NING - 11

"Kemuning..."

Suara Arya memanggil, begitu Nares keluar dan apartemen tertutup.

"Kamu gima___"

"Bapak mau minum teh?"

Arya terkesiap di tempatnya berdiri. Gadis itu menatapnya, tapi tidak menatapnya. Tatapannya terlihat hampa. Dan sebelum Arya bisa bicara atau menjawab, Ning sudah ngeloyor ke dapur.

Melangkah perlahan, Arya mengikuti Ning ke dapur. Dari balik punggung Ning, lelaki itu memerhatikan gerak-gerik Ning yang sedang menyiapkan secangkir teh. Perlahan ia mendekati gadis itu.

Ning berbalik sambil membawa cangkir teh di tangannya tepat lima langkah sebelum Arya tiba di hadapannya. Jadi Ning segera mengangsurkan cangkir itu ke hadapan Arya.

"Silakan, Pak."

"Makasih," sambut Arya, canggung, ketika menerima cangkir itu.

Setelah Arya menerima cangkir teh itu, Ning berbalik kembali ke dapur untuk merapikan bahan-bahan yang dibelinya tadi, menatanya ke dalam kulkas dan lemari dapur.

Terdengar suara cangkir yang diletakkan di meja, lalu langkah kaki yang mendekat padanya. Tapi Ning tetap tenang, berjongkok di depan kulkas yang terbuka, untuk menyusun sayuran.

"Keadaan kamu gimana Ning?" suara Arya lembut. Ning bisa mendengarnya tepat di balik punggungnya.

"Nggak gimana-gimana, Pak," jawab Ning tenang.

Memangnya apa lagi yang bisa ia katakan kan? Mengatakan "baik-baik saja", tentu itu dusta. Tapi mengatakan "masih sakit", perutnya kini tidak sakit lagi. Perkara hati yang sakit, rasanya Arya juga tidak akan peduli kan?

"Ning, saya minta maaf," lirih pria itu kemudian. "Maaf saya nggak bisa segera pulang."

Ning harus menjawab apa? Mau menjawab "Nggak apa-apa," rasanya munafik sekali. Mau menuntut tanggung jawab, memangnya ia berhak?

Ning masih berjongkok di depan kulkas, memasukkan sawi ke dalam drawer, ketika tiba-tiba Arya memeluknya dari belakang. Akibat beban tubuh Arya, Ning yang semula jongkok kini terduduk. Sehingga kini mereka berdua duduk tepat di depan kulkas yang pintunya masih terbuka. Hawa dingin dari dalam kulkas rasanya tidak cukup dingin jika dibandingkan perasaan Ning saat itu.

Bagaikan anak kecil yang mengidamkan es krim. Orangtuanya mampu membelikan tapi tidak juga kunjung membelikannya. Hingga ketika akhirnya ia berhasil menabung uang jajan sendiri dan bisa membeli es krim sendiri, ia sudah tidak lagi menginginkan es krim itu. Ning pun demikian.

Ia pernah sangat menginginkan Arya hadir. Untuk mencintainya, memeluknya, dan mendampinginya. Lelaki itu mampu melakukannya, tapi tidak kunjung melakukannya. Kini ketika Ning sudah tidak lagi membutuhkannya, Arya justru datang dan memeluknya. Padahal hati Ning sudah terlanjur hampa.

Lama Arya memeluknya seperti itu. Menyurukkan kepalanya di lekuk leher Ning, mendekap erat. Dan Ning hanya diam saja, menatap hampa pada botol air minum.

Namun ketika tiba-tiba jemari Arya menelusup dan membelai perut Ning, kenangan akan rasa kehilangan sang buah hati datang dan menghantam kesadarannya, tanpa peringatan. Bagai air bah, air mata Ning tumpah tak terbendung. Lalu ia terisak tak terkendali.

Arya mendekap Ning makin erat. Tapi Ning sudah tidak peduli. Ia terus saja menangis, tanpa peduli pada sosok lelaki yang sedang berusaha menenangkan dan menghentikan tangisannya.

