Janji - 2

Istrinya baru saja meninggal. Belum sampai setahun lalu. Tapi yang membuat Indra kesal adalah karena semua orang sepertinya sudah gencar sekali menyuruhnya menikah lagi.

Sebenarnya memang masuk akal juga kalau keluarganya, terutama sang ibu, meminta Indra segera menikah lagi. Puteri tunggalnya, Indira, merupakan pihak yang paling terdampak oleh meninggalnya sang istri. Setelah kepergian sang istri, Dira yang semula periang dan manis, berubah menjadi anak yang pemurung dan "sulit". Dan menurut ibunya, dengan Indra menikah lagi dan menghadirkan pengganti sosok ibu untuk gadis kecil berusia 5 tahun itu, maka Dira akan kembali menjadi anak yang periang dan manis.

Tapi bagi Indra, menikah kembali bukan urusan mudah. Pertama, ia masih berkabung atas meninggalnya sang istri dan belum bisa menerima perempuan lain dalam hidupnya. Kedua, tidak mudah mencari perempuan yang bersedia menerima dirinya sepaket dengan Indira. Kalau sekedar mencari perempuan saja, dengan ketampanan dan kemampanannya, Indra yakin banyak perempuan yang akan tertarik padanya. Tapi saat mereka tahu bahwa menjadi istri Indra berarti juga harus menerima Dira, belum tentu semua perempuan bersedia. Jadi karena dua hal tersebut, tuntutan sang ibu untuk segera menikah lagi menjadi permintaan yang sangat sulit.

Sang ibu pernah 2 kali mencoba mengenalkan Indra dengan seorang perempuan. Yang pertama seorang gadis, yang kedua seorang janda tanpa anak. Tapi Dira tidak cocok dengan kedua calon pilihan sang Oma tersebut. Hal tersebut wajar saja sebenarnya. Kalau Indra saja belum move on dari sang istri, barangkali Dira juga belum ingin sosok ibunya digantikan oleh perempuan lain.

Mengingat penolakan Dira pada kedua perempuan yang pernah dijodohkan pada ayahnya, maka ketika melihat Dira tidak menolak berada dekat dengan Inas, ibu Indra segera berinisiatif menjodohkan Indra dengan Inas.

Ayah tiri Inas adalah keponakan dari adik ipar ibunya Indra. Berdasarkan silsilah yang rumit tersebut, Inas masih keponakan jauh Indra. Itu mengapa gadis itu memanggil Indra dengan panggilan "Om". Karena hubungan kekerabatan yang cukup jauh, Indra hanya pernah beberapa kali saja bertemu Inas, pada acara yang melibatkan keluarga besar.

Beberapa bulan lalu mereka bertemu di resepsi pernikahan salah seorang sepupu Indra. Saat itu Indra membawa Dira bersamanya, berharap gadis kecil itu bisa menjadi lebih ceria jika bertemu banyak orang, terutama anak-anak sepupunya yang lain. Tapi nyatanya tidak begitu. Dira hanya menempel pada Indra di sepanjang acara dan menolak bermain bersama anak seusianya. Indra hanya bisa memisahkan diri dari Dira saat akan ke toilet. Saat itu Indra menitipkan Dira pada ibunya. Tapi saat Indra kembali, Dira tidak sedang duduk bersama ibunya, melainkan bersama Inas.

"Oma ke kamar mandi," kata Inas kali itu, menjelaskan mengapa Dira ada bersamanya, bukan bersama ibu Indra.
Inas memanggil ibunya Indra sebagai "Oma", sebagaimana Dira memanggil beliau.

Saat itu Indra melihat Dira duduk dengan tenang dan manis di sebelah Inas, memakan puding.

Indra kembali bertemu dengan Inas 2 bulan kemudian saat ada syukuran kelahiran salah seorang keponakan Indra. Inas juga hadir saat itu bersama orang tuanya, tapi gadis itu memilih duduk di pojok. Seperti sengaja agar tidak terlihat oleh sanak saudara yang lain. Begitu pun dengan Dira, yang memilih pojok ruangan yang sama dengan Inas. Gadis 22 tahun dan 5 tahun itu sama-sama mengikuti rangkaian acara dari sudut terjauh itu, duduk bersisian dan sama-sama diam. Selewat siang, ketika akhirnya Indra hendak mengajak Dira pulang, ia menemukan gadis kecil itu tidur di pangkuan Inas.

Sialnya, bukan hanya Indra yang melihat hal itu. Ibu Indra juga sudah dua kali memergoki "keakraban" Inas dan Dira dan menganggapnya sebagai pertanda bahwa Dira cocok dengan Inas. Hal itu yang membuat Ibu Indra berinisiatif membuka obrolan dengan orangtua Inas, dan mengusulkan perjodohan.

