NING - 7
Kalo ada adegan2 brantem2, kynya komennya jd rame ya. Apa di bab berikutnya dikasih byk adegan tarik urat aja nih? Hahaha
* * *
"Sejak kapan kamu kenal sama dia?" tanya Arya, selagi mengikuti Ning masuk.
"Dua minggu lalu, pas Bapak pulang, saya cerita bahwa ada tetangga apartemen yang pesan catering sama saya. Itu Mas Nares, Pak," jawab Ning sambil menyiapkan teh hangat dengan cekatan.
Suaminya masih mengikutinya hingga ke dapur, membuat Ning merasa tidak nyaman dan terintimidasi.
"Kamu nggak bilang bahwa tetangga yang kamu maksud itu laki-laki."
"Eh? Masa sih saya belum cerita?"
"Belum."
Ning tidak tahu harus menanggapi apa. Apa dia harus minta maaf karena tetangga yang pesan catering padanya adalah seorang laki-laki? Dua minggu lalu saat Ning bercerita bahwa ada penghuni apartemen ini yang memesan catering padanya, tanggapan Arya biasa saja. Tapi kenapa sekarang terlihat tidak suka? Memangnya apa bedanya kalau yang pesan catering padanya laki-laki atau perempuan?
Ning meletakkan secangkir teh lemon di meja makan, di hadapan Arya. Saat itu Arya sedang berdiri di sisi meja makan. Tidak mau duduk, dan gesturenya tidak santai.
"Tehnya diminum dulu, Pak. Duduk dulu yuk." Ning meraih tangan Arya, lalu dengan lembut mengajaknya duduk di kursi makan, di hadapan teh lemon hangat yang disiapkannya.
Setelah pria itu duduk, Ning berdiri di balik punggung Arya, lalu mulai memijat bahunya. "Bapak mau makan malam apa? Saya nyobain resep baru. Shirataki pakai salmon mentai, mau, Pak? Ada dessert juga, mousse coklat. Atau mau masakan Indonesia aja? Ada empal. Nanti bisa saya masakin sayur asem."
Arya menghela nafas berat dan panjang. Bahunya yang dipijit Ning terasa lebih rileks. Tapi hatinya masih terasa berat.
"Laki-laki tadi, kenapa kesini?" tanya Arya.
"Ngembaliin kotak makan, Pak," jawab Ning sambil menunjuk kantong tas berisi kotak-kotak makan yang diletakkannya. "Yang pesan catering itu teman-teman kantornya Mas Nares, Pak. Jadi kalau pagi, saya nganter pesanan ke Mas Nares, untuk dibawa ke kantornya. Sore atau malam, Mas Nares balikin kontaknya kesini."
Arya mengernyit. "Kenapa nggak pakai box plastik disposable aja? Sekali pakai, lalu buang. Ada yang microwave-able juga. Itu bukan alasan dia biar bisa ketemu kamu dua kali sehari kan?" Arya bertanya tajam. "Saya aja cuma bisa ketemu kamu sebulan dua kali. Tapi dia malah ketemu kamu sehari dua kali," imbuhnya menggerutu.
Tangan Ning yang sedang memijat bahu dan punggung Arya berhenti.
"Kalau Bapak pulang cuma 2x sebulan, itu salah Mas Nares?" tanya Ning pelan.
Arya bagai terkesiap. Dia segera sadar bahwa dirinya sudah salah bicara. Saat itu tangan Ning sudah terlepas dari bahunya. Dengan cepat ia membalikkan tubuh dan meraih kembali tangan Ning.
"Maaf, Ning. Saya...."
"Cemburu?" potong Ning.
Ning hanya refleks dan iseng saja bertanya begitu. Tapi setelah kata itu terucap, Ning jadi berharap sesuatu.
"Saya capek banget. Jadi marah nggak jelas. Maaf," kata Arya akhirnya. Ia bangkit dari kursi, mengecup dahi Ning sekilas, lalu melepas tangannya dan pergi. "Saya mandi dulu." Lelaki itu berlalu masuk ke kamar.
Sementara Ning menahan bongkahan bara di tenggorokannya. Jangankan bilang sayang, mengaku cemburu saja Arya tidak mau. Padahal cemburu itu salah satu tanda sayang. Apakah Ning serendah itu sehingga bahkan tidak layak mendapatkan rasa cemburu?
