NING - 5
"Untung aja belum tidur!"
Wajah ramah Nares, si tetangga depan unit, langsung menyambut Ning begitu ia membukakan pintu apartemennya. Pria itu tampak memegang dua kotak makan yang tadi pagi diberikan Ning.
"Kamu belum tidur kan Ning? Saya nggak bangunin kamu kan?" Nares memastikan sekali lagi.
"Oh, nggak, Mas. Belum tidur kok," jawab Ning sopan.
"Makasih banyak ya makanannya tadi. Enak banget lho!" Nares kemudian menyerahkan kotak makan itu pada Ning. "Nih tupperwarenya saya balikin. Udah dicuci juga. Jadi nggak bakal kena marah kan?"
Ning tertawa ketika menerima kotak makan itu. "Nggak dicuci dulu juga nggak apa-apa Mas. Nggak bakal saya kunciin di luar," balasnya bercanda.
"Jadi, saya boleh masuk?" sambut pria itu cepat.
"Eh?"
"Karena tupperware nya udah saya cuci, jadi saya nggak dikunciin di luar kan? Artinya saya boleh masuk kan sekarang?"
"Oh, oh, iya, Mas," jawab Ning gugup.
Sebenarnya ia tidak bermaksud menawarkan Nares untuk masuk. Ini sudah lewat dari jam 8 malam. Jadi Ning merasa tidak nyaman menerima tamu lelaki, apalagi di waktu semalam ini. Tapi karena lelaki itu sudah terlanjur berinisiatif minta diundang masuk, Ning sungkan untuk melarang. Jadi akhirnya Ning mempersilakan Nares masuk.
"Makasih ya," kata Nares ketika nyelonong masuk.
Di apartemen sederhana itu, pintu masuk langsung berhadapan dengan ruang TV. Jadi Nares langsung duduk di ruang TV tersebut. Sementara itu Ning mengganjal pintu masuk dengan sendalnya, agar pintu apartemen tetap terbuka. Baru kemudian ikut masuk ke ruang TV.
Ning duduk di sofa tunggal, terpisah dari sofa tempat Nares duduk.
"Tadi beberapa teman saya nyicipin bekal dari kamu yang 1 kotak lagi. Kata mereka, enak!" kata Nares.
Mata Ning berbinar. Bibirnya tertarik lebar. Dia bukan perempuan yang pintar secara akademik. Nilai sekolahnya meski tidak pernah jelek, tapi juga tidak pernah menonjol. Juga tidak punya skill khusus. Skill-nya dalam hal perkantoran diperolehnya dari pendidikan di SMK. Tapi dalam hal itupun kemampuannya tidak outstanding. Diantara segala hal yang biasa-biasa saja dalam dirinya, memasak barangkali hanya satu-satunya hal yang bisa ia lakukan dengan baik. Jadi, karena tidak pernah ada yang memujinya dalam hal apapun, Ning selalu merasa tersentuh jika ada orang yang memuji masakannya.
"Kamu bikin makanan bekal gitu pagi-pagi ya?" tanya Nares.
"Iya, Mas."
"Emang biasa bikin banyak atau gimana? Tadi kok bisa sekalian ngasih ke saya?"
"Kalo bikin 1-2 porsi aja, tanggung Mas. Kadang saya emang bikin agak banyak, trus disimpan. Jadi tinggal dipanasin kalau mau makan lagi."
"Kalau pas masak gitu, sekalian nambah 2-3 porsi lagi, boleh nggak?"
"Eh?"
"Kami --saya dan teman-teman yang nyicipin masakan kamu tadi-- kerja sebagai web developer..."
Ning masih tersenyum. Tapi tatapannya tidak bisa berbohong bahwa dirinya bingung.
"... perusahaan IT," Nares menambahkan, karena melihat Ning agak bingung. "Kadang proyek kami bisa sangat banyak, dengan deadline nggak masuk akal. Kami kadang nginep di kantor, dan pulang cuma kalau celana dalam sudah habis dipakai side A side B."
Nares terkekeh melihat ekspresi Ning yang mengernyit.
