Janji - 9

Robeknya hymen (selaput dara) biasanya berkorelasi dengan rasa sakit dan pendarahan minor. Itu mengapa, darah yang terlihat setelah pertama kali berhubungan seksual seringkali dijadikan parameter apakah seorang perempuan masih perawan atau tidak. Meski demikian, hubungan seksual bukanlah satu-satunya penyebab robeknya hymen. Beberapa jenis olahraga seperti senam gymnastic dan berkuda (atau jatuh dari sepeda, haha) mungkin saja menyebabkan trauma yang merusak hymen. Itu mengapa saat Indra tidak menemukan bercak darah pada sprei di ranjang Inas setelah mereka bercinta, Indra tidak segera membuat kesimpulan. Ia masih berbaik sangka bahwa Inas pernah mengalami trauma fisik yang menyebabkan hymennya robek.

Siapa sangka bahwa Inas memang sudah tidak perawan?

Benar kata orang, kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya. Siapa sangka gadis pendiam dan terlihat lugu seperti Inas, ternyata pernah salah dalam bergaul. Mengingat sikap pendiam Inas, Indra menduga bahwa mantan pacar Inas pasti memanfaatkan keluguan gadis itu untuk membujuknya berhubungan seksual.

Atau jangan-jangan, dulu Inas tidak pendiam seperti sekarang? Melihat wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya yang indah, bisa saja dulunya Inas adalah gadis populer. Lalu berubah menjadi pendiam dan tertutup setelah kehilangan keperawanannya?

Siapa tahu kan?, pikir Indra.

Selama ini Indra tidak pernah tahu bahwa di balik pakaian-pakaian yang tampak kebesaran, tersembunyi tubuh Inas yang sangat indah. Pasti dulu pacarnya Inas juga tergoda dengan hal itu. Sekarang saja, ketika terbayang kembali tubuh Inas dan yang mereka lakukan malam itu, Indra kembali merasa gerah.

Pantas saja Inas mau-maunya menikah dengannya meski sejak awal Indra sudah bilang tidak tertarik pada Inas. Pantas juga Inas mengajukan perjanjian selama 1 tahun. Pasti gadis itu hanya ingin memanfaatkan status pernikahan mereka untuk menutupi fakta bahwa dirinya tidak perawan lagi. Jika nanti mereka bercerai dan Inas menikah lagi, gadis itu tidak perlu pusing menjelaskan kepada suami barunya mengapa ia tidak perawan lagi kan?

Ternyata itu tujuannya, cibir Indra dalam hati.

Sejak hari itu hubungan Indra dan Inas mengalami kemunduran. Inas, yang pada dasarnya pendiam, sejak percakapan terakhir mereka malam itu jadi makin tidak pernah bicara pada Indra. Bukan hanya itu, kecuali di saat sarapan dan makan malam bersama, Indra merasa Inas menghindari bertemu dengannya. Dan entah mengapa hal itu membuat Indra merasa tidak nyaman.

Jadi ketika akhirnya Indra bertemu Inas di malam hari, saat gadis itu keluar dari kamar Indira setelah menidurkannya, Indra langsung mengajak Inas bicara. Gadis itu tampak ingin menolak, tapi tidak punya alasan yang kuat. Jadi ia hanya bisa mengikuti perintah Indra.

"Kamu masih menghindari saya?" tanya Indra lugas.

Inas tidak menjawab. Ia hanya menunduk. Bahkan gadis itu tidak meminta maaf karena sudah terang-terangan menghindari tuan rumah.

"Inas," panggil Indra. Kali ini lebih lembut. Meminta gadis itu menatapnya.

Dan sesuai yang diharapkannya, gadis itu mengangkat wajahnya. Menatap Indra dengan mata lugunya.

Pantas saja pacar Inas tergoda. Tatapan lugu dan satu seperti yang ditunjukkan Inas saat itu memang menggoda. Indra saja sedang tergoda sekarang. Ia hanya sedang menahan diri.

Gadis ini punya bakat menggoda, tanpa ia sadari.

"Terlepas dari perjanjian atau apapun itu, pernikahan kita sah. Kita suami istri yang sah. Jadi yang kita lakukan malam itu bukan kesalahan," kata Indra. Ia mengatakannya perlahan dan hati-hati, agar Inas tidak salah paham. "Tapi kalau kamu merasa terpaksa atau tersakiti, saya minta maaf. Saya benar-benar nggak bermaksud begitu."

