NING - 13

Votenya blm mencapai target sih. Tapi komen bab sebelumnya udah rame bgt. Jadi ya udah, saya posting lanjutannya sekarang deh.

Udah siap?

Siapkan hati ya Kak.

Soalnya bab ini juga bikin mood jelek.

Mohon maaf dan terima kasih.

* * *

Ini foto nikahan Mbak n suami?
(picture sent)


Mbak Rara
Iya lah Ning. Masa foto nikahan orang lain saya pake jd pp WA. Haha.
Knpa? Make up nya manglingi apa gmn? Ga mirip sama saya ya?

Suami Mbak punya sodara kembar ga?

Mbak Rara
Ha? Gmn? Dia anak sulung.
Adik2nya perempuan.
Ga ada sodara kembar.
Knpa?

Kalau gitu, foto laki2 di pp Mbak adl orang yg sama dg laki2 di foto ini. (picture sent)
Namanya Nararya Hadiwinata kan?


Kemuning tidak punya foto pernikahan bersama Arya. Sejak awal, lelaki itu sangat rapi dengan segala rencananya. Saat lelaki itu memintanya menikah hanya secara agama, tanpa dokumentasi foto pernikahan, Ning menurut saja. Karena dulu dia bucin sekali. Dan dulu Arya meyakinkan sekali saat mengatakan bahwa pernikahan mereka akan segera diresmikan secara hukum juga jika ia sudah berhasil menyakinkan keluarganya. Jadi ketika sudah hampir 1 tahun menikah dan hubungan mereka tidak kemana-mana, Ning tidak bisa menuntut apapun, karena tidak punya bukti apapun.

Selama menikahpun, mereka tidak punya foto bersama. Arya tidak pernah mau difoto berdua bersamanya. Ning kira hal itu karena Arya pemalu, yang tidak suka selfie atau berfoto. Ternyata karena lelaki itu tidak mau punya bukti apapun berhubungan dengan Ning.

Tapi Ning diam-diam menyimpan beberapa foto bersama dengan Arya. Ning mengambil foto selfie bersama Arya saat pria itu masih tertidur. Tadinya ia mengambil foto itu hanya sebagai obat rindu karena Arya jarang pulang. Ia tidak menyangka akan menggunakan foto itu untuk hal lain sekarang.

Tidak berselang lama setelah Ning mengirimkan foto selfienya dengan Arya di tempat tidur kepada Rara, perempuan itu menelepon.

"I-itu tadi foto apa Ning?! Maksud kamu apa?!" Suara Rara terdengar bergetar marah, nyaris membentak. Tapi Ning juga merasakan ketakutan dalam suara tersebut. Sama seperti dirinya sendiri yang juga merasa ketakutan kalau ternyata dugaannya benar.

* * *

"Jadi... waktu kamu bilang suami kamu nggak menemani di RS saat kamu keguguran....?" Suara Rara nyaris berbisik.

"Dia sedang menikah dan bulan madu dengan Mbak. Kalian bulan madu ke Jepang kan?"

Rara mengangguk dengan ekspresi ngeri. Karena seingatnya, ia tidak pernah menceritakan perihal bulan madunya kepada Ning.

"Pak Mul bilang, Pak Arya ada meeting di Jepang," imbuh Ning. Membuat wajah Rara makin pias.

"Kamu kenal Pak Mul?" Rara bertanya pelan tentang supir Arya.

Ning mengangguk.

"Dan waktu dia tugas keluar kota setelah kami pulang bulan madu...?"

"Dia disini, bersama saya."

Bibir Rara bergetar. Refleks ia menggigit bibir bawahnya ketika air matanya meluncur turun. Sementara Ning sudah tidak bisa menangis lagi. Sebelum Rara tiba di apartemennya, Ning sudah menangis hingga matanya bengkak. Rara bisa melihat sendiri mata Ning yang bengkak dan wajahnya yang sembab.

"Kamu bohong kan Ning?" tanya Rara, masih denial. "Kami baru menikah sebulan, Ning. Kok kamu tega begini ke saya?" Perempuan itu menyusut ingusnya.

