Janji - 13

Inas minta dipulangkan ke rumah orangtuanya. Indra dan ibunya sendiri yang mengantar Inas kembali ke rumah orangtuanya, sambil berharap mereka dapat menjemput Inas lagi dalam waktu dekat. Ibu Indra juga meminta maaf langsung pada ibu Inas atas yang terjadi pada hubungan kedua anak mereka.

Dua minggu berlalu. Dan selama itu Indra memang tidak menghubungi Inas. Ia ingin memberi waktu dan kesempatan pada Inas untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka. Indra pikir ini waktu yang cukup bagi Inas untuk kembali ke rumah bersamanya. Tapi ternyata, ketika Indra menjemput ke rumah orangtua Inas, ibu Inas memberi kabar yang tidak diduga Indra.

Inas tidak tinggal di rumah orangtuanya lagi.

Satu hari setelah Inas kembali ke rumah orangtuanya, ia pergi lagi. Katanya kepada ibunya, Inas butuh waktu untuk menenangkan diri. Dan karenanya, ibu Inas mengijinkannya.

"Inas tinggal di apartemen sahabatnya. Sandra," kata ibu Inas memberi tahu.

Satu tahun mereka menikah, tapi Indra nyaris tidak mengetahui apa-apa tentang Inas. Gadis pendiam itu jarang bercerita kalau tidak ditanya. Dan meski dalam tiga bulan terakhir hubungan Indra dan Inas cukup intim, Indra menghabiskan lebih banyak waktu untuk aktivitas ranjang dibanding untuk bercakap dengan Inas.

Jadi ketika saat ini ibu mertuanya mengatakan bahwa Inas tinggal di rumah Sandra, Indra bahkan tidak tahu siapa itu Sandra dan dimana rumahnya. Beruntung ibu Inas mau memberi tahu dimana rumah Sandra.

Alamat yang diberikan ibu Inas membawa Indra pada sebuah apartemen di area perkantoran. Barangkali Sandra bekerja di daerah perkantoran dekat situ sehingga tinggal di apartemen itu. Tapi saat Indra menekan bel di depan pintu unit Sandra, ternyata tidak ada orang yang membukakan pintu.

Hari itu Jumat petang. Apakah Sandra belum pulang kerja? Dan apakah Inas juga sedang tidak ada di dalam?

Setelah menekan bel beberapa kali untuk memastikan memang tidak ada orang di unit tersebut, Indrapun menyerah. Ia turun ke lobby apartemen dan memutuskan untuk makan malam dulu. Barangkali setelah ia selesai makan malam, Sandra atau Inas sudah kembali ke apartemen.

Ada sebuah kafe di lobby apartemen itu. Jadi daripada mencari makan kemana-mana, Indra memutuskan untuk makan malam di kafe itu saja.

Hanya 10 menit sejak ia duduk dan memesan, ketika spaghetti pesanannya tiba. Ia baru saja menunduk untuk memakan suapan pertamanya ketika ia mendengar kursi di balik punggungnya digeser dan seseorang duduk di sana.

"Inas, mau pesen apa?"

Deg!

Berikutnya terdengar kursi lain digeser dan seseorang duduk di balik punggung Indra juga.

"Spaghetti aja, San. Kayak biasa." Kali itu terdengar suara seorang perempuan menjawab. Dan Indra langsung mengenalinya sebagai suara Inas. Dan temannya yang sedang diajak bicara itu pasti Sandra.

Dengan antusias, baru saja Indra ingin membalikkan tubuh untuk menyapa Inas. Tapi tiba-tiba ia mendengar suara Sandra, dan topik yang mereka bahas melibatkan namanya.

"Wih wih. Jelas-jelas lo cinta mati sama Om Indra. Sampe beberapa hari ini cuma mau makan makanan kesukaannya mulu. Udah sejelas itu, masih aja lo nggak mau balik sama dia?"

Karena mendengar Sandra menyebut namanya, Indra urung balik badan dan menunjukkan diri. Dengan cepat ia memutuskan akan tetap duduk disitu untuk menguping percakapan mereka.

Tapi saat Indra sudah memutuskan menguping, Inas malah diam saja, tidak terpancing kata-kata Sandra.

"Gimana kerja di HW Food? Betah?" tanya Sandra mengalihkan pembicaraan.

"Betah aja sih. Baru 3 hari juga gue kerja disitu," Inas menjawab. "Makasih ya San, ngasih gue info lowongan disitu."

Inas kerja?!

"Lowongannya ada di grup alumni juga kan. Mereka butuh lulusan psikologi untuk di HRD, dan mau nerima fresh graduate. Cocok lah buat lo. Meski lo bukan fresh graduated."

"Gue termasuk fresh grad."

"Iye. Karena setahun ini lo mengabdikan ilmu lo buat merawat anak orang, bukannya buat kerja nyari duit," sindir Sandra.

Nah ini!, pikir Indra, begitu percakapan kembali membahas dirinya. Dari balik punggung Inas, Indra menajamkan pendengarannya.

"Kalau tahu ujung-ujungnya bakal pisah gini, lo nyesel nggak, pernah nikah sama Om Indra dan menghabiskan 1 tahun hidup lo buat ngurusin anaknya doang?"

Indra tidak mendengar Inas menjawab. Tapi dari respon Sandra kemudian, Indra menduga Inas menggeleng.

"Lo beneran sayang ya sama Dira?"

"Hmmm."

"Atau karena cinta banget sama bapaknya?"

