Janji - 4
Selama tiga bulan menikah, belum pernah sekalipun Inas masuk ke kamar Indra. Pria itu memang tidak pernah melarang. Tapi juga tidak pernah mempersilakannya.
Tapi hari itu akhirnya untuk pertama kalinya Inas masuk ke kamar Indra. Gara-gara Dira yang pagi-pagi sekali sudah masuk ke kamar Inas dan memberitahu bahwa ayahnya demam tinggi. Jadi Inas masuk ke kamar Indra dan memeriksa kondisi lelaki itu.
Meski sudah satu tahun istrinya meninggal, sentuhan mendiang istri masih sangat terasa pada dekorasi kamar Indra. Seperti juga pada seluruh bagian dalam rumah itu. Bahkan foto Indra dan Inggrid masih terpampang besar pada salah satu sisi dinding kamar utama itu. Lelaki itu sepertinya memang tidak berniat mengubah apapun peninggalan istrinya.
Beruntung hari itu adalah hari Sabtu. Jadi setelah memastikan seberapa tinggi demam Indra, Inas membiarkan lelaki itu kembali tidur sementara dirinya menyiapkan sarapan.
Setelah sup telur matang, Inas membangunkan Indra untuk sarapan. Ia juga sudah menyiapkan air minum dan obat demam untuk Indra. Setelahnya Inas keluar kamar, untuk kembali menemani Dira mandi dan sarapan.
Setelah Dira selesai sarapan dan sedang nonton TV, Inas kembali ke kamar Indra untuk mengambil mangkuk kosong dan mengecek kondisi pria itu. Tapi jangankan minum obat, sup telur yang dibuat Inas saja belum disentuh sama sekali. Pria itu malah kembali tidur.
Indra memang masih demam. Tapi suhu tubuhnya tidak meningkat sejak terakhir kali Inas memeriksa. Jadi Inas pikir kondisi Indra belum terlalu parah hingga perlu dibawa ke rumah sakit. Karenanya, ia berusaha merawatnya sendiri di rumah.
Inas membawa mangkuk berisi sup telur yang belum disentuh sama sekali, memanaskannya dan membawa kembali sup yang sudah hangat. Kali itu Inas duduk di tepi ranjang Indra, dan membangunkan hingga lelaki itu benar-benar bangun.
"Iya, iya, nanti saya bangun dan makan," gerutu Indra dengan suara lemah. Matanya masih terpejam meski mulutnya bilang bahwa dirinya sudah bangun.
Tadi Indra juga bilang begitu. Nyatanya dia malah tidur lagi tanpa makan sedikitpun. Kalau sedang tidak sakit sih tidak apa-apa. Tapi kalau sedang sakit dan butuh minum obat begini, Indra harus makan, meski sedikit, agar bisa meminum obatnya. Beberapa antipiretik (obat demam) bersifat mengiritasi lambung sehingga perlu dikonsumsi pada saat lambung terisi makanan.
Jadi karena tidak percaya Indra akan bangun kalau ditinggalkan sendirian lagi, akhirnya Inas bertahan di tepi ranjang Indra. Melihat itu Indra merasa terganggu dan akhirnya terpaksa bangun. Iapun terpaksa memakan sup di bawah tatapan Inas.
Sebenarnya Inas tidak benar-benar menatap Indra. Gadis itu hanya menatap mangkuk. Memastikan isinya berkurang sedikit demi sedikit.
Setelah setengah mangkuk habis, Indra akhirnya menyerahkan mangkuk itu kembali kepada Inas. Ia kira Inas akan memaksanya menghabiskan sup itu, tapi ternyata Inas hanya mengangguk. Gadis itu kemudian menyerahkan segelas air dan sebutir tablet pereda demam. Dan setelah Indra meminum obatnya, Inas keluar bersama mangkuk dan gelas yang tadi dibawanya.
* * *
Indra terbangun ketika merasakan guncangan kuat pada tubuhnya. Mengerjapkan mata lemah, ia menemukan wajah Inas di hadapannya.
"Demam Om naik lagi," kata Inas.
"Jam berapa?" tanya Indra linglung.
"Jam 11, Om," Inas menjawab. "Makan sedikit dan minum obat lagi ya Om."