* * *
Arya dan Ning makan malam dalam hening. Ning tetap melayani semua yang dibutuhkan Arya saat makan malam, tapi dengan bibir bungkam. Aryapun begitu. Tidak mau memperpanjang masalah, jadi dia diam saja. Setelah selesai makan malam dan mereka berdua ke kamar, barulah Arya kembali mendekati Ning untuk bicara.
"Maafin saya, Ning," kata Arya lembut. Lengannya memeluk tubuh Ning, yang tidur telentang menatap langit-langit kamar dengan tatapan hampa. "Saya sedang capek banget. Saya pulang supaya bisa peluk kamu, manja-manja sama kamu, melepas beban. Tiba-tiba malah lihat ada laki-laki lain di dalam rumah. Maaf saya nggak bisa menahan diri."
Saya pulang supaya bisa peluk kamu, manja-manja sama kamu, melepas beban. Jadi aku memang cuma tempat pelarianmu aja kan?, pikir Ning pedih.
"Apa yang Bapak lihat tadi?" tanya Ning, menghela nafas lelah.
"Kamu ngobrol berduaan sama laki-laki lain."
"Apa kami terlihat melakukan hal lain selain ngobrol?"
Arya tidak bisa menjawabnya.
"Pintu apartemen bahkan saya buka, supaya nggak timbul fitnah."
Arya menyurukkan kepalanya ke ceruk leher Ning. "Maaf. Maaf saya salah paham."
"Bapak nggak percaya sama saya," lirih Ning. Masih menatap kosong pada langit-langit kamar.
"Maaf." Arya menyusul permintaan maaf itu dengan kecupan yang lama dan dalam. Ning membiarkannya dan tidak menolak sama sekali.
Arya masih berbaring miring, setelah melepaskan ciumannya dari bibir Ning. Jemarinya mengusap lembut rambut Ning.
"Kamu nggak capek harus repot masak untuk catering?" tanya Arya hati-hati.
"Capek apa sih? Sehari-hari juga saya nggak ngapa-ngapain, Pak. Cuma ngurus apartemen dan nunggu Bapak pulang. Tapi Bapak nggak pulang-pulang," jawab Ning santai. Tapi berhasil membuat Arya tersindir. "Mau kuliah, tapi tahun ajaran baru masih lama. Mending saya ngisi waktu dengan masak-masak. Lumayan bisa dapat uang tambahan."
"Apa uang bulanan yang saya kasih selama ini nggak cukup?"
"Cukup, Pak. Lebih dari cukup. Sekarang," jawab Ning. "Nggak tahu deh kalau nanti."
Arya mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Sekarang semua kebutuhan saya Bapak yang penuhi. Tapi sampai kapan? Cepat atau lambat, Bapak pasti ninggalin saya kan?"
"Ning, kok ngomong gitu...."
"Bapak lama nggak pulang kesini, bukan sekedar karena sibuk kerjaan kan? Apa keluarga Bapak makin ketat mengawasi Bapak? Apa mereka mulai curiga, Bapak punya perempuan simpanan? Apa mereka mulai jodohin Bapak sama perempuan lain yang pantas?" Ning memberondong dengan pertanyaan yang selama ini menjejali kepalanya."Dan apa yang Bapak lakukan? Bapak malah nggak pulang-pulang kesini, berusaha membuat saya nggak ditemukan oleh keluarga Bapak kan? Kenapa Bapak bukannya berusaha pelan-pelan mengenalkan saya ke keluarga Bapak? Bapak malu ya, udah nikahin perempuan miskin yang cuma lulus SMK kayak saya? Kalau Bapak malu punya istri kayak saya, kenapa Bapak nikahin saya, Pak?"
Dan akhirnya pertanyaan dan perasaan yang Ning tahan selama berbulan-bulan meluap juga. Tangisnya pecah.
Ning menghadapkan dirinya pada Arya. Wajahnya menengadah, menatap suaminya, dengan mata yang basah berlinang. Ia mengharapkan jawaban.
Tapi alih-alih menjawab, Arya langsung merengkuh tubuh Ning masuk ke dalam pelukannya. Dan di dalam pelukan itu, tangis Ning makin pecah.
