NING - 10

Selama beberapa waktu ini Ning sudah cukup senang karena Arya lebih sering pulang ke apartemennya. Meski tidak bisa setiap hari, Ning sudah cukup puas. Namun ternyata sekedar cukup pun tidak bisa ia miliki.

"Saya harus tinggal di rumah orang tua saya, Ning. Menjaga ibu saya yang sakit. Jadi saya akan makin jarang kesini. Maaf ya."

Ning sudah tahu, cepat atau lambat hal ini akan terjadi. Tapi sebelumnya, ia sempat dengan naif berpikir bahwa dia sudah berhasil membuat Arya mencintainya dan sangat nyaman bersamanya, hingga lelaki itu tidak akan meninggalkannya. Nyatanya, jika dihadapkan pada pilihan antara Ning dan keluarganya, pria itu akan tetap memilih keluarganya. Ning tidak meminta Arya untuk memilih antara dirinya atau keluarganya. Ia hanya berharap lelaki itu mau memperjuangkan dirinya di depan keluarganya. Tapi nyatanya, lelaki itu tidak pernah melakukannya.

"Saya nggak ninggalin kamu, Ning," bujuk Arya sambil membelai lengannya. "Setidaknya seminggu sekali saya pasti akan tetap kesini. Saya usahakan menginap disini. Uang bulanan untuk kamu dan orang tuamu, kamu nggak perlu khawatir."

Jadi apa namanya itu, perempuan yang hanya didatangi sesekali saja, lalu mendapat bayaran? Perempuan bayaran?

Jadi malam itu, yang bisa Ning lakukan hanya diam dan menangis. Menerima keputusan Arya, menerima nasib. Arya memeluk gadis itu sepanjang malam, berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Ning tahu, mulai saat itu segalanya akan berubah untuknya dan Arya.

Pagi harinya, Ning melepas Arya berangkat kerja bagai melepas suami berangkat berperang dan tidak akan kembali. Entah kenapa ia merasa begitu. Membuatnya sulit sekali melepaskan lelaki itu.

"Ssstt! Kemuning, jangan nangis lagi ya," Arya membujuk untuk terakhir kalinya pagi itu.

Bahkan setelah Ning mencium punggung tangan Arya, ia sulit melepaskan tangan itu. Ia justru menghambur, memeluk tubuh lelaki itu.

"Saya sayang banget sama Bapak," lirih Ning dalam isaknya di dada Arya.

Pria itu membalas dengan pelukan yang sama kuatnya. "Makasih, Kemuning."

"Saya cinta Bapak. Cinta sekali."

Lelaki itu mengecup puncak kepala Ning berkali-kali. Tapi tetap saja, hingga saat mereka berpisah, pria itu tidak juga mengatakan kata-kata "sayang" atau "cinta". Itu yang membuat Ning menangis dengan keras setelah pintu apartemen tertutup

* * *

Rara sudah bilang akan mengundang Ning ke acara pernikahannya. Namun Ning juga paham dengan persiapan yang sangat cepat itu membuat Rara sangat sibuk sehingga lupa mengundangnya. Ning sudah berencana memberikan kado pernikahan saat nanti mereka bertemu lagi di cake shop saat Ning mengantar kue saja, setelah Rara menikah. Tapi ternyata di detik-detik terakhir Rara masih ingat untuk mengundangnya.

Mbak Rara
Ning, maaf banget, saya lupa kirim undangan ke kamu. Acara nikahan saya besok jam 11 siang. Maaf ngundang dadakan, tanpa udangan resmi. Lupa banget, sibuk persiapan. Ponselku error, jd file undangannya ilang. Maaf ya. Saya kasih alamatnya aja ya? Maaf ya Ning. Tapi kalau kamu sempat dan belum ada acara lain, dateng ya.

Setelahnya Rara mengirimkan alamat sebuah hotel bintang 5 di Jakarta Pusat yang menjadi tempat resepsi pernikahannya.

