NING - 14
Sebenarnya bab ini pgn diposting nanti sore, buat temen istirahat setelah pulang kerja. Supaya ga tll napsu juga abis baca bab ini.
Tapi barusan ada salah satu pembaca, yg adl senior saya jg di kampus (hahaha), nagih bab ini.
Jadi ya udah, saya posting sekarang deh.
Tarik napas dulu Kak....
* * *
"Kenapa kamu bisa punya foto itu?"
Itu adalah kalimat pertama yang dikatakan Arya ketika menyerbu masuk ke apartemennya.
Ning sudah duduk menunggu di sofa ruang TV. Ia menoleh dengan tenang pada Arya yang tampak panik.
"Foto yang mana?" tanya Ning datar.
Arya menghempaskan diri di samping Ning, lalu menarik gadis itu mendekat. Akibat pemerkosaan semalam, Ning merasa takut pada Arya, tapi ia berusaha tidak menampilkannya.
"Foto saya di tempat tidur."
"Saya yang ambil. Bapak ganteng banget kalau lagi tidur, setelah puas dengan saya," jawab Ning provokatif. "Jadi saya ambil foto kita tidur bersama. Sebagai obat, kalau saya kangen sama Bapak, karena Bapak nggak pulang-pulang kesini."
Arya tampak marah. Tapi di saat yang sama, ia tampak menahan diri. Barangkali dalam hatinya sebenarnya ia sudah ingin menggampar Ning saja.
"Kan sudah saya bilang...."
"Tidak boleh ada foto?" potong Ning, sebelum Arya menyelesaikan kalimatnya. "Kenapa? Karena Bapak masih perlu waktu sebelum bisa mengenalkan saya ke keluarga Bapak dan menikahi saya dengan resmi? Tapi kenapa sekarang Bapak malah nikah sama perempuan lain, Pak?"
Ning sudah berusaha kuat. Tapi ternyata, ketika berhadapan dengan Arya, ia akhirnya menangis juga. Menangis karena marah pada Arya, sekaligus karena sedih ditinggalkan Arya.
Ron Weasley pernah bertanya. Bagaimana mungkin 1 orang merasakan banyak hal sekaligus terhadap 1 objek yang sama: takut, marah, sedih, dan cinta? Tapi mungkin perempuan memang sekompleks itu.
Dan melihat Ning yang menangis, Arya yang tadinya sudah siap marah-marah, kini luluh.
"Ning, dengerin dulu penjelasan saya..." kata Arya, kali ini lebih lembut.
"Atau... Bapak nggak mau ada foto kita berdua, karena Bapak takut foto-foto itu akan merugikan Bapak nantinya? Seperti sekarang, Bapak takut saya memanfaatkan foto itu?"
"Apa kamu berniat memanfaatkan foto itu untuk menjatuhkan saya?" tanya Arya waspada.
"Kalau saya berhasil menjatuhkan Bapak, apa Bapak jadi mau menikahi saya secara resmi?"
Wajah Arya mengeras. Demi menahan diri, ia akhirnya mengalihkan topik.
"Foto pernikahan itu, kamu dapat dari mana?" tanya Arya.
Tidak menjawab pertanyaan barusan, Ning malah balik bertanya, "Bapak kenapa nikah sama Bu Naura Pak?"
"Kamu kenal sama Naura?"
"Bapak bilang mau memperjuangkan saya di depan keluarga Bapak. Tapi kenapa Bapak malah nikah sama perempuan lain? Apa kekurangan saya Pak? Saya cinta banget sama Bapak. Saya selalu nurut sama Bapak, melayani Bapak, memuaskan Bapak. Apa kurangnya pelayanan saya Pak?"
Ketika Arya tidak juga menjawab pertanyaan itu, suara Ning menjadi lebih tegas. "Jawab Pak! Apa pelayanan yang saya lakukan kurang memuaskan?!"
"Bukan, Ning. Nggak ada yang salah dengan semua yang sudah kamu lakukan untuk saya."
"Kalau gitu, kekurangan saya hanya karena saya miskin dan bodoh kan Pak?" tukas Ning. "Saya bisa kuliah Pak, saya akan jadi pintar. Dengan dukungan Bapak, usaha catering saya bisa makin luas. Saya nggak akan miskin lagi. Saya bisa berubah, Pak. Tapi kenapa Bapak ninggalin saya?"