Tapi demi Tuhan! Inas itu baru 22 tahun! Sedang skripsi, semester akhir! Sementara Indra sudah berusia 35 tahun! Bukan hanya soal perbedaan usia yang terlalu jauh. Tapi apa yang bisa Indra harapkan dari gadis 22 tahun itu? Indra tidak yakin Inas bisa sabar menghadapi  Dira.

Tapi ibu Indra berkeras untuk menjajaki perkenalan yang lebih serius antara Indra dan Inas. Dan tak terduga, ternyata orangtua Inas tidak keberatan dengan ide itu.

"Mas kenalan dulu ya sama Inas," bujuk Ibu Indra kala itu. "Anaknya baik. Pendiam. Nggak neko-neko. Dan kelihatannya Dira cocok sama Inas."

"Cocok apanya Bu? Mereka cuma duduk berdua, diam-diaman doang. Itu sih bukan pertanda akrab," Indra mengelak.

"Tapi Dira, sejak mamanya meninggal, jadi suka marah-marah dan rewel kalau didekati orang lain. Tapi sama Inas, dia bisa tenang. Bahkan sampai ketiduran di pangkuannya," jawab sang ibu. "Coba kenalan dulu ya Mas."

"Udah kenal," jawab Indra ketus, bagai merajuk.

"Ya tapi selama ini cuma tahu wajah dan nama aja kan? Sekarang kenalan lebih akrab, mau ya? Kalau ternyata memang nggak cocok, Mama nggak maksa kok."

* * *

Karena paksaan ibunya, akhirnya Indra dan Dira mengikuti ibu Indra untuk berkunjung ke rumah Inas suatu hari. Orangtua Inas menerima kedatangan mereka dengan ramah. Entah karena mereka antusias dengan perjodohan ini, atau hanya karena merasa tidak enak menolak lamaran tante mereka, yang tidak lain adalah ibunya Indra.

"Kami sebagai orangtua, mendukung saja keputusan Inas, Tante," kata Ghani, ayah tiri Inas, kepada ibu Indra. "Kalau Indra dan Dira setuju, kalau Inas setuju, kami mendukung. Tapi kalau ada yang tidak setuju, sebaiknya tidak dipaksakan. Khawatir malah merusak persaudaraan kita kan ya, Tan."

Ibu Inas duduk diantara suaminya dan Inas, dan nampak sepakat dengan pendapat suaminya.

"Betul, Gan," kata ibu Indra, menyetujui pendapat ayah tiri Inas. "Saya setuju. Ini hanya ikhtiar untuk mendekatkan. Kalaupun ternyata tidak bisa lebih dekat, ya nggak apa-apa. Kita tetap bersaudara."

Selagi ibunya bicara pada orangtua Inas, Indra memerhatikan gadis itu yang hanya duduk di sebelah ibunya sambil menunduk memandang tangannya. Kelihatannya memang gadis pendiam. Entah apakah gadis itu mampu dekat dengan Dira atau tidak. Sebab sebelum ibunya meninggal, Dira adalah anak yang periang, aktif dan cenderung cerewet.

Tapi siapa sangka, ketika ibu Indra menanyakan pendapat Dira, gadis kecil itu memberikan jawaban tidak terduga.

"Kalau Dira, misal Kak Inas tinggal di rumah Dira dan nemenin Dira, Dira mau nggak?" tanya ibunya Indra pada sang cucu, tiba-tiba.

Dira tidak segera menjawab. Gadis kecil itu memandang Inas, yang ternyata juga sedang mengangkat kepalanya. Tatapan kedua gadis itu bertemu. Tidak ada senyum di bibir keduanya. Mereka hanya diam, tampak saling menilai.

Indra pikir, ekspresi Dira itu berarti bahwa gadis itu tidak menyukai Inas. Siapa sangka, Dira kemudian menoleh pada neneknya dan mengangguk.

"Mau, Oma. Dila mau sama Kak Inas," jawab Dira. Membuat Indra kaget, sementara ibu Indra tersenyum lebar.

Ini tidak seperti prediksi Indra. Dia tidak menduga puterinya mau menerima Inas, padahal terhadap dua calon sebelumnya, gadis itu bersikap antipati. Padahal melihat Dira dan Inas, sepertinya hubungan mereka dingin-dingin saja. Tidak akrab dan hangat. Siapa sangka Dira justru mau menerima Inas.

"Nah, berarti sekarang tinggal keputusan Indra dan Inas," kata ibu Indra, dengan senyum antuasianya.

Inas tidak bicara apa-apa. Hanya diam memandang Indra, ibu Indra dan Dira bergantian. Jadi Indralah yang mengambil keputusan.

"Karena perjodohan ini bukan paksaan, berarti saya dan Inas punya waktu untuk saling mengenal lebih dekat dulu kan?" Indra mencoba mengulur waktu.

Kali itu Indra berhasil mengajak Inas untuk ngobrol berdua di teras belakang rumah gadis itu. Sementara ibu Indra, Dira dan orangtua Inas masih melanjutkan ngobrol di ruang tamu.