Ning sama sekali tidak masalah meski tidak dikirimi undangan resmi. Rara masih mengiriminya pesan WA dan memberitahu alamat hotelnya saja, berarti perempuan itu sudah mengundangnya kan. Ning paham sekali bagaimana ribet dan hebohnya pernikahan yang dipersiapkan dalam waktu singkat. Pernikahannya dulu juga seperti itu.

Jadi pada hari yang ditentukan, sebenarnya Ning sudah bersiap untuk berangkat ke resepsi pernikahan Rara. Meski sejak pagi perutnya sakit akibat datang bulan, Ning masih berusaha untuk hadir. Namun menjelang pukul 10, ternyata Ning tidak tahan lagi. Ia sudah selesai mandi, tapi tidak juga bisa bersiap mengenakan pakaian formal untuk pesta pernikahan, karena nyei di perutnya makin menjadi. Padahal tadi pagi Ning sudah mengkonsumsi pereda nyeri. Entah mengapa obat itu tidak menunjukkan efeknya kali ini.

Ning mengamati telapak tangannya sendiri dan mendapati telapat tangan itu berkeringat dan memutih. Saat itu ia sadar bahwa dirinya tidak akan kuat untuk pergi kondangan. Alih-alih, ia merasa perlu ke rumah sakit. Nyeri haidnya kali ini tidak wajar. Tapi jangankan bisa ke rumah sakit, berjalan ke ruang TV saja ia nyaris tidak sanggup.

Ning mencoba menghubungi Arya, tapi sudah beberapa kali, panggilan teleponnya tidak diangkat. Kalau harus menunggu suaminya mengangkat panggilan teleponnya, Ning takut rasa sakitnya makin tidak tertahankan.

Sungguh ia tidak ingin merepotkan Nares. Apalagi Ning yang menjauhi lelaki itu demi agar kemarahan Arya tidak tersulut. Tapi kali itu, hanya Nares yang terlintas dalam pikirannya untuk dapat membantunya.

"Mas... maaf, saya ngerepotin. Bisa tolong antar saya ke rumah sakit?"

Ning mengatakannya dengan suara lemah dan terbata-bata. Dan ternyata keputusannya untuk menghubungi Nares adalah keputusan yang tepat. Lelaki itu dengan cepat masuk ke apartemennya, setelah Ning memberikan passcode pintunya, lalu menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit dengan mobilnya.

Nares membawanya ke IGD rumah sakit terdekat. Disana, dokter jaga melakukan anamnesis dengan mewawancarai riwayat nyeri haid serta siklus haidnya. Dokter juga melakukan USG pada rahimnya.

Ning menunggu hampir satu jam kemudian hingga seorang dokter yang lebih senior datang dan mengulangi pemeriksaan yang sama, sebelum beliau memberi pernyataan.

"Mohon maaf, Ibu, nyeri ini memang bukan nyeri haid biasa," kata dokter tersebut, didampingi dokter jaga yang pertama kali menangani Ning. "Berdasarkan pemeriksaan kami, Ibu hamil. Kalau dihitung dari HPHT, usia kandungannya sekitar 8-9 minggu..."

Ning dan Nares saling bertatapan dengan bingung. Hamil? Bagaimana bisa? Dirinya kan mengkonsumsi kontrasepsi? Tapi kenapa dirinya datang bulan? Jangan-jangan, itu bukan darah haid?

"Tapi mohon maaf, janin Ibu tidak berkembang, sehingga sebagai respon alami tubuh, tubuh Ibu mengeluarkan janin yang gagal tumbuh tersebut. Ini yang disebut aborsi spontan. Mohon maaf, Ibu mengalami keguguran."

Dokter tersebut masih memberikan beberapa keterangan lagi. Tapi Ning sudah tidak bisa mencernanya. Otaknya tiba-tiba kosong. Hatinya kebas.