Belum apa-apa, Inas sudah menundukkan kembali kepalanya.

"Apa kamu merasa terpaksa atau saya menyakiti kamu waktu kita melakukannya?" tanya Indra.

Inas menggeleng.

"Jadi kenapa kamu marah sama saya dan menghindari saya?"

Inas hanya diam.

"Tolong jangan menghindari saya lagi dan membuat hubungan kita seperti sedang bermusuhan," pinta Indra. "Selama ini kita memang nggak banyak berinteraksi. Tapi melihat kamu terang-terangan menghindari saya begini, saya nggak nyaman."

"Maaf, Om," akhirnya Inas bersuara juga. Meski hanya 2 kata.

"Inas marah sama saya?" Indra mengulangi pertanyaannya tadi. Ia ingin semua permasalahan ini clear.

Inas menggeleng.

"Jadi kamu menghindari saya bukan karena marah sama saya?"

Inas menggeleng lagi.

"Kalau gitu, jangan-jangan kamu menghindari saya karena saya tahu masa lalu kamu?"

Lagi-lagi Inas diam dan hanya menunduk. Tapi melihat gadis itu meremas-remas jemarinya, membuat Indra berkesimpulan bahwa terkaannya tepat. Gadis itu menghindarinya karena malu, karena Indra tahu bahwa dirinya tidak perawan lagi.

"Kalau karena itu alasannya, nggak perlu menghindari saya," kata Indra.

Saat itu Inas mengangkat wajahnya dan matanya menatap Indra dengan takut-takut.

"Kita nggak bisa mengubah masa lalu kan?" kata Indra. "Saya nggak mau masa lalu kamu merusak hubungan kita."

Tanpa Indra duga, perlahan mata bening yang menatapnya tertutup dengan air. Lalu air itu tumpah, dan saat itu jantung Indra mencelos.

Inas buru-buru menunduk dan menghapus air mata itu dengan punggung tangannya.

"Makasih, Om."

Inas masih sibuk menghapus air matanya sehingga ia tidak sadar, tiba-tiba saja lengan Indra sudah meraup bahu dan tubuhnya. Membuat wajah Inas terbenam di dada pria itu.

"Om...?" suara Inas terdengar mencicit.

Dan ketika tangan Indra mengelus bahu dan punggungnya lembut, air mata Inas yang semula hampir surut, kini tumpah ruah lagi. Malam itu akhirnya Inas menangis di dada pria itu, dalam pelukan pria itu.

* * *

Selama ini hanya kedua orang sahabat Inas yang tahu tentang kondisi dirinya. Dan karena Sandra dan Heidi adalah sahabatnya, wajar saja jika mereka berdua memahami kondisinya.

Tapi Indra....

Inas tidak menduga hubungannya dengan Indra akan berkembang sampai sejauh ini. Sejak awal ia hanya berencana menikah sementara dengan lelaki itu. Tidak perlu ada perasaan apapun yang terlibat, karena pria itu sudah bilang tidak tertarik menikah dengan Inas sejak awal.

Tapi siapa sangka, Inas jadi benar-benar tertarik pada lelaki itu. Dirinya dan Indra memang banyak berselisih pendapat tentang pengasuhan Dira. Tapi di sisi lain, melihat kasih sayang Indra pada Dira, mengingatkan Inas pada kasih sayang mendiang ayahnya. Lalu makin lama, perlahan-lahan, perasaan kagum itu tumbuh. Lalu rasa kagum berkembang menjadi rasa hangat yang memenuhi hatinya tiap kali dirinya dan Dira sedang bersama dengan Indra.

Barangkali itu mengapa pertahanan Inas menjadi lemah. Dan malam itu, berkat hujan yang lebat, pertahanan diri Inas hancur bagai tenda yang diterpa badai. Ketika Indra menyentuhnya, tiba-tiba saja akal sehat Inas menguap, dan ia tidak bisa lagi mempertahankan diri dan rencananya.