"Tega?" Ning balik bertanya. "Siapa yang tega, Mbak? Saya nikah sama Pak Arya hampir 1 tahun lalu. Dia menikahi saya lebih dulu. Mbak kenapa tega ngambil suami saya?"

"Saya nggak tahu dia sudah menikah!" raung Rara, membela diri.

Kedua perempuan itu saling menatap dengan intens. Marah, sedih, ragu, penyangkalan, semua jadi satu.

"Apa buktinya kalau kalian benar-benar sudah menikah? Kamu cuma punya foto itu kan Ning? Bisa aja kamu cuma menjebaknya kan?"

"Silakan ke kamar, Mbak. Ada baju-baju Pak Arya disana. Barangkali ada bajunya yang Mbak kenali?"

Ning beranjak dari sofa ruang TV, menuju kamar tidurnya. Ia membuka pintu kamar itu lebar-lebar, mempersilakan Rara masuk, jika memang perempuan itu ingin membuktikan sesuatu.

Meski ragu, Rara akhirnya mengikuti Ning masuk ke kamarnya. Ning membuka lemari pakaiannya, dan disana juga tersimpan sejumlah pakaian pria.

"Ini memang baju laki-laki. Tapi ini nggak menunjukkan apapun Ning. Bukan cuma Mas Arya yang punya baju seperti ini."

Mas Arya, Ning mengulang panggilan itu di dalam benaknya. Manis sekali bukan, panggilan itu? Ning pernah mencoba memanggil Arya dengan panggilan itu, tapi lelaki itu melarangnya. Ternyata ia mengijinkan perempuan lain memanggilnya begitu.

"Kamu nggak punya bukti bahwa kamu istri Mas Arya kan Ning? Kamu bahkan manggil dia Bapak. Bisa jadi kamu cuma..... cuma...."

"Selingkuhan? Pelacur? Perempuan simpanan?" tukas Ning kasar.

Rara menelan ludah gentar. Ning yang dikenalnya adalah sosok manis yang ramah. Bukan sosok kasar seperti ini.

"Saya memang nggak punya bukti apa-apa bahwa dia menikahi saya, sah secara agama, meski nggak tercatat di KUA. Pak Arya minta agar pernikahan kami nggak didokumentasikan. Nggak ada foto. Dia bilang, dia butuh waktu untuk meyakinkan keluarganya. Dan karena saya tahu diri, saya cuma perempuan miskin, saya setuju dengan permintaan itu. Bodoh banget saya emang. Bucin. Berbulan-bulan saya nunggu dikenalkan pada keluarganya, ternyata sekarang saya malah kenalan sama istri barunya."

Jeda sesaat, Ning manfaatkan untuk menghela nafas sekuatnya, berusaha melegakan perasaannya yang sesak. Tapi ternyata perasaannya tak kunjung lega.

"Pak Arya memang cuma menganggap saya sebagai perempuan simpanan, Mbak. Dia nggak pernah mengajak saya keluar bersama, atau mengenalkan saya pada temannya. Saya memang istri yang nggak diakui, Mbak. Tapi saya bukan pelacur. Saya bukan perebut suami orang. Saya bukan selingkuhan. Dia bukan selingkuh dari Mbak, dengan saya. Dia yang selingkuh dari saya, saat dia menikahi Mbak."

Rara terduduk di ranjang Ning. Matanya menatap nanar pada lemari pakaian berisi kemeja-kemeja pria yang menggantung.

Ning menoleh pada Rara yang masih terlihat syok. "Saya sudah menjelaskan semua ke Mbak Rara. Kalau Mbak nggak percaya, itu hak Mbak. Bukan kewajiban saya untuk membuktikan apapun atau membuat Mbak percaya," kata Ning. "Tapi kalau ini bisa membuat Mbak nggak galau dan gelisah lagi, Mbak bisa tanya pada Mbak Mul. Dia jadi saksi pada pernikahan kami."

Mata Rara makin membesar dengan buliran air di ujungnya.

"Kalaupun Pak Mul berbohong demi bosnya, Mbak juga bisa mendengar langsung dari mulut Pak Arya sendiri."

Rara menatap Ning, tidak mengerti.

Sementara itu Ning mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu.