Dirinya hamil? Kenapa bisa? Padahal ia mengkonsumsi pil kontrasepsi. Apakah karena ia sempat tidak terlupa meminumnya sehingga dirinya bisa hamil?

Kenapa ia bisa tidak sadar bahwa dirinya hamil? Apakah karena itu tanpa sadar dirinya juga melakukan sesuatu yang membuat janin tersebut tidak berkembang? Apakah ini karena kebodohan dan kesalahannya sehingga janin itu tidak berkembang? Apa yang dilakukannya sehingga janin itu gugur?

Ning merasa gamang. Dirinya senang saat mengetahui bahwa dirinya hamil. Setelah 9 bulan menikah, bahkan meski mengkonsumsi pil kontrasepsi, dirinya tetap bisa hamil. Bukankah itu berarti Tuhan sempat mempercayainya untuk menjadi seorang ibu? Tapi di saat yang sama, ia juga merasa patah hati saat tahu ternyata janin itu tidak bisa berkembang dan bertahan hidup. Apakah perasaan seperti ini yang disebut "jatuh cinta dan patah hati di saat yang sama"?

Segala pertanyaan dan praduga itu bersliweran di otak Ning. Hingga ia tidak bisa mencerna dengan baik informasi dokter. Sampai pada satu saat Nares mengajaknya untuk bicara dengan fokus.

"Dokter menyarankan kamu dirawat 2 hari, untuk memantau proses gugurnya janin ini. Memastikan bahwa proses ini nggak akan menyebabkan pendarahan hebat yang berbahaya. Apa kamu setuju?" tanya Nares perlahan.

Ning hanya bisa mengangguk untuk menanggapi.

"Saya telepon Pak Arya berkali-kali tapi ponselnya nggak diangkat. Saya sudah WA dia juga tentang kondisi kamu. Tapi WAnya nggak aktif sejak tadi pagi. Apa mungkin dia sedang dalam perjalanan di pesawat sehingga ponselnya mati?"

Ning hanya diam. Arya sama sekali tidak cerita tentang rencana tugas ke luar kota atau ke luar negeri. Ning hanya tahu bahwa suaminya tinggal di rumah orang tuanya untuk mengurus orangtuanya yang sakit.

"Apa saya boleh tanda tangan surat persetujuan agar kamu dirawat?"

Sekali lagi Ning mengangguk dalam diam. Dan dengan itu Ning dirawat di RS.

Setelah Ning dipindahkan ke ruang rawat, Nares meminta nomer ponsel orangtua Ning, untuk mengabari beliau. Awalnya Ning tidak mau orangtuanya khawatir. Tapi ia juga tidak bisa merepotkan Nares lebih jauh. Jadi ia terpaksa menerima saran Nares untuk menghubungi orangtuanya.

Siang itu Ning kembali mencoba menghubungi Arya, tapi kali ini ponselnya tidak aktif. Akhirnya sebagai usaha terakhir, Ning mengirimi pesan WA dan SMS pada Arya. Meski entah kapan suaminya akan menerima pesan itu dan membalasnya.

Pak, saya keguguran.
Saya butuh Bapak.
Bapak dimana?

Saat kedua orangtuanya datang ke rumah sakit, Ning berbohong pada mereka, bahwa Arya sedang tugas ke luar negeri sehingga tidak bisa segera pulang saat mendengar istrinya keguguran.

Pada sore hari Ning baru mendapati nama Arya di layar ponselnya. Buru-buru ia mengangkat panggilan telepon itu. Tapi apa kata-kata pertama yang ia dengar dari Arya?

"Kamu keguguran? Hamil? Kamu minum pilnya nggak bener ya?"

Nyeri di perutnya akibat kontraksi rahim untuk mengeluarkan janin tersebut belum seberapa dibanding perih yang dirasakannya saat mendengar pertanyaan Arya. Air mata berkumpul di kelopak matanya, dan ia hanya bisa diam.

"Saya harus ke Jepang. Nggak bisa menemani kamu," kata Arya kemudian. "Saya akan minta Pak Mul kesana. Kalau butuh apapun, minta sama Pak Mul. Dia akan mengurusnya untuk kamu."