Dia lupa, bahwa menyerahkan tubuhnya pada Indra, berarti suaminya itu akan tahu kondisinya yang tidak lagi perawan. Dan setelah semuanya terlanjur terjadi, barulah Inas menyesal dan merasa malu pada lelaki itu. Itu mengapa setelah kejadian itu, Inas selalu menghindari Indra. Ia tidak punya muka lagi di depan lelaki itu.

Tapi siapa sangka lelaki itu bicara begitu?

"Kita nggak bisa mengubah masa lalu kan? Saya nggak mau masa lalu kamu merusak hubungan kita."

Saat itu Inas merasa dirinya diterima. Ia merasa kekurangannya tidak dipermasalahkan. Lalu tiba-tiba saja ia merasa terharu. Dan ketika Indra memeluknya malam itu, Inas sadar, ia makin mencintai laki-laki itu.

* * *

Setelah perbincangan mereka malam itu, hubungan Inas dan Indra perlahan membaik. Inas tidak lagi menghindari Indra. Saat mereka bertemupun Inas mulai lebih sering tersenyum. Hal itu membuat Indra lebih sering menyapa Inas, meminta pendapatnya atau mengajaknya ngobrol.

Malam itupun saat Inas keluar dari kamar Dira setelah menidurkannya, Indra menyapanya.

"Mau nemenin saya nonton?" tanya Indra saat itu.

Dan Inas mana mungkin menolak kan? Jadi ia mengangguk, lalu duduk di sofa yang sama dengan Indra.

"Suka nonton Marvel?" tanya Indra memulai percakapan. Saat itu ia sedang nonton End Game yang ditayangkan ulang di salah satu channel tivi kabel.

"Suka, Om," jawab Inas.

Tapi karena suara dan ekspresi Inas datar-datar saja, Indra tidak yakin dengan jawaban itu.

"Kamu suka nonton?" tanya Indra lagi.

"Suka."

"Sering ke bioskop?"

"Nggak sih. Nonton di rumah aja. Ke bioskop cuma kalau diajak Sandra dan Heidi."

Sudah Indra duga.

"Kalau di rumah, suka nonton apa?" lanjut Indra.

"Film atau drama Korea."

"Oh ya? Kok selama ini saya nggak pernah lihat kamu nonton Korea disini?"

"Saya nonton di hape, di kamar aja, Om."

"Kenapa? Padahal disini ada tvN atau KBS juga lho."

"Sengaja, Om. Supaya Dira nggak ikutan nonton Korea," kali ini Inas menjawab dengan kekehan.

Tatapan Indra berubah lembut. "Kamu sayang sama Dira?"

Inas agak bengong sesaat karena tiba-tiba Indra bertanya begitu. Tapi kemudian ia mengangguk.

"Makasih ya," kata Indra.

"Sama-sama, Om."

"Makasih sudah merawat dan menyayangi Dira."

Inas menunduk dengan wajah memerah. "Sama-sama, Om."

Inas kemudian mengalihkan tatapannya ke layar televisi. Dan Indra juga tidak melanjutkan interogasinya lagi.

Suasana hening hingga beberapa saat. Yang terdengar hanya suara dari film End Game tersebut. Sampai suatu waktu Indra kembali membuka obrolan.

"Diantara film Marvel, mana yang paling kamu suka?"

Inas tampak tersenyum lebar sebelum menjawab, "Doctor Strange."

"Kenapa?"

"Benedict nya ganteng."

Indra terkekeh. Ia tidak menduga perempuan pendiam seperti Inas bisa ngefans sama aktor tampan juga. Ala-ala fangirling.

"Tapi kan dia sudah tua. Bukannya sudah 40 tahunan ya? Bahkan lebih tua daripada saya."

"Orang ganteng mah ganteng aja Om. Malah makin tua makin ganteng."

"Kamu suka aktor yang lebih tua gitu ya?"

"Hmmm... iya."

"Apa karena itu kamu mau nikah sama saya? Karena saya jauh lebih tua daripada kamu?"

Lagi-lagi spontan wajah Inas memerah. Ia memalingkan wajahnya ke TV lagi. Memang lebih aman kalau nonton TV saja. Obrolan seperti ini berbahaya bagi jantung Inas.

"Saya ganteng nggak, Nas?"

Inas sampai terbatuk mendengar pertanyaan aneh itu. Buru-buru ia bangkit dari duduknya.