Bodo amat!

* * *

Barangkali didorong rasa bersalah, hari itu Arya tidak berangkat ke kantor. Hari itu ia menemani Ning di apartemen. Ini adalah hal yang sangat diinginkan Ning, dulu. Tapi kini, ketika Arya melakukannya, Ning tidak merasa senang atau merasa perlu berterima kasih.

Ning tetap melayani Arya seperti biasanya. Menyiapkan makanan, cemilan, pakaian setelah mandi, dan sebagainya. Namun ia melakukannya tanpa banyak bicara. Arya yang berusaha memahami kondisi Ning, memaklumi sikap gadis itu yang berubah jadi dingin. Barangkali butuh waktu untuk pulih.

Ning sendiri sebenarnya bukan ingin mendiamkan Arya. Hanya saja ia bingung. Jika bicara, sebenarnya ia ingin menanyakan banyak hal pada suaminya itu. Kemana saja suaminya selama ini, sudah lama tidak pulang. Apakah ibunya sakit begitu parah sehingga Arya makin jarang pulang. Mengapa suaminya pergi ke Jepang tanpa memberi tahu dirinya lebih dahulu. Sepenting apa pekerjaan yang dilakukannya di Jepang hingga ia tidak bisa pulang saat mengetahui istrinya keguguran. Apakah Arya lebih suka anaknya gugur. Dan banyak pertanyaan lain yang menyesaki pikiran Ning. Tapi di sisi lain, sebenarnya ia berharap Arya-lah yang lebih dahulu bercerita dan mengklarifikasi, tanpa ia harus menginterogasi. Tapi nyatanya, hingga 12 jam Arya di sisinya, lelaki itu sama sekali tidak memberi penjelasan apapun selain meminta maaf.

Di sisi lain pula, Ning takut menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia takut jawaban yang diberikan Arya akan mengecewakan dan menyakitinya. Akhirnya, karena itu, Ning memutuskan untuk diam saja dan menahan diri.

Sejak pagi Ning beraktivitas seperti biasa. Memasak untuk sarapan dan untuk catering harian. Karena Nares sudah berjanji mengambil catering Ning, maka hari itu Ning tidak perlu mengantarnya sendiri ke kantor Nares.

Kemarin, ide itu terdengar baik, karena Ning jadi punya lebih banyak waktu untuk istirahat. Tapi kini saat ia hanya di rumah saja dan seharian melihat wajah Arya, Ning jadi bad mood sendiri. Akhirnya siang hari ia memutuskan untuk pergi dari apartemen.

"Mau kemana Ning?" tanya Arya bingung, ketika melihat Ning sudah siap pergi.

"Jalan-jalan, Pak. Suntuk."

Di sudut hati kecilnya, Ning sebenarnya berharap Arya berusaha menghiburnya, misalnya dengan mengajak jalan-jalan. Nyatanya, pria itu hanya berdiam di apartemen, mengajaknya nonton TV. Bahkan ketika Ning mengatakan ingin pergi, Arya tampak bimbang. Dan akhirnya lelaki itu bahkan tidak menawarkan diri untuk mengantar Ning jalan-jalan. Pasti karena pria itu tidak mau terlihat jalan berdua dengan gadis seperti Ning.

Dengan perasaan makin kesal, akhirnya siang itu Ning pergi dari apartemen. Karena bingung kalau hanya muter-muter tanpa tujuan, akhirnya Ning mengendarai motornya menuju cake shop.

"Selamat ya Mbak Rara, atas pernikahannya," kata Ning ceria, saat berjumpa dengan sang pemilik cake shop. Mereka bersalaman dan cium pipi kanan-kiri. "Duh, pengantin baru auranya beda ya."

"Beda apa sih? Kamu bisa aja Ning," tampak Rara tersenyum malu-malu.

"Aura bahagia gitu."

Rara tertawa. "Tapi capek juga sih."

"Oh karena persiapannya cepet ya Mbak? Jadi capek banget?"