Kalau saya minta peluk, saya bisa minta sama supir Bapak?

Sore itu juga Pak Mul, supir Arya, tiba di rumah sakit. Ia menanyakan apakah Ning butuh sesuatu? Atau butuh dibawakan baju ganti dari apartemen?

Ning hanya menggeleng sambil mengucapkan terima kasih. Dia tidak butuh apa-apa dari Arya saat ini, selain sebuah pelukan. Toh sudah ada orangtuanya yang menemaninya di RS, ada Nares yang membawakannya baju ganti dari apartemen. Saat ini Ning hanya butuh Arya untuk memeluknya dan menenangkannya. Tapi bahkan hal sesederhana seperti itu tidak bisa ia dapatkan juga.

"Pak Mul," panggil Ning, ketika ibunya pamit untuk ke kantin sebentar. "Pak Arya kemana?" tanya Ning pelan.

"Ke Jepang, Mbak."

Ning sudah mendengar ini dari Arya, tapi kenapa ia bertanya lagi pada Pak Mul? Apa ia masih mengharapkan jawaban lain dari Pak Mul?

Pak Mul adalah satu-satunya orang di lingkaran kantor dan keluarga Arya yang mengetahui hubungan Ning dengan Arya. Pak Mul hadir sebagai saksi juga pada pernikahan Ning dan Arya. Jadi terhadap orang ini, Ning tidak perlu menutupi apa-apa.

Pak Mul menatap Ning dengan tatapan khawatir, sekaligus tatapan kasihan. Ning tidak butuh keduanya.

* * *

Setelah dua hari di RS, dan Ning tidak menunjukkan pendarahan yang berlebihan, Ning akhirnya diijinkan pulang. Bahkan hingga Ning pulangpun, Arya belum datang.

Nares menjemput Ning untuk pulang dari RS. Tapi Pak Mul juga menjemput. Jadi demi menghormati Arya, Ning dan orangtuanya pulang dengan mobil yang dikendarai Pak Mul. Sementara Nares mengikuti dari belakang.

Selama di perjalanan, ayah dan ibu Ning menanyakan beberapa hal tentang Arya kepada Pak Mul. Dan lelaki itu nampak sudah terlatih dengan baik untuk menjawab hal-hal tentang Arya, sekaligus menjaga hal-hal yang perlu dirahasiakan.

Meski memahami kesibukan menantunya, Ning tahu bahwa kedua orangtuanya merasakan keanehan dalam rumah tangga Ning. Oleh karena itu, karena ia sedang tidak punya kekuatan untuk memikirkan kebohongan-kebohongan pada orangtuanya, Ning mengatakan pada orangtuanya bahwa ia sedang butuh waktu sendiri di apartemen. Meski awalnya menolak meninggalkan Ning sendirian, tapi akhirnya ayah dan ibu Ning mengalah. Keesokan harinya Pak Mul mengantarkan ayah dan ibu Ning ke Bogor.

Setelahnya, Ning jadi punya banyak waktu untuk sendiri dan merenung tentang rumah tangganya. Rumah tangga macam apa ini yang sedang ia jalani. Kenapa ia punya suami tapi merasa bersalah jika membutuhkan suami sendiri?

Nares datang sesekali dengan alasan membawa makanan. Tapi Ning tahu, alasan sebenarnya adalah untuk memastikan Ning belum melakukan hal-hal nekat.

"Biasanya saya yang kirim makanan ke Mas Nares. Sekarang malah Mas yang kirim makanan buat saya," Ning terkekeh. "Ayo masuk, Mas!"

"Saya disini aja," kata Nares sopan, di depan pintu unit Ning. "Nanti nggak enak sama Pak Arya kalau saya masuk bertamu."

"Kita nggak mungkin ngobrol di depan pintu gini kan Mas? Saya belum kuat berdiri terlalu lama."