Arya membiarkan Ning menyelesaikan tangis di dadanya. Setelah tangis itu reda, Arya bangkit dari rebahnya, mengambil tissue dan membantu mengeringkan sisa air mata di wajah Ning.
"Jangan nangis lagi, Ning," pinta Arya lembut. "Saya nggak melarang kamu usaha catering. Bukan karena saya bakal ninggalin kamu. Tapi karena saya senang melihat kamu antusias mengerjakan ini. Asal kamu jangan kecapean ya."
Arya kembali meraih kepala Ning dan membenamkannya di dadanya. Lengannya melingkupi tubuh kecil Ning. Lalu mulai membelai punggungnya, naik-turun.
Ning balas memeluk Arya, melingkarkan lengannya dengan erat di sekeliling tubuh Arya.
"Jangan ninggalin saya ya, Pak. Saya sayang banget sama Bapak," rengek Ning di dada Arya.
Lelaki itu menjauhkan diri, melepaskan pelukan Ning sesaat. Ia menangkup wajah gadis itu, lalu perlahan menunduk dan menciumnya.
"Jangan nangis lagi ya, Kemuning."
Lalu ciuman Arya bergerak turun. Ke leher, tulang selangka, dada, perut dan makin turun. Membuat Ning terengah dan puas. Melupakan sesaat kegundahan hatinya.
* * *
Ning terbangun keesokan harinya dengan kaget. Karena Arya membuatnya sibuk semalaman, Ning jadi kelelahan dan bangun kesiangan.
Ning menggeliat dan mendapati Arya masih memeluk tubuh polosnya dengan erat. Jadi ia beringsut pelan agar tidak membangunkan suaminya, lalu buru-buru ke kamar mandi dan membersihkan diri dengan cepat.
Dengan cekatan Ning mulai memasak nasi dan mengolah bahan-bahan makanan yang sudah direncanakan, untuk menyiapkan sarapan dan catering hari ini.
Di tengah kesibukannya di dapur, tiba-tiba sebuah lengan memeluk pinggangnya.
"Bapak!" Ning menggeliat lalu terkekeh ketika berbalik dan menemukan wajah suaminya.
"Saya bangun, kamu sudah nggak ada di tempat tidur," gerutu Arya. "Biasanya saya masih bisa ndusel-ndusel dan 1 ronde lagi sama kamu."
Ning terkekeh dengan wajah memerah malu. Dengan cepat ia berjinjit dan mencium pipi suaminya.
"Saya bangun kesiangan, Pak. Harus buru-buru masak buat catering. Nanti lagi ya?"
"Saya dikalahin sama Nares!" dengus Arya.
Ning tertawa. "Bukan, Bapak. Nggak usah jealous gitu ah. Ini kan bukan pesanan Mas Nares aja."
"Mesra banget, manggilnya Mas."
"Lha, saya mau manggil Mas Arya, Bapak yang nggak suka." Dengan cepat Ning membalikkan kata-kata Arya, membuat lelaki itu mati kutu.
Arya diselamatkan oleh bunyi bel pintu. Ia segera ngeloyor keluar, untuk membukakan pintu.
"Selamat pagi, Pak!" sapa lelaki yang tadi malam ia pergoki di ruang TV apartemennya.
Sementara dirinya hanya mengenakan celana pendek tanpa kaus yang menutupi bagian atas tubuhnya, lelaki itu sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans. Arya sempat melihat ekspresi tidak nyaman Nares saat lelaki itu melihatnya bertelanjang dada, tapi Arya sok cuek. Dia memang sengaja melakukannya.
"Mau ambil pesanan?" tanya Arya, tanpa bertele-tele.
"Iya Pak. Ning ada?"
Arya membuka pintu unitnya lebih lebar dan mempersilakan Nares masuk.
"Duduk dulu," kata Arya, mempersilakan Nares duduk di ruang TV. "Ning kecapekan semalaman. Jadi terlambat bangun. Kelihatannya belum selesai masak. Saya panggil dia dulu."
Arya bisa melihat ekspresi salah tingkah Nares saat mendengar penjelasan Arya, dan lagi-lagi Arya mengabaikannya.
"Mas Nares ya?"
Belum sempat Arya memanggil Ning, gadis itu sudah keluar dari dapur dan menghampiri kedua pria di ruang TV itu.