"Itu juga sih," kalimat Rara agak menggantung. "Tapi juga capek karena kegiatan setelahnya."

"Hah?"

"Mendaki gunung lewati lembah."

Ning bengong sesaat sebelum tertawa dengan wajah merah. Rara yang bercanda, Ning yang merasa malu.

"Wah! Wah! Mbak Rara nih, cepat belajar ya."

"Siapa dulu dong gurunya."

Ning tertawa dengan tatapan menggoda. "Suaminya dosen ya Mbak? Pinter banget ngajarinnya."

Kemudian mereka berdua tertawa bersama.

"Kok bulan madunya cepet amat Mbak? Baru seminggu, Mbak Rara udah balik ke cake shop lagi?"

"Ya emang nggak bisa lama-lama, Ning. Saya emang cuma kontrol cake shop dan coffee shop, tapi suami saya kan handle perusahaan, jadi nggak bisa pergi terlalu lama. Ini aja dia langsung pergi ke luar kota, nginep beberapa hari, karena ada kerjaan mendesak."

"Wah, pulang bulan madu langsung ditinggal kerja?"

Rara mengangguk. "Makanya mending saya kesini aja kan. Daripada di rumah nungguin dia, malah kangen."

"Ciyeeeee."

Kedua perempuan itupun tertawa lagi.

"Oiya, maaf ya Mbak, saya minggu lalu nggak bisa dateng ke nikahan Mbak," kata Ning kemudian. "Saya udah siap-siap berangkat, sebenarnya. Tapi perut saya sakit banget dan akhirnya dianterin tetangga ke rumah sakit. Ternyata saya keguguran."

"Astaghfirullah! Yang bener Ning?" ucap Rara dengan ekspresi kaget.

Ning mengangguk.

"Ya Allah," Rara mendesah, lalu mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Ning. "Saya turut berduka ya Ning. Pasti berat banget buat kamu dan suami."

"Makasih, Mbak," jawab Ning tulus.

"Tapi kok yang nganterin ke RS bukan suami kamu?"

"Dia lagi tugas ke luar negeri Mbak. Baru pulang kemarin."

"Astaghfirullah. Kamu kuat banget Ning. Kalau saya, pasti udah telponin dia terus, supaya cepet pulang dan nemenin saya."

Ning nyengir miris. Andai dirinya istri sah yang tidak disembunyikan, tentu ia akan melakukan hal yang sama.

"Makanya saya nggak bisa dateng ke nikahan Mbak. Maaf ya Mbak."

"Aduh, itu mah nggak usah dipikirin Ning. Nggak apa-apa. Yang penting kesehatan kamu. Kamu gimana sekarang? Kok udah jalan-jalan keluar?"

"Udah nggak apa-apa kok Mbak. Kalau di rumah aja, saya malah jadi sedih terus. Jadi saya keluar aja."

Rara mengusap-usap punggung tangan Ning, berusaha menguatkan.

"Tapi maaf ya Mbak, saya sepertinya belum bisa bikin kue dulu. Mungkin minggu depan saya baru bisa masak besar lagi."

"Iya Ning. Nggak apa-apa. Pokoknya yang penting kesehatan kamu dulu. Kamu istirahat dulu aja sampai pulih. Baru mikirin supply kue lagi."

Ning tersenyum, berterima kasih bahwa Rara maklum akan keadaannya.

"Oiya, ini ada kado kecil buat Mbak Rara. Maaf telat ngasihnya, Mbak. Saya juga nggak tahu selera Mbak. Tapi semoga cocok." Gadis itu kemudian mengulurkan paper bag yang dibawanya kepada Rara.

"Aduh, kamu jadi repot-repot gini Ning. Makasih banyak ya," Rara tersenyum lebar ketika menerima bingkisan itu. "Apaan nih?"

"Seragam dinas."

Rara terdiam sesaat sebelum kemudian pipinya memerah.

"Semoga mbak dan suami suka ya."

* * *

Yaaahhh mana nih adegan baku hantamnya? Ga seru ah!

Klik Publish ga yhaaa??

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top