Janji - 8

Kenapa sih byk yg menduga Om Indra cuma ngimpi?

Ngimpi mesum itu kan spesialisasinya Om Erlang 🤭🤭🤭

* * *

Begitu kakinya terangkat dari lantai dan tubuh tanpa busananya dibopong Indra, lelaki itu langsung melumat bibir Inas dengan rakus. Sehingga Inas tidak sempat protes dan minta diturunkan, karena bibirnya langsung dibungkam. Satu-satunya yang sempat dilakukan Inas hanya refleks mengalungkan tangannya pada bahu telanjang Indra, agar tidak terjatuh. Selebihnya, ketika lidah Indra menginvasi mulutnya, yang bisa dilakukan Inas hanya melenguh dan mendesah.

Kontak fisik yang sangat intim yang terjadi membuat Inas kewalahan. Lengan kanan Indra yang kokoh yang menahan bokong telanjangnya, lengan kirinya yang melintang dan menahan punggung terbukanya, dada bidang Indra yang berhimpit dengan dadanya, serta pangkal pahanya yang bergesekan dengan kulit perut Indra. Semua kontak fisik itu membuat kulit Inas terasa panas dan darahnya bergolak. Tidak ada lagi rasa dingin akibat kehujanan barusan.

Inas tidak dalam keadaan benar-benar sadar saat Indra membuka pintu kamarnya hingga membaringkannya di ranjangnya. Ia baru membuka mata ketika bibir Indra melepaskan bibirnya.

Napas keduanya sama-sama terengah ketika mata mereka saling bertatap. Mata Inas terlihat bingung sekaligus sayu. Membuat Indra makin gemas.

Dengan gerakan cepat, Indra turun dari ranjang, melepaskan celananya dan kembali merangkak ke atas tubuh Inas. Pria itu sama sekali tidak memaksa. Tapi semua tindakannya yang mendominasi menyebabkan Inas tidak sempat berpikir. Sehingga yang bisa dilakukannya hanya menerima dan menikmati.

Tahu-tahu saja bibir dan lidah lelaki itu sudah menjelajahi tiap inchi kulit Inas. Rasa geli dan merinding dari satu titik dengan cepat berpindah ke titik lain. Belum sempat Inas menolak sentuhan Indra di satu titik, bibir dan lidah lelaki itu sudah berpindah ke titik lain dengan gerakan yang lebih menggoda. Rasa geli dan merinding terus menumpuk tanpa jeda hingga akhirnya Inas tidak mampu lagi dan tidak mau lagi menolak. Ia hanya bisa rebah dengan pasrah. Tubuhnya menggeliat sesekali ketika godaan di tubuhnya tidak tertahankan.

Sementara Indra, diantara akal sehatnya yang sudah menguap, ia masih sadar bahwa ini pertama kalinya bagi Inas. Itu mengapa, meski nafsunya sudah di ubun-ubun, Indra masih berusaha memperlakukan gadis itu dengan amat lembut. Berusaha membuat gadis itu rileks agar tidak kesakitan.

Jadi ketika Inas memekik "Om!" dengan pinggul yang mengejang, Indra tahu dirinya sudah berhasil. Ia mengangkat kepalanya dari pangkal paha gadis itu, lalu merangkak naik.

Ketika wajah Indra sudah berada di atas wajah Inas, pria itu melihat mata sang gadis terpejam dengan dahi pada kedua alisnya berkerut dalam. Perlahan Indra mengusap anak-anak rambut di sekitar dahi Inas, lalu membelai rambutnya dan mengecup dahi gadis itu.

"Kalau sakit, cakar aja, nggak apa-apa." Lelaki itu berbisik lembut.

Belum sempat Inas membuka mata dan merespon, Indra sudah berusaha memasuki diri gadis itu. Terdengar suara terkesiap dari bibir Inas, sebelum akhirnya Indra berhasil masuk.

Mata Inas sudah terbuka, dan terpaku pada wajah Indra yang bergerak makin cepat di atas dirinya. Ketika akhirnya pria itu mencapai yang ia inginkan, lelaki itu membungkam teriakan Inas dengan ciumannya.

Ketika bibir mereka saling terpisah, mereka saling bertatapan dengan nafas terengah.

"Makasih, Nas..." kata Indra lembut. Dengan lembut pula ia mengecup dahi Inas. Di saat bersamaan, ia menarik diri dari Inas dan berbaring di sisi gadis itu.

Begitu Indra memisahkan diri, Inas buru-buru meraih selimut untuk menutup dirinya yang langsung bergelung memunggungi Indra.

Kelelahan dan puas, Indra tidak bisa lagi menahan kantuknya, hingga ia jatuh tertidur tidak lama kemudian.

* * *

Indra terbangun pada pukul 2 pagi. Tapi baru saja ia akan berguling untuk memeluk Inas, gadis itu tidak ada di sisinya. Perlahan ia bangun dan menyingkap selimut, hendak turun dari ranjang. Matanya secara refleks menyapu sprei di ranjang itu.

