NING - 12
Halo Kakak2!
Gimana perasaannya setelah baca cerita ini sejauh ini? Smg tetap tabah ya Kak.
Cerita ini akan segera selesai. Jadi mohon bersabar sebentar lagi hehehe.
Kmrn ada yg nanya, knpa cerita ini ga dibikin work sendiri aja.
Karena eh karena, cerita ini tadinya direncanakan hanya 10 bab aja. Namun kemudian selama penulisan dirasa perlu sedikit lebih mengeksplor, jadi kayaknya akan nambah jadi 15 bab. Tapi karena ga nyampe 50 bab (seperti cerita2 saya yg lain, hehehe) kan nanggung ya kalo pindah2 work lagi. Supaya pembacanya stay di work ini aja gitu. Lagian cerita ini relatif singkat kok. Sat set sat set, langsung santet! Hahaha
Oiya, kmrn jg ada yg blg bhw baca cerita ini bikin mood jelek. Nah, utk bab kali ini bakal bikin mood lbh jelek si. Jd kalau ga mau mood jelek di pagi hari, boleh baca nanti malem aja..... kecuali kalo udh penasaran bgt ya hehehe.
Dan karena bab ini akan bikin ga nyaman n bikin bad mood, saya mohon maaf sebelumnya.
Makasih untuk selalu mendukung si Kemuning ya Kak,,, meski dia bucin n bego aja mau dinikahin sirri doang.
* * *
Selama beberapa minggu ini Arya sudah bersabar dan berusaha memahami sikap Ning. Ia maklum jika Ning sedih, lalu kecewa dan marah padanya akibat kejadian saat keguguran itu. Tapi ini sudah hampir satu bulan, dan tiap kali ia mampir ke apartemen, sikap Ning masih saja dingin. Gadis itu tetap melayaninya dengan sopan, tapi sikapnya tidak lagi ramah dan menyenangkan. Gadis itu justru cenderung bersikap formal pada Arya, seolah dirinya hanya pembantu rumah tangga. Dan Arya kesal dengan hal itu. Ia merasa Ning sedang mempermainkan dan mengoloknya.
Tiap kali Arya mencumbunya, Ning juga selalu menolak, dengan alasan baru keguguran. Dan puncaknya, ketika suatu malam Arya kembali ke apartemen, apartemen dalam keadaan kosong. Membuat Arya makin marah.
Arya tidak pernah melarang Ning membuka usaha catering, karena ia bisa mengerjakannya dari rumah. Jadi kapanpun Arya membutuhkan Ning, harusnya gadis itu selalu ada di rumah. Tidak seperti ini, sudah malam tapi belum pulang. Apalagi ketika akhirnya Ning tiba di apartemen, Arya melihat lelaki tetangga depan unit mengekorinya masuk ke apartemen.
Begitu masuk, Ning segera sadar bahwa ada Arya di dalamnya. Iapun menyapa suaminya singkat, tapi tetap mempersilakan lelaki lain masuk, seolah tidak peduli pada suaminya yang tidak suka melihat lelaki lain masuk ke apartemen ini.
"Minta tolong ditaruh di dapur, boleh ya Mas?" Arya mendengar Ning berkata pada Nares, sehingga lelaki itu leluasa masuk ke apartemennya hingga ke dapur.
Nares tampak mengangguk sopan pada Arya ketika mereka berpapasan, sebelum lelaki itu mengikuti Ning ke dapur dan meletakkan pinggan bulat besar serta beberapa pinggan dan alat makan lain di dapur.
Setelahnya Nares langsung pamit pulang dan Ning mengantarnya hingga ke depan pintu.
"Makasih banyak ya Mas, udah bantuin bawain ini semua." Arya mendengar Ning bicara seperti itu pada Nares.
"Sama-sama," Kini terdengar suara Nares. "Ini juga karena saya mendapat titah Bu Bos. Karena dia pesan tumpeng dan kue-kue buat syukuran ulang tahunnya sama kamu, jadi dia nyuruh saya bantuin kamu bawa."
Suara tawa Ning yang renyah terdengar.
Sudah lama Arya tidak mendengar lagi suara tawa Ning. Jadi ketika kini ia mendengar gadis itu tertawa untuk pria lain, tiba-tiba saja Arya merasa marah.
Pria tetangga itu pamit tidak lama kemudian, dan terdengar suara pintu ditutup. Ning masuk, lalu langsung menuju dapur, seolah Arya tidak ada disana.
"Kemuning!" panggil Arya, dengan suara berat menahan amarah.