"Oh iya betul. Ayo masuk, Ning. Kamu belum boleh terlalu capek." Mendengar tentang kondisi Ning, Nares langsung setuju masuk, agar gadis itu tidak terlalu lelah terlalu lama berdiri di depan pintu.

Meski kali ini Ning tidak membuka pintu unitnya selama Nares bertamu, justru Nares yang berinisiatif mengganjal pintu apartemen Ning dengan sandalnya, agar pintu itu tetap terbuka selama ia bertamu. Karena sering memerhatikan Ning seperti itu, Nares kini paham bagaimana harus bersikap terhadap gadis itu.

"Ini nggak mungkin Mas masak sendiri kan?" tanya Ning bercanda, sambil menunjukkan box makanan yang dibawa Nares.

"Tentu tidak, Marimar. Beli dong. Hehehe. Kalau saya yang masak sendiri, nanti kamu keracunan."

"Lebay!" Ning ikut terkekeh. "Sebelum catering sama saya, Mas juga masak sendiri."

"Masak biasa aja. Dan rasanya nggak seenak masakan kamu. Saya kan malu kalau masakan saya dicicipin sama chef kayak kamu."

"Halah! Chef apaan," gerutu Ning sambil tertawa lagi. "Mulai besok, saya sudah bisa masak lagi."

"Jangan dipaksa. Tunggu sampai sembuh benar."

"Udah sembuh kok. Cuma belum kuat angkat-angkat aja. Jadi nanti saya minta kurirnya ngambil kesini aja."

"Biar saya aja yang bawain pesanan kamu, seperti dulu," kata Nares cepat. "Boleh kan, saya tiap pagi kesini, ambil pesanan, seperti dulu? Hanya sampai kamu pulih benar."

"Nggak ngerepotin Mas?"

Nares menggeleng.

Ning tersenyum. "Makasih banyak bantuannya ya Mas."

"Yang penting, kamu jangan memaksakan diri. Kalau capek, stop. Oke? Kamu malah harusnya masih bed rest. Eh malah udah mau masak-masak."

"Daripada saya bengong sendirian di rumah Mas. Nanti saya kepikiran anak saya lagi. Mending saya sibuk masak."

Nares menatap Ning dengan iba. "Pak Arya belum pulang juga?"

Ning menggeleng.

"Kalau kamu butuh teman ngobrol, hubungi saya. Jangan melamun dan nangis-nangis sendiri, oke?"

Ning hanya tersenyum menanggapi.

"Sayur-sayur di kulkas saya sudah nggak segar. Boleh anterin saya belanja, Mas? Mas lagi repot nggak?" tanya Ning kemudian.

Nares terlihat mempertimbangkan permohonan Ning sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.

"Yuk, saya anter."

* * *

Keluar dari apartemen ternyata membuat Ning merasa lebih segar. Memilih-milih sayur dan bahan pangan yang akan digunakan untuk catering, ternyata juga membantunya memulihkan konsentrasi setelah selama 5 hari ini ia lebih sering termenung memikirkan anaknya yang gagal ia miliki.

Rasanya sakit sekali perasaan kehilangan itu, ketika kita pernah merasa memilikinya.

Ning kembali ke apartemen, bersama dengan Nares yang melangkah di sisinya, membawa beberapa kantong belanja, dengan perasaan yang lebih ringan. Ia sudah lebih sering tersenyum dan tertawa kini.

Ning membuka pintu apartemen dan mempersilakan Nares masuk, ketika tiba-tiba ia sadar bahwa sudah ada orang lain di dalam apartemen itu. Suaminya.

Meski agak kaget, tapi kemudian Ning bersikap biasa saja. Ia bahkan mempersilakan Nares masuk dan membawakan kantong belanjaan hingga ke dapur.

* * *

2500 kata lagi di bab ini. Semoga Kakak2 puas.

Ditunggu 400 vote n 200 komen utk baku hantam di bab selanjutnya 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top