Janji - 3
Indra tidak mengerti mengapa Dira mau menerima Inas. Karena kenyataannya, setelah mereka menikah dan Inas tinggal serumah dengan dirinya dan Dira, hubungan Dira dan Inas terlihat anyep-anyep saja. Benar sih, Dira tidak pernah lagi tantrum. Tapi gadis kecil itu juga tidak serta merta kembali ceria seperti dulu.
Inas melakukan tugasnya dengan cukup baik. Tapi bukan sebagai ibu bagi Dira. Melainkan lebih mirip sebagai pengasuh Dira. Sejak pagi Inas mendampingi Dira untuk bersiap ke sekolah, mengantar ke TK, menjemput saat pulang sekolah, menyuapi tiap kali makan, memandikan, menemani bermain. Dirapun menerima semua bantuan Inas tanpa drama atau protes.
Karena anak tunggal, mendiang istri Indra selalu memperlakukan Dira bagai putri. Dan karena mendiang istri Indra tidak bekerja di luar rumah, ia benar-benar fokus membersamai Dira. Itu mengapa saat istri Indra meninggal, Dira merasa sangat kehilangan. Perasaan gamang itu yang membuat Dira tidak bisa menerima orang lain yang mendekatinya. Ia cenderung rewel dan merasa banyak tidak cocok dengan pengasuh-pengasuhnya. Merasa hal-hal yang dilakukan pengasuhnya tidak sama seperti yang dilakukan ibunya. Untungnya, sejak Inas yang menemaninya, gadis itu tidak rewel lagi.
Meski demikian, meski tidak ada lagi drama dan tantrum, Indra masih penasaran melihat hubungan Inas dan Dira yang anyep-anyep saja. Inas yang pendiam juga tidak mencoba bersikap lebih ceria untuk memancing keceriaan Dira. Sebenarnya Indra ingin protes pada Inas, dan memintanya bersikap lebih ceria lagi. Tapi mengingat sikap Dira yang tidak lagi tantrum saja sudah merupakan suatu kemajuan, jadi Indra mengurungkan niatnya.
* * *
"Keakraban" Inas dan Dira akhirnya retak ketika pada suatu pagi Dira marah-marah pada Inas.
"Nanti Dila telat, Kak Inas!" bentak Dira, diantara tangisannya. "Suapin Dila!"
Sementara Inas menjawab dengan sabar, "Pegang sendoknya pelan-pelan, Ra. Nanti juga bisa menyuap sendiri. Tadi malam Dira bisa makan sendiri kok."
"Tapi udah jam segini! Dila ga bisa makan cepat! Nanti telat!" Dira menangis makin kencang dan malah membanting sendoknya ke piring.
Melihat hal seperti itu pada hari sepagi itu membuat Indra pusing dan kesal.
"Apa susahnya nyuapin gitu doang sih Nas?!" sekarang Indra yang gantian membentak Inas.
Tapi Inas tetap diam saja, masih sambil menyiapkan tas sekolah Dira.
Akhirnya Indra membujuk Dira agar berhenti menangis, dan menyuapi anak itu sarapan.
Ketika akhirnya waktu berangkat sekolah, Dira mengikuti Inas sambil bersungut-sungut.
Indra sudah khawatir hubungan Dira dan Inas benar-benar retak. Karena jika demikian, siapa lagi yang bisa jadi pengasuh bagi Dira. Tapi syukurlah saat mereka makan malam bersama, Dira dan Inas sudah tampak akur lagi. Dira memakan makan malamnya pelan-pelan, tidak lagi disuapi. Selesai makan, Indra melihat Inas mengusap kepala anak itu sambil tersenyum.
Keesokan paginya, Dira sudah berada di meja makan ketika Indra datang untuk sarapan. Anak itu sudah mulai sarapan duluan, menyuap makanannya sendiri pelan-pelan.
"Kak Inas ga mau suapin Dila lagi," kata Dira, menggerutu, ketika Indra menanyakan mengapa anak itu sudah mulai sarapan pagi-pagi sekali. "Tapi kalau ga makan, Dila lemes, ga bisa main. Jadi halus salapan sendili pelan-pelan."
Inas mendengar gadis kecil itu menggerutu. Tapi ia hanya diam saja. Pun saat matanya bersitatap dengan ayah dari gadis kecil itu, Inas hanya diam, tidak nampak merasa bersalah.
* * *
Suatu hari Inas meminta ijin pada Indra untuk membeli dan merawat kelinci. Meski Indra merasa aneh bahwa gadis seusia Inas ingin memelihara hewan peliharaan, tapi Indra mengijinkannya.
Tapi ternyata, Inas membeli sepasang kelinci itu bukan untuk dirinya. Melainkan untuk Dira.