Tentu saja Arya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Atau alasan sebenarnya karena saya bukan anak pemilik Atmodjo Group yang berinvestasi di HW Food?"
Selama menjadi supplier kue di cake shop Rara, Ning tidak pernah kepo dengan kehidupan Rara. Ning sendiri bukan remaja yang in touch dengan media sosial. Media sosialnya lebih banyak dimanfaatkan untuk posting menu catering dan pre-order kue. Tapi tadi pagi, setelah janjian bertemu dengan Rara, Ning segera mencari tahu tentang Naura Atmodjo.
Jika hanya dilihat dari sebuah cake shop dan sebuah coffee shop yang dikelolanya, Rara tampak seperti pengusaha wanita biasa. Tapi ternyata di balik itu, Rara adalah salah seorang puteri Rahadian Atmodjo, pemilik Atmodjo Group, yang bidang usahanya meliputi industri makanan-minuman, industri kosmetik, dan industri produk rumah tangga.
"Ning, tolong dengerin penjelasan saya dulu ya," pinta Arya.
"Bapak mau jelasin apa?" Ning menghapus air matanya, yang turun untuk ke sekian kali.
"Saya dan Naura dijodohkan, Ning."
Saya sudah dengar tentang itu.
"Dia baik, cantik, pintar. Pengusaha. Benar, ayahnya baru saja berinvestasi di HW Food, sehingga kami bisa memperbesar fasilitas dan kapasitas produksi. Saya..." Arya terlihat kesulitan menelan ludah. "... saya nggak punya alasan untuk menolak perjodohan itu."
Ning melongo."Bapak nggak punya alasan untuk menolak perjodohan?" tanyanya mencemooh. "Bapak punya saya Pak! Bapak sudah punya istri! Kalau Bapak mau, Bapak punya alasan yang kuat untuk menolak perjodohan. Kecuali Bapak yang memang nggak mau pakai alasan itu, karena mau terus menutupi keberadaan saya dan nggak mengakui saya!" geram Ning. "Itu yang sedang Bapak lakukan kan? Nggak mau mengakui keberadaan saya, iya kan?!"
Tentu saja semua analisis Ning tepat. Dan tentu saja Arya tidak bisa mengelak.
"Bapak cinta sama istri baru Bapak?" tanya Ning kemudian, lugas.
Mereka saling menatap dengan intens. Tapi Arya tidak kunjung menjawab.
"Bapak sudah punya istri baru, kenapa semalam masih minta jatah sama saya? Apalagi dengan memaksa?" Ning menyeringai, seolah mengejek. "Nggak puas ya sama istri barunya? Cuma saya kan yang bisa memuaskan Bapak? Iya kan? Kalau gitu, kenapa mesti nikah lagi, Pak? Saya bisa melakukan semua yang Bapak mau. Kenapa mesti nambah istri lagi?"
Ekspresi Arya berubah, merasa terusik dengan pertanyaan itu.
"Maaf tadi malam saya menyakiti kamu." Arya meraih jemari Ning. "Masih sakit?"
"Nggak sesakit yang disini, Pak," Ning menunjuk dadanya, menjelaskan hatinya.
"Maaf tadi malam saya lepas kendali. Saya marah lihat kamu pulang malam sama si Nares-Nares itu. Apalagi kamu ketawa-ketawa sama dia, padahal sudah sebulan ini kamu dingin sama saya."
"Kalau Bapak merasa kehilangan juga saat anak kita gugur, Bapak pasti akan ngerti kenapa saya dingin ke Bapak."
"Saya juga merasa kehilangan, Ning."
"Oh ya?" Ning sangsi. "Saya kira Bapak nggak merasa kehilangan. Soalnya Bapak malah marah karena kontrasepsi saya gagal. Apalagi pas anak Bapak mati, Bapak lagi asik bikin anak sama perempuan lain."
"Jangan ngomong gitu, Ning..."
"Tadi malam, Bapak marah pas lihat saya dan Mas Nares, apa itu artinya Bapak cemburu? Bapak cinta kan sama saya, makanya Bapak cemburu? Iya kan Pak?"