"Makanan sih gampang, ada mi instan, ada delivery. Tapi kadang bahkan kami lupa bikin mi gelas atau lupa pesan. Seperti yang terjadi pada saya kemarin, sampai saya pulang kelaparan," lanjut Nares. "Jadi tadi temen-temen saya tanya. Barangkali kamu bisa masak sekalian agak banyak, untuk mereka juga? Nggak gratisan kok. Kami bayar. Kayak catering gitu?"
Senyum Ning makin lebar. Ibunya memang berjualan nasi uduk di depan rumah sejak Ning kecil, sehingga ia terbiasa membantu ibu berjualan makanan. Tapi baru kali ini ada yang mengakui kemampuannya memasak sampai memintanya menyiapkan makanan catering. Tiba-tiba dia merasa sangat bersemangat.
"Bukannya banyak catering lain yang lebih terkenal, yang ada iklannya gitu di IG?" tanya Ning, ragu.
"Temen-temen saya juga beberapa pernah coba catering lain juga sih. Dan sekarang mau nyoba catering sama kamu kalau kamu buka catering. Hehehe."
"Aduh tapi saya nggak buka catering, Mas. Gimana ya? Hehehe."
"Oh..." Nares tampak mengangguk-angguk.
"Emm... tapi tadi berapa orang Mas?" Meski sudah bilang bahwa dirinya tidak membuka usaha catering, tapi sebenarnya Ning jadi benar-benar tertarik dengan ide itu.
Nares nyengir. "Tiga orang. Plus saya, jadi empat orang."
"Hmmm..." Ning bergumam. "Kalau segitu, kayaknya saya masih bisa sih masaknya."
"Cool!" puji Nares bersemangat, ketika akhirnya Ning menyetujui usulannya. "Jadi besok pagi saya ambil kesini ya? Jam 7, boleh?"
Ning mengangguk, antusias.
"Harganya berapa per porsi?"
"Eh?" Ning jadi bingung sendiri kalau ditanya begitu. "Terserah aja Mas. Seikhlasnya aja."
"Lho, kok gitu?"
"Soalnya kan tiba-tiba saya diminta masakin buat catering, jadi belum kepikiran ngitung modalnya. Untuk pelanggan perdana, harga seikhlasnya deh Mas. Kalau cocok sama masakan saya dan mau pesan lagi, besok-besok baru deh saya tagih sesuai harga."
Nares tertawa. "Oke deh. Wah, temen-temen saya pasti senang nih, dapet harga sukarela."
Ning ikut tertawa kecil mendengar gurauan itu.
"Ini saya nggak ditawarin minum nih?" tanya Nares.
"Eh, aduh, maaf Mas. Kirain karena udah malem, Mas bakal buru-buru pulang. Lagian nanti kalau saya tawarin kopi, kan Mas nggak bisa tidur nanti," jawab Ning sopan. Padahal sebenarnya ia memang tidak berniat menawarkan minum untuk Nares. Ini sudah terlalu malam untuk bertamu berlama-lama.
Untungnya Nares peka ketika melihat gelagat Ning. Ditambah melihat Ning membuka pintu unitnya lebar-lebar. Gadis itu pasti tidak nyaman menerima tamu lelaki. Menyadari itu, Narespun segera pamit pulang.
* * *
Pagi itu Ning sudah menyiapkan 4 kotak makan berisi tumis labu siam, udang saus padang dan potongan melon, ketika Nares datang ke apartemennya.
"Wah, saya suka udang!" kata Nares bersemangat.
Ning tersenyum. "Besok kira-kira Mas mau dimasakin lagi nggak?"
"Mau dong!"
"Mau dimasakin apa?"
"Hmmm... apa ya? Saya pemakan segala sih."
"Oh... Oke..." Ning manggut-manggut, padahal dalam hati sedang memutar otak, kira-kira menu yang enak apa ya?
"Saya dan temen-temen sih makan apa aja, yang nggak ngerepotin Ning lah. Tapi manti saya tanya juga temen-temen saya deh, mereka mau dimasakin apa. Barangkali Ning jadi ada ide."
"Nah iya, Mas. Boleh deh gitu. Minta tolong ditanyain, mau makan apa, dengan budget berapa. Nanti saya belanja sesuai request deh."
Nares mengangguk. "Kalo gitu, minta nomer hape Ning dong," kata Nares. "Nanti saya WA Ning. Kali aja siang ini mau belanja kan?"