"Benelan kelinci buat Dila?" Indra mendengar anaknya bertanya antusias pada Inas, ketika gadis itu menunjukkan sepasang kelinci di dalam sebuah kandang yang diletakkan di halaman belakang rumahnya. "Katanya nunggu Dila besal?"
"Nggak perlu menunggu Dira besar dulu supaya Dira bisa makan sendiri," kata Inas pada anak itu. "Jadi karena Dira sudah bisa makan sendiri, sudah bisa mengurus diri sendiri, pasti Dira juga sudah bisa mengurus kelinci sendiri kan?"
"Iya Kak! Dila bisa!" jawab Dira bersemangat.
"Ini kelinci Dira. Jadi Dira yang kasih makan sendiri, Dira yang ajak main, Dira yang urus. Kak Inas cuma bantu. Kalau Dira nggak kasih makan dan kelinci lapar, itu bukan salah Kak Inas ya," kata Inas.
"Iya Kak! Dila pasti sayang kelincinya!" Gadis kecil itu bertekad.
* * *
Karena kesibukan pekerjaannya, Indra memang tidak mengetahui banyak tentang interaksi Dira-Inas sehari-hari. Tapi dari pengamatan di akhir pekan, setelah hampir 3 bulan mereka menikah, sepertinya memang Inas tidak pernah tampak terlalu berusaha mendekati Dira.
Mungkin karena pada dasarnya Inas adalah gadis pendiam, selama menemani Dira, Inas lebih banyak diam. Hanya jika Dira yang mulai bertanya, Inas baru menjawab.
Seperti siang itu, Indra melihat Inas duduk di sofa depan TV sambil membaca buku, sementara Dira sedang bermain boneka. Tapi tak lama kemudian, Dira menoleh pada Inas.
"Kak, bukunya kok ada gambal baju-baju?" tanya Dira penasaran. Gadis kecil itu menghampiri Inas di sofa bersama dengan bonekanya, lalu duduk menempel di samping Inas.
Inas menoleh dan tersenyum pada Dira.
"Kak Inas lagi belajar. Mau bikin baju buat barbie," jawab Inas.
"Baju balbi? Kak Inas bisa?"
"Nggak bisa. Makanya Kak Inas baca buku dan belajar."
"Dila juga mau bisa bikin baju balbi!"
"Kita bikin sama-sama yuk!"
"Yuk, Kak!"
Di lain hari Indra melihat Inas dan Dira duduk di balik jendela, memandang hujan lebat di luar.
"Hujannya banyak!" kata Dira, merengut. "Dila jadi ga bisa main di lual!"
Alih-alih menghibur Dira, Inas malah mengabaikan gerutuan Dira. Gadis itu justru menatap langit dan bergumam sendiri. "Dari mana ya datangnya air sebanyak ini?"
Inas bertanya seperti itu, seperti sedang bergumam sendiri, bukan seperti sedang bertanya pada Dira. Tapi Dira merespon gumaman itu.
"Dali langit lah Kak!" jawab Dira, jumawa. Merasa Inas bodoh sekali karena hal seperti itu saja tidak tahu.
Inas mengangguk-angguk. "Kok bisa ada air sebanyak itu dari langit ya?"
Saat itu Dira merasa terganggu dan akhirnya menoleh pada Inas. "Dali mana ya Kak?"
Inas mengangkat bahunya. "Nggak tahu," jawab Inas.
"Kak Inas ga punya buku tentang hujan?"
"Hmmm..." Inas seperti sedang berpikir. "Kita cek yuk Ra!"
"Yuk!"
Dira bangkit lebih dahulu dan berlari menuju rak bukunya. Lalu mencari buku yang ia inginkan.
"Kak, yang mana yang buku tentang hujan?" tanya Dira, bingung sendiri melihat rak bukunya.
"Coba cari yang ada tulisan HUJAN."
"Tapi Dila belum bisa baca!"
"Dira sudah bisa baca!" kata Inas mengkoreksi. Anak itu sudah duduk di TK B, dan sudah belajar membaca. Memang belum lancar, tapi untuk mengeja, ia sudah mulai bisa. Hanya saja, memang Dira malas mengulang belajar membaca. Dia lebih senang Inas membacakan buku untuknya."Coba cari buku yang judulnya ada huruf H-U-J-A-N."
Dari sofa di depan TV, Indra melihat buku berjudul HUJAN itu berada paling depan. Barangkali Inas sengaja meletakkannya di tempat yang mudah terlihat. Tidak lama kemudian, Dira menemukan buku itu. Ia mengambilnya dengan bersemangat lalu menyerahkan pada Inas.
"Bacain, Kak!" pinta Dira.
Inas mengambil buku tersebut. Merangkul Dira agar duduk di sampingnya, lalu ia mulai menceritakan isi buku tersebut.
"Wah, hebat ya Kak! Telnyata gitu calanya hujan!" kata Dira setelah buku ditutup. "Besok Dila celita ke Cia ah. Dia pasti belum tahu!"