Setelah mengumpulkan fokusnya, Indra memakai celananya dan keluar dari kamar Inas. Ia mencari ke kamar mandi luar, karena kamar Inas tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam. Tapi kamar mandi kosong. Ia mengecek ke pintu masuk, dan ternyata kaosnya dan pakaian Inas yang dilucutinya di depan pintu tadi sudah tidak ada disana. Lantai sudah kering, barangkali sudah dipel. Dan baju-baju basah itu kini sudah tergantung di teras belakang tempat biasanya Bi Mur menjemur.

Karena tidak menemukan Inas dimana-mana, Indra akhirnya mengecek kamar Dira. Dan benar, ternyata Inas sedang tidur sambil memeluk Dira.

Kenapa Inas meninggalkannya setelah mereka melakukan itu? Apa gadis itu menyesal? Atau seperti perjanjian mereka di awal, bahwa harusnya mereka tidak pernah tidur bersama? Tapi tadi Inas tidak menolak dirinya. Jadi kenapa?

Atau... apakah karena hal itu?

* * *

Hari Sabtu dan Minggu, saat Indra tidak ke kantor dan Inas 24 jam berada di rumah, harusnya mudah saja untuk bicara berdua. Nyatanya, Inas selalu menghindar berkontak dengan Indra. Gadis itu menyibukkan diri dengan Dira dan selalu berhasil menghindari pertemuan dengan Indra.

Sepanjang hari Sabtu, Indra membiarkan Inas menghindari dirinya. Ia pikir, Inas perlu waktu memulihkan diri dari kekagetan akibat tindakannya yang spontan. Tapi ketika hingga Minggu malam gadis itu masih saja menghindarinya, Indra tidak tahan lagi.

Saat Indra memergoki gadis itu mengambil minuman di dapur di tengah malam, Indra segera mencegatnya.

"Kita perlu bicara," kata Indra, dengan suara berat, sambil menatap tajam pada gadis itu.

Inas menunduk, memandang gelas di tangannya. Saat itu Indra melihat Inas menggenggam gelasnya terlalu erat. Pertanda gadis itu gugup.

"Besok aja, Om. Sekarang sud___"

"Kita perlu bicara. Sekarang." Kali ini Indra mengulangi pernyataannya. Itu bukan pertanyaan, melainkan perintah agar Inas patuh padanya dan mengikutinya ke ruang tengah.

Di sebuah sofa panjang di depan televisi, mereka duduk saling berjauhan. Inas masih menunduk dengan kedua tangan menggenggam gelas air di pangkuannya.

"Kemarin malam..." kata Indra memulai. "... saya minta maaf."

Inas masih diam dalam tunduknya.

"Jangan salah paham," Indra buru-buru menambahkan. "Saya nggak menyesali yang kita lakukan semalam. Saya justru berterima kasih kepada kamu untuk kemarin malam. Kamu... mengagumkan."

Meski dengan kepala menunduk, Indra bisa melihat warna kulit wajah Inas memerah.

"Tapi kelihatannya kamu nggak suka dengan yang kita lakukan semalam," terka Indra. "Apa kamu menyesal?" tanya Indra lebih jauh. "Apa ini karena perjanjian?"

Inas masih membisu.

"Apa semalam saya menyakiti kamu?" tanya Indra, lebih hati-hati.

Gelas di tangan Inas tampak agak bergetar. Dan Indra mendeteksinya.

"Saya sudah coba melakukannya selembut mungkin. Buktinya, nggak ada bercak darah di__"

Belum juga Indra menyelesaikan kata-katanya, Inas sudah mengangkat kepalanya. Matanya yang kemerahan, menatap Indra dengan nanar.

"Om cuma mau nyindir saya?" tanya Inas. Baru kali ini Indra mendengar Inas bicara dengan nada suara tajam seperti itu. Tapi kontras dengan suaranya yang ketus dan tajam, mata Inas justru penuh dengan genangan air yang hampir tumpah. "Om ragu dan penasaran, tapi sungkan nanya langsung ke saya kan? Jadi Om nyindir saya begitu?!"

Saat itu Indra paham, masalah apa yang sedang mereka bicarakan.

"Tanya aja Om!" tantang Inas.

"Inas..."

Gadis itu mendengus tidak sabar. "Saya nggak berdarah bukan karena Om berhasil bikin saya orgasme sebelum masuk. Tapi karena... saya memang sudah nggak perawan. Om bukan yang pertama buat saya. Om puas? Sudah nggak penasaran lagi?"

Gelas yang digenggam Inas bergetar, seiring suara dan bibir gadis itu yang gemetar. Jemari tangan kirinya dengan cepat mengusap air mata yang sudah terlanjur jatuh tanpa bisa ditahan.

Belum selesai Indra dengan kekagetannya, Inas sudah memberondongnya dengan hal lain.

"Om pasti kecewa menikahi perempuan bekas kan?" kata gadis itu. Kini suaranya dingin. "Om nggak perlu khawatir terjebak dengan perempuan seperti saya. Toh memang kita akan berpisah akhirnya. Saya cuma minta tolong, tunggu 3 bulan lagi sampai perjanjian kita selesai. Setidaknya supaya Ibu saya nggak terlalu stres kalau tahu anaknya diceraikan sebelum 1 tahun. Sebagai ganti saya merawat Dira selama ini, semoga Om mau mengabulkan permintaan saya."

* * *

600 vote dan 200 komen untuk update bab berikutnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top