"Ya Pak?" jawab Ning. Tapi gadis itu tidak membalikkan badannya. Ia masih menghadap meja dapur, hendak mencuci pinggan-pinggan kotor yang tadi dibawakan Nares. "Bapak mau teh?" Ning menawarkan datar, seperti hanya melaksanakan SOP.
"Kemana kamu, malam begini baru pulang?"
"Nganterin pesanan tumpeng ulang tahun, Pak," jawab Ning.
"Dan kenapa laki-laki itu harus mengantar kamu pulang?"
"Karena yang pesan tumpengnya adalah bosnya Mas Nares. Saya antar ke kantor Mas Nares."
Sebenarnya jawaban Ning barusan cocok dengan percakapan yang Arya dengar tadi. Artinya Ning tidak berbohong. Dan harusnya kemarahan Arya mereda. Tapi mendengar istrinya memanggil "Mas Nares" berkali-kali, membuat kemarahan Arya makin menjadi. Cara gadis itu memanggil "Mas Nares" membuat ego Arya sebagai seorang laki-laki terluka.
"Saya nggak pernah melarang kamu buka catering ya, Ning, karena saya pikir kamu tetap bisa mengerjakannya dari rumah. Tapi kenapa kamu malah jadi sering pergi-pergi gini? Apalagi sampai malam gini. Sama laki-laki lain, lagi!"
Ning merasakan tekanan pada suara Arya. Hampir satu tahun menikah dengan lelaki ini, Ning tahu bahwa suara seperti itu pertanda kemarahan. Dan Ning menjadi waspada karenanya. Ia meletakkan pinggan yang baru saja akan ia cuci, dan kini ia berbalik menghadap Arya.
"Saya nggak pernah nyuruh kamu kerja, Ning. Semua kebutuhan kamu dan keluargamu, sudah saya penuhi. Kamu cuma perlu fokus melayani saya. Jadi harusnya, kapanpun saya butuh kamu, kamu ada. Ngapain kamu mesti capek-capek begini sih?"
Ning terkesiap. Arya memang pernah mengatakan hal serupa ini sebelumnya. Tapi kalimat yang digunakan Arya kali ini jauh lebih lugas dan menyakitkan.
"Bagi Bapak, saya ini siapa, Pak?" Ning bertanya. Inginnya, ia bersikap keren menghadapi pria itu. Tapi ternyata ia memang selemah itu. Ning tidak bisa mencegah suaranya untuk tidak gemetar menahan tangis dan marah.
"Jangan mengalihkan pembicaraan Ning!" bentak Arya.
"Bapak yang selalu mengalihkan pembicaraan!" Kali ini gadis kecil itu berani balas membentak. Meski dengan suara bergetar. "Jawab, Pak, bagi Bapak, saya ini apa? Apa Bapak pernah menganggap saya sebagai istri? Atau sebenarnya Bapak cuma menganggap saya sebagai pelacur?"
"Ning! Nggak usah aneh-aneh deh kamu! Nggak usah baper!" emosi Arya makin tersulut. "Saya cuma minta kamu di rumah aja, fokus sama saya aja. Kapanpun saya butuh kamu, kamu ada. Nggak usah kerja capek-capek sampai malam. Apa kurangnya saya sama kamu dan keluarga kamu? Saya nanya gitu doang, kok kamu malah ngomong macem-macem?!"
"Nah itu!" sambar Ning cepat. "Lalu apa bedanya saya sama pembantu merangkap pelacur Pak?"
Dada Arya naik turun, menahan amarah. Dada Ning tidak kalah bergemuruh.
"Bapak ingin saya selalu di rumah, seperti pembantu yang menjaga rumah saat tuannya pergi. Bapak ingin saya selalu ada buat Bapak, melayani Bapak kapanpun Bapak butuh. Untuk tugas itu Bapak membayar saya dengan dalih nafkah dan bulanan untuk orangtua saya. Bapak nggak mau saya hamil, karena Bapak memang nggak pernah menganggap saya sebagai calon ibu buat anak-anak Bapak kan? Bapak cuma butuh tubuh saya kan? Jadi apa bedanya saya sama pelacur, Pak?!"
Ning meraung frustasi di akhir seluruh uneg-uneg yang ditumpahkannya.
Di satu sisi Ning lega karena sudah menumpahkan segala kegundahannya. Di sisi lain ia takut mendengar jawaban Arya. Jika lelaki itu mengkonfirmasi prasangkanya, dirinya harus bagaimana?