"Mas, maaf, tunggu sebentar ya. Udah kelar kok. Tinggal masukin ke wad____ Bapak!"
Kalimat Ning terhenti ketika melihat Arya berdiri di ruang TV dengan santainya, bertelanjang dada. Buru-buru Ning menarik tangan Arya untuk masuk ke kamar.
"Kok nggak pakai baju dulu, sebelum bukain pintu, Pak?" Ning berbisik gemas, sambil memukul lengan suaminya.
"Sengaja," jawab Arya. Tidak berusaha merendahkan volume suaranya. Memastikan Nares dapat mendengar suaranya. "Abis ini kan kita mau 1 ronde lagi."
"Astaga! Sssttt!!! Ngomongnya pelan-pelan aja sih!" bentak Ning dalam desisan.
Arya hanya tersenyum saja, membiarkan Ning mendorongnya masuk ke kamar, menyuruhnya untuk pakai baju dulu. Dari balik pintu kamar, ia mendengar langkah Ning yang bergegas menghampiri Nares.
"Bentar ya Mas. Tinggal masukin wadah aja kok," kata Ning, dengan ekspresi sungkan, gara-gara kelakuan suaminya barusan.
"Santai aja Ning," jawab Nares sambil tersenyum maklum.
Setelah itu Ning langsung kembali ke dapur dan mengemas masakannya ke dalam 15 wadah. Tapi ternyata gangguan dari Arya belum berakhir. Belum selesai Ning mengemas makanan, Arya sudah kembali ke dapur. Lelaki itu memang sudah memakai kaosnya sehingga tidak lagi bertelanjang dada, tapi pria itu mulai bertingkah menyebalkan. Dalam keadaan normal dan tanpa ada orang lain di ruang TV mereka, Ning pasti akan senang-senang saja jika Arya ndusel-ndusel pada dirinya selagi ia di dapur. Masalahnya, sekarang sedang ada tamu di ruang TV yang menunggu pesanannya segera selesai, tapi Arya justru tidak tahu sikon, malah ndusel-ndusel terus.
"Bapak! Jangan! Nanti aja!" desis Ning gemas.
"Cepet aja. Kamu jangan mendesah terlalu ramai."
"Heh! Bapak ngomongnya jangan keras-keras! Hush!"
Susah payah Ning menyelesaikan mengemas makanan ke wadah diantara gelitikan dan godaan Arya. Akhirnya ia berhasil memasukkan 15 wadah tersebut ke tas kain besar yang biasa digunakan Nares untuk membawa pesanan. Berinisiatif, Arya mengangkat tas kain tersebut dari dapur, dan meletakkannya di hadapan Nares yang masih duduk di ruang TV.
"Makasih banyak ya Mas, maaf Mas jadi nunggu lama," kata Ning ketika menghampiri tetangganya itu.
Nares segera bangkit ketika melihat Ning dan Arya menghampiri. Sementara Arya, setelah meletakkan tas kain berisi wadah pesanan catering di hadapan Nares, segera kembali berdiri di sisi Ning, lalu memeluk pinggang istrinya. Arya melakukannya dengan santai dan kasual, tapi Ning merasa risih karena ini pertama kalinya Arya menunjukkan kontak fisik berlebihan di hadapan orang lain.
"Nggak apa Ning. Makasih ya," jawab Nares. "Kalau gitu saya langsung pamit aja ya."
"Oh iya, Mas. Ati-ati di jalan ya Mas."
Nares tersenyum. Sementara Arya manyun.
"Mari, Pak. Saya pamit," kata Nares sambil mengangguk sopan pada Arya.
"Iya." Hanya itu tanggapan Arya, dengan suara datar.
Begitu Nares keluar dan pintu apartemen tertutup, tanpa menunggu lama, Arya langsung meraih tubuh Ning.
"Kamu cuma boleh bilang ati-ati di jalan pada saya aja!" geramnya mengancam.
Lalu sebelum Ning bisa membela diri, Arya sudah membungkamnya dengan tindakan yang mendominasi.
* * *
Dua ribu kata nih Kak. Yuhuuuu. Ramaikan vote n komennya yuk kak, supaya......
... supaya rame lah (kali aja jd double update hahaha)...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top