Terdengar suara Inas terkekeh sebelum percakapan kedua orang itu terjeda pramusaji yang menyajikan pesanan mereka.

"Lo masih nggak mau gabung grup alumni?" tanya Sandra setelah pramusaji pergi, dan mereka kembali bercakap.

"HP gue nggak kuat kalau kebanyakan WAG."

"Cih! Kayak orang susah banget lo! Laki lo tuh Bussiness Director. Nggak mungkin pelit sama istri sendiri kan? Minta beli hape baru lah."

"Calon mantan istri," Inas mengoreksi. Dan saat itu terasa sebuah sengatan di jantung Indra. Bukan hanya karena Inas menyebut dirinya calon mantan istri, yang mengindikasikan tekad gadis itu untuk berpisah. Tapi juga karena Indra tiba-tiba sadar bahwa selama ini dia tidak pernah memberikan hadiah untuk Inas.

Indra memang pernah membelikan Inas lingerie. Tapi itu kan untuk kepentingan Indra sendiri. Bukan untuk kebutuhan Inas.

Pembicaraan kedua perempuan itu berhenti ketika terdengar mereka mulai menyantap makanannya.

"Doyan banget spaghetti?" tanya Sandra kembali, setelah jeda yang panjang.

"Hmmm. Cuma ini yang bisa gue makan."

"Kalau makan yang lain, mual?"

Indra tidak mendengar jawaban Inas. Tapi barangkali Inas mengangguk.

"Padahal spaghetti gini kan creamy, bukannya malah eneg? Perempuan lain mah ngidamnya rujak, biar seger gitu. Lo mah gaya banget, ngidam spaghetti."

Terdengar suara Inas terkekeh.

Ngidam? Rujak?

"Kondisi lo lagi kayak gini, yakin nggak mau tinggal di rumah orangtua lo aja?"

"Gue nggak mau tinggal disana lagi. Susah payah gue akhirnya punya alasan supaya bisa keluar dari rumah itu, masa gue balik lagi."

"Masih trauma sama bokap lo?"

Hanya hening yang menyambut.

"Kenapa nggak bilang ke nyokap lo sih, bahwa bokap tiri lo pernah memperkosa lo? Kalau mereka cerai, kan lo nggak usah pergi dari rumah lo sendiri."

HAH?! Siapa memperkosa siapa? Mas Ghani? Memperkosa Inas?

"Dia orang baik, San. Waktu itu dia khilaf. Dan setelahnya dia udah sujud-sujud minta maaf sama gue. Dia juga sayang sama nyokap. Lo tahu kan, setelah ayah kandung gue meninggal, nyokap struggling sendirian dalam waktu lama. Setelah ketemu Om Ghani, Mama jadi bahagia lagi. Gue nggak mau merusak kebahagiaan nyokap gue."

"Kalo lo udah maafin bokap tiri lo, kenapa lo tetep pengen pergi dari rumah lo?"

"Gue udah maafin dia. Karena gue tahu dia menyesal dan udah tobat," Suara Inas terdengar bergetar. "Tapi gue tetep selalu takut kalau ada dia. Padahal dia udah bersikap baik sama gue, berusaha menebus kesalahan. Tapi gue tetep merasa takut."

Terdengar Sandra menghela nafas. Setelahnya hening lagi selama beberapa saat.

"Kalau gitu, lo balik ke rumah suami lo deh. Gue tahu lo sebenarnya cinta banget sama Om Indra kan?"

"Itu udah nggak penting lagi sekarang, San."

"Gimana?"

"Setelah gue tahu isi hatinya, perasaan gue udah nggak penting lagi, San."

"Tapi dia mikir begitu kan karena dia nggak tahu bahwa kondisi lo itu karena lo korban pemerkosaan. Bukan karena lo salah gaul."

"Apapun penyebabnya, gue udah nggak perawan lagi pas nikah sama dia."

"Dia juga udah nggak perjaka lagi kan? Sama kan? Adil dong?"

"Beda San. Dia nggak perjaka lagi setelah menikah. Gue udah nggak perawan bahkan sebelum menikah. Itu yang bikin gue cacat dan hina di mata dia."

"Nas...."

"Dan secinta apapun gue sama dia, gue nggak mau seumur hidup bersama orang yang memandang jijik terhadap gue."

"Tapi sekarang masalahnya bukan cuma tentang lo, Nas. Lo harus mikirin anak lo juga."

Anak?

"Dia bakal baik-baik aja. Gue cuma mual sedikit. Masih bisa makan spaghetti. Gue numpang sebulan lagi ya San? Abis gajian, gue pindah kok."

"No. Gue ngomong gini bukan karena gue mau ngusir lo. Gue cuma khawatir sama lo yang lagi hamil muda. Minimal lo kasih tahu mama lo atau Om Indra lah. Dia berhak tahu lo lagi hamil anaknya."

"Nanti pasti gue kasih tahu kalau kami udah resmi cerai kok. Kalau sekarang gue kasih tahu dia, dia pasti bakal mempertahankan gue. Tapi sayangnya bukan karena dia cinta sama gue, tapi cuma karena rasa tanggung jawab. Gue nggak mau gitu."

* * *

Siapa yang hari Sabtu tetep kerja?

Mari kita berpelukan Kak. Hiks hiks hiks.

Kuis: Dimanakah Inas kerja? Msh pada inget ga, siapa bos besarnya? Pasti kesayangan kita semua dong. Eeeaaaa



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top