Arya memandang Ning dengan tatapan yang intens dan tajam. Ia tidak menyangka akhirnya gadis kecil ini bisa bicara begini.
"Kalau kamu pikir saya menganggap kamu sebagai pelacur, apa sebaiknya sekalian aja saya memperlakukan kamu sebagai pelacur?" tanya Arya akhirnya. Dengan suara berat yang berbahaya. Ia melangkah mendekati Ning.
Mendengar suara berbahaya itu, juga melihat gelagat Arya, Ning jadi waspada. Apa maksudnya barusan?
"Saya sudah lama menahan diri, Ning. Karena kasihan sama kamu, yang selalu pakai alasan pasca keguguran. Padahal saya sudah membayar kamu, tiap bulan. Sekarang saya minta hak saya."
Refleks, Ning mundur. Nahas, ternyata tepat di balik punggungnya adalah meja dapur. Ia tidak bisa kemana-mana lagi.
Ruang gerak Ning yang terbatas memberi Arya keuntungan. Dengan cepat ia mengukung tubuh Ning di bawah kuasanya. Lalu memaksakan ciuman pada bibir itu, bibir yang beberapa minggu terakhir ini membuatnya menahan diri, lantaran Ning selalu menolak dicumbu.
Selama ini Ning tidak pernah menolak. Bahkan meski dirinya sedang malas atau tidak ingin, Ning selalu melayani Arya. Tapi kali itu, ide berhubungan sex dengan lelaki itu membuat Ning sangat jijik. Ia tidak mau melakukannya. Tidak setelah baru saja Arya mengkonfirmasi dengan lugas bahwa lelaki itu memang menganggapnya pelacur.
Kali itu Ning memberontak dari rengkuhan Arya. Pun saat lelaki itu memaksakan ciuman, Ning sengaja menggigit bibir Arya. Ning pikir hal itu bisa membuat Arya melepaskannya. Tapi perhitungannya meleset. Lelaki itu justru refleks menampar Ning.
Syok, Ning menatap Arya dengan tatapan nanar dan air mata menggenang. Telapak tangannya menutupi pipi kirinya yang barusan ditampar oleh Arya.
Penolakan Ning barusan ternyata justru menyulut emosi Arya. Belum habis kekagetan Ning, lelaki itu sudah mencengkeram kedua lengan Ning lalu memaksanya berbalik. Dan belum sempat Ning memikirkan apa yang akan dilakukan lelaki itu, Arya sudah menahan bagian belakang leher dan bahunya dan mendorongnya serendah mungkin hingga kini dada perempuan itu sudah rebah di meja dapur. Lalu dengan cepat Arya meraih pinggang Ning, menyibak rok selutut yang sedang dikenakan Ning dan menarik turun celana dalamnya dengan paksa. Gerakan tiba-tiba itu membuat Ning memekik.
Tiba-tiba saja Ning ngeri pada apa yang akan terjadi. Sayangnya, kesadaran itu datang terlambat. Pada posisinya saat ini, ia tidak bisa membalas menyakiti Arya. Juga tidak bisa melarikan diri. Tapi bagaimanapun ia tetap mencoba.
Ning dengan serampangan meraih apapun yang dapat dijangkau tangannya (gelas, sendok, piring), lalu melemparkan ke balik punggungnya, meski ia tidak yakin dengan akurasi sasarannya. Sebuah cangkir dan sebuah piring pecah berantakan di lantai dapur, serta beberapa sendok melayang, tanpa berhasil mengenai Arya.
Saat itulah ia merasa kakinya dipaksa untuk membuka, lalu Arya mendesakkan diri dengan paksa diantaranya. Tidak sampai dua detik kemudian, tanpa pendahuluan apapun, Arya memaksa memasukkan diri ke dalam diri Ning. Refleks Ning menjerit keras karena merasakan sengatan nyeri yang hebat di area kewanitaannya yang belum basah.
"Pak... jangan... ampun...." Ning akhirnya menyerah dan minta ampun.
Tubuhnya sakit karena didorong membentur meja dapur yang keras dan dingin. Kewanitaannya nyeri karena gerakan Arya yang kuat dan cepat. Dan harga dirinya hancur karena benar-benar diperlakukan seperti perempuan murahan.
Bahkan meski Ning sudah meminta ampun, Arya tidak nampak menunjukkan belas kasihan. Lelaki itu justru bergerak makin brutal. Satu tangannya menahan kepala Ning tetap menempel di meja dapur, sementara satu tangan yang lain menjangkau ke depan, meremas Ning dengan kuat.