Kali ini Inas datang bersama semangkuk soto. Meski tidak bernafsu makan, Indra memaksakan diri memakannya, hingga habis setengah mangkuk lagi. Setelahnya, Inas kembali menyerahkan tablet pereda demam untuk lelaki itu.
Inas sudah keluar dari kamarnya dan Indra pikir ia bisa tidur lagi, ketika ternyata Inas kembali ke kamarnya membawa sebuah baskom berisi air dan waslap.
"Om berkeringat. Bajunya basah. Badannya dilap dulu ya Om. Ini saya bawa air hangat. Sekalian buat kompres."
"Saya demam, Nas. Harusnya kompres air dingin," meski lemas, Indra masih sempat-sempatnya protes.
"Kalau badan dibasuh dan dikompres air hangat, regulator suhu tubuh akan mengenali suhu panas itu, dan berusaha menurunkan suhu tubuh. Jadi lebih efektif dikompres air hangat, Om," Inas menjelaskan dengan sabar. "Saya ijin buka lemari baju Om ya?"
Belum sempat Indra bicara, gadis itu sudah membuka lemari baju Indra, lalu mengeluarkan handuk, kaos, celana pendek dan celana dalam. Dengan wajah merah, Inas meletakkan satu set pakaian tersebut di tepi ranjang.
"Om lap bandan dulu ya. Trus ganti baju. Nanti saya balik sini lagi, ambil baju Om."
Lagi-lagi, sebelum Indra sempat bicara apa-apa, Inas sudah keluar dengan cepat dari kamar itu.
Meski pusing, Indra menuruti Inas. Badannya memang lengket berkeringat. Jadi dengan perlahan ia membuka bajunya dan menyeka tubuhnya dengan waslap hangat. Setelah mengeringkan tubuh dengan handuk dan memakai pakaiannya kembali, Indra merasa lebih segar setelah menyeka tubuh dengan air hangat. Barangkali benar teori Inas tadi untuk mengompres orang demam dengan air hangat.
Setelahnya, Indra kembali terlelap di ranjangnya. Seharian ia hanya tidur. Ia hanya bangun untuk sholat, makan, minum obat dan buang air kecil.
"Demam Om udah mulai reda. Semoga besok sembuh ya Om," kata Inas ketika menerima uluran gelas kosong dari tangan Indra. "Malam ini Dira tidur di kamarnya sendiri. Supaya papanya bisa istirahat total."
"Dia berani?" tanya Indra ragu.
Sejak usia 3 tahun, Indra dan mendiang istrinya sudah berkali-kali mencoba melatih Dira tidur di kamarnya sendiri. Tapi tengah malam, anak itu pasti kembali ke kamarnya lagi, untuk tidur dalam pelukan orangtuanya.
"Saya temani dulu malam ini," jawab Inas.
Indra memerhatikan gadis itu membereskan mangkuk dan gelas. Setelahnya, gadis itu pergi begitu saja. Lagi-lagi dalam diam.
Gadis itu benar-benar pendiam.
* * *
"Papa udah sembuh!"
Dira menyambut ceria ketika hari Minggu itu Indra melangkah masuk ke ruang makan. Gadis kecil itu turun dari kursi makan dan berlari memeluk kedua kaki ayahnya. Indra tertawa ketika berlutut dan menatap puterinya.
"Maaf ya, tadi malem Dira jadi nggak bisa bobo sama Papa," kata Indra sambil membelai kepala sang puteri. "Sekarang Papa udah sembuh. Nanti malem bisa bobo sama Papa lagi."
"Ga apa-apa, Pa. Tadi malem juga Dila seneng bobo sama Kak Inas."
"Oh ya?"
"Tadi malem, Kak Inas celita selu sebelum bobo," kata Dira semangat. Ia kemudian menoleh pada Inas yang sedang meletakkan mangkuk dengan isi yang menguarkan uap harum di meja, di depan kursi makan Indra. "Nanti malam Kak Inas celita lagi kan Kak?"
Inas menoleh pada gadis kecil itu dan tersenyum. "Boleh," jawabnya singkat.
"Asikkk!!! Bobo baleng Papa sambil dengelin cerita Kak Inas!!!"