(picture sent)
Selamat atas pernikahannya,
Pak Nararya dan Bu Naura.
(picture sent)
Apa Bu Naura sudah punya foto
saat Pak Arya mengawini Kemuning?

Ning mengirimkan pesan itu kepada Arya, dengan menyertakan 2 buah foto: foto pernikahan Arya dan Rara, serta foto selfie Ning-Arya yang Ning ambil di tempat tidur. Sesuai prediksi, tidak sampai satu menit kemudian Arya menelepon Ning.

"Dari mana kamu dapat foto itu Ning?" tanya Arya cepat, begitu Ning mengangkat panggilan teleponnya.

Ning melirik ekspresi Rara yang membatu di tempatnya duduk. Perempuan itu bisa turut mendengar suara Arya karena Ning menekan icon speaker.

"Bapak bisa jelaskan semua ini ke saya, Pak? Saya tunggu di apartemen kita."

"Saya sedang di kantor___"

"Kalau gitu saya akan langsung minta penjelasan dari Bu Naura. Dia pasti belum tahu bahwa dia jadi istri muda kan?"

"Kemuning! Jangan macam-macam....!"

Tapi belum selesai Arya bicara, Ning sudah memutus sambungan telepon. Gadis itu kemudian menatap Rara.

"Pak Arya akan segera datang, Mbak. Mbak Rara bisa mendengar pembicaraan kami dari kamar ini."

Sebutir air mata turun membasahi pipi Rara, yang dikeringkannya dengan cepat.

"Saya nggak akan melepaskan Mas Arya, Ning!" kata Rara tiba-tiba, dengan suara gemetar, dengan kedua telapak tangan yang gemetar pula. "Kami memang baru menikah satu bulan. Tapi saya cinta sama dia, Ning. Kamu.... melepaskan dia lebih mudah buat kamu kan?"

Ning menatap Rara dengan tidak percaya.

Ning sadar dirinya miskin dan bodoh. Itu mengapa dia bisa mencintai Arya dengan tidak masuk akal, sampai mau-maunya dinikahi sirri dan dianggap simpanan. Tapi Naura Atmodjo ini gadis berpendidikan tinggi. Setelah tahu suaminya mengkhianatinya, kenapa ia tetap ingin mempertahankan lelaki itu?

Ning tersenyum pedih. Ternyata bucin dan bodoh karena cinta tidak selalu berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan strata sosial seseorang.

"Mbak baru menikah satu bulan kan? Saya sudah menemani Pak Arya hampir satu tahun ini. Bukan cuma Mbak yang mencintai Pak Arya. Meski dia nggak pernah mengakui saya secara resmi, tapi bukan berarti saya jadi lebih mudah melepaskan dia, Mbak."

"Ning... kita sama-sama perempuan... Toh dia nggak pernah mengakui..."

"Mbak Rara," potong Ning cepat. "Mbak memang punya buku nikah bersama Pak Arya. Tapi saya yang tahu makanan kesukaan Pak Arya. Saya tahu posisi sex favoritnya. Saya selalu bisa memuaskan dia. Saya istri pertama Pak Arya. Saya sama berhaknya dengan Mbak, meski bukan hak dalam hukum negara."

Rara berjengit. Merasa tidak nyaman dengan keterus-terangan Ning.

"Jadi kalaupun nanti saya pergi, itu bukan karena saya merasa nggak berhak atas Pak Arya," kata Ning. "Kita sama-sama perempuan, Mbak. Rasa sakit yang saya rasakan tidak lebih sedikit daripada yang Mbak rasakan. Mbak bukan korban satu-satunya. Jadi nggak perlu bersikap semengenaskan itu dan membuat saya terlihat sebagai antagonis."

Ning berbalik dan melangkah keluar dari kamarnya. Air mata kembali mengaliri pipinya.

Rara menatap punggung Ning yang menjauh, lalu menghilang di balik pintu yang tertutup. Air mata juga mengalir di pipinya.

Siapa pemeran antagonisnya sekarang? Istri sah? Istri simpanan? Istri pertama? Istri kedua?

* * *

Ini cerita ttg istri simpanan, knpa ga ada adegan baku hantam sih?

Ga seru pisan ah!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top