Jadi begini rasanya jadi pelacur?, pikir Ning dengan deraian air mata yang tidak juga surut, selagi tubuhnya terus dimasuki dengan paksa.
Pada akhirnya Ning hanya bisa menerima. Meski tidak ada rasa nikmat sama sekali, hanya ada rasa sakit dan terhina. Hingga akhirnya Arya menuntaskan hasratnya, ia melepaskan diri dari tubuh Ning, dan melepaskan cengkeramannya dari tubuh kecil itu.
Kaki Ning yang gemetar tidak bisa menahan tubuhnya lagi, hingga Ning jatuh terduduk, merosot di tepi meja dapur. Dunia tiba-tiba terasa membesar di sekitar Ning, lalu menelannya dalam ruang gelap yang hampa.
Dalam kehampaan dan rasa nestapa itu, Ning mendengar suara pintu dibuka, lalu tertutup dengan keras.
Jadi begini rasanya menjadi pelacur? Yang ditinggalkan begitu saja setelah puas dipakai?
* * *
Ning menatap bayangannya di cermin. Sosok mengenaskan itu mencoba tersenyum menyemangati diri. Tapi tidak berhasil, meski ia sudah berusaha sekuat tenaga. Keadaannya tetap terlihat mengenaskan.
Ia sudah mandi air hangat dan membersihkan diri. Tapi ternyata hal itu tidak membuat tubuhnya merasa lebih baik.
Semalaman ia tidak bisa tidur karena menangis. Menangis karena sakit pada tubuhnya, juga pada hatinya. Sikap, kata-kata dan perbuatan Arya semalam sungguh melukainya. Ia tidak menyangka lelaki sopan dan ramah yang selalu dikaguminya dan membuatnya jatuh cinta hingga bodoh itu, ternyata menyimpan sisi kejam.
Ning meraih ponselnya di nakas dan membuka aplikasi WhatsApp. Ia harus memberi tahu para pelanggannya bahwa ia tidak bisa menyediakan catering hari ini. Ia butuh waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang terasa remuk redam.
Bukan hanya memberi kabar pada Nares dan teman-teman kantornya yang menjadi pelanggan cateringnya, Ning juga harus mengabari Rara bahwa ia tidak bisa membuat dan mengirimkan kue-kue yang biasa ia pasok ke cake shop.
Selamat pagi Mbak Rara.
Saya mau ngabarin,
hari ini saya nggak bisa kirim kue.
Saya lg ga enak badan.
Maaf ya Mbak.
Setelah mengirimkan pesan itu, Ning hendak menutup aplikasi WAnya dan mematikan ponselnya. Tapi sebelum melakukan itu, tiba-tiba saja matanya menangkap wajah seseorang yang familiar di kontak WAnya, tapi bukan di nomer yang seharusnya.
Ning kembali membuka layar chatnya dengan Rara. Kemudian membuka foto profil WA Rara. Dan tersentak.
Ning tidak terlalu memperhatikannya sebelumnya. Apakah Rara sudah lama memasang foto tersebut di profil WAnya? Jika ya, kenapa selama ini Ning tidak menyadarinya?
Ning memperbesar foto profil Rara, dan kini ia yakin. Dan keyakinan itu menyakitkan.
Ning men-screenshoot foto profil tersebut. Disana terlihat sepasang suami-istri dalam balutan pakaian pengantin Jawa. Mereka saling menatap penuh cinta.
Foto tersebut terlihat cantik. Wajar jika Rara menjadikannya foto profil WAnya. Yang tidak wajar adalah karena Ning mengenal dengan baik wajah pengantin pria dalam foto itu.
Di bagian bawahnya, tertulis nama kedua mempelai.
Naura Atmodjo & Nararya Hadiwinata.
* * *
Di bab sebelumnya, pembaca terbagi menjadi dua:
Tim gercep, yang langsung yakin bahwa Ning n Rara berbagi suami.
Dan satu lagi, Tim Positive Thinking, yang yakin bahwa saya selalu melakukan plot twist (berdasarkan pengalaman membaca novel saya yang lain).
Saya emang suka plot twist sih. Tapi kalo plot twist melulu, lama2 gampang ketebak sama pembaca kan? Maka di cerita ini saya tidak menggunakan formula plot twist yang sama. Lagipula, ini kan cerita ringan, jadi saya ga punya tenaga buat mikirin alur rumit penuh plot twist. Hehehe.
Mohon maaf ya Kakak2 Tim Positive Thinking, karena sudah mengecewakan kalian.
Gimana perasaan Kakak2 setelah baca bab ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top