Refleks Indra dan Inas saling bertatapan mendengar celoteh Dira barusan.
"Nanti malem Dira bobo sama Kak Inas lagi kan, di kamar Dira?" tanya Inas mengkonfirmasi.
"Papa kan udah sembuh Kak. Jadi nanti Dila bobo di kamal Papa lagi dong!"
"Kalau gitu, Kak Inas nggak bisa nemenin bobo sambil bacain buku cerita."
"Yaaahh!" desah Dira kecewa. "Kenapa?"
Dira meninggalkan ayahnya dan berbalik mendekati Inas.
"Kak Inas cuma bisa temenin Dira bobo sambil cerita, kalau Dira bobo di kamar Dira sendiri," kata Inas hati-hati.
"Kenapa?" gadis kecil itu menuntut.
"Kak Inas nggak bisa bacain cerita kalau Dira di kamar Papa."
"Kenapa?"
"Nanti kalau Kak Inas ngantuk pas bacain cerita, kayak semalem, gimana?"
"Ya Kak Inas ikut bobo aja, sambil peluk Dila kayak semalem."
"Nanti Papa bobo dimana?"
"Kita bobo betiga aja! Dulu biasanya Dila juga dikelonin sama Papa dan Mama."
Indra yang sudah bangkit dari posisi berlututnya, bersitatap kembali dengan Inas. Dan kali itu wajah Inas terlihat memerah.
"Ya kan Pa? Kita bisa bobo betiga kayak dulu pas sama Papa dan Mama kan?" tanya Dira, meminta persetujuan ayahnya. Dan itu jelas membuat ayahnya salah tingkah.
"Pokoknya Kak Inas nggak bisa bacain cerita kalau Dira nggak bobo di kamar Dira sendiri," putus Inas, akhirnya, sebelum Indra sempat menjawab.
Keputusan itu terdengar tega. Tapi untungnya Dira tidak menangis. Gadis itu hanya menggerutu sambil kembali duduk di kursinya. Ia mengaduk-aduk supnya dengan kesal, sebagai bentuk protes.
"Yaudah, nanti Papa yang bacain cerita ya," kata sang ayah membujuk. Lelaki itu duduk di kursinya, di hadapan sang puteri.
"Papa baca celitanya kayak lobot! Ga selu!"
"Kalau Kak Inas yang cerita, seru?" tanya Indra. Ia menyangsikan gadis pendiam seperti Inas bisa bercerita dengan seru.
"Selu dong!" jawab Dira.
"Makanya, nanti malem bobo sama Kak Inas aja yuk, Ra," Inas membujuk dengan manis. "Tadi malem juga Dira udah pinter banget, bisa bobo di kamar sendiri. Masa sekarang balik lagi dikelonin Papa?"
Dira tampak menimbang bujukan Inas.
"Yaudah, nanti malem Dira bobo bareng Papa lagi," kata Inas. "Tapi kalau hari sekolah, bobo sama Kak Inas lagi ya? Nanti Kak Inas bacain cerita seru-seru deh. Kalau Sabtu, Minggu atau hari libur, Dira dikelonin Papa lagi. Gimana?"
Setelah menimbang dan sok jual mahal, akhirnya Dira berkata, "Yaudah, oke deh Kak."
Inas tersenyum lebar dan membelai kepala Dira, sebelum ia duduk di kursinya, di sebelah Dira.
Saat itu matanya kembali tak sengaja bersitatap dengan Indra. Tapi ia buru-buru mengalihkan matanya ke arah mangkuk di hadapannya.
"Sup nya dimakan mumpung masih hangat, Om," kata Inas. Gadis itu jelas sedang bicara pada Indra, tapi matanya tidak berani memandang lelaki itu.
Tanpa disadari, senyum Indra melengkung tipis melihat Inas yang salah tingkah seperti itu.
Indra kemudian mulai menyuap sup krim ayam jagung hangat di hadapannya. Kehangatan bukan hanya menyebar dari kerongkongan dan perutnya.
Entah mengapa, hatinya ikut terasa hangat.
* * *
Selamat berbuka puasa dengan yang hangat, Kak. Eeeaaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top