Karena Dira sudah terlanjur menyampaikan penerimaannya terhadap gadis ini, maka satu-satunya cara agar perjodohan ini gagal adalah dengan meyakinkan Inas bahwa perjodohan ini akan merugikan gadis itu.

"Inas sudah lulus kuliah?" tanya Indra memulai percakapan mereka.

"Baru lulus sidang, Om," jawab gadis itu. Ia tidak menunduk, tapi juga tidak menatap mata Indra. Sepertinya gadis itu mengalihkan tatapannya ke dagu atau leher Indra.

"Wisuda kapan?"

"Dua bulan lagi, Om."

"Setelah itu berniat langsung kerja atau lanjut S2?"

"Belum tahu, Om."

"Sebagai mahasiswa yang baru lulus, saya paham kalau Inas punya beberapa rencana. Entah kerja atau lanjut S2," Indra memulai sugestinya pada Inas. "Jadi kalau tiba-tiba Inas diminta untuk di rumah saja, menemani keseharian anak 5 tahun, pasti sangat membosankan. Jadi kalau Inas menolak rencana perjodohan ini, saya maklum kok Nas. Nggak usah merasa nggak enak."

Dengan bicara demikian, Indra berharap Inas jadi enggan menerima perjodohan tersebut. Kebanyakan mahasiswa yang baru lulus tentu ingin mengejar karir dan cita-cita terlebih dahulu kan? Siapa yang ingin terperangkap dalam tugas istri dan baby sitter di usia semuda itu?

"Kalau kita menolak perjodohan ini, apa Oma akan menjodohkan Om dengan perempuan lain lagi?"

Indra terkekeh pelan. "Kemungkinan begitu. Mama saya khawatir dengan Dira. Karena kesibukan pekerjaan saya, saya nggak bisa selalu menemani anak itu. Padahal sebelumnya Dira sangat bergantung pada mendiang istri saya. Sekarang setelah mamanya meninggal, Dira jadi sulit menerima orang lain untuk menemani dia. Sikapnya jadi menantang. Kadang cuek, kadang tantrum. Beberapa kali kami sudah ganti pengasuh. Menurut mama saya, Dira butuh sosok pengganti mamanya. Tapi tentu nggak sesederhana itu kan. Saya menikah kan bukan sekedar mencari baby sitter untuk Dira. Dan nggak semua perempuan bisa tiba-tiba menerima peran istri dan ibu, terutama untuk anak yang sikap yang menantang seperti Dira."

Indra sengaja mengatakan semua itu untuk membuat Inas waspada dan pada akhirnya menolak menikah dengannya.

"Apa Om nggak capek nolak-nolak terus usaha Oma?" tanya Inas, tak terduga.

"Hah? Gimana?"

"Daripada Om capek nolak terus, mending kita nikah aja Om. Supaya Oma berhenti maksa-maksa Om terus."

Bocah ini waras kan? Dari tadi gue nakutin dia dengan peran istri dan ibu, dia denger nggak sih?

"Nanti kalau Oma sudah nggak ribut lagi dan Dira sudah bisa beradaptasi dengan kepergian mamanya dan nggak tantrum lagi, kita bisa berhenti."

"Ber....henti?" tanya Indra bingung.

"Maksudnya, kalau setelah semua hal terkendali dan Om mau cerai, nggak apa-apa, Om."

Perempuan sinting mana yang merencanakan perceraian bahkan sebelum menikah?

"Apa maksud kamu?"

"Om butuh pengasuh untuk Dira. Dan Om pasti capek disuruh nikah melulu sama Oma kan?" jawab Inas. "Nikah sama saya aja Om. Jadi Oma nggak akan ribut nyuruh Om nikah dan Dira punya teman di rumah. Dan kalau Om sudah nggak membutuhkan saya lagi, trus mau bercerai, saya juga nggak keberatan."

"Dan apa untungnya buat kamu?"

Perjanjian seperti ini hanya akan menguntungkan Indra. Jadi kenapa Inas mau-maunya menjalani pernikahan seperti ini?

"Saya jadi punya alasan keluar dari rumah ini."

Kali itu akhirnya Inas menatap mata Indra. Dan akhirnya Indra terhipnotis dan menerima usulan gila Inas.

"Saya cuma minta 2 hal," kata Inas, setelah akhirnya mereka sepakat menikah. Indra sudah mencoba membuat perjanjian yang menguntungkan kedua pihak. Namun Inas hanya menginginkan 2 hal. "Pertama, nggak boleh ada satupun keluarga kita yang tahu perjanjian ini. Dan kedua, kita tidur di kamar terpisah. Apa Om Indra sepakat?"

* * *

Wah wah, mencurigakan sekali Inas ini. Ternyata malah dia yg ngusulin perjanjian nikah yg aneh.

Kira2 kenapa ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top