Bibir Arya sudah terbuka, seperti hendak menjawab. Tapi seperti selalu ketika Ning menanyakan pertanyaan seperti ini, Arya tidak pernah menjawab. Padahal Ning hanya ingin, satu kali saja, mendengar kata cinta itu. Bahkan meski pernikahan mereka harus berakhir, Ning hanya ingin satu kali saja mendengar bahwa Arya menyayanginya. Bukan hanya sekedar membutuhkan tubuhnya. Apakah satu kali saja terlalu berlebihan?
Suara bel apartemen memecah percakapan mereka. Ning dan Arya saling memandang bingung. Hampir setahun tinggal disana, tidak ada yang pernah datang ke apartemennya jam segini. Biasanya hanya satpam apartemen atau Nares yang datang ke unitnya, itupun pagi hari sebelum berangkat kerja atau malam hari sepulang bekerja. Tidak pernah pada jam-jam seperti ini.
Suara bel apartemen kembali terdengar beberapa kali.
"Pelanggan kamu, ngambil pesanan?" tanya Arya.
Ning menggeleng. "Saya yang biasa antar makanan. Tapi hari ini saya libur masak karena masih sakit."
Wajah Arya sekilas tampak menyesal mendengar Ning sakit akibat ulahnya semalam. Tapi belum sempat Arya mengatakan apa-apa, bel apartemen kembali terdengar. Dan ini aneh, karena sang tamu tampak tidak sabar menekan bel berkali-kali.
Karena waspada, Arya menahan Ning yang hendak membukakan pintu. Lelaki itu yang berinisiatif membukakan pintu.
Entah itu adalah keputusan yang tepat atau tidak. Karena begitu pintu apartemen terbuka, tamu tersebut langsung menghambur masuk dan menyerang dengan ofensif.
"Nararya!!!" Seorang perempuan dengan rambut yang sudah memutih sebagian, barangkali 50-60 tahun, menerjang masuk dengan suara menggelegar. "Jadi ini apartemen simpanan kamu? Berani-beraninya kamu, Arya!"
"Mama! Kenapa...?"
Wanita itu mendorong bahu Arya dengan keras, menyebabkan Arya terhuyung mundur. Otomatis, Ning yang berdiri di balik punggung Arya juga terdorong mundur.
Dengan cepat Ning menyeimbangkan diri. Mendengar panggilan Arya kepada wanita itu, Ning langsung menyadari bahwa wanita dengan wajah anggun dan angkuh ini adalah ibu atau ibu mertua Arya.
Tapi mengingat Arya pernah bilang bahwa ibunya sakit sehingga Arya harus tinggal di rumah orang tuanya, apakah berarti wanita ini adalah ibu mertuanya?
"Dita! Kenapa kamu biarin Mama...." Arya terdengar menegur gadis muda yang berdiri di balik punggung wanita tua itu, dengan wajah salah tingkah.
"Mama minta ditemenin kesini, Mas. Dita nggak tahu___"
"Dita! Nggak perlu jelasin apa-apa ke kakak kamu yang brengsek ini!" Sang wanita menegur si gadis muda, yang sepertinya adalah puterinya itu. Lalu matanya kembali nyalang pada Arya. "Kamu, Arya, yang harusnya menjelaskan ini ke Mama! Capek-capek Mama didik kamu dari kecil, bukan untuk jadi pecundang brengsek seperti ini!"
Jadi ini adalah ibunya Pak Arya?, pikir Ning cepat, dalam hati, Nggak kelihatan sedang sakit. Justru sangat sehat. Itu berarti lagi-lagi Pak Arya bohong?
"Anak nggak tahu diri!" maki wanita tua itu, kali ini sambil memukuli lengan Arya. Dan lelaki itu menerimanya dengan pasrah. "Apa kurangnya Rara, hah?! Dia cantik, pintar, baik. Sebegitunya Mama memilihkan jodoh dengan kualitas terbaik buat kamu. Ngapain kamu malah selingkuh hah?!"
"Saya bukan selingkuhan!" refleks Ning membela diri. Ia menggeser tubuhnya dari balik punggung Arya.
Dan saat itu juga, sebelum Ning sempat mengantisipasinya, tangan ibu Arya sudah terangkat dan menampar Ning.
Ning jatuh terduduk, memegang pipi kirinya dengan syok. Air matanya jatuh sebelum ia sempat mencegahnya.