"Om mau minum teh? Saya bikinin buat temen nonton___?"

Belum juga Inas selesai bicara. Belum sempat ia berdiri sempurna, tangannya sudah ditarik hingga terduduk kembali. Spontan, matanya memelototi Indra karena gerakan yang mengagetkan itu.

"Saya sama Benedict Cumberbatch, mana yang lebih ganteng?"

Mata Inas makin melotot mendengar pertanyaan absurd itu.

"Saya atau dia yang lebih ganteng?"

Anehnya, kali itu Indra bertanya begitu sambil menggeser duduknya, beringsut mendekati Inas.

"Om?" Refleks Inas mencicit bingung.

"Kamu cantik, Nas..."

Wajah keduanya tinggal berjarak 10 sentimeter lagi. Dan dalam hitungan detik, jarak itu terkikis sempurna.

Indra mengecup bibir Inas. Hanya sekejap. Tapi efeknya luar biasa pada otak dan jantung Inas. Hal itu menyebabkan Inas tidak bisa menolak ketika Indra maju lagi. Kali ini bukan hanya mengecup, tapi melumat bibir Inas. Tubuh besar Indra mendesak Inas hingga tubuh kecil itu terpojok di sofa.

"Om..." Inas mendesah, dengan tangan menahan dada Indra. Mata Indra menemuka mata sayu Inas. "... Dira..."

Kesadaran Indra kembali terkumpul. Dengan segera ia bangkit dari sofa, lalu menyelipkan lengannya di bawah lutut dan leher Inas, dan membopongnya. Kakinya melangkah menuju kamar Inas, sementara bibirnya sesekali mengecup bibir Inas tipis-tipis.

Tapi bagai Dementor yang menyedot jiwa melalui kecupannya, Inas juga merasa pria yang sedang menggendongnya ini menyedot kewarasannya tiap kali pria itu mengecup.

Ketika Indra membaringkan tubuh Inas di ranjang, seluruh kewarasan Inas sudah tersedot habis, hingga ia dengan pasrah menyerahkan diri pada pria yang tubuhnya menaunginya.

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Indra bergerak dengan lebih cepat dan bersemangat. Inaspun menyambut dengan gerakan yang membuat Indra makin bergairah. Kali itu mereka mencapainya bersama.

Dengan nafas terengah bersahutan, dahi keduanya beradu. Mata saling bertatap. Dan kali itu Indra tidak segera melepaskan diri dari Inas.

"Jadi siapa yang lebih ganteng?" tanya Indra tiba-tiba. Hangat nafasnya membelai wajah Inas.

Diantara nyawa dan kewarasan yang belum terkumpul akibat euforia dan orgasme, Inas hanya mampu merespon, "Hah?"

"Aku atau Benedict yang lebih ganteng?"

Spontan Inas terkekeh ketika menyadari pertanyaan Indra. Tapi ia tidak menjawab. Dengan wajah memerah, ia hanya menatap wajah maskulin di hadapannya dengan tatapan dalam. Tangannya terangkat dan terulur membelai pipi dan rahang pria itu.

"Siapa?"

"Achhh..."

Tanpa disangka Indra menghentakkan tubuhnya, yang masih berada di dalam diri Inas, kembali. Memberi peringatan. Membuat Inas refleks melenguh.

"Choose your answer wisely." Indra menghentak sekali lagi. Dan sekali lagi Inas mendesah.

"Om Indra...."

"Smart answer!"

Dan sekali lagi Indra menghentak. Kali ini sambil melumat bibir Inas yang sedang tersenyum.

* * *

Ciyeeee Om Indra, udah aku-kamu-an.

Dua ribu kata lho ini Kak.
Semoga rame votenya ya Kak.

Siapa yg senyum2 baca bab ini?

Siapa yg keringetan?

Siapa yg waspada? Eeaaaa

Kalo abis manis2 gini, enaknya langsung bab epilog atau bab nangis2 nih?

Meski target2 kemarin blm tercapai, aku msh tabah. Kali ini targetnya msh sama ya Kak. 600 vote n 200 komen utk bab berikutnya.

* * *

Siapa yg lbh ganteng? Om Indra atau Om Benedict?

Tentu Om Benedict dong!!!! HAHAHAHAHAHAHALUUUUU


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top