"Baca buku emang seru ya Ra. Kita jadi tahu banyak hal. Apalagi kalau kita udah bisa baca sendiri. Pasti makin banyak buku yang bisa kita baca."
Percakapan kali itu memang hanya sampai disitu. Tapi di hari-hari kemudian, Indra beberapa kali melihat Dira mulai mengeja tulisan di buku-bukunya.
* * *
Meski mereka bertiga menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik, tapi Indra sadar bahwa ini bukan keluarga yang normal. Inas masih memanggilnya "Om" dan Dira masih memanggil Inas dengan "Kak". Hal itu juga disadari oleh ibu Indra ketika beliau berkunjung ke rumah Indra.
"Inas bahagia nikah sama Mas Indra?"
Indra yang sedang melangkah menuju ruang keluarga, menangkap pertanyaan yang diajukan ibunya itu kepada Inas.
"Iya, Ma," Begitu jawaban yang didengar Indra dari Inas.
"Pernikahan kalian baik-baik aja kan?" tanya ibu Indra lagi.
"Baik, Ma."
"Tapi kok Inas masih manggil Om Indra?"
Kedatangan ibu Indra kali itu memang tanpa pemberitahuan sebelumnya, sehingga Indra dan Inas belum mempersiapkan diri untuk sebuah drama.
"Dira juga masih manggil Kak Inas? Belum manggil Mama?" tanya ibu Indra lagi.
"Dira memang masih belum manggil Mama, Ma. Inas nggak mau maksa. Bagi Dira, mamanya kan cuma Mama Inggrid. Nanti kalau Dira sudah nyaman sama Inas, lama-lama juga Dira sayang sama Inas dan mau manggil Mama."
Indra cukup kagum pada ketenangan Inas saat menjawab interogasi ibunya itu.
"Inas juga cuma panggil Om Indra kalau ada Dira kok Ma. Kalau kami berduaan, Inas manggil Mas kok."
Inas mungkin gadis pendiam. Tapi jelas bukan gadis lugu dan bodoh. Sekali lagi Indra kagum pada kemampuan gadis itu berkilah di depan ibunya.
"Dira udah tidur... Mas?" tanya Inas, ketika melihat sosok Indra mendekat.
Setelah makan siang bersama tadi, Dira sempat bermain bersama dengan Inas, nenek dan ayahnya. Sebelum akhirnya ia bilang mengantuk. Jadi Indra membawa Dira ke kamarnya untuk tidur siang.
"Udah," jawab Indra singkat.
Demi melengkapi kebohongan Inas, Indra menjatuhkan diri, duduk di sisi Inas, lalu melingkarkan lengannya ke sekeliling bahu gadis itu. Ia mencoba melakukannya seluwes mungkin agar ibunya tidak tahu kondisi pernikahan mereka sebenarnya.
"Dira masih tidur di kamar kamu, Mas?" tanya ibu Indra pada puteranya. Beliau memang memanggil Indra dengan "Mas" karena Indra adalah anak sulungnya.
"Masih, Ma. Belum berani tidur di kamarnya sendiri."
"Trus Mas dan Inas gimana? Kalian nggak terganggu kalau mau...."
"Urusan itu tenang aja Ma," potong Indra cepat, memahami kemana arah pertanyaan ibunya.
"Kalian beneran nggak mau bulan madu? Sudah 3 bulan kalian menikah. Resepsi kalian sederhana dan bahkan nggak ada bulan madu. Mama jadi merasa nggak enak sama orangtua Inas. Kalau soal Dira, bisa nginep di rumah Mama dulu selama beberapa hari kalau kalian mau bulan madu."
"Nggak usah, Ma," Kali ini Inas yang menjawab. "Nggak perlu merasa nggak enak sama Inas atau orangtua Inas. Memang Inas yang ingin resepsi sederhana dan tanpa bulan madu. Inas cuma khawatir Dira belum bisa nerima Inas. Makanya Inas mau pelan-pelan aja, Ma."
Ibu Indra tersenyum dan menoleh pada putera sulungnya."Beruntung banget kamu, Mas, dapet istri pengertian seperti Inas."
"Iya, Ma," jawab Indra singkat. Dari sudut matanya Indra melihat gadis yang dirangkulnya itu menundukkan kepala. Barangkali menyembunyikan wajahnya, khawatir jika ketahuan berbohong.
* * *
Yuhuuuu Kakak2.
Pre-order Eugenia besok nih terakhir. Udah pesen kan Kak?
Yg belum pesan, bisa chat ke Karos Publisher 0818-0444-4465
Yg belum pernah baca Eugenia, bisa mampir ke lapak sebelah. Dijamin seru! (hahaha, sok pede bgt penulisnya)
Makasih buat Kakak2 yg sudah memesan n mendukung Eugenia 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top