Dengan tenaga sekuat itu, sampai bisa menampar Ning hingga terjatuh.... sakit dari mananya? Sakit jiwa, maksudnya?
Ning menengadah dan mendapati ibu Arya berdiri menjulang di hadapannya, dengan wajah angkuhnya. Sementara tangan Arya baru separuh terangkat, seperti hendak mencegah ibunya, tapi kalah cepat dibanding sang ibu.
Ibu Arya berjengit, tidak suka melihat sosok Ning.
"Dari tadi saya menahan diri supaya nggak berurusan sama kamu, perempuan!" Ibu Arya mendecih sinis. "Nggak level!" imbuhnya. Awalnya hanya pipi Ning yang merah karena tamparan barusan. Tapi kini seluruh wajahnya memerah dengan cepat. "Tapi kamu malah berani-beraninya membantah kata-kata saya. Punya nyali kamu, pelacur?!"
"Saya bukan pelacur! Saya bukan selingkuhan Pak Arya!"
"Berani juga, perempuan murahan ini! Mau minta ditampar lagi hah?!"
Ning mengangkat tangannya dengan cepat, untuk menangkap tangan ibu Arya yang kembali terayun ke arahnya, tepat saat terdengar teriakan seseorang.
"Mama! Jangan, Ma!"
Arya, ibunya dan adiknya tampak syok melihat Rara keluar dari kamar Ning-Arya, dan berlari menghampiri ibu mertuanya.
"Kamu kok disini?" tanya Arya bingung. Ia menatap wajah istri pertama dan istri keduanya, bergantian.
Apa ini berarti kedua perempuan itu sudah saling mengenal? Kalau dari tadi Rara berada di kamarnya, apakah itu berarti Rara mendengar semua percakapannya dengan Ning? Apa Ning sengaja menjebaknya?
"Kamu kenapa di sini, Sayang?" sambut ibu Arya kepada Rara. Berbeda sekali sikap wanita itu kepada kedua menantunya. Yang satu diperlakukan seperti ratu, yang satu seperti sampah.
"Kita keluar aja yuk Ma," bujuk Rara, ketika telah sampai di samping ibu mertuanya. Perempuan itu menggamit lengan sang mertua, dan membujuknya keluar dari apartemen itu.
"Ma, yuk, Ma..." Dita, adik Arya, ikut menimpali dengan takut-takut.
"Nanti dulu, Ra," jawab Ibu Arya. "Mama belum memperingatkan perempuan murahan ini supaya nggak mendekati suami orang lagi."
"Ma, jangan gitu," bujuk Rara lembut. "Ning bukan orang seperti itu Ma."
"Jadi namanya Ning?" Ibu Arya kemudian memandang Ning dengan tatapan merendahkan. "Lihat kan kamu?" tanyanya pada Ning. "Kamu sudah menggoda suami orang, tapi menantu saya masih berbaik hati membela kamu. Nggak malu kamu, hah?"
"Ma.... udah Ma..."
"Tapi saya nggak menggoda suami orang, Bu!" jawab Ning cepat. "Pak Arya itu suami saya. Saya istrinya. Kami sudah 1 tahun menikah. Jadi disini, Mbak Rara yang ngambil suami saya!"
"Ning!" terdengar suara Arya membentak. Tamparan ibu Arya saja sudah sakit. Tapi ternyata sura bentakan Arya barusan terasa lebih menyakitkan bagi Ning.
Semua orang di ruangan itu menatap Ning, yang masih terduduk di lantai, dengan ngeri. Meski barangkali dengan alasan kengerian yang berbeda.
"Jangan percaya sama perempuan ular ini, Rara sayang!" kata Ibu Arya, menoleh pada menantu kesayangannya dengan cepat. "Arya mungkin tergoda sesaat dengan kecantikan perempuan ini. Tapi Arya nggak mungkin mengkhianati kamu. Arya cinta sama kamu."
Ning berusaha bangkit secepat mungkin, dan menunjukkan bahwa dirinya tidak layak direndahkan.
"Kamu jangan diam aja, Arya! Jelasin ke Rara! Jangan sampai istri kamu salah paham!" perintah ibu Arya pada puteranya.
