap bagian bahunya.

"Aduh!" Ning mengeluh salah tingkah. "Aduh maaf ya Mbak. Aduh malu saya. Padahal tadi malam nggak ada. Pasti gara-gara barusan nih, nakal banget dia."

Rara tertawa dengan wajah semburat merah. Barangkali merasa malu juga melihat tanda itu, karena ia tahu artinya.

"Gih, sana! Cepet balik ke unit!" kata Rara.

"I-iya Mbak."

Tentu saja Ning segera menuruti usul Rara. Bergegas ia masuk elevator sambil menunduk. Ia menarik bahu kaosnya, berusaha menutupi tanda itu.

Begitu masuk ke unitnya dan bertemu Arya yang sedang bersiap memakai sepatunya, Ning langsung ngomel karena suaminya meninggalkan bekas sejelas itu. Sementara Arya hanya tertawa lepas sambil menggoda Ning dengan menciumnya kembali.

"Pak, makanannya udah mateng nih Pak. Sarapan dulu ya?" kata Ning, buru-buru sebelum Arya pergi.

"Saya bawa tuna sandwich aja ya. Takut telat meeting," jawab Arya cepat.

Karena melihat suaminya tergesa-gesa, akhirnya Ning menurut. Menyerahkan tuna sandwich pada Arya. Setelahnya Arya berpamitan setelah mengecup bibir Ning sekali lagi. Dan rutinitas Ning kembali berlanjut dengan mempersiapkan catering, seperti hari-hari biasanya.

* * *


Apa yang lebih memilukan dibanding saat melihat yang muda pergi mendahului yang tua?
(Haris Hananjaya)

Kalimat ini yang barangkali mewakili perasaan saya saat membaca berita bahwa keluarga Pak Ridwan Kamil membuat pernyataan bahwa telah mengikhlaskan Mas Eril telah berpulang.

Bukan hanya saya yang sudah jadi orangtua, bahkan banyak orang yang belum memiliki anakpun, turut merasakan kesedihan yang sama. Padahal saya hanya mengenal beliau dari media sosial, tapi nyeseknya pol. Pulang dari lab, habis mandi dan bersih-bersih, langsung saya peluk dan cium anak2 saya. Saya pasti nggak akan kuat kehilangan mereka. Jadi melihat ketegaran Pak RK dan istri, malah saya yang mewek.

Saya, dapet kabar anak demam aja, udah ga bisa konsen kerja. Tapi Pak RK, masih bisa menjaga profesionalitas saat mendapat kabar buruk itu.

Allah nggak akan menguji hamba-Nya diluar kesanggupannya. Dan MasyaAllah, Pak RK sekeluarga benar2 menunjukkan kekuatannya.

Dibutuhkan kekuatan yang besar untuk mengikhlaskan. Dan hanya orang-orang dengan hati besar yang dapat melakukannya.

InsyaAllah Mas Eril husnul khotimah dan Pak RK sekeluarga kuat dan tabah.

* * *

Makasih Kakak2 selalu mendukung dg vote n komen yg makin rame. 2500 kata di bab kali ini. Semoga vote n komennya makin rame ya. Saranghae 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top