Dan dengan itu, merekapun bertukar nomer ponsel.
* * *
Malam harinya, Nares kembali membawa pulang 4 kotak bekal kosong dan tambahan pesanan 5 kotak lagi untuk esok hari. Membuat mata Ning makin berbinar.
"Beneran, temen-temen Mas nambah pesanan?"
"Beneran lah. Masa bohongan. Apalagi pas tadi saya bilang ke mereka, besok kamu rencana masak empal daging dan sayur asem. Jadi ada tambahan 5 orang lagi yang pesen deh. Kata temen saya, lumayan jaman sekarang dapet catering 20ribuan. Biasanya catering mereka sekitar 30 - 40 ribuan gitu."
"Oh, itu mah tergantung menunya, Mas. Kalau menu tadi pagi emang cuma 20 ribuan. Tapi kalau tadi ada temennya Mas yang request chicken cordon blue misalnya, mungkin 30 ribuan gitu."
Tadi siang Ning dan Nares memang sempat WA-an. Nares menyampaikan request menu dari teman-temannya agar Ning bisa berbelanja bahan-bahannya.
Untung uang belanja yang selalu diberikan Arya tiap bulannya lebih dari cukup sebagai modal berbelanja.
"Kalau gitu coba aja bikin variasi menu harian dan harganya, Ning. Nanti saya tawarin ke temen-temen saya, mereka mau menu hemat atau lagi pengen hedon."
Ning tertawa.
"Tapi kamu nggak apa-apa nih, tiba-tiba jadi buka catering gini gara-gara saya?"
"Ihhhh! Ya nggak apa-apa lah Mas. Malahan saya berterima kasih. Saya jadi ada kerjaan dan pemasukan tambahan."
"Nggak ganggu kuliah kamu kan?"
Ning menggeleng sambil tersenyum. "Saya nggak kuliah kok Mas."
Kening Nares berkerut. "Kerja?"
Ning menggeleng lagi. "Saya pengangguran Mas. Makanya, gara-gara Mas Nares, saya jadi dapet kerjaan, jadi ada kesibukan di rumah. Makasih ya Mas."
Nares tersenyum canggung, masih terlihat bingung. "Kalau nggak kuliah atau kerja, berarti sehari-hari Ning..." Kalimat Nares menggantung, sungkan untuk melanjutkan.
"Saya di rumah aja. Ngurusin rumah, ngurusin suami. Saya ibu rumah tangga."
"I-ibu...?"
"Bukan kok, hehehe. Saya belum punya anak."
"Tapi... Laki-laki yang biasa..."
"Iya, itu suami saya."
"Oh..." Nares mengangguk canggung. "Saya pikir kakaknya Ning."
"Hehehe. Suami saya emang 11 tahun lebih tua dari saya Mas."
Nares tahu bahwa penghuni unit di depannya adalah seorang pria dan seorang wanita. Tapi karena perbedaan usia yang terlihat diantara mereka, Nares pikir mereka adalah kakak-beradik. Siapa sangka mereka adalah suami-istri. Di usia semuda ini? Nares penasaran, tapi merasa tidak sopan jika bertanya.
"Suami Ning nggak keberatan Ning sibuk catering gini?"
Ning terkekeh. "Aduh sibuk apa sih Mas. Kan cuma 9 porsi doang. Nggak sibuk sama sekali lah. Lagian suami pulang sesekali aja, jadi diluar itu saya nganggur."
"Oh, LDM ya? Suaminya kerja di luar kota?"
"Emm.. kira-kira begitu Mas," jawab Ning seadanya. Jakarta dan Depok kan memang kota yang berbeda kan? Jadi Ning tidak bohong kan?
"Oh... pantes jarang kelihatan," gumam Nares. "Makanya saya pikir kalian itu kakak-adik. Soalnya jarang kelihatan bersama."
Ning hanya bisa nyengir miris. Masih untung Nares mengira dirinya adalah adiknya Arya. Untung bukan dianggap pembantunya. Padahal dengan hubungan mereka saat ini, Ning lebih merasa sebagai pembantu yang digaji untuk menjaga dan mengurus rumah tuanya selagi tuannya berpergian.
Miris.
* * *
Apakah Nares akan menjadi Ganes jilid 2?
Atau menjadi Om Erlang jilid 2?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top