"Iya Pak!" sambung Ning dengan cepat. "Tolong jelasin ke keluarga Bapak bahwa saya istri Bapak. Saya bukan selingkuhan. Bukan saya yang merebut Bapak dari Mbak Rara. Kita sudah menikah setahun lalu!"
Ning menatap Arya, dengan tatapan tajam. Sementara Arya nampak langsung pucat dikonfrontir seperti itu.
"Jangan sembarangan ngaku-ngaku ya kamu!" tukas ibu Arya, menuding Ning. "Kamu memang cantik. Anak saya mungkin tergoda sesaat. Tapi dia nggak mungkin menikahi perempuan seperti kamu! Mana buktinya kalian sudah menikah? Mana buku nikahnya?"
Ditanya seperti itu, tentu Ning tidak bisa menjawab. Ia menoleh pada Arya.
"Pak, tolong jelasin, Pak...." pinta Ning.
"Jawab Arya!" potong ibu Arya cepat, "Dia bohong kan? Dia bukan istri kamu kan? Kamu nggak pernah nikahin dia kan? Jawab!"
Arya terdiam kaku di tempatnya berdiri. Dita, adiknya, memandang bingung. Rara, istri yang dinikahinya sebulan lalu, menanti penjelasannya. Ning, istri yang selalu disembunyikannya, menatapnya penuh harap. Ia tahu, perempuan itu berharap Arya akan membelanya. Tapi di sisi lain sang ibu juga memandangnya dengan murka. Dan Arya merasa terjebak diantara semua tatapan itu.
Arya menelan ludah, pahit. Sebelum akhirnya menjawab, "Nggak pernah, Ma. Dia bukan istri saya."
Arya menjawab itu sambil menundukkan pandangan. Ia tidak berani menatap semua perempuan itu. Terutama, ia tidak berani menatap Ning. Karena andai ia menatap gadis itu, ia pasti akan melihat luka di matanya.
"Tuh kan Ra," sambut ibu Arya cepat, begitu mendengar jawaban Arya, "Mama bilang apa, perempuan ini pasti bohong sama kamu. Mama yakin, anak Mama nggak akan mungkin nikahin perempuan seperti ini. Kamu jangan salah paham sama Arya ya Ra."
Sementara Ning sudah tidak peduli lagi dengan apapun. Ia hanya menatap nanar pada Arya. Pada suaminya. Yang baru saja mengatakan bahwa Ning bukan istrinya.
Apa yang barusan itu termasuk talak?
Melihat ekspresi Ning yang siap meledak, Rara segera membujuk ibu mertuanya, adik ipar dan suaminya untuk keluar dari apartemen itu. Aryapun langsung menggamit lengan ibunya untuk keluar.
Sementara Ning, tidak sedetikpun mengalihkan tatapannya dari wajah Arya. Hingga matanya memerah dan memanas. Tapi hingga lelaki itu melangkah keluar dari pintu apartemen, lelaki itu tidak sedetikpun menatapnya.
Kejadian pagi ini begitu menguras emosi Ning, hingga ketika akhirnya keempat orang itu menghilang dari balik pintu, Ning jatuh terduduk dengan lemas. Matanya tidak lagi mampu menahan air yang sejak tadi sudah mendesak-desak keluar. Hingga akhirnya Ning hanya bisa meraung kesakitan, dan menangis penuh kesedihan.
* * *
Gimana Kak?
Udah puas ya,,, 2500 kata, dan udah ada adegan baku hantam (mertua-menantu). Hehehe.
Btw, ada kuis nih buat Kakak2
1. Arya ini sebenarnya laki-laki baik atau brengsek sih? Katanya sopan dan ramah, tapi kok bisa memperkosa. Kelihatannya lembut sama Ning, tapi kok tetep ga mengakui Ning. Karakternya ga konsisten amat ya?
2. Yg memperhatikan karakter Ning di 2 bab terakhir ini mungkin bingung. Kemarin kayaknya Ning tegar banget. Tp kok di bab ini balik lagi ngemis2 pengakuan Arya? Aneh ga sih? Kira2 kenapa ya?
3. Lagi seru ky gini, mana Nares nih? Harusnya jd pengeran yg menyelamatkan puteri yg dianiaya dong! Ada yg tahu, knpa Nares ga muncul?
Sampai jumpa di bab selanjutnya, Kak 😘
Minum es timun serut dulu yuk,,, biar reda hipertensinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top